Sebelas tahun
berlalu kawan. Ya, kau adalah yang pertama kali pernah terukir jelas lewat
guratan pena. Dan catatan itu pun pernah menghilang delapan tahun yang lalu. Kau
adalah hal pertama dan utama waktu itu, saat itu. Tidak ada yang pernah
menyangka aku pernah menorehkan tinta emas dalam perebutan gelar. Tiada kawan. Aku
bukanlah mereka yang memang terkenal berkat dukungan orang tua serta rekan. Aku
berbeda kawan. Aku hanya seorang anak sulung yang dilahirkan dari rahim seorang
ibu rumah tangga. Mereka berbeda kawan. Dari ibu pula aku belajar tentang
keyakinan dalam berjuang. Aku masih SMP waktu itu, dan keberadaanku hanya
sebongkah batu diantara kumpulan bebatuan di pinggiran sungai. Aku hanya
seorang, sendirian.
Hari Senin itu,
Allah memberikan hal lain padaku. Saat sebelumnya ayah pernah menyampaikan hal
terkait dirimu. Aku tetap tidak memiliki keyakinan, meskipun tiga kali menjadi
nomor satu di ruangan kelas. Tiga kali kawan. Dan aku masih dianggap biasa, dan
sangat kunikmati rasa ‘biasa’ ini. Sensasi yang membuatku terus menorehkan
kemampuan dan keyakinan. Tak perlu sibuk aku berbicara, apalagi berkoar. Tak perlu.
Cukup menerima sekian materi yang ‘bejibun’ itu untuk memenuhi otakku hingga
bertemu denganmu. Ya, hari Senin itu. Saat mentari mulai memanggang raga
generasi muda dan sang merah-putih siap berkibar di angkasa.
Bulir-bulir
keringat membasahi wajah kami kawan. Ya, kau pun telah terpajang bersama
nampan. Dua buah benda yang ada di depan mata kami, dan kau telah berpindah
sebanyak dua kali dalam tiga gelaran itu. Kawan di sampingmu sudah pasti milik
senior itu. Dia yang terbaik. Dan tak ada yang pernah mampu menyainginya,
bahkan sejak SD kami pernah satu almamater. Para merpati waktu itu tengah menukik
tajam, membelah angkasa SMPN 1 Karangampel. Dan Kepala Sekolah mulai
menyampaikan pengumuman di sesi terakhir.
Seperti dugaanku,
dan mungkin kebanyakan yang lainnya. Sang senior memperoleh teman sebelahmu
kawan. Tapi sebelum itu, saat mentari mulai tertutup awan dan kicau burung
pipit begitu riang di atas genting kelas 2 A dan 2 B. Allah telah menyiapkan
rencana unik dalam perjalanan hidupku sebagai siswa.
“Arif
Fatkhurrohman...,”
Jantungku berdegup
kencang, namun hati tetap tenang. Temanku yang satu ini memang spesial. Berhasil
menyingkirkan dua kandidat juara kelas yang pernah merengkuhmu kawan di dua
catur wulan sebelumnya. Selamat.
“Mursaliena Nur
Laela...,”
Ah... nama kedua
yang dipanggil semakin membuatku tertunduk. Teman sebelah kanan, depan dan
belakangku terus menatap sosok siswi yang juga dikenal jago di kelasnya. Semua mata
tertuju padanya. Siswi yang bukan dari kelas reguler ternyata mampu menempati
posisi kedua. Dan perlu kau ketahui kawan, nilai kami berjumlah sama waktu itu.
Seratus enam dari dua belas mata pelajaran yang harus ‘digenjot’ dalam empat
bulan.
Dan. Cukuplak kau
tahu kawan. Mentari kembali menampakkan cahaya penuhnya. Dan aku pun mampu
menegakkan kepala. Semua mata teman sekelasku yang baru mulai tertuju padaku. Semakin
bergemuruh pula dada, seakan sekujur tubuhku mati rasa. Seluruh ototku
tersumpal persendiannya, membeku. Dan terik sang mentari menggugah lamunanku.
“Rifki Asrul
Sani...,”
‘Prok... prok... prok... prok...,’
Aku tertunduk
kawan, dan kau sudah ada di depan mataku. Saat Kepala Sekolah menyerahkanmu
padaku, aku hanya terus tertunduk. Tak terasa buliran hangat terus mengalir,
terjun bebas. Aku bisa!!!
Kau tahu kawan,
pasca penyerahanmu padaku. Sepasang bola mata mengintip mesra, aku mungkin
hanya mendengarnya dari kawan lama. Ya, sahabat terbaikku yang pernah ada. Cerita
masa SMP yang pernah kuukir bersamamu. Aku tak hendak buru-buru menyimpulkan,
tapi itu memang benar adanya. Aku jatuh cinta. Biarlah, cukup episode itu
pernah terjalin bersamamu yang kini berdebu.
Aku tak pernah
mengatakan kau kini usang kawan, tak terbesit dalam pikiranku. Dan kau menjadi
kawan terbaikku pula semasa SMA, ya, saat kau kuboyong ke rumah Paman agar
semakin semangat bagiku merengkuh prestasi. Kau memang spesial kawan, sangat
penting dalam jelajah tapak hidup semasa muda. Aku tak pernah bosan memandangmu
meskipun telah merantau ke perbatasan antara Kota Tahu dengan Paris Van Java. Jatinangor. Aku tetap
mengingatmu yang berdiri tegak di atas lemari. Dan kau pun semakin kusam,
sangat berdebu. Seakan menjadi saksi sejarah pergulatan diriku di kamar itu. Tentang
kesendirian, canda-tawa, cinta, kebencian, kecewa dan juga haru-bahagia. Ya,
kau adalah saksi kehidupanku selama enam tahun. Putih-biru. Putih-abu. Kau adalah
sahabat sejatiku kawan!
Kau semakin
usang saja kawan. Setidaknya saat pulang akan kusempatkan untuk memelukmu. Kau memang
sempurna, menyimpan ratusan keunikan setiap kali menatap dan mengenang
perjalanan masa remaja yang penuh makna. Kau terlalu unik dalam bayangan
otakku. Kau yang sangat spesial. Memandangmu seakan mengembalikan kilas-balik
yang menjadi bahan pembelajaran bagiku. Merengkuh ujungmu membawa khayalku terbang
bagai ke atas awan, sangat tinggi dan tak ingin kembali. Memelukmu membuat
hatiku meringis.
Kawan... aku
takkan pernah melupakanmu, tak kubiarkan pula orang lain mengambil wujudmu. Dan
kau terlampau spesial untuk dibiarkan terus berdebu. Biarlah. Aku akan tetap
mengunjungimu dan kelak akan kubawa dirimu di istana baruku. Ya, istana baru
bersama sejuta kenangan dengan ratu hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar