‘Aum…!!! Guk…
guk… guk!!!’
Beberapa
papan kayu berjatuhan, beberapa ekor anjing saling bersahutan. Dan purnama
tetap tersenyum untuk mengiringi malam, ditemani bintang yang cantik bersinar.
Seorang tua perlahan melangkahkan kaki demi kaki bertopang tongkat coklat gelap
yang sudah hampir sepuluh tahun menemaninya. Tubuhnya semakin membungkuk, tanda
bahwa dirinya memang dimakan usia. Tidak ada sehelai rambut hitam pun yang
menghiasi kepalanya, kecuali gigi-giginya yang masih utuh meskipun sudah
menguning karena ‘mengenyot’ daun sirih. Ia hidup sebatang kara sejak sepuluh
tahun yang lalu, sejak ia pertama kali menggunakan tongkat untuk menyangga
tubuhnya.
Rumah
orang tua ini begitu sangat sederhana, begitulah yang selalu dikatakannya pada
setiap orang yang bertanya mengenai rumah ataupun orang-orang yang ada di
rumahnya. Entah mengapa sejak sepuluh tahun yang lalu, sejak ia memakai tongkat
coklat tua itu menjadi seperti dirinya yang kini semakin membungkuk. Entah
kejadian seperti apa yang membuatnya menjadi sedemikian adanya, tidak ada satu
pun anggota keluarga yang memperhatikan sosok tua yang sebenarnya menjadi
tempat anak-anak dari warga sekitar berbagi cerita.
Orang
tua ini sejatinya adalah seorang dalang wayang golek, dan hampir setiap acara,
hajatan, upacara adat maka orang tua ini yang dipanggil. Dan entah mengapa
sejak sepuluh tahun yang lalu, suasana menjadi semakin berubah dan ia semakin
meninggalkan profesi dalangnya. Ia hanya ditemani ‘tokoh pandawa’ sebagai lima
buah wayang ditambah gatot kaca dan si cepot yang menemaninya untuk berbagi
cerita bersama anak-anak. Ya… hanya anak-anak yang kini menemani setiap hari
pagi hingga sorenya, selama sepuluh tahun ini. Meskipun terkadang beberapa
warga kerap memberinya makanan dan minuman untuk melepas lapar serta dahaga.
Orang
tua ini biasa dipanggil Pak Sarip, hampir seluruh warga mengenal sosoknya.
Pribadi yang tenang dan bersahaja, dan masih sama sejak sepuluh tahun yang lalu
ia hidup sebatang kara. Perjalanan hidup mantan dalang yang tersohor ini memang
cukup unik, pun juga menyisakan banyak misteri. Terlebih saat rembulan bersinar
terang, malam Jum’at Kliwon, terlebih dengan suara lolongan anjing yang
bersahutan terkadang mengiringi kesendirian sang orang tua ini. Tapi tetap saja
warga sekitar menghormati sosok tua sebatang kara ini karena kedekatannya
dengan anak-anak.
“Pak
Sarip…!”
Lima
orang anak yang biasa menantikan dongengan sang orang tua ini, ya… waktu sore
menjelang maghrib memang waktu favorit untuk berbagi cerita. Karena kebanyakan
anak-anak masih bersekolah di pagi hari. Dan waktu sore memang menjadi
kebiasaan bagi pak Sarip untuk berkeliling kampung
meskipun hanya sekedar menyapa maupun singgah di beberapa rumah warga. Hal yang
selalu dilakukannya, bahkan sejak kejadian sepuluh tahun yang lalu. Tidak ada
yang berubah dari sosoknya, tenang dan bersahaja serta tidak banyak berkomentar
yang tidak perlu mengenai banyak hal. Sosok yang tidak pernah berubah, bahkan
sejak sepuluh tahun yang lalu.
Wayang
Arjuna mulai bergerak kesana-kemari, waktunya bagi pak Sarip untuk memainkan
peran sebagai dalang yang menghibur anak-anak melalui cerita demi cerita yang
terkadang mengundang gelak tawa maupun keseriusan dari setiap tatapan mata.
“Arjuna
tiba di Amarta sambil membawa panah kesayangannya… tapi… tiba-tiba… Bima yang
asyik memakan buah pisang… melempar… kulitnya tepat di depan Arjuna yang sedang
berjalan… dan…”
‘Gedebug!’
Wayang
Arjuna yang ada di tangan pak Sarip terpelanting, membentur tanah dan dibiarkan
begitu saja. Beberapa anak mulai tertawa gembira, meskipun cerita yang
disajikan hanya cerita fiktif yang bukan dari aslinya. Tapi bagi anak-anak,
tidaklah masalah karena berbagi waktu bersama pak sarip adalah kebahagiaan
tersendiri.
Satu
per satu, wayang-wayang yang dibawa oleh pak Sarip mulai beradu, bersama nada
gurau serta gelak tawa, bercampur semilir angin yang menghembuskan nada riang.
Bima tegap sambil membawa gadanya, tak pelak Arjuna pun bergaya dengan
panahnya. Tak lupa, cepot, si pembawa humor berbagi sentilan-sentilan yang
mengocok perut anak-anak yang mendengarkan.
“Ai bahasa inggrisna kekeset naon pot?”
“Welcome atuh… bima,”
“Eh… ceuk saha eta? Ai maneh…,”
“Pan aya eta… dina kekesetna tulisan…
welcome… meuni badag,”
“Ah sia…,”
‘Ahahaha…,’
Wayang
Cepot terus menari, beradu dengan suara-suara khas pak dalang Sarip, mengayun
indah di mata anak-anak yang tak henti-hentinya tertawa pun juga bertepuk
tangan dari setiap adegan tangan pak dalang Sarip yang memainkan
wayang-wayangnya yang tersisa sejak sepuluh tahun yang lalu.
‘Plok... plok...
plok...,’
‘Ahahaha...
Hehehehe...,’
*****
Malam
mengayun indah, diiringi lolongan anjing hutan yang berpadu dengan
anjing-anjing milik warga. Seindah purnama yang kini bersinar menerangi kampung
‘sang dalang’ yang kembali dalam kesendiriannya ketika malam tiba. Sepi…
mencekam… tak ada teman maupun lawan bicara. Rumahnya yang semakin rapuh dan
tampak tak terurus, semakin menambah suasana yang sepi. Pak Sarip tetaplah
seperti itu, apa adanya, bahkan sejak sepuluh tahun yang lalu dalam
kesendiriaannya. Tawaran warga sama sekali tidak mengubah pendiriannya untuk
pindah rumah, dan baginya, rumah tua ini bagaikan villa indah karena memiliki
banyak kenangan yang tak mungkin dirinya tinggalkan.
Pak
Sarip berjalan perlahan, hal yang biasa dilakukannya adalah menyusuri setiap
sudut rumah di malam hari. Hal yang selalu dilakukannya sejak sepuluh tahun
yang lalu. Tidak banyak berubah dan masih tetap sama, sama dengan kondisi
sepuluh tahun yang lalu. Seluruh foto, perabotan rumah tangga, kursi, meja,
lemari dan lain sebagainya. Masih tetap sama, kecuali debu-debu dan juga sarang
laba-laba yang mulai menemani setiap perlengkapan rumah yang ada. Berbeda
dengan kamarnya yang begitu rapih tertata, bersih dan tampak indah dengan beberapa
benda hasil koleksi selama menjalani profesi sebagai dalang. Sungguh, ruangan
yang berkesan bagi orang tua yang pensiun dari profesi menjadi dalangnya sejak
sepuluh tahun yang lalu.
‘Syuuut…,’
Beberapa
bayangan hitam mulai berirama, melesat perlahan menyusuri setiap bagian rumah
mantan dalang ini. Beradu dengan semilir angin yang berpadu dalam irama
lolongan anjing. Purnama malam ini begitu indah, dan seindah perasaan yang ada
dalam hati mantan dalang yang masih menyusuri setiap bagian rumahnya.
‘Wrak... wrak...
ngak... ngak...!!!’
‘Kleparrr... wus...
syung... klepar...,’
Si hitam itu kembali beraksi menyusuri sudut malam dengan
kekuatan paruhnya. Ini adalah malam yang tak boleh terlewat begitu saja. Sama
seperti pak Sarip yang kini dalam intaiannya. Sudut mata tajam itu sesekali
mengarah pada para pandawa yang menari indah.
‘Krek... krek...
krek...,’
‘Hahahahaha...
Hihihihi...,’
Si hitam tetap mengepakkan sayapnya, sudut matanya kini
kepada pak Sarip yang sudah duduk tenang sambil membawa sebuah kotak hitam. Ya,
kotak hitam yang membawa bencana sepuluh tahun yang lalu. Tragedi berdarah yang
merenggut enam orang yang selama ini menjadi teman hidup masa tuanya. Tragedi
yang tak pernah mampu terungkap, dan hanya menyisakan tanda tanya besar. Tidak
ada jejak, tidak ada alat bukti. Yang ada hanya para pandawa dan juga si gatot
kaca yang berlumur darah. Dan sangat tidak mungkin wayang-wayang itu bergerak
indah, tapi mungkin untuk malam ini.
Kilatan cahaya pisau itu beradu dengan cermin dan kaca
yang ada di setiap sudut ruangan. Para pandawa masih menari indah, mereka tak
menyadari kehadiran si hitam.
‘Da... rah... da...
rah...,’
‘Hahahaha...,’
Semua terasa sunyi bagi pak Sarip dan kotak hitamnya. Ia
masih duduk terdiam berteman benda hitam itu. Tidak ada gerakan tambahan dan
sama sekali tidak menyadari tarian indah para pandawa dan gatot kaca yang
bermain pisau cantik berkilat. Ya, malam ini ia hanya mampu terdiam.
‘Gak... wrak...
wrak...!!!’
‘Klepar... wung...
wusss...,’
"Tidak...!!!”
“Wuss... jleb... jleb...
syat...!”
‘Hea... Huahahahaha... da... rah.... da... rah...,’
‘Kyaaa...!!!’
Mereka menari indah,
mereka tertawa gembira. Dua jiwa telah berpulang. Dan tarian indah itu tak
mampu dirasakan apalagi di dengar oleh pak Sarip. Ia hanya duduk tenang dengan
tongkat yang bersandar di sisi kiri kursi goyangnya. Sayatan-sayatan itu tak
mampu dirasakannya. Dan dua jiwa telah diantar kembali ke hadirat-Nya.
“Ayah...!!!”
“Hahahaha... da... rah...
da... rah...,’
‘Cling... wus...,’
‘Jleb...!’
Satu jiwa lagi. Menemani tubuh
berbaju hitam dan hijau yang kini terbaring di atas lantai berwarna putih.
Darah-darah mengalir segar. Dan pak Sarip masih duduk memandang kotak hitam
yang digenggamnya. Ya, sudah tiga jiwa sejak perjanjian itu. Perjanjian setan yang
dipuja oleh sebagian para penikmat dunia. Perjanjian setan yang menjadi awal
mula dan akhir kisah cerita yang dibangun di atas gedebog pisang dan juga tenda
serta kursi-kursi yang berjejer. Kisah indah berdarah yang diawali serta
diakhiri oleh para pandawa dan gatot kaca. Pak Sarip bukanlah buta ataupun
tuli. Ia memang dimakan usia, tapi tenaga dan kemampuan indranya masih senormal
saat ini.
Perjanjian setan itu
membutakan serta membuatnya tak mampu merasakan energi kehidupan sebanyak dua
kali. Yang pertama adalah saat rumah ini berdiri megah untuk pertama kali, dan
kedua adalah saat matanya kini menatap kotak hitam. Tak ada rasa tak ada jiwa.
Semua berlalu apa adanya. Yang pertama tak mampu terungkap dan yang kedua kini
entah bagaimana lagi. Yang pasti sudah tiga jiwa sejak perjanjian itu. Tepat
sudah selang waktu sepuluh tahun dari yang pertama. Kini tinggal enam jiwa lagi
untuk setan-setan itu.
Bayangan-bayangan hitam
menari indah di setiap sudut ruangan. Bergerak cepat menelusuri setiap sudut
ruangan. Dan pak Sarip masih duduk terpaku pada pandangan kotak hitam yang
masih belum berani dibukanya. Ia kembali buta dan tuli. Buta bukan karena tak
mampu melihat, melainkan tak mampu merasakan kehadiran jiwa yang lainnya.
Sudut bulan purnama
diirngi tangisan malam. Rintihan tarian si baju putih itu kini menatap indah si
dalang yang masih terdiam. Jari-jari manis berkukunya memegang pundak sang
dalang dari belakang. Ia bahagia. Setidaknya untuk malam ini dan sepuluh tahun
yang lalu dan yang akan datang.
‘Hihihihi...,’
‘Klepar... wus... syung...,’
Langkah si putih menghentikan
tarian iblis para pandawa dan gatot kaca. Pisau-pisau itu kini menjadi indah
dengan lumuran darah. Masih tiga jiwa yang tersisa. Para perawan itu tertidur
indah dalam satu kamar. Selimut-selimut putih seakan mengabari mereka tentang
kehadiran jiwa yang lain. Berkali-kali gerakan ke kanan dan ke kiri mengabari
ketiganya. Dan si putih kini menatap indah ketiga perawan yang kelak akan
menemaninya.
Para pandawa dan gatot
kaca kembali pada tempatnya. Tanpa tarian dan secepat kilat. Enam pisau
berlumur darah itu pun kembali. Ya, kembali ke tempat asalnya dan wujud
aslinya. Kotak hitam itu kini bertambah, dan pak Sarip masih tak mampu
merasakan bobot tambahannya. Bobot tambahan dari enam jarum berwarna merah
delima yang ia terima dari perjanjian setan itu.
Ketiga bidadari masih
berbalut selimut putih. Si putih menyorotkan mata merah dengan wajah sayu yang
kini menatap ketiga bidadari. Perawan sesuai yang diinginkannya, dan sama
sekali tak disadari oleh pak Sarip. Enam biduan yang menemani perjalanan
seninya berpulang sepuluh tahun yang lalu di rumah ini. Tiga di ruangan yang
kini menjadi tempat tidur ketiga bidadari, dan yang lainnya di kamar yang
terletak di sudut ruangan yang lain.
Masih sama dengan cahaya
purnama yang seakan menangisi penduduk bumi. Si putih tak menapakkan kaki-kaki
hitamnya. Ia semakin dekat, semakin dekat dengan kebahagiaan.
‘Hihihihi...,’
‘Nggg... Putri... Putri...,’
Si putih terdiam sejenak.
Tangan kanannya sudah dekat dengan leher salah satu dari mereka. Dua bidadari
yang lain berpelukan, mereka sudah siap untuk berpulang.
‘Gak... gak... wrak... wrak...!!!’
‘Hihihihi...,’
‘Set... syut...,’
‘Uoook... ttt... tttt... tttoo... tooo...,’
Tangan si putih tepat
menggenggam leher satu dari tiga kesukaanya. Sang bidadari hanya mampu memegang
tangan kotor bernanah penuh luka milik si putih. Ini adalah saat dimana si
putih mampu diraba oleh para manusia. Kaki sang bidadari bergerak tak tentu
arah, kedua bola matanya masih mampu menatap muka jijik si putih dan juga kedua
adiknya. Dialah yang tertua dan yang pertma direnggut kebahagiaan hidupnya.
Tempat tidurnya memang terpisah.
‘Aaakkk... tttt... tttooo... long...,’
‘Hihihihihi...,’
Tangan kanan sang bidadari tak
mampu meraih kedua adiknya. Ia masih mampu menggeliat namun tak mampu bergerak
bebas. Energi gravitasi begitu menekan habis tenaga manusianya. Si putih
tinggal selakangkah lagi merenggut kebahagiaan korban kesukaannya.
‘Ha...,’
‘Argh... ah...,’
Taring-taring si putih sudah
tepat di leher sang bidadari. Telapak tangan kanannya membenamkan segenap muka
korban pertamanya. Ya, ia bahagia. Kedua tangannya kini berubah menjadi kuning
langsat. Ia memandang indah, tatapan mata merahnya berbinar sambil membolak-balikkan
kedua tangannya.
‘Ha... hehe.. hehehe... hihihihihihi...,’
Masih ada dua lagi. Satu
jiwa sudah berlumur darah, kedua bola menatap langit-langit kamar. Dua bidadari
yang lainnya masih berpelukan. Kedua tangan si putih sudah siap meraih leher mereka.
‘Hihihihi...,’
‘Hap... sret...,’
‘Okk.. ohok... ohok... ssssiii... ok..,’
‘Tttt... ttttoooo... tototooolooooongg...,’
Sorot mata tajam keduanya
menatap ngeri si putih. Ini adalah bagian akhir dari perjalanan purnama
keduanya. Malam ini ia mungkin hanya mendapatkan tiga jiwa perawan, namun itu
cukup baginya. Setidaknya sepuluh tahun yang lalu enam jiwa sudah berhasil
diraihnya.
Kaki-kaki kedua bidadari
tersisa masih meronta dan menggeliat. Lagi-lagi energi gravitasi itu membatasi
gerak tubuh keduanya. Sorot mata tajam nan indah semakin menekan jiwa dan
jantung keduanya, si putih perlahan menjulurkan lidah berliurnya. Tatapan mata
indah itu membuyarkan kekuatan kedua bidadari yang kini berusaha untuk tidak
memasrahkan akhir hidupnya. Energi gravitasi itu semakin kuat, cengkraman leher
si putih semakin menjadi dan tak mampu terlepas bebas. Tangan-tangan keduanya
tak mampu menghempaskan energi apapun yang menekan tubuh keduanya. Cermin pun
tak mampu melontarkan bayangan si putih yang kini berkulit kuning langsat,
kecuali muka dan kedua kakinya.
‘Ooook... argh...,’
‘Wrak... wrak... gak... gak...,’
‘Klepar... klepar...,’
Ya, ini adalah akhir perjalanan
hidup ketiga perawan. Leher-leher itu ini bermandikan warna merah.
Selimut-selimut putih itu kini dihiasi warna keberanian. Si putih berhasil
menjalankan tugasnya, setidaknya untuk kali kedua setelah sepuluh tahun yang
lalu. Perjanjian itu mengembalikan energi kehidupannya. Si putih kembali pada
wujud aslinya. Sorot mata tajamnya berterima kasih pada ketiga perawan yang
kini berpulang. Malam bulan purnama mengembalikan energi kehidupannya untuk
kali kedua. Kini ia memiliki sedikit waktu, setidaknya menemui pak Sarip yang
masih memandang diam kotak hitam itu.
Rambut panjangnya terurai
indah, hitam, sesekali memantulkan cahaya lampu ruangan yang kini menyala bebas
setelah sebelumnya padam. Darah-darah mengalir segar dari tiga tubuh yang
terbaring diam di atas lantai putih. Bibir merah delimanya tersenyum indah dan
manja. Ia adalah gadis tercantik malam ini, setidaknya untuk beberapa waktu
sebelum kembali ke wujud aslinya. Tubuhnya berbalut kain khas sinden atau
biduan. Warna hijau dan kuning menyelimuti bagain tubuh atasnya. Ukiran batik
menutup bagian tubuh bawahnya. Kombinasi standar para sinden yang biasa
menemani para dalang saat pementasan wayang golek.
‘Hah...,’
Pak Sarip mengusap kedua
mukanya, ia segera bangkit dari kursi goyang. Rambutnya sudah mulai memutih,
namun energinya masih cukup kuat. Ia tak membutuhkan tongkat berwarna coklat
itu untuk berjalan. Tangan kanannya masih memegang kotak hitam itu. Dan sorot
matanya kini tertuju pada sosok gadis yang tersenyum manja padanya.
“Ratih...?”
Langkah pak Sarip gontai
ke arah gadis itu. Ya, gadis yang dulu mengisi masa muda dan perjalanan
hidupnya. Gadis yang dulu pernah membahagiakan hati dan jantungnya. Gadis yang
akhirnya mati di tangannya, mekipun sebenarnya tidak mati saat itu. Tubuhnya
hanya berpindah tempat akibat perjanjian setan itu, dan pak Sarip sama sekali
tak menyadarinya.
“Ratih...? apa benar kau
ini Ratih...?”
Gadis itu tersenyum,
“Ya... kau semakin tua saja Sarip...,” langkah kakinya tegas, ia memeluk tubuh
pak Sarip. Air matanya berderai indah.
“Ratih... maafkan aku...
oh... Ratih... hiks... hiks...,”
Gadis itu kembali
tersenyum, sorot matanya tajam ke arah si hitam yang kini menari-nari dengan
kepakan sayapnya. “Tidak apa-apa Sarip... setidaknya aku kembali... aku
kembali...,”
‘Puk... puk... puk...,’
Pak Sarip memandang wajah gadis
yang bernama Ratih itu. Air matanya masih meleleh dan mengalir. Ini adalah
pertemuan untuk kali kedua sejak sepuluh tahun yang lalu, setidaknya setelah
delapan belas tahun kepergian sang pujaan hati.
“Aku harus pergi
Sarip...,”
“Tidak... tidak... jangan
pergi lagi Ratih, aku ingin kau tetap disini. Aku ingin kau menemani masa
tuaku,”
Ratih kembali tersenyum,
bibir merah delimanya memantulkan cahaya lampu ruangan. “Aku berjanji akan
kembali lagi... aku... hanya ingin kau merawat para pandawa dan Gatot Kaca. Aku
ingin kau selalu merawat mereka sebagai bukti cintamu padaku...,”
Ratih melepaskan kedua
tangannya yang memegang bahu pak Sarip. Ya, kelima pandawa dan Gatot Kaca
itulah yang mengembalikan energi kehidupannya. Setidaknya untuk kembali
merenggut jiwa-jiwa para hidung belang yang selama sepuluh tahun ini menjadi
wadah hidup perjanjian setannya.
Perjanjian setan itu pula
yang membawa Sarip pada kotak hitam yang kini dipegangnya. Perjanjian setan itu
pula yang kembali mempertemukan keduanya. Setidaknya sepuluh tahun cukup
baginya untuk melampiaskan rindu dan juga kebencian. Kebencian yang membuat
Sarip merenggut energi kehidupannya dan menyerahkan dirinya pada nenek tua yang
kini sudah berpulang. Ratih kini hanyalah jiwa bebas yang tak mampu kembali, ia
masih terikat perjanjian setan meskipun sang pemanggil sudah tertimbun tanah
dua belas tahun yang lalu. Setidaknya ia mampu mengambil nyawa para bejat yang
salah satunya telah merenggut mahkota kesuciannya. Ya, kejadian yang membuatnya
ditemukan Sarip kekasihnya dalam kondisi pakaian koyak di sudut gubuk pematang
sawah.
‘Sarip... aku ingin mati saja...,’
‘Tidak... jangan... aku mencintaimu Ratih,’ Sarip memeluk
indah tubuh kekasihnya yang terkoyak. Hatinya telah hancur semalam, terlebih
jiwa gadisnya.
‘Kau harus hidup...,” seorang nenek tiba-tiba berada di
belakang keduanya yang berurai air mata. “Ini... aku berikan kotak hitam.
Simpanlah olehmu anak muda... aku hanya ingin meminjam kekasihmu agar ia tetap hidup...
Ehehehehe...,’
Si hitam kini menemani
perjalanan malam Ratih dengan pakaian sindennya. Ia sudah siap dengan
kebenciannya. Pak Sarip hanya mampu menatap tubuh bagian belakang pujaan
hatinya dari sudut pintu depan rumah. Sang pujaan kembali pergi, ia tak mampu
menggerakkan kedua kaki apalagi bibirnya. Hanya air mata yang terus meleleh dan
berpendar bersama purnama yang juga menangisi kehidupan manusia bumi.
*****
Para pandawa dan Gatot Kaca sudah tepat berada di belakang pak Sarip. Masih
dengan pisau-pisau yang memantulakn cahaya lampu ruangan dan kilatannya yang
mampu mengantarkan jiwa-jiwa hidup berpulang.
‘Krek... tek...,’
Kotak hitam itu terbuka. Ada
enam buah jarum berwarna merah delima sebesar paku kecil.
‘Ssshhh...,’
Pisau-pisau itu menghilang.
Para wayang kembali pada tempatnya, melapuk dan berdebu, mengelam dan rapuh.
Tatapan bola mata pak Sarip berbinar, sesekali menghela air matanya. Rasa
bahagia itu tiba sesaat setelah kotak hitam itu terbuka. Keberanian yang mampu
dilakukan setelah lebih dari tiga puluh tahun berlalu. Ratih masih belum
menemuinya, kecuali si hitam yang kini terus mengintainya.
Si muka merah mulai
menari. Tangannya mengepal karena tak mampu membuka kedua telapak tangannya
yang terbuat dari kayu. Baju hitam dan kain sarung menghiasi tubuhnya, ditambah
blangkon lecek yang tertata indah di
kepalanya. Ia terbang indah dan mendapati pak Sarip masih terpaku dengan enam
buah jarum merah delima itu.
‘Gak... gak... wrak...!’
‘Klepar... klepar... zyut... syut... zung...,’
‘St... ssttt... sssshhhh... hosh.... hosh...,’
‘Jarum... jarum apa ini...?’
Mata pak Sarip masih berbinar,
sementara si muka merah dengan gigi seri nongolnya terus menatap tajam mantan
dalang. Si hitam sudah tepat berada di depan pintu, berusaha menyelinap masuk
ke dalam ruangan melalui paruh-paruh tajamnya. Ia tak sendirian. Si putih
perlahan menyalipnya dengan menembus pintu yang terbuat dari kayu jati.
‘Klepar...,’
Kepakan sayap si hitam mencoba
menyusul laju si putih yang tak mampu disadarinya. Pak sarip masih ditemani si
muka merah yang menyadari kehadiran jiwa yang lain. Tatapan matanya kini tepat
pada wajah si putih yang rusak dengan mata merahnya yang khas.
“Sudah saatnya kau
kembali...,” si muka merah mendekati si putih yang berdiri kaku tanpa menyentuh
lantai.
‘Ah... sssssiii... siiia.... siapa... oo... rrra.... orang ini...?’ mata
pak Sarip tak mampu berkedip. Si putih dan si muka merah sudah saling bertatap
muka. Pak Sarip tak mampu terkejut lebih jauh, tangan kanannya masih membuka kotak
hitam yang terbuka.
Perlahan namun pasti, si
putih berubah dalam hitungan detik. Baju warna hijau, selendang kuning, kain
batik, dan rambut panjang hitam terurai. Tak lupa bibir merah delima
memantulkan cahaya lampu ruangan. Senyuman indah itu semakin memompa jantung
pak Sarip.
‘Trak...!!!’
‘Ting... cling... cling... tang...!’
Kotak hitam itu tak mampu
menahan gravitasi. Si hitam perlahan memunguti jarum merah delima dengan
paruhnya. Kotak hitam itu kini terlepas dari kayu penutupnya. Si hitam masih
memunguti jarum sambil mengepakkan sayap-sayapnya.
“Ratih...?” pak Sarip
melangkah tenang, senyuman itu terpancar indah. Si muka merah mulai menatap
wajah tua mantan dalang yang selama ini memainkannya untuk menghibur anak-anak.
“Harusnya kau membuka
kotak itu sejak pertama kali... kau terlambat Sarip,” si muka merah terbang
perlahan menghampiri si hitam yang berhasil memungut kembali jarum merah delima
dan menyimpannya pada kotak hitam yang berdiri bebas di atas lantai.
“Kau tak mampu membaca
pikiran nenek yang kau temui dulu... bersama kekasihmu Ratih.” Si muka merah
melirik Ratih yang menunduk. “Harusnya kau membuka kotak hitam itu. Kau
menerima kutukan atas perjanjian setan selama tiga puluh tahun ini. Apa kau
tidak sadar...?”
“Maksudmu...?”
“Apa kau tahu siapa yang
membunuh keenam sinden kesayanganmu...? keenam anggota keluargamu...? kau
tahu... hah?!” si muka merah tepat berada di wajah pak Sarip yang terpaku.
“Kaulah yang membunuh mereka!!! Kau yang menyebabkan mereka mati...! kau semua
yang melakukannya...!”
‘Gak... wrak... wrak...!’
‘Klepar... klepar...,’
Kepakan sayap si hitam
menyetujui kalimat-kalimat yang terlontak dari si merah. Ratih masih tertunduk,
sesekali menggigit bibir merah delimanya yang manis. Hanya mampu terpaku pada
lantai putih kusam yang diinjaknya.
“Aku...?”
“Ya... kau Sarip! Harusnya
kau membuka kotak hitam itu dan mengakhiri kutukan ini di awal. Kau tak perlu
mengikuti perjanjian setan,” si muka merah menepuk bahu pak Sarip yang terpaku,
degup jantungnya pun terpompa kuat dan bebas. “Yang seharusnya kau lakukan
adalah membuka kotak hitam itu. Dan semuanya akan berakhir... namun kau tidak.
Kau membawa kekasihmu pada perjanjian setan yang tak kau sadari. Sekarang...
aku harus membawanya pulang!”
‘Hiks... hiks...,’
Ratih berderai. Entah antara
bahagia dan kecewa. Selama ini kebencian menyelimuti hatinya. Kebencian yang
berawal dari cinta dan terenggutnya mahkota kesucian itu. Ia membawa Sarip pada
kegelapan yang selama ini dialaminya. Ia melibatkan kekasihnya jauh lebih
dalam. Entah siapa yang harus dipersalahkan atas semua ini.
“Aku... yang... selama
ini...?”
“Sudahlah... aku akan
menjemputnya pulang. Dia sudah tenang di alam sana... lupakanlah dia!”
genggaman tangan kayu si muka merah begitu tajam. “Sekarang... kami harus
pergi,”
“Tunggu...!” Ratih
berhasil menyeka aliran air matanya.
“Aku... aku mencintaimu
Sarip... maafkan... maafkan... aku... maafkan aku Sarip... hiks... hiks...,”
‘Tap... tap... tap...,’
‘Kep...!’
‘Hiks... hiks... hiks...,’
“Aku mencintaimu Ratih...
maafkan aku,”
“Hiks... hiks... aku yang
seharusnya meminta maaf... hiks,”
Sang purnama masih
berpendar, kini ia tersenyum pada manusia-manusia bumi. Tiga puluh tahun itu
berlalu dengan tangisan kesedihannya.
“Ayo kita pergi...,”
‘Syut... set...!’
‘Wush!!!’
Si muka merah dan si hitam
berlalu dalam kilatan cahaya. Ratih masih dalam pelukan pak Sarip. Kulit kuning
langsatnya masih indah seperti dulu.
“Aku harus pergi...,”
Lambaian tangan mengawali
hilangnya kaki, badan, tangan, kepala dan seluruh tubuh Ratih berselimut
koloid-koloid hangat. Asap tangisan itu berlalu perlahan menyapa tubuh pak
Sarip yang hanya mampu terpaku.
“Tidak... tidak...!!!
Ratih...!!! Jangan pergi!!!”