Rabu, 14 Desember 2011

Cinta Dua Bidadari_Sebuah Novel bagian kedua


BAB II
LINGKARAN KECIL ITU
BERNAMA HALAQAH

            Sudah sekitar seminggu lamanya Raden tidak melakukan sesuatu, meskipun hanya sekedar mengisi waktu luang sebelum sidang nanti. Pun juga seminggu lamanya ia tidak berada di Pesma untuk mengerjakan beberapa laporan akhir maupun mengoreksinya bersama dosen pembimbing. Namun ia masih bisa menyempatkan waktu untuk berinteraksi dengan mahasiswa yang lain, pun juga teman satu halaqahnya[1]. Baginya waktu adalah sesuatu yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin, terlebih untuk menyampaikan ilmu maupun materi yang ia peroleh dari Ustadz Mukhlis, sang murabbi[2]. Orang yang banyak memberinya pengetahuan, khususnya dalam memperdalam ilmu agama yang biasa ia peroleh dari buku bacaan maupun guru mengajinya yang dulu semasa SMP. Lingkungan Islami yang dibentuk oleh keluarganya membuat sosok Ihsan menjadi lebih berkembang dan memahami berbagai kondisi umat terbaru, berikut bagaimana untuk terus berinteraksi sambil menyampaikan kebaikan meskipun hanya mengucapkan salam ataupun menyalami tangan teman-temannya sambil tersenyum.
            Semenjak sang Ayah tiada, rumah Ustadz Mukhlis adalah tempat terbaik untuk dikunjunginya setelah memperoleh berbagai ilmu dari Pesma. Menyambung tali silaturahim dan juga berdiskusi mengenai agama, dari apa yang ia baca untuk lebih diperdalam maupun untuk menjawab pertanyaan yang tidak mampu ia jawab dari adik-adik mentoringnya. Sejak itu pula pertemuan dengan Iyan, Febry, Bayu, Rizal dan Herman terjadi dan akhirnya mereka sepakat untuk mendaftarkan diri sebagai santri Pesma Ash-Shofwah atas rekomendasi sang murabbi.
            Ustadz Mukhlis dikenal sebagai sosok yang ramah, beliau seorang yang murah senyum dan pekerja keras. Setiap pagi pergi ke pesantren untuk mengajar santrinya di daerah di Pondok Pesantren Daarut Tauhid, membantu AA Gym untuk menyampaikan materi mengenai Tafsir Qur’an dan Hadist yang merupakan spesialisnya. Kemudian sore harinya ia sempatkan untuk datang ke Masjid Al-Huda maupun berkunjung ke Pesma Ash-Shofwah untuk bertemu ustadz Acep. Beliau adalah alumni program beasiswa Universitas Madinah-Saudi Arabia jurusan Tafsir dan Hadist, setelah sebelumnya nyantri di sebuah Pondok Pesantren yang ada di Jawa Tengah.
            “Assalamualaykum akhi…,”
            “Wawa’alaykum salam ustadz!”
            Raden sedikit terkejut dengan kedatangan Ustadz Mukhlis, ia baru saja menyelesaikan shalat asharnya dan sedang melantunkan dzikir. Orang tua itu mengenakan pakaian koko seperti biasanya, perlahan ia menghampirinya dan duduk tepat didepannya.
            “Apa kabar akhi Raden?” tanya Ustadz Mukhlis dengan nada cukup serak.
            “Alhamdulillah ustadz, saya baik-baik saja… hanya saja saya seperti merasa atau menghadapi kebingungan. Ada sebuah hal yang cukup mengganjal,
            Nada suara Raden seolah menyiratkan sesuatu yang ia pendam, sang Ustadz mulai tersenyum.
            “Apa yang membuat antum[3] bingung? Apakah ada sesuatu yang telah terjadi?”
            Raden terdiam sesaat, matanya tertuju pada karpet yang terbentang disepanjang ruangan dalam masjid itu, ia tertunduk untuk beberapa saat. Ustadz Mukhlis memegang pundaknya,
             “Bilang saja…. Jikalau memang ana[4] bisa membantu maka Insya Allah akan ana usahakan sebisa mungkin.”
            Nada tegas orang tua yang ada di depannya membuat Raden bangkit dari diamnya, perlahan ia memandang wajah ustadz Mukhlis cukup tenang, sebersit cahaya mulai muncul dalam rona wajah Raden. Agak segan memang untuk membicarakan sesuatu yang selama ini dipendamnya, terlebih hal ini berkaitan dengan sang murabbi.
            “Sebentar lagi saya memang akan menjalani proses sidang, tapi masih ada keraguan besar yang mulai membuat saya berpikir cukup keras saat ini. Sepertinya masih ada hal penting yang harus diselesaikan sebelum kota ini saya tinggalkan dan pergi mengamalkan ilmu serta melanjutkan dakwah. Ibu sudah lama meminta saya agar segera lulus dan bekerja.
            Namun kemarin malam beliau berkata demikian yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ‘Nak, kapan kamu akan menikah setelah kamu lulus? Kalau memang kamu sudah sanggup maka segeralah menikah, ibu sebenarnya ingin menimang cucu sebelum meninggal. Tapi… semua sudah ibu serahkan padamu nak…’ Itulah hal yang kini membuat saya bingung ustadz…,” kata Raden sambil menyampaikan pesan sang ibu yang biasa menggunakan bahasa Jawa, karena memang sang ibu berasal dari keluarga keturunan daerah Surakarta, Jawa Tengah.
            Raden kembali menundukkan kepalanya, sementara Ustadz Mukhlis mulai tersenyum.
            “Antum sudah punya bayang-bayang akhwat atau calon yang nantinya akan dikhitbah[5]?”
            Raden hanya menggelengkan kepala, sesaat matanya mulai memandang langit-langit dan kembali menunduk. Ada seseorang yang sebenarnya mengganjal hati dan pikirannya, hanya saja mungkin ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa. Orang itu cukup dekat dengan orang yang kini berada di depannya, ia pun seperti tidak mengetahui secara pasti dan perasaan yang fitrah itu kini membuatnya sulit untuk mengucapkan kata demi kata.
Ustadz Mukhlis terus memperhatikan Raden yang terus berdiam diri, beliau mulai memegang bahu kanan binaannya kembali.
            “Sebenarnya... saya... menyukai Sekar, Anindya Sekar Arum... keponakan ustadz.... maaf jika perkataan tadi sepertinya membuat ustadz tersinggung,
            Entah kenapa ia berkata sedemikian gamblangnya, bahkan ia takut jikalau ustadz Mukhlis tidak berkenan dengan perkataanya barusan.Sebaliknya sang ustadz kembali tersenyum,
            “Alhamdulillah, akhi... pilihanmu memang sangat tepat, semoga Allah memberikan kemudahan untuk antum. Terus terang ana setuju jikalau antum memang begitu mantap hendak melamar keponakan ana,orang tua mana yang bakal menolak lamaran orang sepertimu. Calon lulusan Geologi Unpad, pintar, saleh dan berperangai baik...,”
            “Tapi saya tidak terlalu baik seperti yang ustadz kira,” potong Raden beberapa saat.
            Ustadz Mukhlis kembali tersenyum, “Insya Allah ana akan membantu antum..., orang lain pasti akan berkata kalau Raden memang seorang yang hebat meskipun ia hanya berkata ‘aku bukanlah orang baik seperti yang mereka bilang’…
            Raden mulai bisa tersenyum, setitik cahaya cerah agaknya mulai tumbuh dalam hatinya. Perlahan ia mulai meneguhkan hatinya dan yakin kalau memang Sekar memang pilihan yang paling tepat dan juga ibunya pasti akan setuju dengan pilihannya. Karena perempuan yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk perempuan yang baik.
            “Assalamualaykum!!!”
            Beberapa orang menghampiri mereka berdua seraya mengucapkan salam. Yang tak lain adalah Febry, Iyan, Bayu dan Rizal.
Wa’alaykum salam…!”
Hari Jum’at sore adalah agenda kegiatan rutin halaqah bagi Raden dan kelima sahabat terbaiknya di Pesma. Agaknya untuk sore ini beliau tidak bisa menyampaikan materi yang lebih banyak. Ada beberapa tugas dari Pesantren yang perlu diselesaikan di rumah, dan juga membantu istrinya yang sedang menyelesaikan pekerjaan sebagai seorang dosen.
             “Assalamualaykum warahmatullahi wabarakatuh...,
seperti biasanya pada hari ini kita rutin dengan agenda liqo... serta berada dalam majelis ilmu-Nya, untuk semakin menambah keberkahan pertemuan kita sore ini marilah kita bersama membaca basmallah...” kata Bayu yang membuka halaqah sore ini.
            Yang lainnya saling membaca basmalah, kegiatan sore ini pun dimulai. Untuk selanjutnya sebagai pembuka mereka semua membaca mushaf, dimulai Iyan yang membaca surat Ar-Rahman, Febry membaca surat Al-Waqi’ah, Herman membaca surat Al-Hadid, Bayu membaca surat Al-Hasyr, kemudian Rizal membaca surat Al-Mujadilah. Raden sendiri membaca surat Yaasin. Ustadz sengaja menyuruh mereka membaca mushaf yang berurutan sementara Raden beliau bedakan. Sebenarnya masih ada satu lagi yang masih belum hadir, yakni Herman, yang akhirnya izin untuk tidak hadir halaqah sore ini harus pergi ke Bandung untuk bertemu dosen pengajar mata kuliahnya.
            Setelah semua selesai, sang murabbi mulai memberi beberapa materi. Kali ini adalah manajemen qalbu, persoalan yang sering dibahas Aa Gym yang juga rekan dakwahnya dalam setiap tausiyahnya. Ustadz Mukhlis membagikan beberapa buku tipis yang isinya mengenai pokok bahasan yang akan dikupas sore ini. Agaknya materi ini mengajak Raden untuk memantapkan hatinya agar terjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan, terus terang ustadz Mukhlis begitu gembira dengan kejujuran yang disampaikan oleh Raden sebelum liqo dimulai.
            “Baiklah, sekarang ana membagikan kepada antum buku-buku tersebut… silahkan antum baca, nanti salah seorang dari antum menyampaikan sesuatu dari apa yang telah dibaca. Antum ambil materi yang paling awal atau pokok bahasan paling awal dari buku-buku kecil yang ana bagikan…dan sekali lagi mohon maaf ana tidak bisa banyak menyampaikan materi sore ini karena ada sesuatu yang perlu dikerjakan…,
            “Oh ya ustadz, kenapa tidak sekarang saja ditunjuk salah seorang diantara kami yang mempresentasikan bahasan dari materi di buku yang dibaca?” pinta Iyan.
            “Mmm, bener juga ustadz…” imbuh Febry kemudian. Yang lainnya hanya mengangguk. Sementara ustadz Mukhlis hanya tersenyum kecil,
 “Bacalah terlebih dahulu, biar nanti ana yang putuskan…,”
            Akhirnya mereka semua mulai membaca, ustadz Mukhlis kemudian membaca mushaf sambil mengoreksi hafalan Al-Qur’an dan menunggu murid binaannya selesai membaca. Raden membaca perlahan, kalimat demi kalimat agar mudah dipahami, begitu pula dengan para juniornya. Perlahan ustadz Mukhlis memperhatikan sikap Raden, dari raut wajahnya tersirat keseriusan dan semangat kerja keras yang tak mengenal lelah. Wajah yang menyimpan potensi untuk merubah sesuatu menjadi lebih baik, mampu menguasai keadaan terutama hatinya, wajah yang memiliki tekad kuat serta menginspirasi yang lainnya. Wajah yang tidak pernah berubah sejak pertemuan pertama kali waktu itu.
            Ustadz Mukhlis teringat ketika pertama kali bertemu dengan Raden, tempat yang sama dengan kegiatan yang saat ini dilakukannya dan akhirnya diputuskan sebagai tempat berbagi ilmu selain di pesantren. Saat itu Raden tengah berdzikir sambil menitikkan air mata, seperti terjadi permasalahan yang cukup berat menimpanya. Beliau terus memperhatikan sikapnya yang semakin berbeda dari menit ke menit, air matanya terus mengalir tanpa henti. Seperti ada sesuatu yang dipendam, sebuah masalah yang cukup berat untuk dihadapi dan mungkin tantangan yang rumit untuk dilalui.
*****
            ‘Assalamualaykum akhi…,’
            ‘Wa’alaykum salam…,’
            Raden kembali melanjutkan dzikirnya, orang yang mengucapkan salam tersebut semakin mendekat kearahnya.
            Akhiana melihat antum sedemikian derasnya mengucurkan air mata? Apakah ada masalah yang cukup besar sehingga membuat antum demikian? orang yang mengucapkan salam itu langsung memulai pembicaraan dengan seseorang yang kini memang sedang bersedih sehingga menggunakan segenap emosinya untuk melantunkan dzikir kepada Sang Pencipta.
            Perlahan Raden mengusap air matanya, ia terus menyeka tangisnya, Apakah harus demikian sulitnya perjalanan hidup yang aku rasakan? Kenapa aku terus dilanda kesedihan dan kesulitan, seakan sulit untuk memperoleh solusi terbaik? Sementara diluar sana banyak orang yang sibuk dengan urusan duniawinya, seakan Allah tidak memberi secuilpun kesulitan…?
            Astaghfirullahaladzim… kenapa antum bisa begitu mudahnya mengatakan hal yang demikian? Apakah antum merasa Allah itu tidak adil?
            Orang yang menghampirinya tersenyum kecil, sementara Raden memandang beliau cukup yakin, Ya, pak !!! Allah tidak adil pada hamba-Nya termasuk aku yang sekarang ini…!!!
            Raden menjawab tegas pertanyaan tersebut. Orang itu memegang pundaknya seraya berkata,
            Akhi… pernahkan terbesit dalam pikiran antum bagaimana Rasul pilihan Allah mengalami permasalahan dan problem yang kompleks?! Ingatkah bagaimana orang-orang terdahulu, para pejuang yang gigih memperjuangkan kemerdekaan yang sekarang kita rasakan…  dengan tenang dan penuh kesabaran mereka semuanya menjalani ujian yang sedemikian berat sampai terasa sangat tidak mungkin berakhir apabila kita tahu seperti apa ujian yang Allah berikan untuk mereka… para pejuang kemerdekaan terdahulu, sahabat-sahabat Rasululullah… mereka rela tidak makan berhari-hari hanya untuk menyampaikan risalah Islam serta merebut kemerdekaan dari tangan para penjajah,”
            Orang itu mulai menitikkan air mata. Raden sedikit tertegun, ia kembali memandang orang yang baru pertama kali ia temui dengan seksama. Ada cahaya terang yang seakan menyinari kegelapan hatinya, dan memang saat ini hatinya tengah tertutup oleh emosi akibat rasa kehilangan. Dan rasa kehilangan ini semakin menusuk dan terus menggerogoti setiap persendian tulangnya selama seminggu.
            “Pak, mereka berbeda… Nabiyullah Muhammad Rasul pilihanpun juga para sahabat adalah orang-orang kuat... mereka berada pada kondisi yang sedemikian hebatnya dengan konflik… yang mempunyai hati yang kuat dan kewajiban membimbing umatnya ke jalan yang benar. Sama halnya dengan para pejuang kemerdekaan... mereka orang-orang yang begitu gigih untuk membela Negara dari belenggu penjajahan, bahkan aku sendiri yang dalam keadaan seperti itu Insya Allah akan berbeda. Tapi kali ini kenyataannya lain… aku hanya seorang manusia biasa yang tidak memiliki kekuatan apapun…,”
            Raden tak kuasa menahan tangisnya, ia tertunduk dan menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. Ia semakin tak sanggup lagi untuk menguasai dirinya yang semakin dipenuhi oleh emosi, sesuatu yang membuatnya tak mampu lagi untuk berpikir secara jernih.
            Memangnya mereka juga bukan manusia biasa seperti antum? Akhi, sekali lagi janganlah berkata seperti itu… Allah tidak memberikan ujian pada suatu kaum, kecuali sesuai dengan kesanggupannya[6]La yukallifullahu nafsan illa wus’aha... ujian yang antum alami sekarang mungkin rentetan keberhasilan yang nanti akan antum rasakan di hari kemudian, antum harus yakin kalau Allah akan terus memberikan rahmat dan pertolongan-Nya pada seorang hamba yang senantiasa bertasbih dan menyembah-Nya dengan penuh keyakinan.
            Ayah…,”
            Ucapan itu begitu mudahnya terucap dari mulut Raden yang tak tahan lagi ingin berteriak sekencang-kencangnya. Meluapkan segenap penyesalan, seluruh perasaan yang semakin memuncak dan memenuhi relung hatinya yang terdalam.
            Akhi, ceritakanlah masalah yang sekarang antum hadapiInsya Allah akan ana bantu.
Orang itu tersenyum sesaat, beliau duduk tenang di depan Raden yang masih menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.      
Hiks… Pak kenapa orang miskin terus dalam keadaan yang tetap padahal mereka berusaha untuk yang lebih baik serta diberi ujian sedemikian hebatnya… sementara diluar sana, orang-orang yang kaya dengan kerja sedikit malah menjadi semakin kaya padahal mereka terus menjauhi-Nya, keangkuhan dan keegoisan mereka seakan terus menjadi-jadi. Selain itu, Allah pun semakin mempermudah jalan bagi mereka untuk terus berbuat jahat dan bahkan mereka menyengsarakan rakyat… dan kenapa disaat kita ingin membuat orang tua kita bangga memiliki anak seperti kita, Allah segera memanggilnya untuk kembali sementara kita masih belum mampu membuat mereka bangga…?!”
            Manusia memiliki kecenderungan untuk mengatakan demikian, seakan mereka lupa akan segala rahmat yang selalu Allah berikan untuk hamba-Nya. Ketahuilah akhi, antum termasuk yang lebih beruntung dibandingkan mereka yang harus bertahan hidup dan mencari sesuap nasi yang rasanya sulit…., bahkan orang yang antum bilang kaya pun rasanya sangat jauh berbeda teutama kondisi kalbunya. Lihatlah orang-orang kaya disana, sepertinya Allah menutup hati mereka dari segala kebaikan, hidup bermewah-mewahan sementara yang lain kelaparan… sibuk mencari jabatan sementara yang lain begitu sulitnya mencari pekerjaan.”
            Orang itu terus memandangi Raden sambil tersenyum manis, beliau seperti menemukan potensi yang luar biasa pada diri pemuda yang memang sering shalat berjamaah di Masjid ini ketika waktu shalat Ashar tiba.
            Pak… aku tahu semua itu, tapi… aku tak mampu menahan kesedihan karena kehilangan seorang ayah yang paling aku sayangi… orang yang membanting tulang selama hidupnya untuk seluruh anggota keluarga termasuk aku sendiri!!!
            Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,”orang itu terdiam sesaat, sementara Raden terus mengalirkan air matanya yang seakan sulit untuk dibendung. Bibirnya terus bergerak seraya mengucapkan kalimat tasbih dan beristighfar sebanyak-banyaknya.
            Akhi... ternyata nasib kita sama,
            Raden terdiam sesaat, perlahan ia memandang lelaki tadi yang tersenyum kecil untuknya.
 Maksud bapak…?
            Jadi…saat ana ingin berbakti kepada beliau, keduanya berpulang ke Rahmatullah. Beliau yang paling ana sayangi mengalami kecelakaan saat pulang setelah menunaikan umrah, waktu itu… ana menunggu mereka di bandara bersama anggota keluarga yang lain… begitu mendengar kabar yang kurang baik… kami seperti disambar petir di siang hari, sesuatu yang di luar kekuasaan hingga akhrinya membuat ana dalam keadaan yang sekarang, yatim piatu... ana sudah tidak punya kedua orang tua lagi sejak berumur lima belas tahun,
            Hati Raden seakan tidak percaya, seakan ada gejolak batin yang amat dalam. Orang yang kini berada dihadapannya tidak begitu menampakkan kesedihan yang mendalam dan hanya beliau simpan dalam hati saja. Hati Raden berkata sekilas mengenai ketegaran dari kalimat yang ia dengar, sebuah kalimat sakti yang mulai memotivasi dirinya untuk menjadi lebih tegar lagi menghadapi ujian yang Allah berikan.
            Akhi… sebagai sesama orang yang ditinggal oleh orang tua, alangkah baiknya kita selalu mendoakan mereka yang sudah kembali kepada Allah SWT. Semoga segala amal ibadah mereka yang dilakukan di dunia diterima oleh Allah SWT, segala kesalahan yang dilakukan oleh orang tua kita diampuni oleh-Nya…,”
            Pak... sungguh baru kali ini aku melihat seorang yang begitu tabah menghadapi cobaan... aku lebih banyak menyaksikan seseorang layaknya artis sinetron yang dengan mudahnya memainkan peran kesedihan palsu dari seorang sutradara yang membuat skenario untuk sebuah acara di televisi,
            Allahlah yang membuat ana demikian, awalnya... ana juga sangat tidak menerima semua yang telah terjadi. Tapi... pesan terakhir yang beliau tinggalkan ketika hendak berangkat ke umrah membuat ana bisa menerima segalanya. Potong orang itu sambil menunjuk ke arah langit-langit.
            Sudah cukup lama mereka berdua berbincang, waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Raden mulai duduk tenang namun masih menundukkan kepalanya, seakan berat rasanya untuk mengangkat kepala dan menatap masa depan serta menerima kenyataan yang terjadi. Masih sangat sulit baginya untuk menerima ketentuan yang Allah gariskan untuknya, ia seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Kehilangan arah serta tujuan hidup yang pasti. Padahal sosok almarhum ayah adalah seorang yang penuh dedikasi tinggi, semangat untuk menjadi lebih baik yang menginspirasi serta yang menjadi panutan bagi warga sekitar karena keyakinannya kepada Sang Khalik padahal beliau bukanlah seorang lulusan Pondok Pesantren. Namun memang benar adanya apabila ilmu agama itu tidak hanya dimiliki atau dikuasi para santri saja, karena ilmu Allah begitu luas dari terhampar begitu bebas di bumi untuk manusia pelajari dan amalkan.
            Kalau boleh tau... pesan seperti apakah yang membuat bapak demikian?
            Orang itu hanya tersenyum kecil,
 Datanglah ke Pondok Pesantren Daarut Tauhid, antum pasti tahu sosok ustadz bernama AA Gym...?! kebetulan ana salah seorang staf pengajar disana, jadi...Insya Allah ana akan banyak membantu antum untuk memahami hakikat kehidupan yang Allah gariskan. Oh ya, afwan ana lupa mengenalkan diri... Mukhlis...!
            Raden mengulurkan tangan kanannya,
 Raden... jadi, bapak seorang ustadz di DT?! Subhanallah... saya kebetulan biasa mendengarkan ceramah AA Gym yang begitu menyentuh, dan nggak nyangka... ternyata bapak juga pengajar santri disana,
            Alhamdulillah akhi, mungkin ini jalan yang sudah Allah takdirkan buat ana...,
             “Kebetulan saya juga pernah ikutan ceramah bersama teman-teman di DT, sekaligus ikut Shalat Tahajjud berjamaah. Subhanallah...,”
            Orang yang bernama Mukhlis seperti yang baru saja dikenal oleh Raden langsung bangkit, kemudian pergi seraya mengucapkan salam sambil tersenyum manis. Raden terus memandang ke arah bapak-bapak yang membuatnya termotivasi untuk menjadi lebih kuat lagi dalam menghadapi dinamika kehidupan, hatinya masih menyimpan beberapa pertanyaan. Ia mengusap mukanya yang sudah dibasahi oleh air mata,ia pun menuju tempat wudlu dan mencuci mukanya. Keyakinan kuat mulai tumbuh dalam hatinya, seakan sebuah hal baik mulai terpikirkan serta solusi kedepan mulai mencerahkan kalbunya yang selama ini diliputi kesedihan yang mendalam.
            ‘Bismillah...,’
            Kakinya mulai mengajak keluar, ia pergi meninggalkan masjid dan bermaksud kembali ke kosan yang memang jauh dari masjid ini. Perjalanannya ditemani awan yang memerah di ufuk barat sana, suasana jalan pun menjadi sangat ramai seperti yang biasa ia temui setiap hari. Di tempat yang lain, ustadz Mukhlis terus memperhatikan seseorang yang baru pertama kali ia temui dari kejauhan. Beliau tersenyum sesaat dan wajahnya tampak begitu cerah setelah menemui seorang Raden yang baru saja dikenalnya. Beliau pun segera masuk kedalam gang yang mengarah ke rumahnya, suatu hal yang tidak terduga dan akan menjadi rangkaian cerita mengenai perjalanan hidup yang kedepannya akan ia torehkan bersama seorang pemuda yatim yang baru saja dikenalnya.
            Akhi, ana yakin antum dapat melalui setiap cobaan yang Allah berikan... semua... tersirat dalam wajah dan kerut dahi antum...subhanallah… ternyata Engkau mempertemukan hamba-Mu dengan seseorang yang senantiasa mengingat-Mu setiap saat,
            Para malaikat diatas sana seakan mendoakan setiap hela nafas dan langkahnya untuk terus berada dijalan-Nya. Tempat itu pun akhirnya yang mempertemukan seluruh pemuda yang kini dibimbingnya dalam majelis ilmu yang dirahmati Allah, Masjid Al-Huda.
*****
            “Pak ustdaz...,”
            “Astaghfirullahaladzim...!!!”
            Ustadz Mukhlis langsung menutup mukanya, sementara binaannya terus memperhatikan beliau yang melamun untuk beberapa menit sambil memegang mushaf. Entah apa yang kini beliau pikirkan, sebuah perjalanan masa lalu yang kembali tersirat.
            “Sudah selesai...?”
            “Kami bahkan menunggu ustadz yang sejak tadi terdiam, afwan sebenarnya... apa yang sedang ustadz pikirkan?”
            Pertanyaan Iyan agaknya membuat beliau malu, sementara binaannya seakan agak menahan rasa ingin tertawa. Raden sendiri terus tersenyum melihat sikap murabbinya beberapa menit yang lalu.
            “Afwan, mungkin ana agak sedikit lelah. Tapi...,”
            “Kalau begitu... mendingan ustadz istirahat sajaafwan,” potong Bayu.
            “... Melihat kondisi ustadz yang seperti ini, rasanya kami yakin kalau ustadz sedang dalam kondisi kurang vit. Lebih baik...,”
            “Tidak apa-apa kok, ilmu yang ana ajarkan belum antum semuanya terima...Insya Allah ana akan baik-baik saja,
            Semuanya terdiam sesaat, mulai memandang wajah ustadz Mukhlis cukup serius. Terlebih Raden yang memang lebih akrab dengan beliau dibandingkan dengan yang lainnya.
            “Hmm… gimana kalau besok sore saja kita lanjutkan pertemuan kali ini? Saya disini mencoba untuk mengajukan pendapat saja, yang mungkin akan ada pilihan atau masukan dari yang lainnya…,
            Ajakan Raden belum sepenuhnya mereka respon, disamping itu ustadz Mukhlis nampaknya cukup mengalami kelelahan. Beliau memang sengaja tidak banyak cerita kepada binaannya yang cukup semangat untuk menerima kembali materi yang hendak beliau sampaikan. Agenda kegiatan di Pesantren Daarut Tauhid cukup menyita waktu dan tenaganya selamanya tiga hari ini. Persiapan untuk Tabligh Akbar yang akan disiarkan langsung oleh salah satu stasiun televisi swasta nasional membuat beliau dan para santri mempersiapkan segalanya dengan sebaik mungkin. Dan memang sengaja beliau tidak menceritakan hal ini kepada para binaannya yang kini sedang menunggu materi terbaik sebagai bekal agama mereka. Kewajiban untuk menyampaikan ilmulah yang akhirnya membuat rasa lelah yang beliau alami berubah menjadi energi semangat yang tak terbatas ruang dan waktu.
            “Baiklah... Insya Allah pertemuan kita akan dilanjutkan besok sore dengan tempat yang sama. Sebagai penutup mari kita membaca do’a penutup majelis...,” kata ustadz Mukhlis.
Raden dan para juniornya mulai beranjak perlahan untuk kembali Pesma, sementara ustadz Mukhlis langsung pamit pulang mengendarai sepeda motor Hondanya yang diparkir di halaman depan masjid. Beliau mulai mengusap wajahnya dengan sapu tangannya perlahan, dan mulai menyalakan mesin sepeda motor untuk segera menuju rumah dan menenangkan pikirannya serta membuat tubuh lebih nyaman kembali. Hari ini cukup membuat beliau lelah, dan pastinya mengecewakan Raden dan teman-temannya yang begitu semangat menanti tausiyah yang biasa beliau berikan sebagai bekal ilmu.
            “Kang, kok tumben ya ustadz Mukhlis kayak sakit gitu...? padahal sebelumnya beliau tampak sehat-sehat aja,”
Perkataan Iyan mulai membuat Raden sedikit terkejut,
 “Keadaan seseorang siapa yang tahu?”
            Sore ini mereka lalui dengan tenang, begitu pula dengan Raden. Ia teringat perkataan ustadz Mukhlis sesaat sebelum menstarter sepeda motornya,
 “Datang saja ke rumah ana kalau antum ingin bicara lebih banyak soal yang tadi... ana juga sebenarnya ada sesuatu yang ingin disampaikan,”
              Raden teringat dengan pembicaraan diawal sebelum kegiatan halaqah dimulai. Agaknya selain keinginan untuk segera lulus kuliah tahun ini, keinginan memiliki seorang pendamping hidup mulai terbesit dalam benaknya. Segalanya ia serahkan kepada Yang Maha Kuasa, disamping ikhtiar untuk melakukan hal terbaik untuk mencapai tujuan yang mulia karena Allah Ta’ala.


[1] Mentoring, pada semester awal biasanya diadakan kegiatan mentoring oleh pihak ROHIS atau Lembaga Syiar Fakultas dengan nama Mentoring Al-Islam, berlangsung selama satu semester. Mentoring pun berjalan sesuai dengan mata kuliah agama Islam, dimana nilai mentoring masuk komponen nilai mata kuliah Agama Islam pada sks. Selanjutnya kegiatan mentoring dinamakan ‘Mentoring Lanjut’ yang oleh beberapa Fakultas dinamakan halaqah yang biasanya disebut dengan ‘Liqo’. Materi yang diberikan pada fase Liqo lebih mendalam daripada materi dasar saat mentoring Al-Islam, dimana mereka akan dikenalkan mengenai medan dakwah berikut tantangan dan hambatannya, pun juga pembekalan tsaqafah islamiyah penunjang syiar Islam di lingkungan kampus dan bahkan di luar kampus sekalipun.
[2]Sama dengan kakak pementor saat kegiatan Mentoring awal (Mentoring Al-Islam), bisa ustadz/ustadzah ataupun kakak senior yang lebih paham mengenai agama. Murabbi/murabbiah tidak hanya berperan sebagai seorang ustadz/ustadzah, tapi juga sebagai seorang ayah, kakak, ibu sehingga beberapa peserta halaqah banyak mencurahkan berbagai permasalahan yang dihadapi kepada sosok penuh dedikasi yang begitu ikhlas membimbing agama bagi adik mentor atau mutarabbinya.
[3] Anda, kalian, kamu
[4] Saya
[5] Dilamar
[6] Al-Baqarah ayat 286

Tidak ada komentar:

Posting Komentar