Ini adalah permasalahan klasik yang para ulama terdahulu tidak melebih-lebihkannya (karena pemahaman mereka-red). Namun yang terjadi sekarang adalah lain, fenomena mengingkari jumlah rakaat tarawih sudah terlampau tajam sampai pada titik mengingkari atau mendustai jumlah rakaat yang dikerjakan antara satu kelompok dengan yang lainnya. Disini saya menyajikan kembali apa yang pernah Syaikh Yusuf Qardhawi tuliskan dalam buku beliau.
Bismillahirrahmanirrahim.
Dari Aisyah ra., diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pada suatu malam keluar (yakni di bulan Ramadhan), lalu beliau shalat di mesjid. Orang-orang pun lalu ikut shalat bersamanya. Pagi harinya mereka memperbincangkannya. Akhirnya, berkumpullah jamaah yang lebih besar dari malam sebelunya untuk shalat berjamaah bersama beliau. Pagi harinya mereka memperbincangkan hal itu lagi hingga semakin bertambah banyaklah orang yang berkumpul di mesjid pada malam ketiga. Rasulullah keluar dan mereka pun shalat bersama menjadi makmum beliau. Pada malam keempat, mesjid tidak dapat menampung lagi jamaah, hingga beliau keluar untuk shalat fajar. Seusai shalat, beliau menghadap jamaah lalu mengucapkan syahadat seraya bersabda, "Ama ba'du, sungguh, saya tidak mengapa selalu bersama kalian, akan tetapi saya khawatir jika ia diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak mampu menjalankannya." (HR. Mutafaq 'Alaih)
Bismillahirrahmanirrahim.
Dari Aisyah ra., diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pada suatu malam keluar (yakni di bulan Ramadhan), lalu beliau shalat di mesjid. Orang-orang pun lalu ikut shalat bersamanya. Pagi harinya mereka memperbincangkannya. Akhirnya, berkumpullah jamaah yang lebih besar dari malam sebelunya untuk shalat berjamaah bersama beliau. Pagi harinya mereka memperbincangkan hal itu lagi hingga semakin bertambah banyaklah orang yang berkumpul di mesjid pada malam ketiga. Rasulullah keluar dan mereka pun shalat bersama menjadi makmum beliau. Pada malam keempat, mesjid tidak dapat menampung lagi jamaah, hingga beliau keluar untuk shalat fajar. Seusai shalat, beliau menghadap jamaah lalu mengucapkan syahadat seraya bersabda, "Ama ba'du, sungguh, saya tidak mengapa selalu bersama kalian, akan tetapi saya khawatir jika ia diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak mampu menjalankannya." (HR. Mutafaq 'Alaih)
Bukhari meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdul Qari, ia mengatakan, "Pada suatu malam di bulan Ramadhan saya keluar bersama Umar bin Khatab ra. ke mesjid. Disana, orang berpencar-pencar dalam beberapa kelompok. Ada yang shalat sendirian, ada yang shalat bersama sejumlah orang (berjamaah-red). Umar berkata, 'Aku melihat bahwa seandainya aku menyatukan mereka dengan satu qari (imam) tentu lebih baik.' Kemudian ia menghimpun mereka dengan imam shalat Ubay bin Ka'b. Pada malam yang lain aku keluar bersamanya sedang orang-orang shalat dengan qari mereka. Ia berkomentar, 'Sebaik-baik bid'ah adalah ini. Mereka yang tidur sehingga tidak ikut shalat lebih baik daripada yang bangun, maksudnya adalah yang mengerjakannya dia akhir malam, sementara orang-orang waktu itu bangun di awal malam.'"
Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (Kekhalifahan Bani Umayyah) di Madinah, mereka melaksanakan 36 rakaat (tarawih) dan 3 rakaat witir.
Imam Malik berkata, "Ini masalah lama bagi kami."
Imam Syafi'i mengatakan, "Saya melihat orang-orang shalat tarawih di Madinah dengan 39 rakaat, di Mekkah 23 rakaat, dan tidak ada sedikit pun yang mengikat tentang ini."
Kemudian beliau melanjutkan, "Jika mereka memperpanjang berdiri dan mempersedikit sujud (yakni jumlah rakaat-red), itu baik adanya, jika pun mereka memperbanyak sujud dan memendekkan bacaan, itu juga baik, namun yang pertama lebih aku sukai."
Tidak ada yang mempersempit pandangan dalam hal ini, sebagaimana dikatakan Imam Syafi'i. Tidak seyogyanya sebagian orang menyalahkan sebagian yang lain (terkait shalat tarawih), selama hak tuma'ninah dan kekhusyukan shalat itu terpenuhi.
Barangsiapa shalat 11 rakaat berarti ia telah mengikuti petunjuk Rasulullah SAW. Aisyah telah mengatakan, "Rasulullah SAW tidak pernah menambah (shalatnya) lebih dari 11 rakaat di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya." (HR. Bukhari)
Dari Jabir ra. dikatakan bahwa beliau SAW shalat bersama mereka 8 rakaat kemudian witir, yakni dengan 3 rakaat.
Barangsiapa menjalankan shalat 23 rakaat, hal ini juga pernah dipraktekkan Umar ra., sebagaimana diriwayatkan oleh lebih dari satu orang, sementara kita juga diperintahkan untuk mengikuti sunah Khulafaurasyidin.
Sedangkan yang melaksanakan shalat 39 atau 41 rakaat (masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz jumlah tarawih adalah 36 rakaat), ada juga contohnya, yaitu sebagaimana diamalkan di Madinah, di sebaik-baik masa umat ini. Hal ini telah disaksikan Imam Malik. Beliau mengatakan, "Seperti ini telah berjalan selama ratusan tahun."
Shalat adalah ibadah terpenting, namun tidak ada batasan jumlah di Ramadhan maupun di lainnya (shalat malam-red). Karenanya tidak ada gunanya sama sekali, pengingkaran sebagian ulama zaman sekarang atas orang yang shalat 20 rakaat bahwa ia menyalahi sunah atau petunjuk nabi, atau sebaliknya bahwa orang yang shalat 8 rakaat adalah menyalahi hal yang telah diwariskan oleh salaf maupun khalaf dari umat ini.
Meskipun demikian, yang paling saya sukai (Syaikh Yusuf Qardhawi-red) adalah yanh dilakukan oleh Nabi SAW sendiri, karena sesuatu yang membuat Allah ridha adalah yang paling afdal, yaitu 11 rakaat termasuk witir. Dengan bacaan yang panjang dan shalat yang lama.
Hal yang harus dihindari semua pihak adalah shalat yang dilaksanakan di sebagian mesjid kaum Muslimin, yang seakan-akan punggung mereka dilecut cambuk dan mereka segera ingin terbebas darinya, yaitu shalat 20 rakaat dalam waktu kurang dari 20 menit. Sementara Allah SWT berfirman, "Sungguh telah beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya." (Al Mu'minun : 1-2)
Barangsiapa shalat 11 rakaat berarti ia telah mengikuti petunjuk Rasulullah SAW. Aisyah telah mengatakan, "Rasulullah SAW tidak pernah menambah (shalatnya) lebih dari 11 rakaat di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya." (HR. Bukhari)
Dari Jabir ra. dikatakan bahwa beliau SAW shalat bersama mereka 8 rakaat kemudian witir, yakni dengan 3 rakaat.
Barangsiapa menjalankan shalat 23 rakaat, hal ini juga pernah dipraktekkan Umar ra., sebagaimana diriwayatkan oleh lebih dari satu orang, sementara kita juga diperintahkan untuk mengikuti sunah Khulafaurasyidin.
Sedangkan yang melaksanakan shalat 39 atau 41 rakaat (masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz jumlah tarawih adalah 36 rakaat), ada juga contohnya, yaitu sebagaimana diamalkan di Madinah, di sebaik-baik masa umat ini. Hal ini telah disaksikan Imam Malik. Beliau mengatakan, "Seperti ini telah berjalan selama ratusan tahun."
Shalat adalah ibadah terpenting, namun tidak ada batasan jumlah di Ramadhan maupun di lainnya (shalat malam-red). Karenanya tidak ada gunanya sama sekali, pengingkaran sebagian ulama zaman sekarang atas orang yang shalat 20 rakaat bahwa ia menyalahi sunah atau petunjuk nabi, atau sebaliknya bahwa orang yang shalat 8 rakaat adalah menyalahi hal yang telah diwariskan oleh salaf maupun khalaf dari umat ini.
Meskipun demikian, yang paling saya sukai (Syaikh Yusuf Qardhawi-red) adalah yanh dilakukan oleh Nabi SAW sendiri, karena sesuatu yang membuat Allah ridha adalah yang paling afdal, yaitu 11 rakaat termasuk witir. Dengan bacaan yang panjang dan shalat yang lama.
Hal yang harus dihindari semua pihak adalah shalat yang dilaksanakan di sebagian mesjid kaum Muslimin, yang seakan-akan punggung mereka dilecut cambuk dan mereka segera ingin terbebas darinya, yaitu shalat 20 rakaat dalam waktu kurang dari 20 menit. Sementara Allah SWT berfirman, "Sungguh telah beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya." (Al Mu'minun : 1-2)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memiliki beberapa ungkapan yang cukup memadai dan sangat berguna, tentang disyariatkan shalat tarawih dengan jumlah rakaat seberapa pun yang ada riwayatnya.
Dia Radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Telah diriwayatkan bahwa Ubay bin Ka'b dahulu melakukan shalat lail sebanyak 20 rakaat di bulan Ramadhan dan melakukan witir dengan 3 rakaat. Karena itu, banyak ulama yang berpendapat bahwa itulah yang sunah, karena ia melakukannya di tengah para Muhajirin dan Anshar, dan tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengingkari. Kelompok lain lebih memilih 39 rakaat, dengan pertimbangan bahwa amal inilah yang dilakukan oleh penduduk lama Madinah. Kelompom lainnya mengatakan, terdapat dalam hadist shahih dari Aisyah ra., bahwa Nabi SAW tidak pernah shalat melebihi 13 rakaat, baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Mereka tidak mantap dengan akar hadist ini, karena mereka menganggapnya bertentangan dengan hadist shahih yang diriwayatkan dari Khulafaurrasyidin da apa yang diamalkan kaum Muslimin.
Yang benar, semua itu baik adanya, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ahmad, bahwa tidak ada jumlah tertentu yang ditetapkan untuk qiyam Ramadhan (tarawih). Nabi SAW tidak menentukan bilangan rakaat itu. Oleh karena itu, sedikit banyaknya rakaat hendaknya disesuaikan dengan panjang-pendeknya berdiri (bacaan Qur'an). Nabi SAW pernah memperpanjang qiyam beliau di malam hari hingga disebutkan dalam hadist shahih riwayat Hudzaifah, "Beliau dahulu membaca di rakaat pertama surat Al-Baqarah, An-Nisa dan Ali Imran. Lamanya berdiri membuat jumlah rakaat tidak perlu diperbanyak."
Ubay bin Ka'b tatkala shalat bersama mereka dalam satu jamaah, tidak mungkin memperpanjang bacaan Qur'annya, sehingga ia memperbanyak rakaat, untuk menggantikan lamanya berdiri. Mereka menjadikan shalatnya berlipat, dengan 11 atau 13 rakaat, kemudian setelah itu orang-orang di Madinah tidak mampu memperpanjang berdirinya sehingga mereka memperbanyak lagi rakaatnya hingga mencapai 39 rakaat."
Adapun tentang jumlah mana yang paling afdal, Syaikhul Islam mengatakan, "Kemudian ada sekelompok kaum salaf shalat dengan 40 rakaat dan witir 3 rakaat, yang lainnya shalat 39 rakaat dengan 3 witir. Ini semua dikenal khalayak. Manapun yang diikuti dari amalan mereka itu adalah baik.
Keutamaan relatif sesuai dengan perbedaan kondisi orang yang shalat. Jika mereka mampu berdiri lama, sebagaimana Nabi SAW shalat sendiri di bulan Ramadhan dan yang lainnya, maka shalatlah dengan 8 rakaat dan 3 witir setelah itu, dan inilah yang afdal. Akan tetapi jika mereka tidak mampu berlama-lama (bukan berarti boleh kebut-red), maka qiyam dengan 20 rakaat akan lebih afdal, dan inilah yang kebanyakan dilakukan kaum Muslimin. Jika ia qiyam dengan 40 rakaat atau berapa pun, boleh-boleh saja, tidak ada suatu apapun yang dianggap makruh dalam hal ini. Hal ini telah dikatakan oleh lebih dari seorang ulama, semisal Imam Ahmad dan lainnya. Barangsiapa beranggapan bahwa dalam qiyam Ramadhan ada jumlah yang ditentukan oleh Nabi SAW, tidak boleh ditambah ataupun dikurangi, berarti ia telah bersalah (dusta-red)."
Hemat saya, silahkan shalat tarawih dengan jumlah rakaat berapapun (8, 20, 36) asalkan tidak seperti dicambuk (kebut-red). Karena ibadah shalat tarawih adalah sunah yang dilakukan oleh Nabi SAW serta para sahabat dan generasi salaf, dan itu sangat baik (Insya Allah mendapat balasan/pahala disisi-Nya).
Referensi : Fiqh Shaum karya Syaikh Yusuf Qardhawi, tulisan dengan sedikit perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar