Aku duduk termenung di
depan taman kelas, masih memangku dagu dengan kedua telapak tanganku yang tak
pernah lelah untuk terus menahan gempuran lamunan. Dan pagi ini adalah hari
dimana seperti biasanya, aku pun juga para pengurus OSIS SMP membenahi taman untuk
kegiatan jumsih. Masih belum nampak
di kelopak mataku, Lucky, Tegar, Eby, Hilman dan yang lainnya berkumpul hanya
untuk sekedar mencabuti rumput ataupun memotong dahan tanaman hias yang rimbun
untuk menjaga keindahan. Dan seperti biasa pula, tanganku meraih sapu lidi
berikut tempat sampah untuk membantu kebiasaan pekerjaanku di pagi Jum’at.
“Oi Srul…,”
Suara yang tak asing
terjamah di telingaku, sapaan khas Eby dengan tangan kanan yang terangkat ke
udara. Aku pun lantas berdiri, perlahan menghampiri mereka yang sudah siap.
Beberapa siswi putri, Sa’adah, Tiwi, Anis, pun juga Nia tampak asyik
bercengkrama sambil merapihkan tanaman bunga yang semakin rimbun daunnya.
“Srul gimana jawabannya?”
Pertanyaan Tegar sontak
menghentikan ayunan gunting rumput yang kulayangkan pada tanaman. Aku hanya
tersenyum tipis sambil melanjutkan pekerjaan pagi ini, rasanya tidak ada
jawaban terbaik selain ‘belum dapat jawaban’ yang aku lontarkan setiap kali ada
yang bertanya mengenai pertemuanku siang itu dengan salah seorang siswi kelas
satu. Ah, terlalu pendek rasanya
jalan pikiranku saat itu. Namun informasi yang Nia berikan cukup membuatku
bertahan untuk tidur jauh lebih larut selama tiga hari berturut-turut. Aku
memang tidak terlalu familiar untuk dunia ‘cinta remaja’, yang seakan terus
menemani perjalanan masa SMP. Masa yang lebih banyak aku lalui dengan merawat
tanaman di depan kelas. Aku menyukai kumpulan bunga-bunga indah yang menghiasi
taman kelas, dank arena itu pula, aku bersama beberapa teman dipercaya untuk
membantu ‘merawat tanaman’ saat hari libur tiba oleh pak Deden yang menjadi
guru Bahasa Indonesia. Beliau guru favorit di kalangan siswa, dengan gaya
mengajarnya yang khas.
“Srul…,”
“Hmm… iya Ni…,”
“Maaf ganggu, bisa… ngobrol sebentar?”
Aku mengajak temanku
yang satu ini berjalan perlahan menuju bagian depan ruang perpustakaan. Lucky
dan yang lainnya masih asyik memungut sampah organik yang siap untuk dijadikan
kompos. Aku menatap wajah temanku yang rapih berbalut jilbab,
“Mmm… udah ngomong apa aja sama Ulfah?”
Aku menahan sejenak air
liur, mulai menghela nafas perlahan untuk memberikan kata-kata terbaik untuk
teman terbaikku yang satu ini.
“Nggak banyak kok… aku cuma ngomong masalah
yang dulu pernah kamu sampein,”
“Oh gitu ya? Aku sebenarnya masih bingung kalo
ngeliat keadaan dia…,”
“Maksudnya…?!”
Aku mulai memandangi
langit biru, pun juga para siswa yang asyik membenahi taman kelas
masing-masing.
“Hmm… dia itu sebenarnya masih ragu, ragu…
karena orang dia suka itu kamu,”
‘Gluk…!’
Aku menggaruk kepala
cepat sambil cengengesan, dan
lagi-lagi masalah adik kelas itu yang diungkit. Aku sendiri sebenarnya sudah
terlalu malas untuk membahas masalah remaja yang kini kualami. Meskipun memang
dalam teman sekumpulanku, hanya aku, Reza dan juga Ogi serta Rahman yang memang
belum pernah pacaran. Boro-boro mengakrabkan diri, waktu kami
lebih banyak digunakan bersantai ria tanpa melibatkan teman perempuan untuk
mengisi waktu bermain kami yang memang lebih banyak berpetualang dengan sepeda.
Mengelilingi sawah, pergi memancing, menikmati terik matahari sambil mengamati
sungai-sungai yang tercemar dan bau.
“Ni… aku nggak terlalu peduli ama jawaban dia,
buatku… udah ngomong suka aja artinya nunjukkin kalo aku bisa ngomong suka ama
dia… itu aja,”
Aku berjalan perlahan
untuk meninggalkan Nia yang mematung setelah mendengarkan pernyataanku,
pernyataan antara rasa kecewa dan juga kejujuran. Aku sama sekali tidak
memperdulikan apa yang pernah terjadi di waktu itu, aku hanya berjalan
sebagaimana adanya, tidak ada hal yang terlalu istimewa dalam pikiranku.
Setelah menyabet title sebagai yang terbaik di kelas satu, aku terlalu banyak
merasakan perbedaan dari cara pandang teman-teman perempuan yang tidak terlalu
dekat dengaku. Termasuk adik kelasku yang satu ini, dan ah… lagi-lagi cinta masa remaja itu perlahan larut dalam merahnya
hatiku. Terlebih keaktifanku yang cukup lumayan dalam kegiatan ekstrakulikuler
cukup banyak membuatku dikenal banyak teman. Aku menikmati hal ini, namun
terkadang membuatku lebih banyak menyendiri ataupun berkumpul bersama
teman-teman ‘KS Club’. Aku bersama lima orang yang memang diminta bantuan oleh
Pak Deden dan ibu Haji Eni yang menjadi wakil kepala sekolah untuk merawat
taman sekolah. Ini menjadi pekerjaan tambahan kami untuk bersenang-senang di
hari libur.
******
Masa kelas dua pun
akhirnya lewat, ini menjadi tahun terakhirku untuk menuntut ilmu di almamater
ini. Aku pun tidak ‘berpacaran’ dengan adik kelasku yang satu itu, meskipun
terkadang kami berdua merasa canggung apabila bertemu. Pekerjaanku tiap Jum’at
pagi pun akhirnya digantikan olehnya yang kini menjadi pengurus OSIS, maka tak
ayal kita lebih banyak berjumpa untuk merapihkan taman pada waktu itu.
Kebetulan kelasku dekat dengan ruangan perpustakaan yang menjadi wilayah beres-beres pengurus OSIS, ditambah
dengan taman dekat tempat parker yang kini sudah direnovasi. Satu tahun yang
berlalu, dan aku masih bersama lima orang yang lainnya menjadi ‘petugas’
tambahan merapihkan taman-taman di setiap kelas yang belum dirapihkan seluruhnya
setiap Jum’at pagi.
“Srul… nanti Minggu kita libur alias bebas
tugas lho,” kata Tegar yang terus menikmati mie rebus.
“Oh ya? Baguslah kalo gitu, aku… ada kerjaan
di rumah soalnya.”
Tampak Reza, Eby,
Rahman dan Ogi berjalan perlahan menghampiri kami berdua yang asyik menikmati
makan siang di kantin.
“Cuy… kita jalan-jalan lagi yuk?!” ajak Reza.
“Iya nih… kan kita nggak ada job pas Minggu,”
timpal Ogi kemudian.
Aku tertarik dengan
agenda jalan-jalan, meskipun sebenarnya ada pekerjaan bersama ayah dan
adik-adik di rumah. Tapi bisa sedikit diatur sebenarnya, seperti biasanya aku
selalu beralasan untuk berkeliling dua kecamatan dengan bersepeda. Ayahku
memang jarang melarangku bepergian pada hari libur, karena beliau memang sudah
tahu akan bermain dengan siapa putra pertamanya ini bersama sepeda
kesayangannya.
*****
Hari Minggu pun tiba, aku pun diizinkan untuk
pergi bersama sepeda kesayangan oleh ayah. Ditemani terik matahari yang indah,
kami berenam mengayuh sepeda perlahan sambil bercanda ria. Motor demi motor
menyalip konvoy ceria kami, pun juga
mobil pengangkut gabah yang membawa karung demi karung untuk dimasukkan kedalam
gudang penyimpanan sebelum diolah.
“Srul kabar Ulfah gimana?”
Pertanyaan Eby cukup
menyentakku, ‘Kluk…!’ tidak dapat pula
aku membalas atau menjawab pertanyaan yang dilontarkan.
“Aku bukan pacar atau siapa-siapanya kok…,”
Aku memimpin
perjalanan, dan mungkin agak cukup malas rasanya kalau harus menjawab
pertanyaan mengenai adik kelas yang bukan siapa-siapa bagiku. Ogi tampak sudah mempersiapkan perlengkapan
memancing, dan hari ini memang kami sengaja mengisi waktu libur untuk menyusuri
sungai sambil memancing ikan. Dari mulai ikan
keting yang mirip lele, betik
atau yang dikenal dengan mujair sungai, hingga ikan gabus sudah biasa memenuhi
kantong plastik yang biasa kami bawa untuk tempat menyimpan ikan hasil
pancingan.
Seperti biasa, sungai
yang kami susuri airnya keruh dan beberapa sampah menghiasinya. Seperti inilah
kondisi sungai di wilayah dekat pesisir atau muara, yang dibeberapa tempat
menimbulkan bau tak sedap akibat sampah yang semakin menumpuk menghiasi aliran
air sungai dan menyumbat alirannya pula. Kami pun berhenti di sebuah pohon
rimbun, dan mulai menyiapkan perlengkapan memancing. Mereka masih menyindirku
mengenai adik kelas itu, dan aku hanya mengelak dengan kata demi kata. Karena
memang bagiku, hal tersebut adalah tidak penting.
Kail-kail kami telah
siap untuk menipu para ikan yang berenang, dan keruhnya air pun tak menyurutkan
ayunan tangan kami melayangkan senar pancing untuk memberikan umpan manis
kepada menu makan siang alam kami.
“Hap!!!”
Kailku tampak semangat
menarik-narik tangan kananku, semakin kuat dan semakin sigap pula tarikan
tangan kananku. Sebuah ikan gabus ‘alhamdulillah’ menyangkut, ini menjadi
tangkapan pertamaku di pagi menjelang siang ini. Pun juga dengan kelima temanku
yang lainnya, mereka begitu bersemangat menarik ikan demi ikan. Kami
bergembira, pun juga agak sedikit risau dengan kondisi sungai yang semakin
penuh dengan sampah. Perlahan kuambil beberapa dahan, pun juga dengan kelima
temanku. Satu demi satu sampah plastik kami tarik dari aliran sungai dan
dipindahkan ke bagian pinggir hingga tumpukan sampah yang sengaja disimpan
dekat sungai oleh warga sekitar.
“Ini daripada ngalir di sungai, mending kita
simpan di tempat yang lain.” Papar Tegar.
Kami mengangguk,
menyetujui kalimat yang temanku yang satu ini lontarkan. Sekitar dua jam kami
memancing, semakin penuh pula kantong plastik kami dengan ikan hasil pancingan.
Minggu ini menjadi lebih berkesan, penuh makna dan juga pelajaran berharga.
‘Ya
Rabb… semoga di masa depan kami tetap menjadi orang yang mencintai lingkungan,’
Do’aku dalam hati.
*****
Tiba di hari
perpisahan, masa dimana aku harus segera beranjak menuju bangku SMA. Acara perpisahan
menjadi momen bahagia buatku, karena didandani layaknya seorang ‘pengantin’.
Aku berjalan beriringan dengan Utami, teman sekelasku saat kelas dua. Aku pun
berhasil menjadi yang terbaik selama tiga tahun, sungguh pencapaian yang luar
biasa dan patut aku syukuri. Aku bersama kelima temanku pun masih tetap dengan
kegiatan cinta lingkungan sekolah. Namun kami masih belum menemukan pengganti
siapa yang akan meneruskan perjuangan untuk menjaga kebersihan lingkungan tanpa
diketahui oleh pak Deden dan ibu Haji Eni yang selalu membimbing dan mendidik
karakter kecintaan kami terhadap lingkungan sekitar.
Mataku mulai menatap
wajah adik kelas itu, orang yang dulu pernah membuatku kebingungan pun juga
dirinya. Ada hal yang berbeda sebenarnya dari persahabatan kami, meskipun
intensitas pertemuan dan perbincangan diantara kami berdua tidaklah banyak.
Selama hari Jum’at pagilah kami lebih banyak bertemu, ataupun saat latihan
upacara, karena aku ditunjuk sebagai pelatih bersama beberapa anggota Paskriba yang lainnya.
‘Di
sekolah ini… seribu delapan puluh hari kami menanti…’
Bait demi bait puisi
kubacakan bersama Tegar, kami berenam menjadi sosok yang disorot kamera dan
juga ratusan pasang mata yang menyaksikan penghargaan sebagai ‘Siswa yang Cinta
Sekolah’. Ini adalah penghargaan atas kerja bahagia kami untuk merawat
lingkungan sekolah, dan mengisi waktu libur untuk merawat taman-taman yang ada
di sekolah. Pak Kirom, berjalan perlahan membawa piagam yang akan diberikan
kepada kami. Dan hari ini pula aku menjadi lebih banyak diperhatikan, dari
mulai acara pembuka yang aku menjadi perwakilan siswa laki-laki serta Utami
yang menjadi perwakilan siswi. Hingga kini momen pembacaan puisi tentang
kecintaan kami kepada almamater ini, akhir masa bakti kami yang harus menuju
jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Ayah tampak gagah
dengan seragam tentaranya, pun juga ibu yang begitu cantik. Keduanya menemaniku
dalam acara perpisahan kali ini, dua orang yang tak pernah lelah mendidik
‘kenakalanku’ agar terarah pada tempat yang lainnya. Dan inilah ‘kenakalanku’
bersama kelima teman terbaik, kami banyak keluar rumah pada hari libur dan
pulang jauh lebih lebih lama saat jam sekolah. Hanya untuk ngobrol bareng
ataupun membantu pekerjaan tukang kebun merapihkan taman sekolah pada hari-hari
tertentu. Dan aku masih jadi orang yang ‘malas’ untuk membahas masalah adik
kelas itu. Jauh lebih baik berlelah-lelah memindahkan sampah yang hanyut di
sungai ataupun merapihkan taman sekolah daripada membahas hal tersebut.
Jatinangor,
11 Februari 2012
‘Taman Cinta’
Kisah
nyata penulis yang penuh imajinasi, nama dan tempat adalah kondisi sesuai yang
ada, namun kondisi psikologis atau sikap atau percakapan adalah fiktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar