Sabtu, 17 Desember 2011

Cinta Dua Bidadari_Bagian_Ketiga


BAB III
PEMBICARAAN ITU ADALAH PELAJARAN TERBAIK

            Pikiran Raden masih belum begitu tenang, meski ia merebahkan segenap tubuhnya diatas tempat tidurnya. Suara musik terdengar pelan mengiringi lamunannya, ia menghadapkan seluruh mukanya ke arah langit-langit. Beberapa kebingungan mulai melanda, termasuk keinginanya melamar Sekar. Ada hal yang belum ia ketahui sehingga membuatnya gelisah tak menentu, sebuah hal yang mungkin akan kembali menjadi ujian baginya. Perasaan yang kurang bersahabat perlahan muncul, dan membuatnya semakin terbuai dalam lamunan.
            Astaghfirullahaladzim...!!!”
            Ia bangkit dari tempat tidurnya, dan akhirnya teringat akan perkataan ustadz Mukhlis untuk berkunjung ke rumah beliau perihal sesuatu yang hendak dibicarakan sore tadi. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Ia pun bergegas menuju kamar mandi dan mencuci mukanya, melangkahkan kaki dengan pasti meskipun segala macam pemikiran mulai terlintas, ia berusaha untuk mengendalikan gejolak yang menghantui segenap kalbunya. Beberapa santri Pesma tampak serius menatap laptop maupun buku kuliah masing-masing, Bayu sendiri sejak selesai shalat Isya’ langsung kembali menatap laptopnya untuk mengerjakan tugas kuliah.
            “Kang Raden... mau kemana?” tanya Febry yang kali ini asyik membaca bukunya sambil menikmati secangkir kopi hangat dan kerupuk udang.
            “Mau ke rumahnya ustadz Mukhlis...,”
Raden kembali melanjutkan langkahnya sambil mengucapkan salam dan dibalas para santri yang menunda sejenak kegiatannya untuk memperoleh pahala dengan menjawab salam yang diucapkan Raden.
            Malam ini suasana cukup cerah. Perlahan ia menyusuri jalan Sayang mengendarai sepeda motor hasil usahanya yang sudah seminggu lamanya tidak digunakan, dan Rizal yang akhirnya menikmati nyamannya berkendara sepeda motor milik seniornya untuk pergi ke kampus.
            Nanti... ngomong apa ya sama ustadz? Tapi… sepertinya ada sesuatu yang ingin beliau sampaikan…?’ bisik hatinya. Ia terus mengendarai sepeda motornya perlahan, menyeberangi jalan dan masuk gang disamping masjid Al-Huda. Sekitar 200 meter dari depan gang ia berhenti di depan sebuah rumah, yang tidak lain adalah rumah ustadz Mukhlis. Rumah ini cukup bersih dengan beberapa tanaman dalam pot yang menghiasi bagian depannya. Sejenak ia memandang ke arah langit, dipenuhi bintang kecil yang bersinar cukup indah. Cukup tenang hatinya kali ini, ia pun mengawali sesuatu yang akan terjadi nanti dengan basmallah. Sepeda motor ia parkirkan tepat di depan teras rumah ustadz Mukhlis.
            Assalamualaykum...,”
            Raden mengetuk pintu rumah tersebut untuk beberapa kali sambil mengucapkan salam. Sesekali ia melihat HPnya untuk melihat jam,
            Krek...’ pintu terbuka dari dalam, seorang perempuan keluar sambil membalas salam sambil tersenyum kecil.
            Subhanallah....!” Raden terhenyak sesaat memandang wajah gadis itu, ‘Sekar...?’ Ia pun mulai menenangkan dirinya, sementara perempuan yang tak lain adalah Sekar mulai memperlihatkan tingkah yang cukup aneh. Raden sedikit tertunduk dan terdiam untuk beberapa saat, Sekar sendiri akhirnya mundur selangkah sambil menunduk malu. Keduanya mencoba untuk menguasai dirinya, antara perasaan gembira dan menjaga diri dari saling bertatap muka. Ustadz Mukhlis perlahan menghampiri keduanya dengan wajah berseri,
            Assalamualaykum akhi...,”
            Wa’alaykumsalam ustadz...,”
            “Neng, tolong buatkan minuman untuk Raden.”
            “Mmm, paman Mukhlis sendiri?”
            “Ya, bolehlah… teh manis hangat saja ya,” kata ustadz Mukhlis sambil tersenyum.
            Sekar langsung menuju ruang dapur dan menyiapkan minuman untuk mereka berdua, dari dalam istri ustadz Mukhlis, Fatimah Az-Zahra, mengikuti langkah Sekar perlahan. Beliau berjalan cepat untuk menyusul Sekar yang mulai memperlihatkan gelagat aneh. Ada sesuatu yang ingin beliau ketahui,
            “Sekar, siapa yang datang?”
            “Itu Bi, Raden... temen kuliah Sekar,cuma kita berdua beda fakultas. Kang Raden... kuliah di geologi dan juga sebentar lagi mau lulus,” jawab Sekar terbata-bata.
             “Wah… subhanallah, jadi yang datang itu Raden? Penulis buku, pengisi acara di kampus dan kata pamanmu dia punya suara yang bagus kalo bernyanyi itu ya?”
             “Iya bi…,” kata Sekar sambil menengok ragu ke arah bibinya dan  mengaduk-aduk minuman yang sedang dibuatnya. Ia semakin menunjukkan sikap yang aneh di depan bibinya, semakin membuat sebuah pertanyaan yang cukup besar di ruang dapur ini. Pertanyaan yang sepertinya hendak dilontarkan oleh bibinya yang terus memperhatikannya. Beliau tersenyum kecil kemudian kembali menuju ruang tengah dan membaca sebuah majalah muslim. Sekar pun selesai menyiapkan dua gelas teh manis hangat di dapur, perasaannya mulai semakin tak menentu. Beberapa menit yang lalu terjadi sebuah pembicaraan yang menguak masa depannya kelak, hal yang tidak diinginkannya, juga tidak harus diketahui oleh Raden yang kini berada di rumah pamannya sendiri.
            ‘Ya Rabb... lindungilah hamba-Mu dari segala keburukan malam yang mulai mengganggu hamba,’
*****
            Suara iqamah berkumandang di hampir seluruh masjid dan mushala yang ada di Jatinangor, dan ustadz Mukhlis pun sudah sampai di depan rumahnya. Perlahan beliau mulai memasuki rumahnya dengan beberapa perasaan yang menyelimuti hatinya, hingga rasa lelah yang kembali mendera. Perlahan beliau mengetuk pintu rumah sambil mengucapkan salam,
            Assalamualaykum...,”
            Wa’alaykumsalam...,”
            Dari ruang tamu, istrinya dan Sekar membalas salam beliau secara bersamaan. Keduanya sedang membicarakan sesuatu yang cukup serius,
            “Lho... neng Sekar, kok ada disini?”
            “Kang, sepertinya... ada hal serius yang harus kita bahas kali ini,” potong istrinya cukup tegas.
            Gelagat Sekar mulai membuat ustadz Mukhlis curiga, beliau mulai tersenyum kecil dan duduk tenang di atas sofa sambil memandang wajah Sekar dan istrinya. Bayangan seorang Raden mulai muncul, mengisyaratkan sebuah berita besar yang akan diketahuinya suatu saat. Tapi sepertinya beliau tidak menyukai sesuatu yang buruk itu kembali menimpa seorang Raden, sudah terlalu banyak berbagai kejadian buruk yang dialami binaannya.
            “Kita shalat maghrib berjamaah dulu, setelah itu baru kita bahas hal yang tampaknya sangat urgent kali ini...,” kata ustadz Mukhlis.
             “Kang... cape banget ya kayaknya?!” tanya istri beliau.
             “Ya, lumayan... namanya juga persiapan tabligh akbar,” jawab ustadz Mukhlis sambil tersenyum, beliau sengaja menyembunyikan pertemuan halaqah yang tidak tuntas dengan Raden dan teman-temannya.
            Mereka bertiga segera beranjak dari ruang tamu, Sekar menutup pintu terlebih dahulu. Secara bergantian mereka mengambil air wudlu, ustadz Mukhlis mengambil air wudlu pertama kali disusul istrinya. Beliau kemudian langsung menuju ruang khusus yang biasa digunakan untuk shalat berjamaah di rumah ini. Ruangan dengan luas 3x4 meter yang bisa digunakan sebagai tempat diskusi sunnah, fiqih, hadist, tafsir Qur’an bagi ustadz Mukhlis dan istrinya. Pun juga tempat Sekar banyak menerima berbagai materi keislaman langsung dari bibinya.
            Setelah Sekar selesai mengambil air wudlu, ia langsung bergabung bersama paman dan bibinya yang sudah siap untuk menunaikan shalat maghrib berjamaah.
            Allah... huakbar!’
            Ustadz Mukhlis memulai takbiratul ihram dan diikuti kedua makmum, istri dan keponakannya. Beliau memimpin jalannya shalat perlahan, dengan bacaan yang sangat fasih kendati kondisi fisik beliau memang sedang cukup lelah.
Ustadz Mukhlis cukup terkenal di kalangan mahasiswa Unpad, khususnya bagi mereka yang masuk sebagai pengurus FKDF (Forum Komunikasi Dakwah Islam Fakultas)[1] sebagai seorang yang hafiz Al-Qur’an. Beliau juga biasa mengisi materi pada ta’lim maupun kajian Islam di beberapa fakultas yang diselenggarakan oleh LDF (Lembaga Dakwah Fakultas) maupun DKM Fakultas tiap bulannya. Kegiatan selingan selain mengajar di Pesantren Daarut Tauhid.
            Setelah selesai shalat, ustadz Mukhlis memulai berdzikir. Sementara istri dan keponakannya membaca mushaf di ruang tengah. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam, suasana keislaman yang begitu kental menghiasi seisi ruangan rumah yang tidak terlalu mewah ini.
Sekar terlebih dahulu menyelesaikan membaca mushafnya, ia beranjak masuk ke dalam kamar yang biasa ia gunakan ketika menginap di rumah pamannya. Tak terasa air mata mulai menetes, ia mulai ragu untuk menceritakan hal yang membuatnya tertekan beberapa hari ini, sederet perasaan bingung mulai menghantui seluruh pikirannya. Ia tak mampu berbuat banyak, dengan perasaan sedih yang tak tertahan ia membenamkan mukanya ke tempat tidur sambil menutupnya dengan kedua telapak tangannya. Banyak hal yang sepertinya tidak ingin ia ceritakan, bahkan diketahui oleh seseorang yang kini mulai mengusik hatinya. Ada sebuah ejawantah yang mulai menyeruak di dalam hatinya yang kini sulit untuk menerima kenyataan yang terjadi, pilihan hidup itu terasa sulit untuk diterimanya.
            Ya Allah... ujian apalagi yang hendak Engkau berikan kepada hamba-Mu...!’
            Cukup lama Sekar berada di dalam kamar, sementara paman dan bibinya sudah selesai membaca mushafnya masing-masing.
            Sekar kamana...?”[2]
            Sakedap kang,”[3]
            Istri ustadz Mukhlis mulai meletakkan mushaf di atas meja kemudian menuju kamar Sekar.
            Sekar sendiri masih larut dalam kesedihannya, hingga suara ketukan pintu dari luar membangunkannya sesaat.
            “Sekar, katanya mau ngomong...?!”
            “...Iya… sebentar Bi,” jawab Sekar dengan nada yang lirih.
            Cepat ia mengusap seluruh air mata yang membasahi seluruh mukanya dan merapihkan kembali penampilannya seperti saat sebelum memasuki kamar. Badai keraguan mulai menerpa, namun Sekar harus menceritakan semuanya malam ini. Segala hal yang membuatnya harus bersedih.
            Dari luar bibinya sudah menyambut dengan senyuman, Sekar mulai menutupi kesedihannya. Beliau mulai memperhatikan Sekar yang terlihat gusar, menyiratkan perasaan terpendam yang hendak dicurahkan. Keduanya berjalan perlahan menuju ruang tengah, disana ustadz Mukhlis sudah duduk dengan tenang sambil membaca majalah yang tergeletak di atas meja.
            “Kang...,”
            Ustadz Mukhlis langsung menyimpan majalah yang dibacanya di atas meja, Sekar dan istrinya langsung duduk tepat dihadapan beliau. Sejenak mereka saling berpandangan, hingga akhirnya Sekar mulai membuka pembicaraan meskipun ragu untuk mengatakan sebuah hal yang sangat penting.
            “... Sebenarnya...,”
Sekar, sepertinya... kamu menyimpan masalah yang serius… tidak seperti biasanya kamu seperti itu,”
            Ustadz Mukhlis memotong pembicaraan sejenak, Sekar semakin kembali larut dalam kesedihannya. Istri beliau mulai menenangkan Sekar, senyuman kecil yang terpancar dari bibir Sekar membuatnya segera memberanikan diri untuk mengungkapkan segenap yang ia rasakan saat ini. Ia mulai menguasai kondisi batinnya yang dihinggapi perasaan cemas,
            Bismillah...,’
            Sekar menceritakan semuanya, tentang lamaran seorang ikhwan kepada kedua orang tuanya yang disampaikan sebulan yang lalu. Pemuda itu bernama Ali, Ali Muamar Al-Fattah. Lulusan ITB yang kini sudah bekerja di Pertamina UP. V Balongan, daerah tempat asal Raden, seorang ikhwan yang sepertinya mulai membuat rangkaian cerita dalam perjalanan hidupnya. Ia sendiri bahkan tidak mengetahui bahwa Ali adalah sahabat baik Raden sejak SMA dulu, kebenaran baru terungkap sekitar seminggu yang lalu, ketika Ali menelponnya dan bicara panjang lebar mengenai persahabatan yang ia bangun bersama Raden dan beberapa teman yang lain. Sosok Ali cukup mengagumi Raden yang terkenal di kalangan siswa maupun guru ketika masa SMA dulu, orang yang cukup sempurna karena menguasai banyak bidang baik olahraga, pendidikan, agama maupun kepemimpinan yang membuat beberapa orang iri terhadap kemampuannya.
            “Paman, Sekar... masih belum siap... terlalu cepat rasanya buat Sekar,”
            Sekar sudah tidak sanggup lagi untuk berkata, ia beberapa kali harus mengusap air mata yang menghiasi pipinya. Dan air mata itu antara kebahagiaan maupun kesedihan, dua keadaan yang saling berpadu dalam hatinya.
            “… Keputusan semua ada ditanganmu, apabila memang ini semua yang ditunjukkan oleh Allah maka sempurnakanlah dengan pengabdianmu pada suamimu kelak. Memang benar kalau Sekar mengatakan bahwa belum saatnya untuk menerima sebuah lamaran dengan kondisimu sebagai anak satu-satunya di keluarga dan juga masih menjadi seorang mahasiswi tingkat tigasuatu beban moral tersendiri buat Sekar. Paman sendiri sebenarnya cukup kecewa mendengarkan cerita yang barusan kamu ceritakan, padahal biasanya ayahmu bercerita apabila ada sesuatu yang penting. Cukup aneh sepertinya…,
             “Perjodohan antara orang tua...,” papar bibinya perlahan.
             “Umi... biarpun perjodohan... asalkan melibatkan Allah di dalamnya, Insya Allah akan terbentuk keluarga yang penuh berkah. Tapi jujur... baik pama maupun bibi baru tahu akan hal ini,” terang pamannya.
            Sekar cukup tertegun, dari kata-kata yang keluar dari pamannya ia mulai menangkap sesuatu. Ada beberapa hal yang sengaja disembunyikan ayahnya kepada pamannya yang tak lain adalah adik kandung sendiri. Bibinya beranjak dari tempat duduknya, mendekat ke arah tempat duduk suaminya.
            “Neng, mungkin kedua orang tuamu memutuskan yang terbaik untukmu. Tapi… memang semua keputusan ada ditanganmu, memang kapan keluarga Ali akan datang untuk saling berkenalan atau ta’aruf?”
            “… Rencananya, sekitar libur lebaran… Tapi… paman, bibi… aku masih belum mau untuk menjawab apakah terima atau tidaknya lamaran itu, bagiku menikmati agenda kuliah adalah prioritas yang paling utama. Aku masih belum mau menerima seseorang yang belum aku kenal dan tidak aku cintai…,”
            Suasana hening sesaat, paman dan bibinya saling berpandangan sementara Sekar mulai tertunduk. Seakan semuanya terjadi disaat ia menemukan seseorang yang nantinya pasti akan mencintainya sepenuh hati, namun ia sadar karena harus menghadapi persoalan yang tidak boleh diketahui oleh orang tersebut. Tapi, sepertinya bukan hanya Sekar yang mengalami masalah yang cukup serius. Ustadz Mukhlis sebentar lagi bertemu dengan Raden, orang yang memiliki niat untuk melamar keponakannya. Sebuah hal berat yang mungkin akan mengganggu pikiran binaannya. Dan berita besar itu baru saja ia dapatkan dari Sekar, berita yang menyiratkan makna perjuangan untuk melewati segala tantangan kehidupan. Dan sejenak beliau melupakan rasa lelah yang mendera, seakan hilang untuk beberapa saat.
            Akhi, sepertinya…niat baik antum harus terhalang tembok yang cukup tinggi dan mungkin tidak akan mampu antum tembus dan hancurkan. Semoga… Allah menunjukkan jalan terbaik untuk antumastagfirullahaldzim,’
            Ustadz Mukhlis tertunduk sejenak, seakan sebuah hal berat menghantam pikirannya dan membuat beliau sulit untuk memecahkannya. Kembali dihadapkan pada sebuah pilihan, yang semuanya baik dan telah Allah atur dalam skenario-Nya yang penuh misteri.
*****
            Berlalunya waktu mengembalikan segala keadaan yang nyata, waktu dimana Sekar mulai menghadapi sesuatu yang cukup berat dalam kehidupannya. Ia pun selesai menyiapkan minuman untuk Raden dan pamannya. Perlahan ia melangkah keluar dari dapur, dengan penuh keyakinan ia terus membuat suasana hatinya semakin lebih sejuk. Jauh lebih nyaman untuk menghadapi sesuatu yang sangat krusial.
            “Sekar…,”
            “Ya, Bi…”
            Senyuman kecil melayang untuknya, “Sepertinya kamu menyimpan sesuatu yang berhubungan dengan orang yang datang sekarang… sebenarnya, apakah kamu memiliki perasaan khusus dengan orang yang bernama Raden?”
            Wajah Sekar sedikit memerah, ‘astaghfirullah…,’
            “Mmm… tapi, sekarang…”
            Sekar menundukkan kepalanya, bibinya perlahan menghampirinya sambil mengusap kepala Sekar dengan penuh cinta. Dan emosi dalam diri Sekar mulai memuncak, seakan ia hendak meluapkannya secara bebas lepas tak terkendali. Kalau boleh meminta rasanya ingin sekali terjun dari jurang yang sangat dalam, ingin rasanya menghilang dari dunia ini apabila harus merasakan sebuah kenyataan yang tidak sejalan dengan keinginan.
            “Mungkin ini semua sudah Allah takdirkan, mungkin... memang ia bukan yang ditakdirkan untukmu, Insya Allah... orang yang bernama Ali akan memberikan kasih sayang yang sepenuhnya untukmu jika kamu benar-benar menerima lamarannya dan menikah dengannya. Sekar orang yang hebat, bibi dengar sendiri dari murabbiahmu.[4] Beberapa hari yang lalu kami bertemu di jalan…,
            Sekar tersenyum, tampaknya masih ada seorang lagi yang belum ia ceritakan terutama mengenai permasalahan yang ia hadapi kali ini. Beliau adalah orang yang selalu membimbingnya dengan penuh kasih sayang dan kesabaran serta kelembutan hatinya, sudah sekitar dua tahun beliau yang ia anggap sebagai ibunya sendiri membinanya. Seorang dosen dari Fakultas Ilmu Komunikasi, beliau juga seorang penulis pada sebuah penerbit buku di Bandung. Bernama lengkap Dr. Hj. Ira Lestari Maemunah, beliau tinggal di Bandung bersama keluarganya. Sekar sendiri sering berkunjung ke rumah beliau setiap akhir pekan, terutama bersama teman satu kelompok liqo yang akhirnya kini menjadi teman sekontrakannya.
Sekar mulai melangkahkan kakinya. Dari belakang bibinya mengikuti perlahan. Ia perlahan meletakkan minuman di atas meja tanpa memandang dua orang yang pembicaraannya tertunda sejenak. Raden sendiri pun sama, menundukkan segenap wajahnya. Ia hanya melihat jari-jari Sekar yang lentik menata minuman di atas meja. Ustadz Mukhlis sendiri terus memperhatikan sikap Raden dengan sedikit perasaan khawatir,
            Akh, ana bingung untuk menyampaikan apa. Tapi... apapun yang akan antum dengar, semoga... antum bisa terima dengan lapang dada. Semoga Allah selalu memberi jalan yang terbaik...,
            Perlahan hati beliau berbisik demikian. Keadaan mulai berubah sejak cerita itu, beliau sepertinya mulai memikirkan kalimat terbaik yang akan diucapkannya untuk anak didik terbaiknya kali ini. Orang yang akan kembali mengalami sebuah perjalanan hati yang cukup panjang, yang akan kembali harus menerima segala keputusan terbaik yang Allah beri.
Beberapa saat kemudian Sekar tampak bersiap untuk pergi, ia menggendong tas sambil memegang jaket di tangan kanannya.
            “Paman... Bibi... Sekar, pamit dulu...”
            “Lho... kok buru-buru pulang? Kalau begitu... nanti biar pamanmu saja yang nganterin kamu pulang ke kontrakan...,”
            “Iya Sekar, kok cepat sekali?” imbuh pamannya.
            Sekar membalasnya dengan senyuman, “Sekar ada beberapa tugas untuk besok, terus juga... temen-temen kontrakan mau diskusi ama sharing-sharing gitu. Barusan Sekar dapet sms dari Sarah, jadi...,”
            “Ya sudah kalau begitu..., Akh bisa anterin Sekar pulang sampai di depan kontrakannya kan?” pinta ustadz Mukhlis kepada Raden.
            Spontan Sekar terhenyak mendengarkan perkataan pamannya, sekaligus tidak menyangka hal demikian bisa terucap dari mulut beliau. Raden sendiri masih belum menatap wajahnya sekalipun, padahal mereka berdua sudah lumayan dekat dan cukup sering berbincang-bincang. Jantung Raden mulai berdegup kencang, seakan tak kuasa dirinya untuk membuatnya normal kembali. Perlahan ia mulai berkata,
             “Ustadz… bukannya ini sudah cukup malam? Terus juga saya sendiri kan bukan muhrimnya…?!
             Insya Allah ana izinin antum untuk mengantarkan keponakan ana sampai kontrakan…,” potong ustadz Mukhlis.
Sekar mulai tersenyum kecil, “Kang Raden bukannya baru datang? Paman juga kan ada keperluan ama kang Raden...,”
            Pamannya menyadari kalau Sekar mencoba mengalihkan pembicaraan, beliau mulai menghela nafas sambil mempersiapkan kalimat terbaik yang akan diucapkan.
            “Jadi... mau pulang sendirian atau diantar?” tanya pamannya.
            “Sekar, mending turuti saja permintaan pamanmu...,” imbuh bibinya sambil memegang bahu kanannya.
            Sekar mengangguk perlahan sambil memandang wajah bibinya, Raden sendiri seakan tak percaya dengan permintaan ustadz Mukhlis. Seluruh badannya gemetar bahkan tak mampu untuk digerakkan, hingga akhirnya suara ustadz Mukhlis mulai menenangkan segenap jiwanya.
            Sekar langsung mencium lengan paman dan bibinya, Raden sendiri sudah berada di luar dan mulai menyalakan mesin sepeda motor. Dengan segenap keyakinan, ia menatap langit yang cukup cerah ditemani bintang-bintang yang bersinar cukup terang. Semakin membuatnya mampu untuk menguasai sejenak perasaan yang timbul, serta menjadikan suasana hati menjadi lebih baik dari waktu sebelumnya. Dan masa itu semakin membuatnya akan segera mengetahui sebuah permasalahan besar yang akan dihadapinya, perjalanan yang cukup berat sebelum ia pergi dari Jatinangor dengan gelar sarjananya.
            Sekar membuka pintu depan perlahan dengan perasaan gugup. Raden sendiri terus memandang ke atas langit yang dipenuhi bintang.
            “Kang...,”
            “... Sudah siap, Sekar...?” tanya Raden yang sudah duduk tenang di atas jok sepeda motornya.
            Sekar mengangguk sambil tersenyum, hal sama dilakukan paman dan bibinya dari pintu depan rumah. Setelah mengucapkan salam keduanya langsung melaju. Kali ini Raden membawa sepeda motor perlahan, melewati jalan gang dan akhirnya menuju jalan raya yang dipenuhi kendaraan. Perjalanan berdua untuk kali pertama bersama Sekar, meskipun masih ada keraguan dalam hatinya mengingat ia bukanlah muhrim bagi Sekar.
Paman dan bibi Sekar masih tetap berada di luar rumah, mereka berdua duduk-duduk di bangku teras depan sambil mengamati langit malam ini. Kedua mata mereka akhirnya saling bertemu,
            “Kang..., seandainya anak tadi yang menjadi jodoh keponakan kita, bagaimana tanggapan akang sendiri?”
            “Hmm... akang sendiri nggak tahu, ya... kalau boleh dibilang sih mereka berdua lumayan cocok. Tapi kalau memang Allah sudah menakdirkan jodohnya yang lain, apa boleh buat... terus juga kan Sekar masih tingkat tiga, jadi mesti fokus ama kuliahnya terlebih dahulu... kalau menurut umur, tapi kalau ternyata Sekar siap untuk menikah, kenapa tidak?
            “Tapi kang, sepertinya anak itu punya kekuatan yang meyakinkan untuk jadi jodoh keponakan kita suatu saat nanti...,
            “Akhirnya istriku yang cantik ini berkata demikian juga... kalo untuk ukuran ikhwan, jika mereka mampu untuk menikah atau agar terhindar dari perbuatan tercela maka diupayakan untuk segera menikah… contohnya Raden. Punya pendapatan sendiri, mapan, sebentar lagi akan lulus, pemahaman mengenai Islam yang Insya Allah luar biasa…, jika disandingkan dengan Sekar keponakan kita dengan tingkat ketaqwaan yang cukup bagus… terlebih pernah menjadi ketua keputrian DKM fakultasnya, rasanya… cocok dan Insya Allah menjadi pasangan yang tepat. Mantan wakil ketua FKDF bersanding dengan mantan ketua Keputrian DKM Fakultas Psikologi... akang nggak bisa bayangin akan seperti apa cahaya iman itu berpendar dari keduanya,” kata ustadz Mukhlis yang mulai mengamati bintang-bintang yang berpendar di gelapnya langit malam ini.
            Spontan istrinya tercengang, ustadz Mukhlis mengamati wajah istri tercintanya sesaat kemudian kembali melanjutkan kata-katanya,
            “Pemuda itulah yang mencintai keponakan kita, tapi... dia sama sekali belum tahu kalau Sekar sudah dilamar oleh orang lain. Akang sebenarnya sangat sedih dan mungkin… sulit untuk merasakan beratnya kesedihan yang dialami. Disaat ia menemukan cinta sejatinya... Allah memberinya rencana kehidupan yang lain, akang sendiri bingung untuk berkata apa nantinya...,”
            Subhanallah...!!! Jadi... pemuda itu...,”
            “Ya... benar,”
            Istri ustadz Mukhlis semakin tercengang, beliau begitu yakin setelah pertama kali melihatnya. Ada cahaya yang bersinar dalam diri Raden yang membuat beliau yakin bahwa ia jodoh yang tepat untuk keponakannya. Meskipun harapan sepertinya hanya tinggal harapan yang tak terwujud, keduanya yakin Allah akan memberikan yang terbaik untuk Sekar dan juga Raden, sesuatu yang mungkin tidak akan pernah mereka duga sebelumnya. Perjalanan hidup yang penuh dengan misteri pun juga cerita indah, hanya saja Allah selalu punya rencana terbaik dalam setiap kehidupan manusia.
*****
            Sekar duduk tenang di belakang Raden, sebuah tas yang dibawanya membatasi duduk diantara keduanya. Raden mengemudikan sepeda motor perlahan, mempertahankan keseimbangan di tengah keramaian kota malam ini. Setelah melewati Jalan Sayang yang sebenarnya bernama Jalan Kolonel Achmad Syam, sepeda motor yang ditunggangi mereka berdua akhirnya sampai di depan sebuah gang. Perjalanan mereka lalui sepi-sepi saja, tanpa ada sepatah katapun yang terucap. Raden tak mampu banyak bicara, sementara Sekar sendiri harus menahan kesedihannya dan tidak menginginkan orang yang ada di dekatnya mengetahui sebuah hal yang menimpa dirinya. Tapi mungkin ini adalah hal yang cukup membuat Sekar merasakan sedikit kebahagiaan, sebelum akhirnya melewati masa tersulit yang harus ia jalani dalam kehidupannya di masa yang akan datang.
             “Kuliahnya gimana Sekar…?” Raden memulai pembicaraan dengan pertanyaan.
             “Mmm… Alhamdulillah lancar kang, ya meskipun harus disibukkan dengan beberapa tugas dari dosen…,” jawab Sekar tenang.
             “Syukurlah kalau begitu…,”
            Sekar tersenyum kecil, ia cukup bahagia mendengarkan suara Raden. Sekar terdiam, begitu pula dengan Raden. Dan keduanya hanya mampu terpaku menemani lintasan waktu. Beberapa bulan lagi mungkin mereka berdua akan jarang melakukan komunikasi. Raden yang akan segera sidang, sementara Sekar sendiri akhirnya akan menikah dengan Ali. Sebuah momen yang agaknya sangat tidak diinginkan oleh Sekar, ukhuwah yang terjalin rasanya terganggu oleh tekanan batin yang menyulitkannya untuk mencari jalan yang terbaik.
            Ya Allah, kuatkanlah hamba-Mu ini...
            Mereka berdua memasuki sebuah gang kecil, sekitar 100 m akhirnya sampai di depan sebuah rumah kontrakan yang di kanan dan kirinya penuh oleh tempat kos-kosan. Raden terus menjaga keseimbangan laju sepeda motor yang mulai memasuki jalan yang sempit, beruntung tidak ada orang lalu lalang yang bisa sedikit menghambat laju sepeda motor yang dikemudikannya.
            Syukron, kang...”
            Afwan...,”
            “Lho, teh Sekar sudah pulang?”
            Dian tiba-tiba memotong percakapan pendek mereka berdua, selain dia, Fani dan juga Oppie berada disana. Sepertinya mereka berdua hendak pergi ke suatu tempat.
            “Pada mau kemana?” tanya Sekar.
            “Ini Teh... mau nyari bahan kuliah di warnet kebetulan Teh Fani ma Oppie juga mau kesitu, jadi bareng aja...,”
            “Hmm, oh ya Sekar... kalo mau makan ntar tinggal ambil aja ya, lauknya ada di meja makan... semua yang masakin Dian lho,” Imbuh Fani kemudian sambil memberikan senyuman kecil untuk Raden yang masih duduk di atas jok sepeda motor.
             “Iya teh… cobain deh masakan yang Dian buat,”
            Ketiganya mulai memperhatikan tamu yang datang malam ini. Raden tersenyum kecil sambil mengucapkan salam perlahan dan dibalas kembali oleh mereka secara perlahan pula. Suasana yang kontras ini pun sepertinya mulai ditangkap oleh ketiga teman sekontrakan Sekar, ini adalah kali pertama untuk Raden mengantar Sekar sampai di depan kontrakan, terlebih malam hari.
            “Kang Raden..., kok bisa bareng ama Sekar?” tanya Fani.
            “Mmm...,”
            Tadi kebetulan kang Raden berkunjung ke rumah pamanku, terus... beliau meminta tolong kang Raden untuk nganterin aku sampai kontrakan....,
            Sekar dengan cerdik memotong pembicaraan dengan penjelasan singkat. Raden hanya bisa kembali tersenyum dan sepakat dengan jawaban yang diberikan Sekar barusan.
            “Ya udah kalo gitu... kami pergi dulu ya...! Assalamu’alaykum!!!” ketiganya mengucapkan salam cukup serempak.
            Wa’alaykum salam,”
            Ketiganya langsung pergi meninggalkan Raden bersama Sekar, dan berlalunya mereka menyimpan sebuah tanda tanya yang cukup besar. Hal ini bisa menjadi berita yang cukup kurang baik apabila diketahui oleh orang lain, ketika seorang laki-laki yang bukan muhrimnya serta tidak dalam keadaan darurat mengantarkan seorang perempuan malam hari. Dan atas dasar itulah Sekar pun mulai merasakan sebuah kegelisahan, meskipun akhirnya ketenangan batin yang ia coba hidupkan membuatnya mulai merasakan sebuah kenyamanan.
Dari dalam Sarah beranjak keluar dan mendapati mereka berdua tampak terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia langsung menelungkupkan kedua telapak tangannya di dada sambil mengucapkan salam, Raden membalas dengan sebuah senyuman kecil dan kembali menundukkan pandangannya.
            “Sarah, nggak ikutan pergi ama yang lain?”
            “Mmm, nggak... lagi ada tugas nih. Tapi alhamdulillah sudah selesai kok...,”
            “Kang... makasih ya udah repot-repot nganterin,”
            “Lho Sekar... nggak disuruh duduk sebentar dulu terus dikasih minum gitu...?” celetuk Sarah.
            Spontan keduanya tersentak,
            “Nggak usah repot-repot... akang cuma diberi amanah untuk nganterin Sekar pulang aja kok. Sudah malam juga, dan nggak bagus juga misal ikhwan dan akhwat yang bukan muhrim tanpa alasan atau tujuan yang jelas untuk bertemu atau bahkan melakukan interaksi secara langsung ketika malam hari. Akang cuma menyelesaikan amanah saja…,
            Hmm… iya kang, afwan…,” kata Sarah.
            Sekar hanya bisa tertunduk, sementara Sarah terus memperhatikannya. Sikap yang biasa temannya lakukan ketika nama ‘Raden’ disebut, bahkan kali ini orang itu ada di depan matanya. Orang tersebut nampak sangat jelas, suaranya, wajahnya yang cukup cerah, serta senyuman kecilnya yang mampu membuat akhwat atau kebanyakan perempuan yang kebetulan mendapatinya tersenyum akan mengingatnya dengan sangat baik. Sebuah senyuman yang tulus, penuh makna serta ketenangan dan memberikan kenyamanan. Raden yang dikenal sebagai pribadi yang santun, murah senyum serta berjiwa pemimpin. Dan sebenarnya masih banyak lagi kelebihan yang Raden miliki, karena pribadinya yang cukup sempurna itu terbalut dengan rahmat Allah berupa keimanan.
Raden mulai bersiap untuk beranjak dari tempat ini,
 “Mmm, ya sudah... akang pergi dulu ya...,”
            Raden mulai menyalakan mesin sepeda motor, ia segera berbalik arah menuju keluar gang.
            Assalamu’alaykum...!”
            Keduanya membalas salam, sejurus kemudian Raden menghilang dari hadapan mereka berdua. Keduanya langsung masuk kedalam, Sarah mulai mengajak Sekar untuk berbincang-bincang.
            “Sekar... kang Raden belum tahu semuanya kan?!
            Sekar mulai kembali menunduk, setitik air mata mulai jatuh, ia terus menundukkan wajahnya. Sarah mulai menghampirinya, ia mendapati wajah saudara seperjuangannya terbasahi oleh air mata. Keduanya saling berpelukan, Sarah begitu paham keadaan Sekar saat ini yang begitu tertekan. Bagi Sekar, Sarah adalah orang yang paling memahaminya. Dia yang selalu ada untuknya, meluangkan kesempatan untuk menceritakan segala sesuatu tentangnya maupun masalah yang sedang dialaminya.
            “Yang sabar ya Sekar... Allah sedang memberikan sebuah ujian keimanan bagi hamba-Nya,
            “...Hiks..., aku juga ngerti, Sarah... tapi bagiku rasanya ini terlalu berat...” Sekar terus menangis dalam pelukan temannya.
            “Sekar... istighfar..., kemana Sekar yang selama ini tegar? Sekar yang punya pemikiran jenius? Sekar mahasiswi psikologi yang teladan? Bukankah selama ini kamu yang selalu membimbing kami? Ngasih semangat, motivasi... kemana Sekar yang dulu? Istighfar... jangan hanya karena hal ini malah membuatmu menjadi semakin lemah, jangan biarkan setan merasuki seluruh pikiranmu...!” kata Sarah sambil terus memandang wajah teman terbaiknya yang kini berlinang air mata.
            Sekar masih terus menangis, sambil tak henti-hentinya ia mengucapkan ‘istghfar’. Sarah semakin larut dalam masalah yang dialami oleh Sekar. Sementara diluar sana, seseorang yang sepertinya akan menerima ujian dan permasalahan yang baru masih tenang mengendarai sepeda motor ditengah-tengah keramaian jalan raya. Ia masih belum mengetahui hal yang sebenarnya terjadi, bahkan ustadz Mukhlis sendiri mulai kebingungan untuk menjelaskan sesuatu yang sangat penting dan pastinya akan membuat seorang Raden kembali merasakan sebuah kesedihan yang mendalam.
            Perjuangan masih belum berakhir, sudah banyak ujian yang dihadapinya. Perjalanan panjang sebagai khalifah di muka bumi sesuai yang Allah gariskan membuatnya begitu optimis mampu melalui segala sesuatunya dengan penuh keimanan. Dengan berbagai cobaan berat yang sebentar lagi akan menghampirinya, Raden masih tetap yakin bahwa dirinya akan berhasil melaluinya kendati suatu saat nanti akan banyak kenyataan pahit yang harus ia terima. Perjalanan dakwah ini terasa cukup berat manakala ia ragu untuk melangkah, padahal selanjutnya Allah sudah menyiapkan hadiah terbaik hamba-Nya yang sabar dan mampu melalui setiap episode rumitnya dinamika kehidupan.
            ‘Man jadda wajada... Man shabara zafira...,’



[1]Lembaga Dakwah Kampus Universitas Padjadjaran yang terdiri atas seluruh LDF (Lembaga Dakwah Fakultas) atau ROHIS Fakultas. Dibentuk pertama kali atas prakarsa ROHIS Fakultas Kedokteran (DKM Asy-Syifa) pada 2 Mei 1998 yang beranggotakan awal sebanyak 8 Fakultas.
[2] Sekar kemana…?
[3] Sebentar kang,
[4] Sama dengan ustadzah, lebih khususnya yang membimbing halaqah bagi akhwat (perempuan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar