BAB II
LINGKARAN KECIL ITU
BERNAMA HALAQAH
Sudah sekitar seminggu lamanya Raden tidak melakukan
sesuatu, meskipun
hanya sekedar mengisi waktu luang sebelum sidang nanti. Pun juga seminggu lamanya ia
tidak berada di Pesma untuk
mengerjakan beberapa laporan akhir maupun mengoreksinya bersama dosen
pembimbing. Namun ia masih bisa menyempatkan waktu untuk berinteraksi dengan
mahasiswa yang lain, pun juga teman satu halaqahnya[1]. Baginya waktu adalah
sesuatu yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin, terlebih untuk menyampaikan ilmu maupun materi yang ia peroleh
dari Ustadz Mukhlis, sang murabbi[2]. Orang yang banyak memberinya
pengetahuan, khususnya dalam memperdalam ilmu agama yang biasa ia peroleh dari
buku bacaan maupun guru mengajinya yang dulu semasa SMP. Lingkungan Islami yang dibentuk oleh
keluarganya membuat sosok Ihsan menjadi lebih berkembang dan memahami berbagai
kondisi umat terbaru, berikut bagaimana untuk terus berinteraksi sambil menyampaikan
kebaikan meskipun hanya mengucapkan salam ataupun menyalami tangan
teman-temannya sambil tersenyum.
Semenjak sang Ayah tiada, rumah
Ustadz Mukhlis adalah tempat terbaik untuk dikunjunginya setelah memperoleh
berbagai ilmu dari Pesma. Menyambung tali
silaturahim dan juga berdiskusi mengenai agama, dari apa yang ia baca
untuk lebih diperdalam maupun untuk menjawab pertanyaan yang tidak mampu ia
jawab dari adik-adik mentoringnya. Sejak itu pula pertemuan dengan Iyan,
Febry, Bayu, Rizal dan Herman terjadi dan akhirnya mereka sepakat untuk mendaftarkan
diri sebagai santri Pesma Ash-Shofwah
atas rekomendasi sang murabbi.
Ustadz Mukhlis dikenal sebagai sosok
yang ramah, beliau seorang yang murah senyum dan pekerja keras. Setiap pagi
pergi ke pesantren untuk mengajar santrinya di daerah di Pondok Pesantren
Daarut Tauhid, membantu AA Gym untuk menyampaikan materi mengenai Tafsir Qur’an
dan Hadist yang merupakan spesialisnya. Kemudian sore harinya ia sempatkan
untuk datang ke Masjid Al-Huda maupun berkunjung ke Pesma Ash-Shofwah untuk bertemu ustadz Acep. Beliau adalah alumni
program beasiswa Universitas Madinah-Saudi Arabia jurusan Tafsir dan Hadist,
setelah sebelumnya nyantri di sebuah Pondok Pesantren yang ada di Jawa Tengah.
“Assalamu’alaykum akhi…,”
“Wa…wa’alaykum
salam ustadz!”
Raden sedikit terkejut dengan
kedatangan Ustadz Mukhlis, ia baru saja menyelesaikan shalat asharnya dan sedang
melantunkan dzikir. Orang tua itu
mengenakan pakaian koko seperti biasanya,
perlahan ia menghampirinya dan duduk tepat didepannya.
“Apa kabar akhi Raden?” tanya Ustadz Mukhlis
dengan nada
cukup serak.
“Alhamdulillah
ustadz, saya baik-baik saja…
hanya saja saya seperti merasa atau
menghadapi kebingungan. Ada sebuah hal yang cukup mengganjal,”
Nada suara Raden seolah menyiratkan
sesuatu yang ia pendam, sang Ustadz mulai tersenyum.
Raden terdiam sesaat, matanya
tertuju pada karpet yang terbentang disepanjang ruangan dalam masjid itu, ia tertunduk
untuk beberapa saat. Ustadz Mukhlis memegang pundaknya,
“Bilang saja…. Jikalau memang ana[4] bisa membantu maka Insya Allah akan ana usahakan sebisa mungkin.”
Nada tegas orang tua yang ada di depannya
membuat Raden bangkit dari diamnya, perlahan ia memandang wajah ustadz Mukhlis cukup
tenang, sebersit cahaya mulai muncul dalam rona wajah Raden. Agak segan
memang untuk membicarakan sesuatu yang selama ini dipendamnya, terlebih hal ini
berkaitan dengan sang murabbi.
“Sebentar lagi saya memang akan
menjalani proses sidang, tapi masih ada keraguan besar yang mulai membuat saya berpikir cukup keras saat ini. Sepertinya masih
ada hal penting yang harus diselesaikan sebelum kota ini saya tinggalkan dan pergi mengamalkan
ilmu serta
melanjutkan dakwah. Ibu sudah lama meminta saya agar segera lulus
dan bekerja.
Namun kemarin malam beliau berkata
demikian yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ‘Nak, kapan kamu akan menikah setelah kamu
lulus? Kalau memang kamu sudah sanggup maka segeralah menikah, ibu sebenarnya
ingin menimang cucu sebelum meninggal. Tapi… semua sudah ibu serahkan padamu
nak…’ Itulah
hal yang
kini membuat saya bingung
ustadz…,” kata Raden sambil menyampaikan pesan sang ibu yang biasa menggunakan
bahasa Jawa, karena memang sang ibu berasal dari keluarga keturunan daerah Surakarta,
Jawa Tengah.
Raden kembali menundukkan kepalanya,
sementara Ustadz Mukhlis mulai tersenyum.
Raden hanya menggelengkan kepala,
sesaat matanya mulai memandang langit-langit dan kembali menunduk. Ada seseorang yang
sebenarnya mengganjal hati dan pikirannya, hanya saja mungkin ini akan menjadi
sesuatu yang luar biasa. Orang itu cukup dekat dengan orang yang kini berada di
depannya, ia pun seperti tidak mengetahui secara pasti dan perasaan yang fitrah
itu kini membuatnya sulit untuk mengucapkan kata demi kata.
Ustadz Mukhlis
terus memperhatikan Raden yang terus berdiam diri, beliau mulai memegang bahu
kanan binaannya kembali.
“Sebenarnya... saya... menyukai Sekar,
Anindya Sekar Arum... keponakan ustadz.... maaf jika perkataan tadi sepertinya
membuat ustadz tersinggung,”
Entah kenapa ia berkata sedemikian
gamblangnya, bahkan ia takut jikalau ustadz Mukhlis tidak berkenan dengan
perkataanya barusan.Sebaliknya sang ustadz kembali tersenyum,
“Alhamdulillah,
akhi... pilihanmu memang sangat tepat,
semoga Allah memberikan
kemudahan untuk antum. Terus terang ana setuju jikalau antum memang begitu mantap hendak melamar
keponakan ana,orang tua mana yang bakal menolak lamaran
orang sepertimu. Calon lulusan Geologi Unpad, pintar, saleh dan berperangai baik...,”
“Tapi saya tidak terlalu baik seperti yang
ustadz kira,” potong Raden
beberapa saat.
Ustadz Mukhlis kembali tersenyum,
“Insya Allah ana akan membantu antum..., orang lain pasti akan berkata kalau Raden memang seorang
yang hebat meskipun ia hanya berkata ‘aku
bukanlah orang baik seperti yang mereka bilang’…”
Raden mulai bisa tersenyum, setitik
cahaya cerah agaknya mulai tumbuh dalam hatinya. Perlahan ia mulai meneguhkan
hatinya dan yakin kalau memang Sekar memang pilihan yang paling tepat dan juga
ibunya pasti akan setuju dengan pilihannya. Karena perempuan yang baik adalah untuk laki-laki yang baik
dan laki-laki yang baik adalah untuk perempuan yang baik.
“Assalamu’alaykum…!!!”
Beberapa orang menghampiri mereka
berdua seraya mengucapkan salam. Yang tak lain adalah Febry, Iyan, Bayu
dan Rizal.
“Wa’alaykum salam…!”
Hari
Jum’at sore adalah agenda kegiatan rutin halaqah bagi Raden dan
kelima sahabat terbaiknya di Pesma.
Agaknya untuk sore ini beliau tidak bisa menyampaikan materi yang lebih banyak.
Ada beberapa tugas dari Pesantren yang perlu diselesaikan di rumah, dan juga membantu
istrinya yang sedang menyelesaikan pekerjaan sebagai seorang dosen.
“Assalamu’alaykum
warahmatullahi wabarakatuh...,
seperti
biasanya pada hari ini kita rutin dengan agenda liqo... serta berada dalam majelis ilmu-Nya, untuk semakin menambah
keberkahan pertemuan kita sore ini marilah kita bersama membaca basmallah...” kata Bayu yang membuka halaqah sore ini.
Yang lainnya saling membaca basmalah, kegiatan sore ini pun dimulai.
Untuk selanjutnya sebagai pembuka mereka semua membaca mushaf, dimulai Iyan yang
membaca surat Ar-Rahman, Febry
membaca surat Al-Waqi’ah, Herman
membaca surat Al-Hadid, Bayu membaca
surat Al-Hasyr, kemudian Rizal
membaca surat Al-Mujadilah. Raden
sendiri membaca surat Yaasin. Ustadz
sengaja menyuruh mereka membaca mushaf yang berurutan sementara Raden beliau
bedakan.
Sebenarnya masih ada satu lagi yang masih belum hadir, yakni Herman, yang
akhirnya izin untuk tidak hadir halaqah
sore ini harus pergi ke Bandung untuk bertemu dosen pengajar mata kuliahnya.
Setelah semua selesai, sang murabbi mulai memberi beberapa materi. Kali ini adalah manajemen qalbu, persoalan yang sering
dibahas Aa Gym yang juga rekan
dakwahnya dalam setiap tausiyahnya. Ustadz Mukhlis membagikan beberapa buku
tipis yang isinya mengenai pokok bahasan yang akan dikupas sore ini. Agaknya materi ini
mengajak Raden untuk memantapkan hatinya agar terjaga dari hal-hal yang tidak
diinginkan, terus terang ustadz Mukhlis begitu gembira dengan kejujuran yang
disampaikan oleh Raden sebelum liqo dimulai.
“Baiklah, sekarang ana membagikan kepada antum buku-buku
tersebut… silahkan antum baca, nanti
salah seorang dari antum menyampaikan sesuatu dari
apa yang telah dibaca. Antum ambil materi yang paling awal atau pokok bahasan
paling awal dari buku-buku kecil yang ana
bagikan…dan sekali
lagi mohon maaf ana tidak bisa banyak menyampaikan materi
sore ini karena ada sesuatu yang perlu dikerjakan…,”
“Oh ya ustadz, kenapa tidak sekarang
saja ditunjuk salah seorang diantara kami yang mempresentasikan bahasan dari materi
di buku yang dibaca?” pinta Iyan.
“Mmm, bener juga ustadz…” imbuh Febry
kemudian. Yang lainnya hanya mengangguk. Sementara ustadz Mukhlis hanya
tersenyum kecil,
“Bacalah terlebih dahulu, biar nanti ana yang putuskan…,”
Akhirnya mereka semua mulai membaca,
ustadz Mukhlis kemudian membaca mushaf sambil mengoreksi hafalan Al-Qur’an dan menunggu
murid binaannya
selesai membaca. Raden membaca perlahan, kalimat demi kalimat agar mudah dipahami, begitu pula dengan para juniornya.
Perlahan ustadz Mukhlis memperhatikan sikap Raden, dari raut wajahnya tersirat
keseriusan dan semangat kerja keras yang tak mengenal lelah. Wajah yang menyimpan
potensi untuk merubah sesuatu menjadi lebih baik, mampu menguasai keadaan
terutama hatinya, wajah yang memiliki tekad kuat serta menginspirasi yang
lainnya. Wajah yang tidak pernah berubah sejak pertemuan pertama kali waktu itu.
Ustadz Mukhlis teringat ketika
pertama kali bertemu dengan Raden, tempat yang sama dengan kegiatan yang saat
ini dilakukannya dan akhirnya diputuskan sebagai tempat berbagi ilmu selain di
pesantren. Saat itu Raden tengah berdzikir sambil menitikkan air mata, seperti terjadi
permasalahan yang cukup berat menimpanya. Beliau terus
memperhatikan sikapnya yang semakin berbeda dari menit ke menit, air matanya
terus mengalir tanpa henti. Seperti ada sesuatu yang dipendam, sebuah masalah yang cukup
berat untuk dihadapi dan mungkin tantangan yang rumit untuk dilalui.
‘Assalamualaykum
akhi…,’
‘Wa’alaykum
salam…,’
Raden kembali melanjutkan dzikirnya,
orang yang
mengucapkan salam tersebut semakin mendekat kearahnya.
“Akhi… ana melihat antum sedemikian derasnya mengucurkan air mata? Apakah ada masalah yang cukup besar sehingga membuat antum demikian?” orang yang
mengucapkan salam itu langsung memulai pembicaraan dengan seseorang yang kini
memang sedang bersedih sehingga menggunakan segenap emosinya untuk melantunkan
dzikir kepada Sang Pencipta.
Perlahan Raden mengusap air matanya,
ia terus menyeka tangisnya, “Apakah harus demikian sulitnya perjalanan hidup yang aku rasakan? Kenapa aku terus dilanda
kesedihan dan kesulitan, seakan sulit untuk memperoleh solusi terbaik? Sementara
diluar sana banyak orang yang sibuk dengan urusan duniawinya, seakan Allah
tidak memberi secuilpun kesulitan…?”
“Astaghfirullahaladzim… kenapa antum bisa begitu mudahnya mengatakan hal yang demikian? Apakah antum merasa Allah itu tidak adil?”
Orang yang menghampirinya tersenyum
kecil, sementara Raden memandang beliau cukup yakin, “Ya, pak !!! Allah tidak adil pada
hamba-Nya termasuk aku yang sekarang ini…!!!”
Raden menjawab tegas pertanyaan
tersebut. Orang
itu memegang pundaknya seraya berkata,
“Akhi… pernahkan
terbesit dalam pikiran antum bagaimana Rasul
pilihan Allah mengalami permasalahan dan problem yang kompleks?! Ingatkah
bagaimana orang-orang
terdahulu, para pejuang yang gigih memperjuangkan kemerdekaan yang sekarang
kita rasakan… dengan tenang dan penuh
kesabaran mereka
semuanya menjalani ujian yang sedemikian berat sampai terasa sangat tidak mungkin
berakhir apabila kita tahu seperti apa ujian yang Allah berikan untuk mereka… para pejuang kemerdekaan
terdahulu,
sahabat-sahabat Rasululullah… mereka rela tidak makan berhari-hari hanya untuk
menyampaikan risalah Islam serta merebut kemerdekaan dari tangan para penjajah,”
Orang itu mulai
menitikkan air mata. Raden sedikit tertegun, ia kembali memandang orang yang
baru pertama kali ia temui dengan seksama. Ada cahaya terang yang seakan menyinari
kegelapan hatinya, dan memang saat ini hatinya tengah tertutup oleh emosi
akibat rasa kehilangan. Dan rasa kehilangan ini semakin menusuk dan terus
menggerogoti setiap persendian tulangnya selama seminggu.
“Pak, mereka berbeda… Nabiyullah
Muhammad Rasul pilihan… pun juga para sahabat adalah orang-orang kuat... mereka berada pada kondisi
yang sedemikian hebatnya dengan konflik… yang mempunyai hati yang kuat dan
kewajiban membimbing umatnya ke jalan yang benar. Sama halnya dengan para
pejuang kemerdekaan... mereka orang-orang yang begitu gigih untuk membela Negara
dari belenggu penjajahan, bahkan aku sendiri yang dalam keadaan seperti itu Insya Allah akan berbeda. Tapi kali ini
kenyataannya lain… aku hanya seorang manusia biasa yang tidak memiliki kekuatan
apapun…,”
Raden tak kuasa menahan tangisnya,
ia tertunduk dan menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. Ia semakin tak sanggup lagi untuk menguasai
dirinya yang semakin dipenuhi oleh emosi, sesuatu yang membuatnya tak mampu
lagi untuk berpikir secara jernih.
“Memangnya mereka juga bukan manusia
biasa seperti antum? Akhi, sekali lagi janganlah berkata seperti itu… Allah tidak memberikan ujian pada suatu kaum, kecuali
sesuai dengan kesanggupannya”[6]… La yukallifullahu nafsan illa wus’aha...
ujian yang antum alami sekarang
mungkin rentetan keberhasilan yang nanti akan antum rasakan di hari
kemudian, antum harus yakin
kalau Allah akan terus memberikan rahmat dan pertolongan-Nya pada seorang hamba
yang senantiasa bertasbih dan menyembah-Nya dengan penuh keyakinan.”
“Ayah…,”
Ucapan itu begitu mudahnya terucap
dari mulut Raden yang tak tahan lagi ingin berteriak
sekencang-kencangnya. Meluapkan segenap penyesalan, seluruh perasaan yang semakin
memuncak dan memenuhi relung hatinya yang terdalam.
“Akhi, ceritakanlah
masalah yang
sekarang antum hadapi… Insya Allah akan ana bantu.”
Orang itu tersenyum
sesaat, beliau duduk tenang di depan Raden yang masih menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Hiks… Pak kenapa orang miskin terus dalam
keadaan yang tetap padahal mereka berusaha untuk yang lebih baik serta diberi
ujian sedemikian hebatnya… sementara diluar sana, orang-orang yang kaya dengan
kerja sedikit malah menjadi semakin kaya padahal mereka terus menjauhi-Nya,
keangkuhan dan keegoisan mereka seakan terus menjadi-jadi. Selain itu, Allah
pun semakin mempermudah jalan bagi mereka untuk terus berbuat jahat dan bahkan
mereka menyengsarakan rakyat… dan kenapa disaat kita ingin membuat orang tua kita bangga
memiliki anak seperti kita, Allah segera memanggilnya untuk kembali sementara
kita masih belum mampu membuat mereka bangga…?!”
“Manusia memiliki kecenderungan untuk
mengatakan demikian, seakan mereka lupa akan segala rahmat yang selalu Allah
berikan untuk hamba-Nya. Ketahuilah akhi, antum termasuk yang lebih beruntung dibandingkan mereka
yang harus bertahan hidup dan mencari sesuap nasi yang rasanya sulit…., bahkan orang yang antum bilang kaya pun rasanya sangat jauh berbeda teutama
kondisi kalbunya. Lihatlah orang-orang kaya disana, sepertinya Allah menutup hati
mereka dari segala kebaikan, hidup bermewah-mewahan sementara yang lain
kelaparan… sibuk mencari jabatan sementara yang lain begitu sulitnya mencari
pekerjaan.”
Orang itu terus memandangi Raden
sambil tersenyum manis, beliau seperti menemukan potensi yang luar biasa pada
diri pemuda yang memang sering shalat berjamaah di Masjid ini ketika waktu
shalat Ashar tiba.
“Pak… aku tahu semua itu, tapi… aku tak
mampu menahan kesedihan karena kehilangan seorang ayah yang paling aku sayangi… orang
yang membanting tulang selama hidupnya untuk seluruh anggota keluarga termasuk aku sendiri!!!”
“Innalillahi
wa inna ilaihi raji’un…,”orang itu terdiam sesaat, sementara Raden terus mengalirkan
air matanya yang seakan sulit untuk dibendung. Bibirnya terus bergerak seraya
mengucapkan kalimat tasbih dan beristighfar sebanyak-banyaknya.
“Akhi... ternyata
nasib kita sama,”
Raden terdiam sesaat, perlahan ia
memandang lelaki tadi yang tersenyum kecil untuknya.
“Maksud bapak…?”
“Jadi…saat ana ingin berbakti
kepada beliau, keduanya berpulang ke Rahmatullah. Beliau yang paling ana sayangi mengalami kecelakaan saat
pulang setelah menunaikan umrah, waktu itu… ana menunggu mereka di bandara bersama
anggota keluarga yang lain… begitu mendengar kabar yang kurang baik… kami seperti
disambar petir di siang hari, sesuatu yang di luar kekuasaan hingga akhrinya
membuat ana dalam keadaan yang
sekarang, yatim piatu... ana sudah tidak punya kedua orang tua lagi sejak berumur
lima belas tahun,”
Hati Raden seakan tidak percaya,
seakan ada gejolak batin yang amat dalam. Orang yang kini berada dihadapannya tidak begitu
menampakkan kesedihan yang mendalam dan hanya beliau simpan dalam hati saja.
Hati Raden berkata sekilas mengenai ketegaran dari kalimat yang ia dengar, sebuah kalimat sakti yang mulai memotivasi
dirinya untuk menjadi lebih tegar lagi menghadapi ujian yang Allah berikan.
“Akhi… sebagai sesama
orang yang ditinggal oleh orang tua, alangkah baiknya kita selalu mendoakan mereka yang sudah kembali
kepada Allah
SWT. Semoga segala amal ibadah mereka yang dilakukan di dunia diterima oleh
Allah SWT,
segala kesalahan yang dilakukan oleh orang tua kita diampuni oleh-Nya…,”
“Pak... sungguh baru kali ini aku melihat seorang
yang begitu tabah menghadapi cobaan... aku lebih banyak menyaksikan seseorang
layaknya artis
sinetron
yang dengan
mudahnya memainkan peran kesedihan palsu dari seorang sutradara yang membuat
skenario untuk sebuah acara di televisi,”
“Allahlah yang membuat ana demikian,
awalnya... ana juga sangat tidak menerima semua
yang telah terjadi. Tapi... pesan terakhir yang beliau tinggalkan ketika hendak berangkat
ke umrah membuat ana bisa menerima
segalanya.” Potong orang itu sambil menunjuk
ke arah langit-langit.
Sudah cukup lama mereka berdua
berbincang, waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Raden mulai duduk tenang
namun masih menundukkan kepalanya, seakan berat rasanya untuk mengangkat
kepala dan menatap masa depan serta menerima kenyataan yang terjadi. Masih sangat sulit baginya untuk
menerima ketentuan yang Allah gariskan untuknya, ia seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Kehilangan arah serta tujuan
hidup yang pasti. Padahal sosok almarhum ayah adalah seorang yang penuh dedikasi tinggi,
semangat untuk menjadi lebih baik yang menginspirasi serta yang menjadi panutan
bagi warga sekitar karena keyakinannya kepada Sang Khalik padahal beliau
bukanlah seorang lulusan Pondok Pesantren. Namun memang benar adanya apabila
ilmu agama itu tidak hanya dimiliki atau dikuasi para santri saja, karena ilmu
Allah begitu luas dari terhampar begitu bebas di bumi untuk manusia pelajari
dan amalkan.
“Kalau boleh tau... pesan seperti apakah
yang membuat bapak demikian?”
Orang itu hanya tersenyum
kecil,
“Datanglah ke Pondok Pesantren Daarut Tauhid, antum pasti tahu sosok ustadz bernama AA
Gym...?! kebetulan ana salah seorang
staf pengajar disana, jadi...Insya Allah ana akan banyak membantu antum untuk memahami hakikat kehidupan
yang Allah gariskan. Oh ya, afwan ana lupa mengenalkan
diri... Mukhlis...!”
Raden mengulurkan tangan kanannya,
“Raden... jadi, bapak seorang ustadz di DT?!
Subhanallah... saya kebetulan biasa mendengarkan ceramah AA Gym yang begitu
menyentuh, dan nggak nyangka... ternyata bapak juga pengajar santri disana,”
“Alhamdulillah
akhi, mungkin ini
jalan yang sudah Allah takdirkan buat ana...,”
“Kebetulan saya juga pernah ikutan ceramah
bersama teman-teman di DT, sekaligus ikut Shalat Tahajjud berjamaah. Subhanallah...,”
Orang yang bernama Mukhlis seperti yang baru saja dikenal oleh Raden langsung
bangkit, kemudian pergi seraya mengucapkan salam sambil tersenyum manis. Raden
terus memandang ke arah bapak-bapak yang membuatnya termotivasi untuk menjadi
lebih kuat lagi dalam menghadapi dinamika kehidupan, hatinya masih
menyimpan beberapa pertanyaan. Ia mengusap mukanya yang sudah dibasahi oleh air
mata,ia pun menuju tempat wudlu dan mencuci mukanya. Keyakinan kuat mulai tumbuh dalam
hatinya, seakan sebuah hal baik mulai terpikirkan serta solusi kedepan mulai
mencerahkan kalbunya yang selama ini diliputi kesedihan yang mendalam.
‘Bismillah...,’
Kakinya mulai mengajak keluar, ia
pergi meninggalkan masjid dan bermaksud kembali ke kosan yang memang jauh dari
masjid ini. Perjalanannya ditemani awan yang memerah di ufuk barat sana, suasana
jalan pun menjadi sangat ramai seperti yang biasa ia temui setiap hari. Di tempat yang lain, ustadz Mukhlis
terus memperhatikan seseorang yang baru pertama kali ia temui dari kejauhan. Beliau tersenyum sesaat
dan wajahnya tampak begitu cerah setelah menemui seorang Raden yang baru saja
dikenalnya. Beliau pun segera masuk kedalam gang yang mengarah ke rumahnya, suatu hal
yang tidak terduga dan akan menjadi rangkaian cerita mengenai perjalanan hidup
yang kedepannya akan ia torehkan bersama seorang pemuda yatim yang baru saja
dikenalnya.
“Akhi, ana yakin antum dapat melalui setiap cobaan yang Allah
berikan... semua... tersirat dalam wajah dan kerut dahi antum...subhanallah… ternyata Engkau
mempertemukan hamba-Mu dengan seseorang yang senantiasa mengingat-Mu setiap
saat,”
Para malaikat diatas sana seakan
mendo’akan setiap hela
nafas dan langkahnya untuk terus berada dijalan-Nya. Tempat itu pun akhirnya
yang mempertemukan seluruh pemuda yang kini dibimbingnya dalam majelis ilmu
yang dirahmati Allah, Masjid Al-Huda.
*****
“Pak ustdaz...,”
“Astaghfirullahaladzim...!!!”
Ustadz Mukhlis langsung menutup
mukanya, sementara binaannya terus memperhatikan beliau yang melamun untuk beberapa
menit sambil memegang mushaf. Entah apa yang kini beliau pikirkan, sebuah perjalanan masa
lalu yang kembali tersirat.
“Sudah selesai...?”
“Kami bahkan menunggu ustadz yang
sejak tadi terdiam, afwan sebenarnya...
apa yang sedang ustadz pikirkan?”
Pertanyaan Iyan agaknya membuat
beliau malu, sementara binaannya seakan agak menahan rasa ingin tertawa. Raden
sendiri terus tersenyum melihat sikap murabbinya beberapa menit
yang lalu.
“Afwan,
mungkin ana agak sedikit lelah. Tapi...,”
“Kalau begitu... mendingan ustadz
istirahat saja…
afwan,” potong Bayu.
“... Melihat kondisi ustadz yang
seperti ini, rasanya kami yakin kalau ustadz sedang dalam kondisi kurang vit.
Lebih baik...,”
“Tidak apa-apa kok, ilmu yang ana ajarkan belum antum semuanya terima...Insya Allah ana akan baik-baik saja,”
Semuanya terdiam sesaat, mulai memandang wajah
ustadz Mukhlis cukup serius. Terlebih Raden yang memang lebih akrab dengan
beliau dibandingkan dengan yang lainnya.
“Hmm… gimana kalau besok sore saja kita
lanjutkan pertemuan kali ini? Saya disini mencoba untuk mengajukan pendapat saja, yang
mungkin akan ada pilihan atau masukan dari yang lainnya…,”
Ajakan Raden belum sepenuhnya mereka
respon, disamping itu ustadz Mukhlis nampaknya cukup mengalami kelelahan. Beliau memang sengaja
tidak banyak cerita kepada binaannya yang cukup semangat untuk menerima kembali
materi yang hendak beliau sampaikan. Agenda kegiatan di Pesantren Daarut
Tauhid cukup menyita waktu dan tenaganya selamanya tiga hari ini. Persiapan
untuk Tabligh Akbar yang akan disiarkan langsung oleh salah satu stasiun
televisi swasta nasional membuat beliau dan para santri mempersiapkan segalanya
dengan sebaik mungkin. Dan memang sengaja beliau tidak menceritakan hal ini
kepada para binaannya yang kini sedang menunggu materi terbaik sebagai bekal
agama mereka. Kewajiban untuk menyampaikan ilmulah yang akhirnya membuat rasa
lelah yang beliau alami berubah menjadi energi semangat yang tak terbatas ruang
dan waktu.
“Baiklah... Insya Allah pertemuan kita akan dilanjutkan besok sore dengan
tempat yang sama. Sebagai penutup mari kita membaca do’a penutup majelis...,” kata ustadz Mukhlis.
Raden
dan para juniornya mulai beranjak perlahan untuk kembali Pesma, sementara ustadz Mukhlis langsung pamit pulang mengendarai
sepeda motor Hondanya yang diparkir di halaman
depan masjid. Beliau
mulai mengusap wajahnya dengan sapu tangannya perlahan, dan mulai menyalakan
mesin sepeda motor untuk segera menuju rumah dan menenangkan pikirannya serta
membuat tubuh lebih nyaman kembali. Hari ini cukup membuat beliau lelah,
dan pastinya mengecewakan Raden dan teman-temannya yang begitu semangat menanti
tausiyah yang biasa beliau berikan sebagai bekal ilmu.
“Kang, kok tumben ya ustadz Mukhlis kayak sakit gitu...? padahal sebelumnya beliau tampak sehat-sehat
aja,”
Perkataan
Iyan mulai membuat Raden sedikit terkejut,
“Keadaan seseorang siapa yang tahu?”
Sore ini mereka lalui dengan tenang,
begitu pula dengan Raden. Ia teringat perkataan ustadz Mukhlis sesaat sebelum menstarter
sepeda motornya,
“Datang saja ke rumah ana kalau antum ingin bicara
lebih banyak soal yang tadi... ana juga sebenarnya ada
sesuatu yang ingin disampaikan,”
Raden teringat dengan pembicaraan diawal sebelum kegiatan halaqah dimulai. Agaknya selain keinginan untuk segera lulus kuliah tahun ini,
keinginan memiliki seorang pendamping hidup mulai terbesit dalam benaknya. Segalanya ia serahkan kepada Yang Maha Kuasa,
disamping ikhtiar untuk melakukan hal terbaik untuk mencapai tujuan yang mulia
karena Allah Ta’ala.
[1] Mentoring, pada semester
awal biasanya diadakan kegiatan mentoring oleh pihak ROHIS atau Lembaga Syiar
Fakultas dengan nama Mentoring Al-Islam, berlangsung selama satu semester.
Mentoring pun berjalan sesuai dengan mata kuliah agama Islam, dimana nilai
mentoring masuk komponen nilai mata kuliah Agama Islam pada sks. Selanjutnya
kegiatan mentoring dinamakan ‘Mentoring Lanjut’ yang oleh beberapa Fakultas
dinamakan halaqah yang biasanya disebut dengan ‘Liqo’. Materi yang diberikan
pada fase Liqo lebih mendalam daripada materi dasar saat mentoring Al-Islam,
dimana mereka akan dikenalkan mengenai medan dakwah berikut tantangan dan hambatannya,
pun juga pembekalan tsaqafah islamiyah penunjang syiar Islam di lingkungan
kampus dan bahkan di luar kampus sekalipun.
[2]Sama dengan kakak pementor saat kegiatan Mentoring
awal (Mentoring Al-Islam), bisa ustadz/ustadzah ataupun kakak senior yang lebih
paham mengenai agama. Murabbi/murabbiah tidak hanya berperan sebagai seorang
ustadz/ustadzah, tapi juga sebagai seorang ayah, kakak, ibu sehingga beberapa
peserta halaqah banyak mencurahkan berbagai permasalahan yang dihadapi kepada
sosok penuh dedikasi yang begitu ikhlas membimbing agama bagi adik mentor atau
mutarabbinya.
[3] Anda, kalian, kamu
[4] Saya
[5] Dilamar
[6] Al-Baqarah ayat 286
Tidak ada komentar:
Posting Komentar