Rabu, 26 Juni 2013

Mitigasi Bencana yang Mandiri (Warta Geologi 2010)

“Risiko yang menjadi prioritas utama untuk dihindari atau sedapat mungkin dicegah dari suatu ancaman bencana adalah korban jiwa. Itulah sasaran utama dari suatu mitigasi bencana”. Demikian kurang lebih rumusan penting dari pemaparan Kepala Badan Geologi, Dr. R. Sukhyar, tentang bencana longsor di Jawa Barat di depan wakil-wakil DPRD se-Provinsi Jawa Barat, 2 Maret 2010. Dalam acara tersebut Dr. R. Sukhyar selanjutnya menyampaikan pesan yang sangat penting kini dan kedepan dalam mitigasi bencana yaitu “mitigasi bencana yang mandiri” (MBM).

Bagaimana gambaran MBM itu? Mengapa diperlukan dan bagaimana upaya menumbuhkannya? Sebelumnya, kita akan mengingat kembali beberapa pengertian yang terkait, yaitu: bahaya, kerentanan, bencana, risiko bencana, dan mitigasi bencana.

Bahaya, Bencana, dan Mitigasi: Kasus Longsor
Ketika terdapat suatu bukit di tepi sebuah kampung dan bukit itu terjal, tanahnya dominan jenis tanah lepas sehingga mudah bergerak, apalagi jika terdapat retak-retak di tubuh bukit itu, maka keberadaan bukit ini adalah bahaya bagi warga kampung itu. Di musim hujan saat hujan turun cukup lama, maka derajat bahaya ini semakin meningkat. Ketika terjadi longsor yang menyebabkan banyak korban jiwa dan harta benda, jelas kampung itu memerlukan bantuan dari pihak luar, baik untuk penyelamatan maupun untuk pulih kembali. Maka, dikatakan bahwa kampung tersebut telah mengalami “bencana longsor” atau “bencana gerakan tanah”.

“Bahaya” (hazard) secara populer diartikan sebagai “ancaman”; yakni, sesuatu yang belum terjadi namun berpeluang terjadi dan apabila terjadi dapat menimbulkan bencana (disaster). “Bahaya” dapat pula diartikan sebagai potensi bencana. Derajat peluang terwujudnya potensi bencana itu menunjukan tingkat bahayanya. Kita sebut saja batas antara bahaya dan bencana ini sebagai puncak bahaya. Adapun “bencana” dapat kita artikan sebagai bahaya yang mencapai puncaknya dan menimbulkan korban padamasyarakat sehingga masyarakat itu tidak mampu pulih kembali ke kehidupan normal tanpa bantuan dari pihak luar.
Pada setiap ancaman bahaya dan kejadian bencana, selalu ada risiko bencana. Pada kasus kampung kita tersebut di atas, risiko bencana itu antara lain: korban jiwa, keruksakan rumah, bangunan, dan harta benda lainnya pada saat bahaya tadi mencapai puncaknya berupa longsoran yang menimpa kampung itu. Besarnya risiko bergantung pada besaran bahaya dan kerentanan terhadap bahayanya. Maka, mitigasi bencana dimaksudkan sebagai upaya-upaya yang disadari dan dilakukan terus menerus; sebelum, pada saat, dan sesudah kejadian bencana guna mengurangi risiko bencana ke tingkat yang serendah mungkin. Risiko yang menjadi prioritas pertama untuk dihindari adalah kehilangan jiwa.

Mitigasi Bencana yang Mandiri
Mitigasi bencana sekarang menjadi istilah yang mulai populer. Namun sesungguhnya, hal itu sulit dilakukan apabila tidak disertai oleh pemahaman, kesadaran, dan inisiatif sendiri. Relokasi pemukiman yang terancam bencana – sebagai salah satu langkah mitigasi, misalnya - tidaklah mudah untuk dilakukan karena berbagai alasan, mulai alasan historis (warisan leluhur) sampai alasan ekonomi (karena dekat dengan tempat bekerja). Selain itu, luasnya cakupan mitigasi yang harus dilakukan oleh Pemerintah dan terbatasnya lahan untuk pemukiman pengganti juga menjadi kendala dalam pelaksanaan rekolasi. Lebih dari itu semua, saat ini, berdasarkan undang-undang kebencanaan, mitigasi bencana juga sudah menjadi kewajiban masyarakat. Maka yang kita perlukan adalah dorongan agar berlangsung mitigasi bencana mandiri.

Mitigasi bencana yang mandiri atau mitigasi bencana mandiri (MBM) dimaksudkan sebagai upaya-upaya yang dilakukan atas kesadaran sendiri oleh kelompok masyarakat yang tinggal di suatu tempat yang menghadapi suatu bahaya guna menurunkan risiko bencana yang diakibatkannya sampai tingkat yang serendah mungkin. Paralel dengan pengertian tersebut, dalam upaya mitigasi bencana di Indonesia telah pula diperkenalkan istilah ”pengelolaan risiko bencana berbasis Komunitas (PRBBK)” atau ”pengelolaan risiko bencana berbasis masyarakat (PRBBM)”. Pada prinsipnya terdapat kesamaan tujuan antara MBM dan PRBBK/PRBBM, yaitu sama-sama mengharapkan munculnya kesadaran masyarakat dan gerakan masyarakat itu sendiri didalam pengurangan risiko bencana atau dalam mitigasi bencana. Tulisan ini selanjutnya akan menggunakan istilah MBM yang lebih menekankan kemandirian.

Selanjutnya, tingkat risiko yang serendah mungkin” yang menjadi target MBM itu idealnya adalah tiadanya korban jiwa. Mengingat makna dan tujuan tersebut, jelaslah bahwa MBM menuntut sedikitnya empat syarat: pemahaman, kesadaran, kebersamaan, dan aksi yang tepat.

Pemahaman diperlukan terhadap jenis bahaya yang mereka hadapi, kapan kemungkinan potensi bencana itu terjadi, tanda-tanda yang paling mudah dikenali dari kondisi awal terjadinya potensi bencana; dan jalur pengungsian atau penyelamatan diri (evakuasi) yang aman dan cepat bila bencana itu terjadi. Kesadaran – dalam kasusu kampung tadi – antara lain: secara rutin ngaronda atau memeriksa kondisi bukit itu dan melaporkannya kepada ketua kampung apabila ditemui tanda-tanda awal bukit akan longsor; memberikan peringatan kepada seluruh warga kampung tentang kemungkinan terjadinya longsor; dan mengungsi (pindah) dari lokasi yang terancam bencana. Aksi yang tepat antara lain mengungsi atau menyelematkan diri melalui jalur pengungsian yang tepat dan dilakukan pula pada waktu yang tepat. Kesemua itu memerlukan kebersamaan dari semua warga kampung.

Bercermin pada Longsor Ciwidey
Mungkinkah MBM dilakukan? Dalam peristiwa Longsor Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat 23 Februaru 2010, sebelum kejadian, telah ada beberapa informasi yang dapat diketahui masyarakat setempat, mulai dari peta kawasan rawan bencana (KRB), hujan, hingga ke tanda-tanda awal yang penting dari kejadian longsor. Peta KRB diterbitkan secara berkala oleh Badan Geologi; demikian pula informasi prakiraan hujan dapat diperoleh dari BKMG. Terjadi hujan yang berlangsung sekitar 8 jam telah terjadi beberapa jam sebelum peristiwa longsor. Dilaporkan pula adanya retakan-retakan di bukit yang mengalami longsor itu; dan ada kejadian longsor kecil sekitar setengah jam sebelum terjadi bencana itu.
Dengan contoh pemahaman gejala awal Longsor Ciwidey, MBM rasanya mungkin untuk direalisasikan. Langkah yang diperlukan untuk itu antara lain: memformulasikan pengetahuan tentang potensi bencana menjadi pengetahuan praktis masyarakat setempat. Langkah seterusnya adalah mensosialisasikan pengetahuan tersebut melalui berbagai media, dan melatih keterampilan masyarakat terkait untuk tindakan mitigasi.

Keterampilan yang penting adalah: mengenal tanda-tanda puncak bahaya atau ciri-ciri penting akan terjadinya bencana. Selanjutnya, keterampilan diperlukan pada saat mengumumkan adanya ancaman bencana dan memerintahkan penyelamatan diri kepada seluruh warga kampung. Bagian terpenting, tentu saja, adalah keterampilan evakuasi penyelamatan diri atau mengungsi yang tepat waktu dan tertib. Jangan sampai pengumuman, perintah dan pelaksanaan evakuasi itu menimbulkan kepanikan, sehingga jatuh korban jiwa. Karena itu, MBM mutlak memerlukan pelatihan atau simulasi evakuasi atau penyelamatan diri yang baik.

Peran berbagai Mitra dan Pendekatan
Pemerintah jelas merupakan fasilitator utama dari seluruh proses penumbuhan gerakan MBM. Pemerintah berperan dalam mengatur, merencanakan, dan mengevaluasi perkembangan MBM. Pemerintahlah yang memberikan layanan publik dari semua kebutuhan publik agar MBM tumbuh dan berkembang. Badan Geologi merupakan mitra untuk kebutuhan informasi peta KRB dan informasi relevan lainnya tentang bahaya dan bencana longsor. BKMG mitra untuk memperoleh informasi curah hujan. BNPB mengkoordinasikan semua instansi Pemerintah terkait kebencanaan, termasuk fasilitas finansial yang diperlukan.
Para ahli dari Perguruan Tinggi (PT) dapat merinci lebih jauh tanda-tanda dari puncak bahaya, termasuk analisis curah hujan yang lebih rinci (harian). PT lainnya, sesuai keahlian, dapat menyusun bahan sosialisasi atau penyadaran masyarakat tentang tanda-tanda bahaya, jalur-jalur dan cara-cara penyelamatan diri dari bencana dalam berbagai media yang komunikatif. LSM dan kelompok masyarakat lainnya dapat berkontribusi dalam sosialisasi dan pelatihan yang diperlukan. Perangkat organisasi di Daerah menindak-lanjuti dan memfasilitasi kebijakan Pemerintah dan berbagai masukan dan peran dari semua mitra yang terlibat dalam MBM.

Bagaimanakah organisasi atau pranata MBM dapat terbentuk? Dalam hal ini, berbagai pendekatan yang sifatnya bottom up perlu dicoba. Pendekatan budaya atau revitalisasi lembaga adat boleh jadi akan berhasil dalam menumbuhkan pranata sosial semacam ”pakumbuhan” (perkumpulan) yang konsen pada bencana di setiap kampung yang rawan bencana. Pakumbuhan ini selanjutnya diharapkan tumbuh menjadi pranata sosial MBM yang efektif. Langkah-langkah semacam round table di antara para stakeholder yang memiliki perhatian terhadap mitigasi bencana dapat dilakukan secara rutin. Melalui forum tersebut dapat dirancang rencana aksi untuk melahirkan MBM dan program kegiatannya, membesarkannya, dan mengevaluasi perjalanannya secara berkala. Mari kita galang kebersamaan untuk menumbuhkan mitigasi bencana mandiri!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar