Minggu, 25 Desember 2011

Cinta_Dua_Bidadari_Bab_5


BAB V
TULISAN BIRU DAN
GEMA RAMADHAN...

             “Kang... kalau masih belum siap untuk membacanya, mending disimpan saja dulu.” Kata Bayu yang kini sudah tepat berada di depan Raden yang masih duduk termenung sambil memegang sepucuk surat yang adiknya berikan.
             ‘Kak Bayu... tolong jagain kang Raden ya,’
             ‘Insya Allah dek... sudah menjadi kewajiban kakak untuk menolong orang yang sudah banyak membantu kakak,’
            Bayu terus memandang wajah Raden, ia mulai kebingungan untuk memulai pembicaraan dengan seniornya pagi ini. Dan baru kali ini ia melihat wajah murung Raden, wajah yang menatap kesedihan mendalam. Bayu tidak lagi melihat aura positif seperti yang biasa seniornya pancarkan, seakan menghilang karena sesuatu yang bisa saja mengubur segenap mimpi dan harapan yang diusung.
 “... Aku Insya Allah sudah siap!” kata Rade mantap sambil beranjak bangkit dari duduknya.
            Sebuah senyuman manis Bayu layangkan kepada Raden, ia segera memeluk tubuh seniornya yang sudah berdiri tegak. Dari ruang dapur tampak Febry terus memperhatikan keduanya, dan memang ia tidak berani untuk beranjak menemui Raden yang terdiam cukup lama sambil memegang sebuah surat.
             “Kang...,”
             “... Astaghfirullahaladzim...!!!”
            Raden mulai tergugah dari lamunan sesaatnya, ia pun mulai beranjak untuk masuk kedalam untuk merebahkan tubuhnya.
             “Aku masuk dulu...,”
            Langkah kaki Raden cukup pelan, ia segera menyimpan surat yang ada di tangannya ke dalam tas. Cepat ia rebahkan segenap tubuhnya agar merasa nyaman.
             “Bayu... ssst!!!”
            Bayu menoleh ke arah suara yang memanggilnya.
             “Ada apa Bry...?”
             “Tadi kayaknya ada masalah serius?”
             “Nggak ada apa-apa kok, cuma perasaan kamu aja...,”
            Febry mengernyitkan dahinya, Bayu sendiri mulai memasak sarapan yang kali ini menjadi gilirannya. Herman menghampir Bayu sambil mengusap-ngusap kepalanya dengan handuk, ia baru saja menyelesaikan mandi paginya.
             “Kang, nggak biasanya Dian datang sepagi itu, terus juga...,”
             “Ada hal yang penting pastinya...,” potong Bayu sesaat.
            Herman mulai bingung,
             “Nggak ada apa-apa kok Man, hmm… sempet-sempetnya nanyain Dian?”
             “… eh… maksudnya?!
            Bayu mulai tertawa sambil memasak, Herman sendiri mulai menahan rasa malu. Sebenarnya Bayu sudah mengetahui yang sedang dialami antara Herman dan adiknya, dan baginya hal itu tidak terlalu masalah sepanjang keduanya tidak melakukan interaksi secara langsung.
             “Aku sudah tahu semuanya Man, dari sikapmu... Kang Raden juga pernah cerita beberapa waktu yang lalu,”
            Herman mulai merasa malu,
 “Jadi... semuanya udah pada tahu ya...?!
             “Man, wajar kalau laki-laki punya rasa cinta buat seorang perempuan, karena seorang akhwat itu adalah ibarat pelangi yang indah bagi ikhwan. Aku juga pernah ngalamin waktu SMA dulu…,”
            Bayu mulai bercerita tentang kehidupan SMAnya, kehidupan yang jauh berbeda dengan yang sekarang ia rasakan. Ia sudah dua kali pacaran, melakukan hal-hal yang tidak semestinya ia lakukan dengan bukan muhrim. Hari-harinya biasa dilalui dengan pacarnya, malam mingguan, nonton di bioskop. Berpegangan tangan malah sudah biasa dilakukan, bahkan ia hampir mencium bibir pacar yang kedua. Untungnya saat itu ia segera menghentikannya, ada sesuatu hal yang mengganjal pikirannya hingga ia tidak melakukan perbuatan yang konyol dan tercela itu.
Ia dipertemukan dengan seorang ustadz setelah putus dengan pacar yang kedua oleh kedua orang tuanya, dari beliaulah Bayu mulai mempelajari islam secara lebih baik lagi. Meskipun terkesan terlambat mengingat ia sudah duduk di bangku kelas 3 SMA dan ia akan segera lulus untuk melanjutkan kuliah, namun keyakinannya untuk menjadi lebih baik lagi mampu mengalahkan segala emosi dan hawa nafsu yang bergejolak saat itu. Ditambah dengan kondisi Dian yang sudah dibina oleh seorang ustadzah, Bayu merasa malu dengan perbuatan yang selama ini ia lakukan sehingga membuat kedua orang tua begitu kecewa melihat perilakunya yang sangat tidak baik.
             “Kalau saja aku nggak ketemu sama kang Raden... mungkin saja sekarang kondisiku bisa kembali seperti dulu, karena aku yang sudah jauh dari ustadz… terlebih kondisi kosanku yang dulu bisa saja membuatku kembali pada jalan yang salah. Aku sangat bersyukur dipertemukan dengan kalian di Pesma ini, orang-orang yang saling mengingatkan untuk selalu berbuat baik dan lebih baik lagi…,
             “Tapi... Dian kan adik akang...?!”
             “Aku nggak  pernah melarangmu jatuh cinta sama Dian bahkan siapa pun yang jatuh cinta sama adikku… aku tidak akan pernah memberikan larangan kecuali untuk memilikinya tanpa ikatan atau karena hawa nafsu semata. Terlebih… kamu juga kan sudah mengerti mengenai hijab[1] seperti yang diajarkan oleh kang Raden, kalau Dian memang jodohmu… Aku sebagai kakaknya Insya Allah akan merestui,”
             “… Masih terlalu dini kang, lagian belum tentu apa yang aku harapkan bisa terwujud…,”
             “Memang benar Man, segala sesuatu yang akan terjadi sama sekali tidak akan pernah kita ketahui. Namun kita tidak boleh berhenti bermimpi, karena sebuah hal besar berawal dari sebuah mimpi dan harapan. Meskipun semuanya sudah diatur oleh Allah, tetaplah yakin bahwa kita mampu untuk meraihnya, Insya Allah Dia akan menunjukkan jalan terbaik bagi hamba-Nya yang senantiasa berusaha untuk mencapai sesuatu.
             “Insya Allah aku mengerti semua maksud kehidupan yang Allah tunjukkan kepada kita kang…,” sebuah senyuman kecil mulai terpancar dari bibir Herman. Kali ini ia memiliki sebuah keinginan yang cukup besar, menyempurnakan iman serta mengikuti sunnah Rasul. Meskipun pada kenyataannya ia masih merasa masih belum waktunya.
            Pagi ini ada hal yang terlewatkan, entah apa yang terjadi dengan Raden. Herman dan Febry perlahan memperhatikan Raden yang masih merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, Febry pun masih belum berani mengajak seniornya berbincang-bincang seperti biasanya.
            ‘Jadi… inikah tulisan yang harus aku baca?!’ ucap Raden dalam hatinya. Ia harus menahan kesedihannya, mau tidak mau ia harus membacanya. Perlahan ia mulai mengeluarkan amplop yang Dian berikan padanya dari dalam tas, ia pun merobek ujung amplopnya secara perlahan. Kedua matanya mulai melihat satu per satu kata hingga kalimat yang tertulis dalam kertas tersebut, tak terasa degup kencang jantungnya semakin membuat Raden tak mampu untuk membacanya dengan tenang. Ada sebuah dan bahkan banyak kalimat yang harus ia cerna secara bijak, terlebih surat ini mungkin tidak diketahui oleh murabbinya yang tak lain adalah ustadz Mukhlis, paman si penulis surat ini.
Teruntuk seseorang yang banyak mengajariku makna sebuah kehidupan
Kang Raden
Di tempat yang penuh kedamaian…
Assalamu’alaykum Wr. Wb.
            Sungguh malam ini terasa berat buat Sekar, seakan tak kuasa lagi untuk mengungkapkan dengan kata-kata dan mungkin… tulisan yang aku buat pertama kali untuk kang Raden disana terasa cukup untuk mengungkapkan hal yang sulit untuk aku utarakan. Mohon maaf seandainya aku menuliskan surat ini dengan lancang.
Dengan berat hati aku harus menulis semua yang sekiranya sebagai ucapan terakhir untuk seorang ikhwan yang ‘mohon maaf’aku cintai dalam hati, orang selama ini menjadi pembimbing dan sudah aku anggap kakak sendiri. Sudah terlalu banyak aku menangis malam ini, dengan semua yang telah terjadi.
            Sungguh aku sama sekali tidak menyangka ukhuwah yang selama ini kita jalani menjadi sebuah perasaan fitrah yang Allah berikan yaitu sebuah cinta, dan inilah yang mungkin membuat aku lancing menuliskan surat ini. Aku sekali lagi meminta maaf yang sebesar-besarnya. Kang… sejujurnya aku sama sekali tidak bisa menerima semuanya, terlebih orang yang menjadi suamiku nanti adalah… orang yang selama ini mungkin sudah akang kenal baik. Namanya Ali, Ali Muamar Al-Fattah. Aku sama sekali nggak menyangka orang tuaku menjodohkanku dengannya. Kang… aku sama sekali tidak ingin dan tidak sanggup melihat akang menangis ketika membaca semua tulisan ini, aku tidak mempunyai maksud untuk membuat akang bersedih karena masalah yang sekarang aku alami… karena semua yang dilakukan oleh kedua orang tuaku.
            Kang… seandainya imanku tidak kuat, aku ingin rasanya pergi dan hidup bersama akang ke tempat yang lain. Pasti akang akan segera menolak permintaanku ini, karena memang sungguh bodoh jika aku meminta akang melakukan hal demikian. Tapi apa mau dikata, akusama sekali tidak bisa menerima semua ini… aku tidak mau menikah dengannya!!! Aku tidak bisa menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku cintai.
            Kang Raden pernah berkata, bahwasanya semua diciptakan berpasangan. Antara kebaikan dan keburukan, siang dan malam, indah dan jelek, amanah dan khianat… ikhwan dan akhwat… agar kita semua mengerti maksud yang terkandung di dalamnya, dan segala maksud penciptaan Allah SWT serta silih bergantinya siang dan malam. Malam ini terasa bulan dan bintang menertawakan kepasrahan yang terjadi, seakan mereka terus menekanku dengan segala macam perasaan yang yang membuatku semakin kalut.
            Kang... aku sepertinya tidak mampu untuk berkata apa-apa lagi, sudah banyak air mata yang kutumpahkan malam ini... sebagai kalimat terakhir... Aku mencintai akang sepenuhnya, sampai kapanpun... kang tolong bantu aku untuk bisa menerima semua kenyataan yang terjadi. Bantu aku untuk semakin menguatkan iman kepada Allah SWT.
Wassalam...
Anindya Sekar Arum
            Tak terasa air mata mulai membasahi pipi Raden. Ia harus merelakan perempuan yang ia cintai karena Allah harus menjadi milik temannya, orang yang sama sekali tidak disadarinya akan menjadi suami Sekar nantinya. Tubuhnya semakin gemetar dan mendingin, degup jantung yang tadi begitu kencang seakan mulai berhenti perlahan, ia tak mampu merasakan sesuatu kali ini. Dengan sigap ia terus beristighfar memohon ampunan-Nya, mencoba untuk membuat hatinya semakin tenang dan damai.
             ‘Ya Allah... Engkau telah memberikan yang terbaik buat hamba-Mu, namun... sepertinya ini terasa sangat sulit untuk hamba-Mu ini terima. Engkau telah memberi beberapa ujian yang cukup berat, sama seperti Engkau mengambil nyawa Ayah hamba-Mu beberapa tahun yang lalu. Seandainya suatu saat Engkau menakdirkan yang lebih baik… maka saat ini hamba hanya bisa berdo’a, semoga… Engkau menjadikan mereka berdua keluarga yang Sakinah ma Waddah wa Rahmah… Lindungilah mereka dengan maghfirah-Mu, limpahkanlah segala rahmat dan karunia-Mu yang tiada henti untuk mereka… Maha Suci Engkau Ya Allah, sungguh hamba-Mu ini termasuk orang yang dzalim,
            Raden membiarkan hatinya untuk berkata apapun yang diinginkan, ia sudah tidak bisa berpikir lagi. Segala kalimat Tasbih, Tahmid, Takbir, Tahlil ia ucapkan untuk menenangkan hatinya. Ia berusaha agar segala godaan syetan tidak merasuki pikirannya. Sebentar lagi Bulan Suci Ramadhan akan tiba, ia harus mempersiapkan segalanya seperti tahun-tahun sebelumnya. Perlahan ia mengusap air matanya dan menyimpan surat ini ke dalam tas. Ada banyak hal yang harus ia persiapkan, dan yang terpenting adalah mengalihkan kesedihan yang dialaminya kali ini dengan membantu persiapan Tabligh Akbar bersama Ustadz Mukhlis. Dan ia pun masih belum mengajak kelima teman terbaiknya untuk berdiskusi bersama ustadz Mukhlis terkait kegiatan tersebut.
            ‘Ya Allah semoga Engkau memudahkan langkah-langkah kami...,’
*****
            ‘Prang…!!!’
             “Astagfhfirullahaladzim…!!!”
            Sebuah gelas berisi teh manis yang dibawa Sekar pecah, dengan cepat ia memungut pecahan gelas tadi dan membuangnya ke tempat sampah di luar. Agaknya ia mulai memikirkan sesuatu, terkait surat yang semalam ditulisnya untuk Raden. Dengan segenap hati ia mencoba untuk menenangkan diri sambil menyebut asma Allah beberapa kali.
             “Tadi sepertinya ada suara gelas pecah…?!” tanya Sarah.
            Sekar masih sibuk membersihkan tugasnya, ia kembali masuk ke dalam dapur. Tiba-tiba Fani pun datang menghampiri Sarah,
             “Ada apa...? Perasaan tadi ada yang bilang suara gelas pecah deh...,”
             “Aku yang pecahin... maaf, tapi sudah aku bersihin kok.” potong Sekar.
             “Hmm… lain kali hati-hati ya Sekar,” papar Sarah.
            Sekar mengangguk sambil tersenyum, Sarah dan Fani kembali melakukan kegiatan yang sempat tertunda. Pagi ini adalah giliran Sekar untuk melakukan pekerjaan dapur, namun ia tidak sengaja memecahkan gelas minuman yang hendak ia rasakan nikmatnya. Ia akhirnya memutuskan untuk membuat yang baru, kali ini untuk dinikmati bersama-sama dengan teman sekontrakan yang lainnya. Ia kembali teringat akan surat yang ia titipkan pada Dian untuk kang Raden, ia mulai gelisah dengan tanggapan yang akan Raden berikan. Ia mencoba untuk menahan kesedihan yang mulai kembali mendera, ia mengaduk gula kedalam air panas yang sudah diberi teh celup perlahan, dilakukannya dengan hati-hati agar kesalahan barusan tidak terulang kembali. Tidak hanya itu, ia pun mengambil sebuah teko dan mulai membuat teh manis hangat untuk teman sekontrakan yang lain.
            Setelah shalat subuh ia mencoba untuk menghubungi murabbiahnya, ibu Ira, terkait dengan segala permasalahan yang dihadapinya. Dari percakapan via handphone itu, tanggapan beliau agaknya lebih membuat Sekar untuk meyakinkan hatinya bahwa Ali adalah yang terbaik, pilihan Allah untuknya dan kasih sayang kedua orang tuanya kepada putri tercinta mereka.
‘Ana pernah merasakan sebuah perjodohan ukhti… namun gagal karena dari pihak ikhwannya sendiri tidak menyetujui dengan beberapa alasan sehingga kami tidak menikah. Memang rasanya sulit untuk menerima sesuatu yang tidak kita sukai, hanya saja… boleh jadi apa yang kita sukai atau senangi adalah yang Allah benci dan sebaliknya… hal yang ukhti benci malah yang terbaik disisi-Nya. Sekar… hidup ini terlalu sebentar kalau diisi dengan keluhan, kesedihan, ratapan tanpa kita melakukan sesuatu yang terbaik atau menerima segala keputusan-Nya…,’
 ‘Iya bu… Insya Allah, aku berusaha untuk mengendalikan segala gejolak yang terus menganggu pikiranku selama ini. Mohon do’anya saja agar aku bahagia menjalaninya…,’
 ‘Insya Allah… jadilah akhwat tangguh yang mampu menguasai dirinya ketika masalah mendera, mampu tersenyum ketika rasa sakit melanda, memberikan kehangatan meskipun kesedihan terasa menyesakkan dada…,’
            Pagi ini mungkin ia harus melupakan semua yang telah berlalu, esok dan mungkin sebentar ia akan bertemu dengan orang yang hendak melamarnya. Mau tidak mau ia harus siap menghadapi segala kenyataan yang Allah berikan. Takdir untuknya telah ditentukan, dengan keyakinan ia mencoba untuk melangkah menuju masa depan yang mungkin sesuatu akan terjadi tanpa disadari.
             “Sekar…,”
            Sekar menoleh ke arah suara yang memanggilnya,
             “Ya… ada apa Pi…?”
             “Nggak kok, cuma ingin lihat keadaan kamu aja…,”
             “Aku… baik-baik aja kok, seperti yang kamu lihat sekarang ini saja. Hmm, udah sarapan belum…? Oh iya, ini teh manis hangatnya… kalau mau minum ambil gelas aja, kata Sekar sambil memegang teko.
             “Alhamdulillah udah… pagi ini sarapan pagi yang Sekar buat rasanya sangat spesial,”
             “Masa sih…?” Sekar mulai keheranan dengan pernyataan Oppie.
             “Ya... seperti itulah, semalam... kamu mengalami hal yang sangat menyedihkan, dan pagi ini... kamu seakan melupakan semua yang telah terjadi. Aku senang… sekali melihat keadaanmu yang sekarang Sekar… seperti Sekar yang biasanya, kata Oppie sambil tersenyum manis untuk Sekar.
            Sekar menghampiri temannya, perlahan ia mulai memeluknya dan kembali ia menitikkan air mata.
             “Pi... hiks...,”
             “Aku ngerti kok Sekar, tapi… semua cobaan pasti akan berakhir, bukannya kamu sering bilang kaya gitu...? Sekar orang spesial dan yang paling hebat diantara kami… oleh sebab itu kami yakin kamu orang yang dapat mengarahkan kami yang masih belajar untuk memahami arti sebuah kehidupan. Sekar… orang yang selalu membuat kami bangga karena kehadirannya di tengah-tengah kami,
            Sekar masih menangis dalam pelukannya, Oppie mengelus-elus kepala Sekar yang tertutup rapih dengan kerudungnya perlahan. Ia harus membuat Sekar kembali ceria pagi ini, seperti yang beberapa menit yang lalu ia lihat. Oppie menjadi orang yang Sekar hormati dan terkadang mampu mengembalikan semangat Sekar yang pudar. Sosok sahabat yang mampu mengembalikan keceriaan Sekar ketika masalah datang silih berganti.
             “Calon psikiater kok cengeng sih…?!
            Sekar mulai melepaskan genggamannya,
             “Siapa…??? Nggak kok…,”
            Oppie mulai tersenyum, ia mengusap air mata yang membasahi pipi Sekar. Tubuh Oppie lebih tinggi dibandingkan dengan Sekar, jadi ketika berpelukan, mereka tampak seperti seorang ibu dan anaknya. Selain itu, Oppie adalah orang yang pertama kali dikenalnya ketika baru menjajaki tanah Jatinangor ini. Sebelum mereka memutuskan untuk mengontrak rumah, mereka berdua menyewa kamar kos di tempat yang sama. Banyak hal yang mereka lakukan, banyak cerita yang silih berganti menghiasi hari-hari diantara keduanya, sampai akhirnya bertemu dengan Sarah dan Fani serta memutuskan untuk mengontrak sebuah rumah. Kendati Fani dan Oppie satu fakultas, namun sebelumnya mereka belum akrab. Sarah yang mengenalkan Fani kepada mereka berdua, timbullah nuansa kekeluargaan diantara mereka berempat sampai kehadiran Dian yang semakin menguatkan ukhuwah diantara mereka.
             “Sekarang... lanjutin tugasnya ya,”
             “…,” Sekar mengangguk sambil tersenyum. Keduanya mulai mengerjakan tugas masing-masing, Oppie kembali menyelesaikan kegiatan menyapu teras depan. Pagi yang dijalani dengan semestinya, harapan yang selalu diinginkan oleh Sekar, melalui hari-hari bersama dengan teman sekontrakannya. Tinggal menunggu waktu, kapan semuanya akan segera berakhir dan berawal untuk menjalani hidup baru. Ada mimpi besar yang ia inginkan, sebuah keinginan agar mampu mencintai orang lain karena Allah SWT, meskipun orang tersebut sama sekali tidak ia cintai. Perlahan tapi pasti, ia mulai mengerti sebuah kalimat yang ia dengar dari Raden. Sesuatu yang ia lakukan bersama teman sekontrakannya, ‘Tidak sempurna iman seseorang diantara kalian sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai diri sendiri’.[2]
            ‘Ya Allah… berikan hamba-Mu kesempatan untuk dapat melakukan sesuatu yang terasa amat berat, karena hamba-Mu yakin Engkau adalah sebaik-baik penolong.’
*****
            ‘Uhuk…uhuk…!!!
            Ibu mulai batuk lagi, Zahara bersama Runi terus menemani beliau dan memenuhi beberapa permintaan beliau. Tubuh beliau cukup panas, sementara Runi sendiri harus pergi ke sekolah untuk mengikuti bimbingan belajar bersama teman-temannya. Zahara sendiri harus pergi ke masjid untuk belajar mengaji dengan Ustadz Burhan.
             “Aduh dek… gimana nih?! Mbak Runi harus pergi ke sekolah…,”
            Adiknya pun cukup bingung untuk bertindak apa,
             “Uhuk… yo wis… ibu ditunda dewekan bae, Runi… Zahara… mangkat bae belajar lan ngaji. Mbokmu iki bisa dewekan, ngko diinum obate…[3] uhuk!!!”
Keduanya menghampiri beliau, mereka bermaksud membawa beliau ke rumah dr. Ahmad.Beliau merupakan dokter yang cukup mengenal baik keluarga ini, terlebih dengan almarhum ayah. Beliau juga dikenal sangat baik dengan tetangga sekitar, beberapa kali beliau memberikan pengobatan gratis bagi warga yang kurang mampu untuk membeli obat karena sakit.
             “Bu… kita ke dokter Ahmad saja…,”
             “Iya Bu, biar diperiksa…” imbuh Zahara.
             “... Zahara... Runi... kalian memang anak ibu yang sangat baik, ibu... nggak apa-apa kok. Yo wis… pada lunga bae nuntut elmu,[4] ibu ditinggal saja… uhuk!!!”
            Kendati demikian, mereka tetap memaksa ibu agar mau pergi ke rumah dokter Ahmad. Zahara dan Runi memapah beliau keluar perlahan,
             “… Lho, pengen mendi?”[5] Tanya Pak RT yang kebetulan lewat mengendarai sepeda motor.
             “Niki Pak RT… Ibu sakit, kula sareng Zahara bade teng griyane dokter Ahmad…,[6]
             “Wis tek anteraken ning bapak…!!!”[7]
            Pak RT langsung turun dari motornya, beliau menghampiri mereka bertiga kemudian memapah Ibu mendekat ke arah motornya yang diparkir di depan gerbang rumah.
             “Ra… kamu pergi mengaji saja ya, biar nanti mbak yang nemenin ibu…,”
             “… Nggak ah!!! Zahara juga mau ikut…!!!”
             “Uhuk…!!! Ra… kamu pergi ngaji saja toh, biar mbakmu yang bersama ibu. Kata ustadz Burhan kamu masih perlu melancarkan bacaan Al-Qur’anmu…,” kata Ibu.
            Zahara mulai cemberut, namun akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti permintaan ibunya. Runi dan Ibu kemudian pergi ke rumah dokter Ahmad dengan membonceng sepeda motor pak RT. Hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit akhirnya mereka sampai di depan sebuah rumah yang tak lain adalah rumah dokter Ahmad. Runi turun terlebih dahulu kemudian membantu ibu turun dari sepeda motor, pak RT tetap ditempatnya untuk menjaga keseimbangan.
             “Kalian masuk dulu, nanti bapak nyusul...,
             “Sebelumnya, makasih banyak pak RT sudah repot-repot mengantar ibu...,” ucap Runi.
             ”Ya ora pa-pa toh, karo tangga dewek ya kudu nulungi..[8]
            Runi langsung memapah ibu menuju pintu depan rumah dokter Ahmad, sementara pak RT mulai memasukkan motornya ke halaman depan rumah dokter. Runi langsung memencet bel, ibu sendiri duduk di kursi teras sambil memegang tubuh beliau yang cukup panas.
            ‘Krek...
             “Eh dek Runi... ada yang bisa saya bantu?!” tanya dokter Ahmad sesaat setelah membuka pintu rumahnya.
             “Hmm, ini dokter... ibu... badan ibu panas sekali terus juga beliau batuk-batuk...,” terang Runi.
             ”Mana ibunya...?” tanya dokter sambil melihat-lihat keluar dan menemukan ibu tengah duduk sambil terlihat menggigil.
             ”Ayo cepet masuk...!!!” kata dokter Ahmad.
            Runi langsung memapah ibu untuk masuk ke dalam, pak RT pun ikut membantu setelah selesai memarkirkan sepeda motornya. Dokter Ahmad mulai menyiapkan peralatan medisnya di ruangan,
             “Bisa panas gini sebelumnya habis ngapain Bu...?!” tanya dokter sambil memeriksa denyut nadi ibu.
             ”Uhuk... nda banyak kok, cuma sering di dapur saja buat masak...,” jawab ibu sambil menahan batuknya.
             ”Mmm... sebelumnya pernah sakit yang seperti ini?”
             ”Sekitar setahun yang lalu... saya juga pernah dioperasi... uhuk!!!”
             ”Operasi...?!
             ”Paru-paru saya kena kanker pak dokter...,” potong ibu.
             ”Astaghfirullahaladzim...!!!”
            Dokter Ahmad terkejut dan terdiam sesaat, ia mulai mencari beberapa obat yang diperlukan. Sepertinya sakit yang pasiennya derita sangat serius dan membuatnya lebih berhati-hati dalam menentukan obat yang akan diberikan. Terlebih masalah serius seperti ini bukan keahliannya, karena di Rumah Sakit sendiri ia menjadi dokter ahli gizi bagi pasien yang dirawat disana. Dokter Ahmad mulai mencari beberapa vitamin dan obat yang akan membantu menjaga stamina pasien, beberapa kali ia harus memilih yang terbaik dan sesuai dengan kondisi pasien yang sekarang.
             “Sudah pernah diperiksa lagi, Bu...?!
             “Belum... kebetuan selama ini kondisi saya alhamdulillah baik-baik saja dokter,”
             “Mmm... mungkin saya cuma bisa memberi obat yang bisa menyembuhkan batuk dan demam ibu dan juga beberapa vitamin untuk menjaga stamina, tapi saya sarankan supaya cek kondisi paru-paru ibu ke Rumah Sakit agar tahu bagaimana kondisinya pasca operasi. Barangkali gejala sakit yang sekarang dialami oleh ibu, karena pengaruh operasi tahun kemarin.
            Dokter langsung memberikan obat dan vitamin, menuliskan dosis yang harus diminum pada bagian luar bungkus. Runi dan pak RT duduk diruang tamu sambil minum segelas teh manis yang disediakan pembantu dokter Ahmad.
            Ibu keluar dari ruang periksa bersama dokter Ahmad,
             ”Dek Runi... nanti tolong antarkan ibu ke Rumah Sakit kalau bisa, saya mungkin cuma bisa memberikan beberapa obat dan vitamin yang Insya Allah meredakan demam dan batuk serta menjaga stamina ibu...,”
             ”Ke... Rumah Sakit... dok?!” tanya Runi sambil tercengang.
             ”Ya... supaya tahu lebih detail mengenai kondisi ibu yang sebenarnya dan mendapatkan perawatan yang lebih baik.”
            Runi memandang ke arah ibu yang masih cukup menggigil, sementara pak RT mulai berpikir.
             ”Benar kata pak dokter... alangkah baiknya kalau kamu antarkan ibu periksa ke rumah sakit, nanti... biar bapak yang antar nduk,” kata pak RT.
             ”Mmm, bagaimana kalau besok saya yang antar? Kebetulan besok saya mau ke Rumah Sakit...,” kata dokter Ahmad.
            Runi pun menerima tawaran dokter Ahmad sambil mengangguk, ibu sendiri masih menggigil karena suhu tubuh beliau yang meningkat. Beberapa saat kemudian mereka bertiga kembali ke rumah. Dokter Ahmad sendiri mulai merapihkan peralatan medisnya yang digunakannya tadi, dan juga menuliskan sesuatu dalam buku catatan pasien yang tersimpan di atas meja kerjanya.
            “Pak RT, terima kasih banyak sudah membantu...,” kata Runi.
             “Sudah jadi kewajiban saya toh buat ngebantuin tetangga yang butuh pertolongan... oh iya, jagain ibumu ya nduk. Dan juga, do’ain kakakmu... si Raden...,”
            Runi mengangguk perlahan, ia pun segera membayangkan wajah kakaknya yang kini masih berjuang untuk menyelesaikan kuliahnya. Tak ayal sepeninggal ayah, sang kakak yang akhirnya membiayai seluruh pengobatan ibu di rumah sakit. Pun juga membiayai sekolahnya dan juga Zahara.
“Bu...gimana nih?!” tanya Runi cukup cemas.
             ”Shalat ashar dulu...biar nanti kita bicarakan lagi,” jawab ibu datar-datar saja.
            Mereka berdua langsung mengambil air wudlu kemudian melakukan shalat ashar berjamaah, ibu sendiri yang menjadi imamnya sambil sesekali menahan batuk. Runi semakin cemas melihat kondisi ibu yang demikian, tiap kali beliau batuk, ia menahan air mata yang mulai membasahi pipinya. Shalat ashar kali ini membuatnya semakin mengkhawatirkan keadaan ibunya.
            ‘Ya Allah… berilah kesehatan bagi ibu, orang yang sangat kami sayangi.’
*****
            Raden, Bayu dan Herman sedang berada di Yomart, salah satu toko swalayan yang berada di depan Koramil Jatinangor dan bersebelahan dengan Puskesmas Jatiangor. Kebetulan ketiganya sedang berbelanja beberapa keperluan untuk menyambut datangnya Bulan Suci Ramadhan, sesuai dengan kebutuhan selama seminggu.
             ”Sudah cukup kang...?” tanya Herman pada Raden.
             ”Mmm, Insya Allah cukup... lagian kita jangan beli terlalu banyak, biar nanti sisa uangnya untuk membeli keperluan yang mendadak.”
            Bayu sendiri masih belum selesai memilih beberapa makanan ringan, Herman dan juga Raden langsung menuju kasir untuk membayar seluruh barang yang dibeli.
             ”Mana si Bayu...?”
             ”Masih belanja sepertinya kang, tadi kang Bayu sibuk melihat-lihat makanan ringan...,”
            ”Oh...,”
Raden dan juga Herman kembali melanjutkan langkah kaki menuju kasir.
             ”Seratus dua puluh lima ribu...,” kata penjaga kasir.
            Raden langsung mengeluarkan selembar uang seratus ribu dan lima puluh ribu rupiah dalam dompetnya.
             ”Ini Teh...,” Raden mengulurkan tangannya dan memberikan uang tersebut untuk membayar seluruh belanjaannya. Penjaga kasir langsung memberi kembalian dari belanjaan tadi berikut struknya. Raden langsung berjalan keluar dan menghampiri Herman yang sudah berdiri di samping sepeda motor yang diparkir di depan.
             ”Kang Bayu masih belanja...???”
             ”Astaghfirullahaldzim...! Lupa...,” kata Raden sambil menepuk dahinya, ia menitipkan belanjaan kepada Herman dan kembali ke dalam Yomart untuk menghampiri Bayu.
            Bayu sendiri masih asyik melihat-lihat sambil membawa beberapa belanjaannya dalam keranjang, Raden dengan cepat menemukannya tengah melihat-lihat makanan ringan.
             ”Bayu…! Sudah selesai?!” tanya Raden cukup keras.
             ”Eh... kang Raden, mmm.... sebentar lagi. Ini lagi milih makanan ringan untuk Dian, tadi dia sms minta dibeliin.” jawab Bayu sambil cengengesan. Raden agak cemberut dibuatnya, ia kembali keluar dan menghampiri Herman. Di depan juga ia menemui Rizal yang kebetulan lewat sini,
             ”Lho ada kang Raden juga...,”
            ”Bukannya tadi aku sudah bilang?” potong Herman.
             ”Hah... kapan...?! Dari tadi aku nggak pernah nanya gitu deh...,” kata Rizal sambil keheranan.
             ”Oh iya...,” Herman mulai sadar, sepertinya sebelum bertemu Rizal ia sedang melamun.Beberapa saat kemudian, Bayu keluar sambil membawa belanjaannya.
             ”Beres...?!” tanya Raden yang mulai agak menyindir.
             ”Mmm... kayaknya ada yang mulai pundung nih...?!” balas Bayu dengan ledekan, matanya sedikit melirik ke arah Raden.
             ”Yeh... si kang Bayu ini...bukannya ditungguin cepet malah mulai acara ledekan lagi...!!!” potong Herman.
             ”Iye, iye... maaf deh...,
            Herman dan juga Raden langsung menyalakan mesin sepeda motor, Rizal membonceng Raden sementara Bayu membonceng Herman. Mereka melaju cukup pelan, sambil sedikit meliuk diantara kerumunan kendaraan yang memadati Jalan Raya Bandung-Sumedang sore ini. Sebulan penuh kedepan mereka akan melalui Ramadhan, begitu pula kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Mungkin Ramadhan kali ini adalah yang terakhir untuk Raden di Pesma, segala persiapan untuk sidang sudah ia persiapkan dengan sangat matang, skripsinya yang berjudul Aplikasi RMR System dan Q-Method[9] Underground Mining Gunung Pongkor, Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat sebenarnya sudah diselesaikannya setahun yang lalu, dengan beberapa perubahan.
Sidang yang tahun lalu tertunda akhirnya akan segera tiba beberapa bulan kedepan, ia sendiri berencana sidang akhir tahun 2011 ini. Dosen pembimbingnya pun memberi saran untuk mengambil studi atau kajian yang lain, mengingat ia sudah setahun menunda sidang. Beliau khawatir Raden akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan kajian tugas akhir yang tertunda. Raden sendiri mencoba untuk meyakinkan dosen pembimbingnya bahwa ia mampu untuk menyelesaikan kuliah akhir tahun ini, dengan bekal tekad dan keyakinan kuat bahwa Allah pasti memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar