Minggu, 09 Juni 2013

Memadukan Budaya Islam dan Jawa


Oleh : Afriza Hanifa

"Islamisasi Mataram melahirkan Islam Kejawen yang hingga kini masih dianut sebagian masyarakat."

Saat mataram berkuasa, tanah Jawa telah mengenal Islam berkat Islamisasi yang gencar dilakukan Kesultanan Demak dengan Walisongo sebagai ujung tombaknya. Pasca kesultanan Demak, estafet dakwah sempat diambil alih Kerajaan Pajang kemudian dipegang Kerajaan Mataram. Saat itulah, dakwah Islam di tanah Jawa mengalami era baru.
Meski Demak mampu mengislamkan tanah Jawa, aktivitas lebih banyak terjadi di kawasan pesisir. Mataramlah yang kemudian melengkapi dakwah Islam di bagian pedalaman. Namun, Demak tentu berbeda dengan Mataram. Meski Demak menggunakan akulturasi dalam dakwah, para wali tetap mempertahankan syariat Islam murni terutama ketauhidan.
Saat Mataram berkuasa, dakwah Islam mulai berubah. Mereka sangat erat memadukan budaya Islam dan budaya sebelumnya. “Dalam segi keagamaan masanya (Sultan Agung) cenderung mengadakan pertimbangan antara Islam dan Hindu,” ujar Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III : Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia.
Sutiyono dan Ahmad Dzulfikar dalam buku Benturan Budaya Islam : Puritan dan Snikretisasi mengatakan, Kerajaan Mataram yang berpusat di pedalaman Jawa atau kurang lebih berada di pusat tanah Jawa menjadi tempat tarik ulur antara Islam dengan gaya pesisiran yang Ortodoks dengan paham Jawa-Hindu. Islamisasi Jawa semakin kuat, dan sebaliknya, Jawanisasi Islam juga sangat kuat. Terlebih setelah Mataram menaklukkan pusat-pusat pengajaran Islam di pesisir Utara Jawa, seperti Pasuruan (1617), Tuban (1619), Surabaya (1625), Pati (1627) dan Giri (1636).
“Kota-kota itu dihancurkan karena kharisma Islam pesisir yang puritan masih bergema mempengaruhi wilayah pedalaman. Penghancuran wilayah pesisir jelas mempunyai maksud politik, yakni pimpinan negara Mataram akan menerapkan Islam Sinkretis, mengingat rakyat pedalaman masih kental dengan paham pra-Islam (kejawaan). Dengan demikian, berdirinya kerajaan Mataram berimplikasi pada perubahan dari Islam ortodoks menjadi Islam Kejawen (percampuran antara Islam dan paham Kejawen),” ujarnya.
Dalam buku tersebut juga disebutkan, Islam pada awalnya disebarkan ke Jawa masih dalam bentuknya yang asli. Tetapi, setelah dibawa ke wilayah pedalaman harus menyesuaikan dengan budaya Jawa atau tradisi lokal.
Ketika Kerajaan Demak masih kokoh, Islam disebarkan secara puritan (sesuai aslinya-edt). Namun demikian, para penguasa Jawa yang kental dengan tradisi lokal, seperti Hadiwijaya dan Senopati, memantapkan Kerajaan Islam bergeser dari wilayah pesisir ke wilayah pedalaman yang masih bergelut secara mengakar dengan budaya Jawa agraris-Tradisional zaman Majapahit. Oleh karena itu, sinkretisme Islam di wilayah pedalaman lebih menguat. Terlebih setelah penguasa Mataram (Sultan Agung) menghancurkan pusat-pusat kota peradaban Islam puritan di wilayah pesisir.
Dalam sejarah, Sultan Agung memang tercatat lebih cenderung pada snkretisme. Selain memindahkan pusat peradaban Islam ke daerah pedalaman, sultan juga tidak lagi dekat dengan keturunan walisongo. Kesultanan Mataram juga membiarkan para ulama yang menganut paham mistis. Selain itu, Sang Sultan pernah melakukan ziarah ke Tembayat. Ia juga memilih menggunakan Kalender Saka ketimbang Islam.

In My Opinion :
Pertama, mungkin saya hanya menuliskan kembali apa yang ada pada rubrik ‘Islam Digest’, Repubilka Ahad, 9 Juni 2013. Kedua, barangkali hal ini masih menjadi masalah yang kurang begitu ditelisik lebih dalam. Dan pastinya kita bukan membicarakan masalah disini, melainkan bagaimana sikap kita terhadap pengaruh yang dilahirkan sejak Sultan Agung menguasai Mataram pada abad ke-17.
Islam mengajarkan ketauhidan, Tuhan yang satu, Allah SWT. Tentunya metode atau cara penyampaian yang digunakan seorang da’i akan berbeda pada kondisi tertentu. Sama halnya saat Imam Syafi’i ketika berada di Irak memberikan fatwa atas masalah yang sama dengan beda pandangan saat beliau berada di Mesir. Intinya adalah satu, tetap berpijak pada Qur’an dan Sunnah serta mengajak ummat agar tetap ada pada koridor ‘Siratal Mustaqim’. Setidaknya Al-Ikhlas menjadi pedoman berarti dalam perjalanan hidup seorang muslim. Jadi, wajar apabila Walisongo berdakwah dengan memanfaatkan momentum masyarakat yang saat itu masih terjaga (budaya Hindu). Budaya, adat, tapi mereka masih menjaga nilai ketauhidan, menjauhi syirik yang menjadi titik poros atau sentral pengajaran Islam sebelum masyarakat diajarkan lebih jauh tentang hukum serta aturan syariat yang lainnya.
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl : 125)
Inilah yang menjadi pijakan seorang da’i dalam penyampaian, serta bagaimana Rasulullah SAW membimbing selama hampir 13 tahun di Mekkah. Meluruskan akidah, ketauhidan, keteladanan, janji-janji Allah akan surga-Nya, serta logika-logika yang membuat para sahabat meruntuhkan ‘akidah’ batil dan memeluk Islam serta menjaganya hingga akhir hayat. Budaya wayang kulit, gamelan, memang pernah dipakai oleh para Walisongo dalam penyampaian dakwah. Namun mereka tetap menjaga unsur dakwah Islam dari perilaku syirik, sesuai dengan apa yang pernah Rasul terapkan di Daarul Arqam, Mekkah.
Tata cara penyampaian Islam yang lunak, lemah-lembut membuat masyarakat Indonesia (Jawa) yang masih menganut paham Hindu-Buddha termasuk animisme menjadi tertarik dengan ‘kemudahan-kemudahan’ dalam ajaran Islam yang tidak menganut aturan kebangsawanan atau tingkatan masyarakat yang hampir-hampir mencekik, terlebih saat mereka harus berhadapan dengan para raja yang dzalim. Islam hadir di tengah-tengah masyarakat, mengajak mereka dengan pengajaran (hikmah) serta penuh kelemah-lembutan. Berujung pada kekuatan tauhid hingga Kerajaan Demak menjadi kekuatan politik serta militer yang menggunakan Qur’an dan Sunnah sebagai dasar negara atau pemerintahan. Seperti halnya dengan Kesultanan di Aceh, yang terhubung dengan Kesultanan Turki.
Kerajaan Mataram memang kehilangan tajinya setelah Perjanjian Giyanti (1755), pengaruh kekuasaan politik menjadi ada pada pihak VOC (Belanda). Namun hasil ajaran Islam Jawa (Kejawen) masih tetap dianut. Seperti organisasi Budi Utomo yang terdiri dari kalangan priyayi, dimana unsur jawa lebih kental meskipun mereka muslim (Islam Kejawen). Dan jelas punya arah gerak berbeda dengan organisasi atau perserikatan yang memang Islam Puritan, misal Sarekat Islam yang kemudian menjadi Sarekat Dagang Islam, Hizbul Wathon, Muhammadiyah, NU, dll. Kekuatan tauhid menjadi pijakan utama, jadi wajar perjuangan ‘jihad’ mengusir penjajah pada akhirnya menjadi kewajiban saat pengajaran penguatan tauhid telah mengakar di masyarakat. Terkait ini bisa kita baca buku Api Sejarah karya Ahmad Manshur Suryanegara.
Lantas bagaimana sikap kita? Setidaknya tauhid menjadi unsur utama dalam pedoman hidup seorang muslim, berangsur pada tata-cara serta perilaku yang menunjukkan bahwa ia adalah seorang muslim. Aturan dan Qur’an dan Sunnah telah jelas, tinggal bagaimana pedoman itu kita bawa pada kehidupan yang mengalami perubahan kondisi, sementara syariat Islam itu berlaku sepanjang zaman. Sejatinya sikap yang diambil Walisongo adalah suatu kebijakan yang luar biasa baiknya. Memahami situasi tapi tetap menjaga akidah, menjauhi syirik secara perlahan lebih tepatnya.
Dengan tradisi yang terjaga sampai saat ini, dengan memasukkan unsur Islam hasil pemerintahan Kerajaan Mataram Islam, maka sebaiknya seorang muslim mampu memilah serta membedakan mana yang benar-benar Islam (puritan) atau yang bukan (sinkretisasi Islam-Hindu, kejawen) agar Allah menjaga keutuhan akidah yang telah Rasul SAW sampaikan 14 abad silam. Untuk perkara bid’ah mungkin masih bisa dibicarakan, tapi jika perkara itu ‘syirik’, maka sebaiknya langsung kita hindari secara perlahan. Wallahu’alam, semoga membawa kebaikan bersama, aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar