BAB V
TULISAN BIRU DAN
GEMA RAMADHAN...
“Kang... kalau masih belum siap untuk
membacanya, mending disimpan saja dulu.” Kata Bayu yang kini sudah tepat berada
di depan Raden yang masih duduk termenung sambil memegang sepucuk surat yang
adiknya berikan.
‘Kak Bayu... tolong jagain kang Raden ya,’
‘Insya Allah dek... sudah menjadi kewajiban
kakak untuk menolong orang yang sudah banyak membantu kakak,’
Bayu terus memandang wajah Raden, ia
mulai kebingungan untuk memulai pembicaraan dengan seniornya pagi ini. Dan baru
kali ini ia melihat wajah murung Raden, wajah yang menatap kesedihan mendalam.
Bayu tidak lagi melihat aura positif seperti yang biasa seniornya pancarkan,
seakan menghilang karena sesuatu yang bisa saja mengubur segenap mimpi dan
harapan yang diusung.
“... Aku Insya Allah sudah siap!”
kata Rade mantap sambil beranjak bangkit dari duduknya.
Sebuah senyuman manis Bayu layangkan
kepada Raden, ia segera memeluk tubuh seniornya yang sudah berdiri tegak. Dari
ruang dapur tampak Febry terus memperhatikan keduanya, dan memang ia tidak
berani untuk beranjak menemui Raden yang terdiam cukup lama sambil memegang
sebuah surat.
“Kang...,”
“... Astaghfirullahaladzim...!!!”
Raden mulai tergugah dari lamunan
sesaatnya, ia pun mulai beranjak untuk masuk kedalam untuk merebahkan tubuhnya.
“Aku masuk dulu...,”
Langkah kaki Raden cukup pelan, ia
segera menyimpan surat yang ada di tangannya ke dalam tas. Cepat ia rebahkan
segenap tubuhnya agar merasa nyaman.
“Bayu... ssst!!!”
Bayu menoleh ke arah suara yang
memanggilnya.
“Ada apa Bry...?”
“Tadi kayaknya ada masalah serius?”
“Nggak ada apa-apa kok, cuma perasaan kamu aja...,”
Febry mengernyitkan dahinya, Bayu
sendiri mulai memasak sarapan yang kali ini menjadi gilirannya. Herman
menghampir Bayu sambil mengusap-ngusap kepalanya dengan handuk, ia baru saja menyelesaikan
mandi paginya.
“Kang, nggak biasanya Dian datang sepagi itu,
terus juga...,”
“Ada hal yang penting pastinya...,” potong
Bayu sesaat.
Herman mulai bingung,
“Nggak ada apa-apa kok Man, hmm… sempet-sempetnya
nanyain Dian?”
“… eh… maksudnya?!”
Bayu mulai tertawa sambil memasak,
Herman sendiri mulai menahan rasa malu. Sebenarnya Bayu sudah mengetahui yang sedang
dialami antara Herman dan adiknya, dan baginya hal itu tidak terlalu masalah
sepanjang keduanya tidak melakukan interaksi secara langsung.
“Aku sudah tahu semuanya Man, dari sikapmu... Kang Raden
juga pernah cerita beberapa waktu yang lalu,”
Herman mulai merasa malu,
“Jadi... semuanya udah pada tahu ya...?!”
“Man, wajar kalau laki-laki punya rasa
cinta buat seorang perempuan, karena seorang akhwat
itu adalah ibarat pelangi yang indah bagi ikhwan.
Aku juga pernah ngalamin waktu SMA dulu…,”
Bayu mulai bercerita tentang
kehidupan SMAnya, kehidupan yang jauh berbeda dengan yang sekarang ia rasakan. Ia sudah dua
kali pacaran, melakukan hal-hal yang tidak semestinya ia lakukan dengan bukan muhrim. Hari-harinya biasa dilalui
dengan pacarnya, malam mingguan, nonton di bioskop. Berpegangan tangan malah
sudah biasa dilakukan, bahkan ia hampir mencium bibir pacar yang kedua.
Untungnya saat itu ia segera menghentikannya, ada sesuatu hal yang mengganjal
pikirannya hingga ia tidak melakukan perbuatan yang konyol dan tercela itu.
Ia
dipertemukan dengan seorang ustadz setelah putus dengan pacar yang kedua oleh
kedua orang tuanya, dari beliaulah Bayu mulai mempelajari islam secara lebih
baik lagi. Meskipun terkesan terlambat mengingat ia sudah duduk di bangku kelas 3 SMA dan ia akan
segera lulus untuk melanjutkan kuliah, namun keyakinannya untuk menjadi lebih baik lagi
mampu mengalahkan segala emosi dan hawa nafsu yang bergejolak saat itu.
Ditambah dengan kondisi Dian yang sudah dibina oleh seorang ustadzah, Bayu merasa malu dengan
perbuatan yang selama ini ia lakukan sehingga membuat kedua orang tua begitu
kecewa melihat perilakunya yang sangat tidak baik.
“Kalau saja aku nggak ketemu sama kang Raden...
mungkin saja
sekarang kondisiku bisa kembali seperti dulu, karena aku yang sudah jauh dari
ustadz… terlebih kondisi kosanku yang dulu bisa saja membuatku kembali pada jalan yang salah. Aku sangat bersyukur
dipertemukan dengan kalian di Pesma
ini,
orang-orang yang saling mengingatkan untuk selalu berbuat baik dan lebih baik
lagi…,”
“Tapi... Dian kan adik akang...?!”
“Aku nggak pernah melarangmu jatuh cinta sama Dian bahkan siapa pun yang
jatuh cinta sama adikku… aku tidak akan pernah memberikan larangan kecuali
untuk memilikinya tanpa ikatan atau karena hawa nafsu semata. Terlebih… kamu juga kan sudah
mengerti mengenai
hijab[1]
seperti yang diajarkan oleh kang Raden, kalau Dian memang jodohmu… Aku sebagai
kakaknya Insya Allah akan merestui,”
“… Masih terlalu dini kang, lagian belum tentu
apa yang aku
harapkan bisa terwujud…,”
“Memang benar Man, segala sesuatu yang akan terjadi
sama sekali tidak akan pernah kita ketahui. Namun kita tidak boleh berhenti bermimpi,
karena sebuah hal besar berawal dari sebuah mimpi dan harapan. Meskipun
semuanya sudah diatur oleh Allah, tetaplah yakin bahwa kita mampu untuk
meraihnya, Insya Allah Dia akan
menunjukkan jalan terbaik bagi hamba-Nya yang senantiasa berusaha untuk
mencapai sesuatu.”
“Insya
Allah aku mengerti semua maksud kehidupan yang Allah tunjukkan kepada kita kang…,” sebuah senyuman kecil
mulai terpancar dari bibir Herman. Kali ini ia memiliki sebuah keinginan yang
cukup besar, menyempurnakan iman serta mengikuti sunnah Rasul. Meskipun pada
kenyataannya ia masih merasa masih belum waktunya.
Pagi ini ada hal yang terlewatkan,
entah apa yang terjadi dengan Raden. Herman dan Febry perlahan memperhatikan
Raden yang masih merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, Febry pun masih
belum berani mengajak seniornya berbincang-bincang seperti biasanya.
‘Jadi…
inikah tulisan yang harus aku baca?!’ ucap Raden dalam hatinya. Ia harus menahan
kesedihannya, mau tidak mau ia harus membacanya. Perlahan ia mulai mengeluarkan
amplop yang Dian berikan padanya dari dalam tas, ia pun merobek ujung amplopnya
secara perlahan. Kedua matanya mulai melihat satu per satu kata hingga kalimat yang
tertulis dalam kertas tersebut, tak terasa degup kencang jantungnya semakin
membuat Raden tak mampu untuk membacanya dengan tenang. Ada sebuah dan bahkan
banyak kalimat yang harus ia cerna secara bijak, terlebih surat ini mungkin
tidak diketahui oleh murabbinya yang
tak lain adalah ustadz Mukhlis, paman si penulis surat ini.
Teruntuk
seseorang yang banyak
mengajariku makna sebuah kehidupan…
Kang Raden
Di tempat yang penuh kedamaian…
Assalamu’alaykum Wr. Wb.
Sungguh malam ini terasa berat buat Sekar, seakan
tak kuasa lagi untuk mengungkapkan dengan kata-kata dan mungkin… tulisan
yang aku buat pertama kali untuk kang Raden disana terasa cukup untuk
mengungkapkan hal yang sulit untuk aku utarakan. Mohon maaf seandainya aku menuliskan
surat ini dengan lancang.
Dengan berat hati aku
harus menulis semua yang sekiranya sebagai ucapan terakhir untuk seorang ikhwan yang ‘mohon maaf’aku cintai
dalam hati,
orang selama ini menjadi pembimbing dan
sudah aku anggap kakak sendiri.
Sudah terlalu banyak aku menangis malam ini, dengan semua yang telah
terjadi.
Sungguh
aku sama sekali tidak menyangka ukhuwah yang selama ini kita jalani menjadi sebuah perasaan fitrah yang Allah berikan
yaitu sebuah cinta, dan inilah yang mungkin membuat aku lancing menuliskan
surat ini. Aku sekali lagi meminta maaf yang sebesar-besarnya. Kang… sejujurnya aku sama
sekali tidak bisa menerima semuanya, terlebih orang
yang menjadi suamiku nanti adalah… orang yang selama ini
mungkin sudah akang kenal baik. Namanya Ali, Ali Muamar Al-Fattah. Aku sama
sekali nggak menyangka orang tuaku menjodohkanku
dengannya. Kang… aku sama sekali tidak ingin dan tidak sanggup melihat akang menangis ketika membaca
semua tulisan ini, aku tidak mempunyai maksud untuk membuat akang bersedih
karena masalah yang sekarang aku
alami… karena semua yang dilakukan
oleh kedua orang tuaku.
Kang…
seandainya imanku tidak kuat, aku
ingin rasanya pergi dan hidup bersama akang ke tempat yang lain. Pasti akang
akan segera menolak permintaanku ini, karena memang sungguh bodoh jika aku meminta akang melakukan hal demikian.
Tapi apa mau dikata, aku… sama
sekali tidak bisa
menerima semua ini… aku tidak mau menikah dengannya!!! Aku tidak bisa menikah dengan orang yang sama
sekali tidak aku cintai.
Kang Raden
pernah berkata, bahwasanya semua diciptakan berpasangan.
Antara kebaikan dan keburukan, siang dan malam, indah dan jelek, amanah dan
khianat… ikhwan dan akhwat… agar kita semua mengerti maksud yang terkandung di
dalamnya, dan segala maksud penciptaan Allah SWT serta silih bergantinya siang
dan malam. Malam ini terasa bulan dan bintang menertawakan kepasrahan yang terjadi,
seakan mereka terus menekanku dengan segala macam perasaan yang yang membuatku
semakin kalut.
Kang...
aku sepertinya tidak mampu
untuk berkata apa-apa lagi,
sudah banyak air mata yang kutumpahkan
malam ini...
sebagai kalimat terakhir... Aku mencintai akang sepenuhnya, sampai
kapanpun... kang tolong bantu aku
untuk bisa menerima semua kenyataan yang terjadi. Bantu aku untuk semakin
menguatkan iman kepada Allah SWT.
Wassalam...
Anindya Sekar Arum
Tak terasa air mata mulai membasahi
pipi Raden. Ia harus merelakan perempuan yang ia cintai karena Allah harus menjadi milik
temannya, orang yang sama sekali tidak disadarinya akan menjadi suami Sekar
nantinya.
Tubuhnya semakin gemetar dan mendingin, degup jantung yang
tadi begitu kencang seakan mulai berhenti perlahan, ia tak mampu merasakan
sesuatu kali ini. Dengan sigap ia terus beristighfar
memohon ampunan-Nya, mencoba untuk membuat hatinya semakin tenang dan
damai.
‘Ya
Allah... Engkau
telah memberikan yang terbaik buat hamba-Mu, namun... sepertinya ini terasa sangat sulit untuk hamba-Mu ini
terima. Engkau telah memberi beberapa ujian yang cukup berat, sama seperti
Engkau mengambil nyawa Ayah hamba-Mu beberapa tahun yang lalu. Seandainya suatu
saat Engkau menakdirkan yang lebih baik… maka saat ini hamba hanya bisa
berdo’a, semoga… Engkau menjadikan mereka berdua keluarga yang Sakinah ma
Waddah wa Rahmah… Lindungilah mereka dengan
maghfirah-Mu, limpahkanlah segala rahmat dan karunia-Mu yang tiada henti untuk
mereka… Maha Suci Engkau Ya Allah, sungguh hamba-Mu ini termasuk orang yang
dzalim,’
Raden membiarkan hatinya untuk
berkata apapun yang diinginkan, ia sudah tidak bisa berpikir lagi. Segala
kalimat Tasbih,
Tahmid, Takbir, Tahlil ia ucapkan untuk menenangkan hatinya. Ia berusaha
agar segala godaan syetan tidak
merasuki pikirannya. Sebentar lagi Bulan Suci Ramadhan akan tiba, ia harus mempersiapkan segalanya
seperti tahun-tahun sebelumnya. Perlahan ia mengusap air matanya dan menyimpan
surat ini ke dalam tas. Ada banyak hal yang harus ia persiapkan, dan yang terpenting
adalah mengalihkan kesedihan yang dialaminya kali ini dengan membantu persiapan
Tabligh Akbar bersama Ustadz Mukhlis. Dan ia pun masih belum mengajak kelima
teman terbaiknya untuk berdiskusi bersama ustadz Mukhlis terkait kegiatan
tersebut.
‘Ya
Allah semoga Engkau memudahkan langkah-langkah kami...,’
‘Prang…!!!’
“Astagfhfirullahaladzim…!!!”
Sebuah gelas berisi teh manis yang
dibawa Sekar pecah, dengan cepat ia memungut pecahan gelas tadi dan membuangnya
ke tempat sampah di luar. Agaknya ia mulai memikirkan sesuatu, terkait surat
yang semalam ditulisnya untuk Raden. Dengan segenap hati ia mencoba untuk menenangkan
diri sambil menyebut asma Allah beberapa kali.
“Tadi sepertinya ada suara gelas pecah…?!” tanya Sarah.
Sekar masih sibuk membersihkan
tugasnya, ia kembali masuk ke dalam dapur. Tiba-tiba Fani pun datang menghampiri
Sarah,
“Ada apa...? Perasaan tadi ada yang bilang
suara gelas pecah deh...,”
“Aku yang pecahin... maaf, tapi sudah aku bersihin kok.” potong Sekar.
“Hmm… lain kali hati-hati ya Sekar,” papar
Sarah.
Sekar mengangguk sambil tersenyum,
Sarah dan Fani kembali melakukan kegiatan yang sempat tertunda. Pagi ini adalah
giliran Sekar untuk melakukan pekerjaan dapur, namun ia tidak sengaja
memecahkan gelas minuman yang hendak ia rasakan nikmatnya. Ia akhirnya
memutuskan untuk membuat yang baru, kali ini untuk dinikmati bersama-sama
dengan teman sekontrakan yang lainnya. Ia kembali teringat akan
surat yang ia titipkan pada Dian untuk kang Raden, ia mulai gelisah dengan tanggapan
yang akan Raden berikan. Ia
mencoba untuk menahan kesedihan yang mulai kembali mendera, ia mengaduk gula
kedalam air panas yang sudah diberi teh celup perlahan, dilakukannya dengan
hati-hati agar kesalahan barusan tidak terulang kembali. Tidak hanya itu, ia pun
mengambil sebuah teko dan mulai membuat teh manis hangat untuk teman sekontrakan yang
lain.
Setelah shalat subuh ia mencoba untuk menghubungi murabbiahnya, ibu Ira, terkait dengan
segala permasalahan yang dihadapinya. Dari percakapan via handphone itu, tanggapan beliau agaknya lebih membuat Sekar untuk
meyakinkan hatinya bahwa Ali adalah yang terbaik, pilihan Allah untuknya dan
kasih sayang kedua orang tuanya kepada putri tercinta mereka.
‘Ana pernah merasakan sebuah perjodohan ukhti… namun gagal
karena dari pihak ikhwannya sendiri tidak menyetujui dengan beberapa alasan sehingga kami tidak
menikah. Memang rasanya sulit untuk menerima sesuatu yang tidak kita sukai, hanya
saja… boleh jadi apa yang kita sukai atau senangi adalah yang Allah benci dan
sebaliknya… hal yang ukhti benci malah yang terbaik disisi-Nya. Sekar… hidup
ini terlalu sebentar kalau diisi dengan keluhan, kesedihan, ratapan tanpa kita
melakukan sesuatu yang terbaik atau menerima segala keputusan-Nya…,’
‘Iya bu… Insya
Allah, aku berusaha untuk mengendalikan segala gejolak yang terus menganggu
pikiranku selama ini. Mohon do’anya saja agar aku bahagia menjalaninya…,’
‘Insya Allah…
jadilah akhwat tangguh yang mampu menguasai dirinya ketika masalah mendera,
mampu tersenyum ketika rasa sakit melanda, memberikan kehangatan meskipun
kesedihan terasa menyesakkan dada…,’
Pagi ini mungkin ia harus melupakan
semua yang telah berlalu, esok dan mungkin sebentar ia akan bertemu dengan
orang yang hendak melamarnya. Mau tidak mau ia harus siap menghadapi segala
kenyataan yang Allah berikan. Takdir untuknya telah ditentukan, dengan keyakinan ia
mencoba untuk melangkah menuju masa depan yang mungkin sesuatu akan terjadi
tanpa disadari.
“Sekar…,”
Sekar menoleh ke arah suara yang
memanggilnya,
“Ya… ada apa Pi…?”
“Nggak kok, cuma ingin lihat keadaan kamu aja…,”
“Aku… baik-baik aja kok, seperti yang kamu lihat sekarang
ini saja. Hmm, udah
sarapan belum…? Oh iya, ini teh manis hangatnya… kalau mau minum ambil gelas aja,” kata Sekar sambil memegang
teko.
“Alhamdulillah
udah… pagi ini sarapan pagi yang Sekar buat rasanya sangat spesial,”
“Masa sih…?” Sekar mulai keheranan dengan
pernyataan Oppie.
“Ya... seperti itulah, semalam... kamu mengalami hal
yang sangat menyedihkan, dan pagi ini... kamu seakan melupakan semua yang telah
terjadi. Aku
senang… sekali melihat keadaanmu yang sekarang Sekar… seperti Sekar yang biasanya,” kata Oppie sambil
tersenyum manis untuk
Sekar.
Sekar menghampiri temannya, perlahan
ia mulai memeluknya dan kembali ia menitikkan air mata.
“Pi... hiks...,”
“Aku ngerti kok Sekar, tapi… semua cobaan pasti akan berakhir,
bukannya kamu sering bilang
kaya gitu...? Sekar
orang spesial dan yang paling hebat diantara kami… oleh sebab itu kami yakin
kamu orang yang dapat mengarahkan kami yang masih belajar untuk memahami arti
sebuah kehidupan. Sekar… orang yang selalu membuat kami bangga karena
kehadirannya di tengah-tengah kami,”
Sekar masih menangis dalam
pelukannya, Oppie mengelus-elus kepala Sekar yang tertutup rapih dengan
kerudungnya perlahan. Ia harus membuat Sekar kembali ceria pagi ini, seperti
yang beberapa menit yang lalu ia lihat. Oppie menjadi orang yang Sekar hormati dan
terkadang mampu mengembalikan semangat Sekar yang pudar. Sosok sahabat yang
mampu mengembalikan keceriaan Sekar ketika masalah datang silih berganti.
“Calon psikiater kok cengeng sih…?!”
Sekar mulai melepaskan genggamannya,
“Siapa…??? Nggak kok…,”
Oppie mulai tersenyum, ia mengusap
air mata yang membasahi pipi Sekar. Tubuh Oppie lebih tinggi dibandingkan
dengan Sekar, jadi ketika berpelukan, mereka tampak seperti seorang ibu dan anaknya. Selain itu, Oppie
adalah orang yang pertama kali dikenalnya ketika baru menjajaki tanah
Jatinangor ini. Sebelum mereka memutuskan untuk mengontrak rumah, mereka berdua
menyewa kamar kos di tempat yang sama. Banyak hal yang mereka lakukan, banyak
cerita yang silih berganti menghiasi hari-hari diantara keduanya, sampai
akhirnya bertemu dengan Sarah dan Fani serta memutuskan untuk mengontrak sebuah
rumah. Kendati Fani dan Oppie satu fakultas, namun sebelumnya mereka belum akrab.
Sarah yang mengenalkan Fani kepada mereka berdua, timbullah nuansa kekeluargaan
diantara mereka berempat sampai kehadiran Dian yang semakin menguatkan ukhuwah diantara mereka.
“Sekarang... lanjutin tugasnya ya,”
“…,” Sekar mengangguk sambil tersenyum.
Keduanya mulai mengerjakan tugas masing-masing, Oppie kembali menyelesaikan kegiatan
menyapu teras depan. Pagi yang dijalani dengan semestinya, harapan yang selalu
diinginkan oleh Sekar, melalui hari-hari bersama dengan teman sekontrakannya.
Tinggal menunggu waktu, kapan semuanya akan segera berakhir dan berawal untuk menjalani hidup
baru. Ada
mimpi besar yang ia inginkan, sebuah keinginan agar mampu mencintai orang lain
karena Allah SWT, meskipun orang tersebut sama sekali tidak ia cintai. Perlahan
tapi pasti, ia mulai mengerti sebuah kalimat yang ia dengar dari Raden. Sesuatu
yang ia lakukan bersama teman sekontrakannya, ‘Tidak sempurna iman seseorang diantara kalian sehingga ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai diri sendiri’.[2]
‘Ya Allah… berikan
hamba-Mu kesempatan untuk dapat melakukan sesuatu yang terasa amat berat,
karena hamba-Mu yakin Engkau adalah sebaik-baik penolong.’
*****
‘Uhuk…uhuk…!!!’
Ibu mulai batuk lagi, Zahara bersama
Runi terus menemani beliau dan memenuhi beberapa permintaan beliau. Tubuh beliau cukup panas,
sementara Runi sendiri harus pergi ke sekolah untuk mengikuti bimbingan belajar bersama teman-temannya.
Zahara sendiri harus pergi ke masjid untuk belajar mengaji dengan Ustadz
Burhan.
“Aduh dek… gimana nih?! Mbak Runi harus pergi ke sekolah…,”
Adiknya pun cukup bingung untuk
bertindak apa,
“Uhuk… yo wis… ibu
ditunda dewekan bae, Runi… Zahara… mangkat bae belajar lan ngaji. Mbokmu iki
bisa dewekan, ngko diinum obate…[3] uhuk!!!”
Keduanya
menghampiri beliau, mereka bermaksud membawa beliau ke rumah dr. Ahmad.Beliau merupakan dokter yang
cukup mengenal baik keluarga ini, terlebih dengan almarhum ayah. Beliau juga dikenal
sangat baik dengan tetangga sekitar, beberapa kali beliau memberikan pengobatan gratis bagi
warga yang kurang
mampu untuk membeli obat karena sakit.
“Bu… kita ke dokter Ahmad saja…,”
“Iya Bu, biar diperiksa…” imbuh Zahara.
“... Zahara... Runi... kalian memang anak ibu
yang sangat baik, ibu... nggak apa-apa kok. Yo wis… pada
lunga bae nuntut elmu,[4] ibu
ditinggal saja… uhuk!!!”
Kendati demikian, mereka tetap memaksa ibu agar mau pergi ke rumah dokter
Ahmad. Zahara dan Runi memapah beliau keluar perlahan,
“… Lho, pengen
mendi?”[5]
Tanya Pak RT yang kebetulan lewat mengendarai sepeda motor.
“Wis tek
anteraken ning bapak…!!!”[7]
Pak RT langsung turun dari motornya,
beliau menghampiri mereka bertiga kemudian memapah Ibu mendekat ke arah
motornya yang diparkir di depan gerbang rumah.
“Ra… kamu pergi mengaji saja ya, biar nanti
mbak yang nemenin ibu…,”
“… Nggak ah!!! Zahara juga mau ikut…!!!”
“Uhuk…!!! Ra… kamu pergi ngaji saja toh, biar
mbakmu yang bersama ibu. Kata ustadz Burhan kamu masih perlu melancarkan bacaan
Al-Qur’anmu…,” kata Ibu.
Zahara mulai cemberut, namun
akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti permintaan ibunya. Runi dan Ibu kemudian pergi ke rumah
dokter Ahmad dengan membonceng sepeda motor pak RT. Hanya membutuhkan waktu
sekitar 5 menit akhirnya mereka sampai di depan sebuah rumah yang tak lain adalah
rumah dokter Ahmad. Runi turun terlebih dahulu kemudian membantu ibu turun
dari sepeda motor, pak RT tetap ditempatnya untuk menjaga keseimbangan.
“Kalian masuk dulu, nanti bapak nyusul...,”
“Sebelumnya, makasih banyak pak RT sudah
repot-repot mengantar ibu...,” ucap Runi.
”Ya ora
pa-pa toh, karo tangga dewek ya kudu nulungi..”[8]
Runi langsung memapah ibu menuju
pintu depan rumah dokter Ahmad, sementara pak RT mulai memasukkan motornya ke halaman
depan rumah dokter. Runi langsung memencet bel, ibu sendiri duduk di kursi
teras sambil memegang tubuh beliau yang cukup panas.
‘Krek...’
“Eh dek Runi... ada yang bisa saya bantu?!” tanya dokter Ahmad
sesaat setelah membuka pintu rumahnya.
“Hmm, ini dokter... ibu... badan ibu panas
sekali terus juga beliau
batuk-batuk...,” terang Runi.
”Mana ibunya...?” tanya dokter sambil melihat-lihat
keluar dan menemukan ibu tengah duduk sambil terlihat menggigil.
”Ayo cepet masuk...!!!” kata dokter Ahmad.
Runi langsung memapah ibu untuk
masuk ke dalam, pak RT pun ikut membantu setelah selesai memarkirkan sepeda
motornya. Dokter Ahmad mulai menyiapkan peralatan medisnya di ruangan,
“Bisa panas gini sebelumnya habis ngapain
Bu...?!” tanya dokter sambil memeriksa denyut nadi ibu.
”Uhuk...
nda banyak kok, cuma sering di dapur saja buat
masak...,” jawab ibu sambil menahan batuknya.
”Mmm... sebelumnya pernah sakit yang seperti
ini?”
”Sekitar setahun yang lalu... saya juga pernah
dioperasi... uhuk!!!”
”Operasi...?!”
”Paru-paru saya kena kanker pak dokter...,”
potong ibu.
”Astaghfirullahaladzim...!!!”
Dokter Ahmad terkejut dan terdiam sesaat, ia
mulai mencari beberapa obat yang diperlukan. Sepertinya sakit yang pasiennya
derita sangat
serius dan membuatnya lebih berhati-hati dalam menentukan obat yang akan
diberikan. Terlebih masalah serius seperti ini bukan keahliannya, karena di
Rumah Sakit sendiri ia menjadi dokter ahli gizi bagi pasien yang dirawat disana. Dokter Ahmad mulai mencari
beberapa vitamin dan obat yang akan membantu menjaga stamina pasien, beberapa kali ia
harus memilih yang terbaik dan sesuai dengan kondisi pasien yang sekarang.
“Sudah pernah diperiksa lagi, Bu...?!”
“Belum... kebetuan selama ini kondisi saya alhamdulillah baik-baik saja dokter,”
“Mmm... mungkin saya cuma bisa memberi obat
yang bisa menyembuhkan batuk dan demam ibu dan juga beberapa vitamin untuk menjaga
stamina, tapi saya sarankan supaya cek kondisi paru-paru ibu ke Rumah Sakit agar tahu bagaimana
kondisinya pasca operasi. Barangkali gejala sakit yang sekarang dialami oleh ibu, karena pengaruh operasi tahun kemarin.”
Dokter langsung memberikan obat dan vitamin, menuliskan
dosis yang harus diminum pada bagian luar bungkus. Runi dan pak RT duduk
diruang tamu sambil minum segelas teh manis yang disediakan pembantu dokter
Ahmad.
Ibu keluar dari ruang periksa
bersama dokter Ahmad,
”Dek Runi... nanti tolong antarkan ibu ke Rumah Sakit kalau bisa,
saya mungkin cuma bisa memberikan beberapa obat dan vitamin yang Insya Allah meredakan demam dan batuk serta
menjaga stamina ibu...,”
”Ke... Rumah Sakit... dok?!” tanya Runi sambil
tercengang.
”Ya... supaya tahu lebih detail mengenai
kondisi ibu yang sebenarnya dan mendapatkan perawatan yang lebih baik.”
Runi memandang ke arah ibu yang
masih cukup menggigil, sementara pak RT mulai berpikir.
”Benar kata pak dokter... alangkah baiknya
kalau kamu antarkan ibu periksa ke rumah sakit, nanti... biar bapak yang antar nduk,” kata pak RT.
”Mmm, bagaimana kalau besok saya yang antar?
Kebetulan besok saya mau ke
Rumah Sakit...,” kata dokter Ahmad.
Runi pun menerima tawaran dokter
Ahmad sambil mengangguk, ibu sendiri masih menggigil karena suhu tubuh beliau yang
meningkat. Beberapa saat kemudian mereka bertiga kembali ke rumah. Dokter
Ahmad sendiri mulai merapihkan peralatan medisnya yang digunakannya tadi, dan juga
menuliskan sesuatu dalam buku catatan pasien yang tersimpan di atas meja
kerjanya.
“Pak RT, terima kasih banyak sudah
membantu...,” kata Runi.
“Sudah jadi kewajiban saya toh buat ngebantuin
tetangga yang butuh pertolongan... oh iya, jagain ibumu ya nduk. Dan juga, do’ain kakakmu... si Raden...,”
Runi mengangguk perlahan, ia pun
segera membayangkan wajah kakaknya yang kini masih berjuang untuk menyelesaikan
kuliahnya. Tak ayal sepeninggal ayah, sang kakak yang akhirnya membiayai
seluruh pengobatan ibu di rumah sakit. Pun juga membiayai sekolahnya dan juga Zahara.
“Bu...gimana
nih?!” tanya Runi
cukup cemas.
”Shalat ashar dulu...biar nanti kita bicarakan
lagi,” jawab ibu
datar-datar saja.
Mereka berdua langsung mengambil air
wudlu kemudian melakukan shalat ashar berjamaah, ibu sendiri yang menjadi
imamnya sambil sesekali menahan batuk. Runi semakin cemas melihat kondisi ibu yang demikian,
tiap kali beliau batuk, ia menahan air mata yang mulai membasahi pipinya.
Shalat ashar kali ini membuatnya semakin mengkhawatirkan keadaan ibunya.
‘Ya Allah… berilah
kesehatan bagi ibu, orang yang sangat kami sayangi.’
*****
Raden, Bayu dan Herman sedang berada
di Yomart, salah satu toko swalayan
yang berada di depan Koramil Jatinangor dan bersebelahan dengan Puskesmas Jatiangor. Kebetulan
ketiganya sedang berbelanja beberapa keperluan untuk menyambut datangnya Bulan
Suci Ramadhan, sesuai dengan kebutuhan selama seminggu.
”Sudah cukup kang...?” tanya Herman pada Raden.
”Mmm, Insya
Allah cukup... lagian kita jangan beli terlalu banyak, biar nanti sisa uangnya untuk
membeli keperluan yang mendadak.”
Bayu sendiri masih belum selesai memilih
beberapa makanan ringan, Herman dan juga Raden langsung menuju kasir untuk
membayar seluruh barang yang dibeli.
”Mana si Bayu...?”
”Masih belanja sepertinya kang, tadi kang Bayu
sibuk melihat-lihat makanan ringan...,”
”Oh...,”
Raden
dan juga Herman kembali melanjutkan langkah kaki menuju kasir.
”Seratus dua puluh lima ribu...,” kata penjaga
kasir.
Raden langsung mengeluarkan selembar
uang seratus ribu dan lima puluh ribu rupiah dalam dompetnya.
”Ini Teh...,” Raden mengulurkan tangannya dan
memberikan uang tersebut untuk membayar seluruh belanjaannya. Penjaga kasir
langsung memberi kembalian dari belanjaan tadi berikut struknya. Raden langsung
berjalan keluar dan menghampiri Herman yang sudah berdiri di samping sepeda
motor yang diparkir di depan.
”Kang Bayu masih belanja...???”
”Astaghfirullahaldzim...! Lupa...,” kata Raden sambil menepuk dahinya, ia
menitipkan belanjaan kepada Herman dan kembali ke dalam Yomart
untuk menghampiri Bayu.
Bayu sendiri masih asyik
melihat-lihat sambil membawa beberapa belanjaannya dalam keranjang, Raden
dengan cepat menemukannya tengah melihat-lihat makanan ringan.
”Bayu…! Sudah selesai?!” tanya Raden cukup keras.
”Eh... kang Raden, mmm.... sebentar lagi. Ini
lagi milih makanan ringan untuk Dian, tadi dia sms minta dibeliin.” jawab Bayu sambil cengengesan. Raden agak cemberut dibuatnya, ia kembali keluar dan
menghampiri Herman. Di depan juga ia menemui Rizal yang kebetulan lewat sini,
”Lho ada kang Raden juga...,”
”Bukannya tadi aku sudah bilang?”
potong Herman.
”Hah... kapan...?! Dari tadi aku nggak pernah nanya gitu deh...,” kata Rizal
sambil keheranan.
”Oh iya...,” Herman mulai sadar, sepertinya
sebelum bertemu Rizal ia sedang melamun.Beberapa saat kemudian, Bayu keluar
sambil membawa belanjaannya.
”Beres...?!” tanya Raden yang mulai agak menyindir.
”Mmm... kayaknya ada yang mulai pundung nih...?!” balas Bayu dengan ledekan, matanya sedikit melirik
ke arah Raden.
”Yeh... si kang Bayu ini...bukannya ditungguin
cepet malah mulai acara ledekan lagi...!!!” potong Herman.
”Iye, iye... maaf deh...,”
Herman dan juga Raden langsung
menyalakan mesin sepeda motor, Rizal membonceng Raden sementara Bayu membonceng
Herman. Mereka melaju cukup pelan, sambil sedikit meliuk diantara kerumunan
kendaraan yang memadati Jalan Raya Bandung-Sumedang sore ini. Sebulan penuh
kedepan mereka akan melalui Ramadhan, begitu pula kaum muslimin di seluruh
penjuru dunia. Mungkin Ramadhan kali ini adalah yang terakhir untuk Raden di Pesma, segala persiapan untuk sidang sudah
ia persiapkan dengan sangat matang, skripsinya yang berjudul “Aplikasi RMR System dan Q-Method[9]
Underground Mining Gunung Pongkor, Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat” sebenarnya sudah diselesaikannya
setahun yang lalu, dengan beberapa perubahan.
Sidang
yang tahun lalu tertunda akhirnya akan segera tiba beberapa bulan kedepan, ia
sendiri berencana sidang akhir tahun 2011 ini. Dosen pembimbingnya pun memberi saran untuk
mengambil studi atau kajian yang lain, mengingat ia sudah setahun menunda
sidang. Beliau khawatir Raden akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan
kajian tugas akhir yang tertunda. Raden sendiri mencoba untuk meyakinkan dosen pembimbingnya bahwa ia mampu untuk
menyelesaikan kuliah akhir tahun ini, dengan bekal tekad dan keyakinan kuat bahwa
Allah pasti memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar