Seorang
anak bernada suka. Menarik-ulur senar di bawah terik sang surya. Membakar. Di
sekelilingnya adalah hamparan sawah yang tandus. Kering kerontang akibat musim
pancaroba. Cuaca tak menentu, pun juga hujan yang tiada pernah menampakkan tanda-tandanya.
Tubuhnya kurus, tinggi menjulang. Dan dia menjadi yang tertinggi diantara teman
sebayanya. Usianya baru sepuluh tahun. Anak tunggal plus yatim piatu. Hanya
mengenal sosok kakek sejak otaknya mampu bekerja untuk mengingat.
Tiga
anak yang lain tak kalah semangatnya. Kulit mereka coklat dan mulai menghitam.
Ciri khas manusia khatulistiwa. Layang-layang mereka menari bersama hembusa
angin. Kumpulan pohon mangga masih tegar di sisi Barat. Kebun semangka
berhamburan di sisi Timur. Utara dan Selatan adalah saluran irigasi yang
mengering. Benar-benar keadaan yang kurang menguntungkan. Tapi penduduk desa
ini tetaplah merasa nyaman. Termasuk si kurus tinggi ini. Layang-layangnya
dibuat berekor warna merah dan putih. Warna bendera negaranya yang telah merenggut
masa pendidikan. Saat dana-dana gratis itu hanya tinta diatas kertas belaka.
Sementara para pengajar hanya mampu gigit jari. Tiada kenampakan akan diangkat
dan terus menjadi honorer selama sekian tahun. Hanya mereka yang berduit saja
yang berhasil menyuap dan mengajir ini dan itu. Tetap saja. Anak-anak ini tiada
bisa memahami materi dan menambah kepintaran.
“Salim...!”
Si
kurus-tinggi ini menoleh ke belakang. Dilihatnya sang kakek melambai hangat dan
memintanya mendekat. Ia menimpa kaleng pengikat senar layang-layangnya dengan
gumpalan tanah yang mengering. Cepat ia berlari, mengusap dahi serta lehernya
dengan tangan kanan.
“Iya
kek...,”
Laki-laki
paruh baya ini memakai baju koko warna abu-abu dan celana pantalon hitam.
Senyum hangatnya masih memunculkan gigi-giginya yang masih agak utuh.
“Mau
kau sekolah lagi nak...?” sang kakek memegang kedua bahu cucunya, tersenyum
hangat.
Salim
hanya menunduk, menggeleng. Masih teringat hinaan yang pernah keluar dari guru
matematikanya. Tentang cerita terburuk dalam sejarah kehidupannya saat masih
bayi. Saat kedua orang tuanya harus meregang nyawa akibat semburan timah panas.
Teroris. Setidaknya masalah itu yang menjadi titik terlemahnya dalam bergaul.
Sementara sang kakek selalu memberikan semangat dan kepercayaan pada putra dan
menantunya. Mereka hanya korban, dan Salim jauh lebih mempercayai ucapan sang
kakek. Biarlah cibiran itu membuatnya keluar terpaksa dari sekolah. Setidaknya
ia masih punya teman-teman yang masih bersekolah. Mereka sangat menyayanginya.
“Salim...
masih belum mau sekolah kek,” Salim memandang tenang wajah kakeknya, menelan
ludah.
Sang
kakek melepaskan pegangan tangan pada kedua bahu cucunya. Duduk jongkok,
menarik nafas agak panjang. “Nanti... kalau Salim mau sekolah lagi...,”
memegang kedua tangan sang cucu, “Salim ngomong saja sama kakek...,”
Kali
ini Salim tersenyum lebar. Dan ia pun kembali pada layang-layangnya. Teman
setia yang selalu menemani. Sahabat terbaik yang bisa membuatnya berbagi dengan
teman-temannya. Ya, mereka yang tidak pernah bersikap kurang ajar padanya.
Tubuh kurusnya masih menjadikan Salim sebagai yang terkuat sekaligus pelindung.
Dia bukan tipe pencari rusuh. Lebih memilih menjadi penengah atau pembela
mereka yang membutuhkan bantuan kekuatannya.
Sang
surya terus membakar kulit empat anak laki-laki yang menikmati kekeringan di
sawah. Dan Salim memandang dua kumpulan awan yang membentuk wajah. Sapa hangat
sang bunda, senyum tulus sang ayah. Ingatan akan wajah yang terpajang di
dinding rumah. Pancaran sinar wajah keduanya. Ya, mereka adalah energi
sekaligus pelita yang mendamaikan hatinya bersama sang kakek.
“Ayah...
Ibu...,”
*****
Hari ini, pukul empat sore. Sudah
setengah jam lewat dari waktu shalat ashar. Salim menggenggam sebuah Al-Qur’an
kecil dengan sampul warna hijau. Tangan kirinya beberapa kali mengusap bulir
keringat yang mengalir di leher. Ya, sang surya masih memberikan teriknya yang
tersisa.
Pandangannya tertuju pada kumpulan
layang-layang. Ingatannya menerawang pada masa lalu. Saat hamparan sawah kering
itu menjadi medan permainannya. Saat lapangan sepakbola yang jarang rumput itu
membuatnya berkeringat suka. Dan juga, saat cibiran ini dan itu mulai
memekakkan telinga. Dan beruntung ia memiliki seorang kakek yang sangat cerdas
lagi bijak.
Sudah dua puluh satu tahun umurnya
kini. Salim tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah. Tubuhnya jauh lebih kekar
sejak masa SMA. Hasil latihan fisik setelah sang kakek mengajaknya pindah rumah
setelah lulus SD. Suasana sejuk di kaki gunung memang sangat melatihnya
fisiknya. Termasuk agamanya. Ia ingin seperti ayah dan ibunya. Mereka yang
dalam memori otaknya terukir kata syahid.
‘Hmm...,’
Sebuah
layang-layang terjun pelan dengan tariannya. Tiga orang anak laki-laki terus
mengarahkan pandangan ke langit, memastikan jalur jatuhnya layang-layang itu.
Salim terus melangkahkan kakinya, menyusuri selokan yang semakin kotor dengan
limbah rumah tangga. Ya, seperti inilah kehidupan masyarakat kota.
‘Hup!’
Lompatan
yang cukup tinggi. Layang-layang dengan gambar bendera negara itu tepat diraih
tangan kanannya. Dan ketiga anak laki-laki yang terengah di depannya hanya
terdiam. Ngos-ngosan. Salim
melayangkan senyuman untuk ketiganya.
“Yah... malah kak Salim yang
dapet...,” salah satu dari ketiganya mengangkat kepala, mengusap keringat yang
mengalir di lehernya.
“Iya nih... berarti layang-layangnya
buat kakak ya?”
Ketiga anak laki-laki itu memandang manyun pemuda yang ada di depannya.
Suara lantunan Al-Qur’an dari pengeras suara masjid yang lain memecah suasana.
Saatnya berangkat ke majelis ta’lim. Salim duduk jongkok di depan ketiga anak
laki-laki itu.
“Gilang... Yanto... Tedi...,”
tersenyum kecil, “Layang-layang ini bisa jadi milik salah satu dari kalian.
Tapi...,”
Ketiga anak laki-laki itu
berpandangan. Yanto mengangkat kedua bahunya. Tedi dan Gilang hanya garuk-garuk
kepala.
“Hahaha... hom-pim-pa aja deh...,”
usul Salim, layang-layang itu ada di tangan kanannya.
“Setuju!”
Dan Gilang pun menjadi pemenangnya.
Ia melompat kegirangan. Ini menjadi layang-layang pertama yang berhasil
didapatnya sejak pulang dari sekolah.
“Jangan lupa pada ngaji ya nanti
ba’da maghrib...,”
“Insya Allah kak Salim,” Yanto
mengacungkan jempol.
Tedi memberikan hormat, “Siap kak!”
‘Hehehehe...,’
Anak-anak
yang lebih nyaman dengan permainan ala kadarnya. Ya, dengan latar keluarga
sederhana di pinggiran kota. Salim menikmati suasana itu sejak pertama kali
menjadi mahasiswa. Tentang bagaimana kehidupan penuh perjuangan itu menjadi
cerita luar biasa. Mengisi kekosongan sekian waktu dari agenda kuliah yang juga
tak mau kalah. Dan dari sekian cerita itu, selalu saja ada keterkaitan antara
peristiwa berdarah itu. Jejak tak bersalah yang harus berkalang tanah.
*****
“Ayah dan ibumu itu hanya korban.
Insya Allah mereka gugur sebagai syuhada,”
Kakek meraih gelas berisi teh manis
hangatnya. Akhir-akhir ini beliau sering sakit-sakitan. Faktor usia. Salim
memahami akan hal itu. Minggu depan adalah hari pertamanya masuk kuliah. Minggu
pertama yang akan dilalui dengan ospek.
“Kek...?”
Kakek kembali meletakkan gelasnya
diatas meja, “Ya... Burhan... Hanif... dan juga Hanifah memang mengalami
periode tersulit dalam memahami agamanya.”
Suasana hening sejenak. Bunyi detak
jam dinding semakin keras, mengalahkan kicau kutilang di sangkar burung. Salim
harus mengetahui segalanya. Saat pintu taubat itu sudah terbuka. Ketika ayah
dan ibunya berkunjung ke sebuah rumah pendatang baru. Sosok taat beragama yang
mengalami kerancuan berpikir dalam memahami jalan dakwah saat ini.
“Tidak ada yang mengetahui kapan
Allah akan memanggil kita... dan... silaturahmi itu menjadi awal dan akhir
segalanya,” kakek mengetuk meja dengan telunjuknya beberapa kali, “Ayah dan
ibumu adalah seorang yang shaleh lagi shalehah... dan ketiga warga baru itu pun
telah menemukan secercah harapan baru sebelum peristiwa naas delapan belas
tahun yang lalu.”
Ya, ini adalah cerita paling lengkap
yang akhirnya diterima. Allah selalu membuka jalan pikiran bagi hamba-Nya dalam
memahami agama. Ketiga warga baru itu memang pernah mengikuti agenda kegiatan
yang luar biasa. Teroris hanyalah cap dari orang yang sama sekali tidak pernah
memahami agamanya. Mereka hanya melakukan perjuangan, dan ternyata kesalahan
demi kesalahan dalam pemikiran itu menjadi periode sulit dalam jalan hidup. Ya,
mereka hanya perlu memahami kondisi kekinian dan kedisinian dalam konteks
Qur’an dan Sunnah. Tanpa sekalipun mengubah nash yang telah tetap, tinggal
bagaimana cara itu berjalan tanpa pertumpahan darah.
Burhan, Hanif dan Hanifah hanyalah
salah satu dari mereka yang tidak mau terlibat. Pun juga tak mau berurusan
dengan polisi. Mereka pun masih baru. Tiga bulan lamanya ditempa dalam majelis
perjuangan agar agama Allah itu tegak dengan pengorbanan. Dan Allah seakan
terlalu sayang pada ketiganya, hingga pertemuan dengan Azzam dan Asma. Keduanya
adalah orang tua Salim. Dan baru tiga bulan usianya saat itu.
“Salim... keshalihan Azzam serta
kelembutan Asma mengalir dalam darahmu,” mengarahkan jari telunjuk ke dada
cucunya, “Kakek beruntung masih bisa menjagamu sampai saat ini.”
Tak terasa air mata itu menitik.
Saat kembali harus mengingat suara tembakan delapan belas tahun silam. Dan
kakek bersama putra dan menantu putrinya baru saja kembali dari luar kota.
Tanpa pemberitaan atau informasi apapun, terlebih seluruh handphone berada dalam kondisi low-battery.
Beliau sengaja membawa Salim yang masih terlelap ke rumah, sementara putra dan
menantunya berkunjung ke sebuah rumah sambil membawa oleh-oleh. Bangunan yang
akhirnya dinyatakan sebagai sarang teroris. Ah,
mengapa semuanya berlalu begitu cepat?
*****
Senja yang mulai memerah. Para
burung sudah banyak yang kembali ke sarangnya. Seekor kucing berjalan tenang
menyusuri sekumpulan rumah masa depan. Areal pemakaman. Sunyi, sepi. Tiada
seorang pun manusia yang menampakkan batang hidungnya.
“Ayah... Ibu...,”
Salim mengelus mesra nisan ayahnya.
Ini adalah kunjungan untuk kesekian kalinya. Dan sang kakek pun terbaring di
sisi ayahnya. Ia sama sekali tak pernah mengenal nenek. Bahkan kakek tak pernah
sekalipun menceritakan sosok itu padanya.
“Semoga Allah memberikan gelar
syuhada untuk kalian. Kakek...,” pandangan mata Salim beralih pada rumah masa
depan kakeknya, “Terima kasih sudah menemani Salim. Sekarang... Salim tidak
punya siapa-siapa lagi kek,”
Air mata itu menitik tenang.
Memberikan kedamaian. Salim pun bangkit, menelan ludah. Ia menarik nafas
panjang dan memejamkan matanya. Kepalanya mendongak, memandang gelap birunya
langit yang dipenuhi layang-layang.
Layang-layang,
terbanglah tinggi. Bawalah segala cita, pancarkan nada suka. Terbangkan segenap
mimpi dan harapan. Junjunglah tinggi setiap niat kebaikan. Dan akhir kehidupan
manusia memang misteri. Mereka hanya diberikan pilihan. Melalui hidup dengan
kebaikan atau malah mengisinya dengan jutaan keburukan. Niat itu adanya di
dalam hati dan perbuatan adalah apa yang nampak. Tapi Allah Maha Mengetahui
segala isi hati.
Jatinangor,
2 Juni 2013
07:10
WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar