BAB III
PEMBICARAAN ITU ADALAH PELAJARAN TERBAIK
Pikiran Raden masih belum begitu
tenang, meski ia merebahkan segenap tubuhnya diatas tempat tidurnya. Suara musik
terdengar pelan mengiringi lamunannya, ia menghadapkan seluruh mukanya ke arah
langit-langit. Beberapa kebingungan mulai melanda, termasuk keinginanya melamar
Sekar. Ada
hal yang belum ia ketahui sehingga membuatnya gelisah tak menentu, sebuah hal
yang mungkin akan kembali menjadi ujian baginya. Perasaan yang kurang bersahabat perlahan
muncul, dan membuatnya semakin terbuai dalam
lamunan.
“Astaghfirullahaladzim...!!!”
Ia bangkit dari tempat tidurnya, dan akhirnya teringat akan perkataan ustadz Mukhlis untuk berkunjung ke rumah beliau perihal sesuatu yang hendak dibicarakan
sore tadi. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Ia pun bergegas menuju kamar
mandi dan mencuci mukanya, melangkahkan kaki dengan pasti meskipun segala macam
pemikiran mulai terlintas, ia berusaha untuk mengendalikan gejolak yang
menghantui segenap kalbunya. Beberapa santri Pesma
tampak serius menatap laptop maupun buku kuliah masing-masing, Bayu sendiri
sejak selesai shalat Isya’ langsung kembali menatap laptopnya untuk mengerjakan
tugas kuliah.
“Kang Raden... mau kemana?” tanya
Febry yang kali ini asyik membaca bukunya sambil menikmati secangkir kopi
hangat dan kerupuk udang.
“Mau ke rumahnya ustadz Mukhlis...,”
Raden
kembali melanjutkan langkahnya sambil mengucapkan salam dan dibalas para santri
yang menunda sejenak kegiatannya untuk memperoleh pahala dengan menjawab salam
yang diucapkan Raden.
Malam ini suasana cukup cerah.
Perlahan ia menyusuri jalan Sayang mengendarai sepeda motor hasil usahanya yang
sudah seminggu lamanya tidak digunakan, dan Rizal yang akhirnya menikmati
nyamannya berkendara sepeda motor milik seniornya untuk pergi ke kampus.
‘Nanti...
ngomong apa ya sama ustadz? Tapi… sepertinya ada sesuatu
yang ingin beliau sampaikan…?’ bisik hatinya. Ia terus mengendarai
sepeda motornya perlahan, menyeberangi jalan dan masuk gang disamping masjid
Al-Huda. Sekitar 200 meter dari depan gang ia berhenti di depan sebuah rumah,
yang tidak lain adalah rumah ustadz Mukhlis. Rumah ini cukup bersih dengan
beberapa tanaman dalam pot yang menghiasi bagian depannya. Sejenak ia memandang ke
arah langit, dipenuhi bintang kecil yang bersinar cukup indah. Cukup tenang hatinya kali ini, ia pun mengawali sesuatu yang
akan terjadi nanti dengan basmallah. Sepeda motor ia
parkirkan tepat di depan teras rumah ustadz Mukhlis.
“Assalamu’alaykum...,”
Raden mengetuk pintu rumah tersebut untuk beberapa
kali sambil mengucapkan salam. Sesekali ia melihat HPnya
untuk melihat jam,
‘Krek...’
pintu terbuka dari dalam, seorang perempuan keluar sambil membalas salam sambil tersenyum kecil.
“Subhanallah....!”
Raden terhenyak sesaat memandang wajah gadis itu, ‘Sekar...?’ Ia pun mulai
menenangkan dirinya, sementara perempuan yang tak lain adalah Sekar mulai memperlihatkan tingkah yang
cukup aneh. Raden sedikit tertunduk
dan terdiam untuk beberapa saat, Sekar sendiri akhirnya mundur selangkah sambil menunduk malu. Keduanya mencoba untuk
menguasai dirinya, antara perasaan gembira dan menjaga diri dari saling bertatap
muka. Ustadz Mukhlis perlahan menghampiri keduanya
dengan wajah berseri,
“Assalamu’alaykum akhi...,”
“Wa’alaykumsalam
ustadz...,”
“Neng, tolong buatkan minuman untuk Raden.”
“Mmm, paman Mukhlis sendiri?”
“Ya, bolehlah… teh manis hangat saja ya,” kata ustadz Mukhlis
sambil tersenyum.
Sekar langsung menuju ruang dapur
dan menyiapkan minuman untuk mereka berdua, dari dalam istri ustadz Mukhlis, Fatimah
Az-Zahra, mengikuti langkah Sekar perlahan. Beliau berjalan cepat untuk menyusul Sekar yang mulai
memperlihatkan gelagat aneh. Ada sesuatu yang ingin beliau ketahui,
“Sekar, siapa yang datang?”
“Itu Bi, Raden... temen kuliah Sekar,cuma kita berdua
beda fakultas. Kang Raden... kuliah di
geologi dan juga sebentar lagi mau lulus,” jawab Sekar terbata-bata.
“Wah… subhanallah, jadi yang datang itu Raden?
Penulis buku, pengisi acara di kampus dan kata pamanmu dia punya suara yang
bagus kalo bernyanyi itu ya?”
“Iya bi…,” kata Sekar
sambil menengok ragu ke arah bibinya dan
mengaduk-aduk minuman yang sedang dibuatnya. Ia semakin menunjukkan
sikap yang aneh di depan bibinya, semakin membuat sebuah pertanyaan yang cukup
besar di ruang dapur ini. Pertanyaan yang sepertinya hendak dilontarkan oleh
bibinya yang terus memperhatikannya. Beliau tersenyum kecil kemudian kembali menuju
ruang tengah dan membaca sebuah majalah muslim. Sekar pun selesai menyiapkan dua gelas teh
manis hangat di dapur,
perasaannya mulai semakin tak menentu. Beberapa menit yang lalu terjadi sebuah pembicaraan
yang menguak masa depannya kelak, hal yang tidak diinginkannya, juga tidak
harus diketahui oleh Raden yang kini berada di rumah pamannya sendiri.
‘Ya
Rabb... lindungilah hamba-Mu dari segala keburukan malam yang mulai mengganggu
hamba,’
Suara iqamah berkumandang di hampir seluruh
masjid dan mushala yang ada di Jatinangor, dan ustadz Mukhlis pun sudah sampai di depan
rumahnya. Perlahan beliau mulai memasuki rumahnya dengan beberapa perasaan yang
menyelimuti hatinya, hingga rasa lelah yang kembali mendera. Perlahan beliau
mengetuk pintu rumah sambil mengucapkan salam,
“Assalamu’alaykum...,”
“Wa’alaykumsalam...,”
Dari ruang tamu, istrinya dan Sekar membalas salam
beliau secara bersamaan. Keduanya sedang membicarakan sesuatu yang cukup serius,
“Lho... neng Sekar, kok ada disini?”
“Kang, sepertinya... ada hal serius
yang harus kita bahas kali ini,” potong istrinya cukup tegas.
Gelagat Sekar mulai membuat ustadz Mukhlis
curiga, beliau
mulai tersenyum kecil dan duduk tenang di atas sofa sambil memandang wajah Sekar dan istrinya. Bayangan seorang Raden
mulai muncul, mengisyaratkan sebuah berita besar yang akan diketahuinya suatu saat. Tapi sepertinya beliau
tidak menyukai sesuatu yang buruk itu kembali menimpa seorang Raden, sudah terlalu
banyak berbagai kejadian buruk yang dialami binaannya.
“Kita shalat maghrib berjamaah dulu,
setelah itu baru
kita bahas hal yang tampaknya sangat urgent kali ini...,” kata ustadz Mukhlis.
“Kang... cape banget ya kayaknya?!” tanya
istri beliau.
“Ya, lumayan... namanya juga persiapan tabligh
akbar,” jawab ustadz Mukhlis sambil tersenyum, beliau sengaja menyembunyikan
pertemuan halaqah yang tidak tuntas
dengan Raden dan teman-temannya.
Mereka bertiga segera beranjak dari
ruang tamu, Sekar menutup pintu terlebih dahulu. Secara bergantian mereka
mengambil air wudlu, ustadz Mukhlis mengambil air wudlu pertama kali disusul istrinya. Beliau kemudian langsung menuju
ruang khusus yang biasa digunakan untuk shalat
berjamaah di
rumah ini. Ruangan dengan luas 3x4 meter yang bisa digunakan sebagai tempat diskusi
sunnah, fiqih, hadist, tafsir Qur’an bagi ustadz Mukhlis dan istrinya. Pun juga
tempat Sekar banyak menerima berbagai materi keislaman langsung dari bibinya.
Setelah Sekar selesai mengambil air wudlu, ia langsung bergabung bersama paman dan
bibinya yang sudah siap untuk menunaikan shalat
maghrib berjamaah.
‘Allah...
huakbar!’
Ustadz Mukhlis memulai takbiratul ihram dan diikuti kedua
makmum, istri
dan keponakannya. Beliau memimpin jalannya shalat perlahan, dengan bacaan yang
sangat fasih kendati kondisi
fisik beliau memang sedang cukup lelah.
Ustadz
Mukhlis cukup terkenal
di kalangan
mahasiswa Unpad, khususnya bagi mereka yang masuk sebagai pengurus FKDF (Forum Komunikasi Dakwah Islam Fakultas)[1]
sebagai seorang yang hafiz Al-Qur’an.
Beliau juga biasa mengisi materi pada ta’lim
maupun kajian Islam di beberapa fakultas yang diselenggarakan oleh LDF (Lembaga Dakwah Fakultas) maupun DKM
Fakultas tiap bulannya. Kegiatan selingan selain mengajar di Pesantren Daarut
Tauhid.
Setelah selesai shalat, ustadz Mukhlis
memulai berdzikir. Sementara istri
dan keponakannya membaca mushaf di
ruang tengah. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam, suasana keislaman yang begitu
kental menghiasi seisi ruangan rumah yang tidak terlalu mewah ini.
Sekar
terlebih dahulu menyelesaikan membaca mushafnya,
ia beranjak masuk ke dalam kamar yang biasa ia gunakan ketika menginap di rumah
pamannya. Tak terasa air mata mulai menetes, ia mulai ragu untuk menceritakan
hal yang membuatnya tertekan beberapa hari ini, sederet perasaan bingung mulai
menghantui seluruh pikirannya. Ia tak mampu berbuat banyak, dengan perasaan
sedih yang tak tertahan ia membenamkan mukanya ke tempat tidur sambil
menutupnya dengan kedua telapak tangannya. Banyak hal yang sepertinya tidak
ingin ia ceritakan, bahkan diketahui oleh seseorang yang kini mulai mengusik
hatinya. Ada sebuah ejawantah yang mulai menyeruak di dalam hatinya yang kini
sulit untuk menerima kenyataan yang terjadi, pilihan hidup itu terasa sulit
untuk diterimanya.
‘Ya
Allah... ujian apalagi yang hendak Engkau berikan kepada hamba-Mu...!’
Cukup lama Sekar berada di dalam kamar, sementara
paman dan bibinya sudah selesai membaca mushafnya
masing-masing.
“Sekar
kamana...?”[2]
“Sakedap
kang,”[3]
Istri ustadz Mukhlis mulai meletakkan mushaf di atas meja kemudian menuju
kamar Sekar.
Sekar sendiri masih larut
dalam kesedihannya, hingga suara ketukan pintu dari luar membangunkannya sesaat.
“Sekar, katanya mau ngomong...?!”
“...Iya… sebentar Bi,” jawab Sekar dengan nada
yang lirih.
Cepat ia mengusap seluruh air mata
yang membasahi seluruh mukanya dan merapihkan kembali penampilannya seperti saat sebelum
memasuki kamar. Badai keraguan mulai menerpa, namun Sekar harus menceritakan
semuanya malam ini. Segala hal yang membuatnya harus bersedih.
Dari luar bibinya sudah menyambut
dengan senyuman, Sekar mulai menutupi kesedihannya. Beliau mulai memperhatikan Sekar
yang terlihat gusar,
menyiratkan
perasaan terpendam yang hendak dicurahkan. Keduanya berjalan perlahan menuju ruang
tengah, disana ustadz Mukhlis sudah duduk dengan tenang sambil membaca majalah
yang tergeletak di atas meja.
“Kang...,”
Ustadz Mukhlis langsung menyimpan
majalah yang dibacanya di atas meja, Sekar dan istrinya langsung duduk tepat
dihadapan beliau. Sejenak mereka saling berpandangan, hingga akhirnya Sekar
mulai membuka pembicaraan meskipun ragu untuk mengatakan sebuah hal yang sangat penting.
“... Sebenarnya...,”
“Sekar, sepertinya... kamu menyimpan masalah yang serius… tidak
seperti biasanya kamu seperti itu,”
Ustadz Mukhlis memotong pembicaraan
sejenak, Sekar semakin kembali larut dalam kesedihannya. Istri beliau mulai
menenangkan Sekar, senyuman kecil yang terpancar dari bibir Sekar membuatnya
segera memberanikan diri untuk mengungkapkan segenap yang ia rasakan saat ini. Ia mulai menguasai
kondisi batinnya yang dihinggapi perasaan cemas,
‘Bismillah...,’
Sekar menceritakan semuanya, tentang
lamaran seorang ikhwan kepada kedua
orang tuanya yang disampaikan sebulan yang lalu. Pemuda itu bernama Ali, Ali Muamar Al-Fattah. Lulusan ITB yang
kini sudah bekerja di Pertamina UP. V Balongan, daerah tempat asal Raden,
seorang ikhwan yang sepertinya mulai membuat rangkaian cerita dalam perjalanan
hidupnya. Ia sendiri bahkan tidak mengetahui bahwa Ali adalah sahabat baik Raden
sejak SMA dulu, kebenaran baru terungkap sekitar seminggu yang lalu, ketika Ali menelponnya
dan bicara panjang lebar mengenai persahabatan yang ia bangun bersama Raden dan
beberapa teman yang lain. Sosok Ali cukup mengagumi Raden yang terkenal di kalangan
siswa maupun guru ketika masa SMA dulu, orang yang cukup sempurna karena
menguasai banyak bidang baik olahraga, pendidikan, agama maupun kepemimpinan
yang membuat beberapa orang iri terhadap kemampuannya.
“Paman, Sekar... masih belum siap... terlalu cepat rasanya buat Sekar,”
Sekar sudah tidak sanggup lagi untuk
berkata, ia beberapa kali harus mengusap air mata yang menghiasi pipinya. Dan
air mata itu antara kebahagiaan maupun kesedihan, dua keadaan yang saling
berpadu dalam hatinya.
“… Keputusan semua ada ditanganmu,
apabila memang ini semua yang ditunjukkan oleh Allah maka sempurnakanlah dengan
pengabdianmu pada suamimu kelak. Memang benar kalau Sekar mengatakan bahwa belum saatnya untuk
menerima sebuah lamaran dengan kondisimu sebagai anak satu-satunya di keluarga dan
juga masih menjadi seorang mahasiswi tingkat tiga… suatu beban moral tersendiri buat Sekar.
Paman sendiri
sebenarnya cukup kecewa mendengarkan cerita yang barusan kamu ceritakan, padahal biasanya ayahmu bercerita
apabila ada sesuatu yang penting. Cukup aneh sepertinya…,”
“Perjodohan antara orang tua...,” papar
bibinya perlahan.
“Umi... biarpun perjodohan... asalkan
melibatkan Allah di dalamnya, Insya Allah akan terbentuk keluarga yang penuh
berkah. Tapi jujur... baik pama maupun bibi baru tahu akan hal ini,” terang
pamannya.
Sekar cukup tertegun, dari kata-kata
yang keluar dari pamannya ia mulai menangkap sesuatu. Ada beberapa
hal yang sengaja disembunyikan ayahnya kepada pamannya yang tak lain adalah
adik kandung sendiri. Bibinya beranjak dari tempat duduknya, mendekat ke arah tempat duduk suaminya.
“Neng, mungkin kedua orang tuamu
memutuskan yang terbaik untukmu. Tapi… memang semua keputusan ada ditanganmu,
memang kapan keluarga Ali akan datang untuk saling berkenalan atau ta’aruf?”
“… Rencananya, sekitar libur
lebaran… Tapi… paman, bibi… aku masih belum mau untuk menjawab apakah terima
atau tidaknya lamaran itu, bagiku menikmati agenda kuliah adalah prioritas yang
paling utama. Aku masih belum mau menerima seseorang yang belum aku kenal dan
tidak aku cintai…,”
Suasana hening sesaat, paman dan
bibinya saling berpandangan sementara Sekar mulai tertunduk. Seakan semuanya
terjadi disaat ia menemukan seseorang yang nantinya pasti akan mencintainya sepenuh hati,
namun ia sadar karena harus menghadapi persoalan yang tidak boleh diketahui oleh orang tersebut. Tapi,
sepertinya bukan hanya Sekar yang mengalami masalah yang cukup serius. Ustadz Mukhlis
sebentar lagi bertemu dengan Raden, orang yang memiliki niat untuk melamar keponakannya. Sebuah hal berat yang
mungkin akan mengganggu pikiran binaannya. Dan berita
besar itu baru saja ia dapatkan dari Sekar, berita yang menyiratkan makna
perjuangan untuk melewati segala tantangan kehidupan. Dan sejenak beliau
melupakan rasa lelah yang mendera, seakan hilang untuk beberapa saat.
‘Akhi,
sepertinya…niat baik antum harus terhalang tembok yang cukup tinggi
dan mungkin tidak akan mampu antum tembus dan
hancurkan. Semoga… Allah menunjukkan jalan terbaik untuk antum…astagfirullahaldzim,’
Ustadz Mukhlis tertunduk sejenak, seakan sebuah hal berat
menghantam pikirannya dan membuat beliau sulit untuk memecahkannya. Kembali
dihadapkan pada sebuah pilihan, yang semuanya baik dan telah Allah atur dalam
skenario-Nya yang penuh misteri.
*****
Berlalunya waktu mengembalikan
segala keadaan yang nyata, waktu dimana Sekar mulai menghadapi sesuatu yang cukup
berat dalam kehidupannya. Ia pun selesai menyiapkan minuman untuk Raden dan pamannya. Perlahan ia
melangkah keluar dari dapur, dengan penuh keyakinan ia terus membuat suasana hatinya semakin lebih
sejuk. Jauh lebih nyaman untuk menghadapi sesuatu yang sangat krusial.
“Sekar…,”
“Ya, Bi…”
Senyuman kecil melayang untuknya, “Sepertinya kamu menyimpan
sesuatu yang berhubungan dengan orang yang datang sekarang… sebenarnya, apakah
kamu memiliki perasaan khusus dengan orang yang bernama Raden?”
Wajah Sekar sedikit memerah, ‘astaghfirullah…,’
“Mmm… tapi, sekarang…”
Sekar menundukkan kepalanya, bibinya perlahan menghampirinya sambil mengusap kepala
Sekar dengan penuh cinta. Dan emosi dalam diri Sekar mulai memuncak, seakan ia hendak
meluapkannya secara bebas lepas tak terkendali. Kalau boleh meminta rasanya ingin sekali terjun
dari jurang yang sangat dalam, ingin rasanya menghilang dari dunia ini apabila
harus merasakan sebuah kenyataan yang tidak sejalan dengan keinginan.
“Mungkin ini semua sudah Allah
takdirkan, mungkin... memang ia bukan yang ditakdirkan untukmu, Insya Allah... orang yang bernama Ali akan
memberikan kasih sayang yang sepenuhnya untukmu jika kamu benar-benar menerima
lamarannya dan menikah dengannya. Sekar orang yang hebat, bibi dengar sendiri dari murabbiahmu.[4]
Beberapa hari yang lalu kami bertemu di jalan…,”
Sekar tersenyum, tampaknya masih ada
seorang lagi yang belum ia ceritakan terutama mengenai permasalahan yang ia
hadapi kali ini. Beliau adalah orang yang selalu membimbingnya dengan penuh kasih
sayang dan kesabaran serta kelembutan hatinya, sudah sekitar dua tahun beliau
yang ia anggap sebagai ibunya sendiri membinanya. Seorang dosen dari Fakultas
Ilmu Komunikasi, beliau juga seorang penulis pada sebuah penerbit buku di
Bandung. Bernama lengkap Dr. Hj. Ira Lestari Maemunah, beliau tinggal di
Bandung bersama keluarganya. Sekar sendiri sering berkunjung ke rumah beliau
setiap akhir pekan, terutama bersama teman satu kelompok liqo yang akhirnya kini menjadi teman sekontrakannya.
Sekar mulai melangkahkan
kakinya. Dari belakang bibinya mengikuti perlahan. Ia perlahan meletakkan minuman di atas meja tanpa memandang
dua orang yang pembicaraannya tertunda sejenak. Raden sendiri pun sama, menundukkan
segenap wajahnya. Ia hanya melihat jari-jari Sekar yang lentik menata minuman di atas meja. Ustadz Mukhlis sendiri terus
memperhatikan sikap Raden dengan sedikit perasaan khawatir,
‘Akh, ana bingung untuk menyampaikan apa. Tapi... apapun yang
akan antum
dengar, semoga... antum bisa terima dengan lapang dada. Semoga Allah selalu memberi jalan yang terbaik...,’
Perlahan hati beliau berbisik
demikian. Keadaan mulai berubah sejak cerita itu, beliau sepertinya mulai memikirkan
kalimat terbaik yang akan diucapkannya untuk anak didik terbaiknya kali ini. Orang yang akan kembali
mengalami sebuah perjalanan hati yang cukup panjang, yang akan kembali harus
menerima segala keputusan terbaik yang Allah beri.
Beberapa saat
kemudian Sekar tampak bersiap untuk pergi, ia menggendong tas sambil memegang
jaket di tangan kanannya.
“Paman... Bibi... Sekar, pamit
dulu...”
“Lho... kok buru-buru pulang? Kalau begitu... nanti biar
pamanmu saja yang nganterin kamu pulang ke kontrakan...,”
“Iya Sekar, kok cepat sekali?” imbuh pamannya.
Sekar membalasnya dengan senyuman, “Sekar
ada beberapa tugas untuk besok, terus juga... temen-temen kontrakan mau diskusi
ama sharing-sharing gitu. Barusan Sekar dapet sms dari Sarah, jadi...,”
“Ya sudah kalau begitu..., Akh bisa anterin Sekar pulang sampai di depan kontrakannya kan?” pinta ustadz Mukhlis kepada Raden.
Spontan Sekar terhenyak mendengarkan perkataan
pamannya, sekaligus tidak menyangka hal demikian bisa terucap dari mulut beliau. Raden sendiri masih belum
menatap wajahnya sekalipun, padahal mereka berdua sudah lumayan dekat dan cukup
sering berbincang-bincang. Jantung Raden mulai berdegup kencang, seakan tak kuasa
dirinya untuk membuatnya normal kembali. Perlahan ia mulai berkata,
“Ustadz… bukannya
ini sudah cukup malam? Terus juga saya sendiri kan bukan muhrimnya…?!
“Insya Allah ana izinin antum untuk mengantarkan keponakan ana sampai kontrakan…,” potong ustadz Mukhlis.
Sekar
mulai tersenyum kecil,
“Kang Raden bukannya baru datang? Paman juga kan ada keperluan ama kang Raden...,”
Pamannya menyadari kalau Sekar
mencoba mengalihkan pembicaraan, beliau mulai menghela nafas sambil mempersiapkan kalimat
terbaik yang akan diucapkan.
“Jadi... mau pulang sendirian atau
diantar?” tanya pamannya.
“Sekar, mending turuti saja
permintaan pamanmu...,” imbuh bibinya sambil memegang bahu kanannya.
Sekar mengangguk perlahan sambil
memandang wajah bibinya, Raden sendiri seakan tak percaya dengan permintaan ustadz Mukhlis. Seluruh
badannya gemetar bahkan tak mampu untuk digerakkan, hingga akhirnya suara
ustadz Mukhlis mulai menenangkan segenap jiwanya.
Sekar langsung mencium lengan paman
dan bibinya, Raden sendiri sudah berada di luar dan mulai menyalakan mesin sepeda motor. Dengan segenap keyakinan,
ia menatap langit yang cukup cerah ditemani bintang-bintang yang bersinar cukup
terang. Semakin membuatnya mampu untuk menguasai sejenak perasaan yang timbul,
serta menjadikan suasana hati menjadi lebih baik dari waktu sebelumnya. Dan masa
itu semakin membuatnya akan segera mengetahui sebuah permasalahan besar yang
akan dihadapinya, perjalanan yang cukup berat sebelum ia pergi dari Jatinangor
dengan gelar sarjananya.
Sekar membuka pintu depan perlahan dengan
perasaan gugup. Raden sendiri terus memandang ke atas langit yang dipenuhi
bintang.
“Kang...,”
“... Sudah siap, Sekar...?” tanya
Raden yang sudah duduk tenang di atas jok sepeda motornya.
Sekar mengangguk sambil tersenyum,
hal sama dilakukan paman dan bibinya dari pintu depan rumah. Setelah
mengucapkan salam keduanya langsung melaju. Kali ini Raden membawa sepeda motor
perlahan, melewati jalan gang dan akhirnya menuju jalan raya yang dipenuhi kendaraan. Perjalanan
berdua untuk kali pertama bersama Sekar, meskipun masih ada keraguan dalam
hatinya mengingat ia bukanlah muhrim
bagi Sekar.
Paman dan bibi Sekar
masih tetap
berada di luar rumah, mereka berdua duduk-duduk di bangku teras depan sambil
mengamati langit malam ini. Kedua mata mereka akhirnya saling bertemu,
“Kang..., seandainya anak tadi yang
menjadi jodoh keponakan kita, bagaimana tanggapan akang sendiri?”
“Hmm... akang sendiri nggak tahu,
ya... kalau boleh dibilang sih mereka berdua lumayan cocok. Tapi kalau memang
Allah sudah menakdirkan jodohnya yang lain, apa boleh buat... terus juga kan Sekar
masih tingkat tiga, jadi mesti fokus ama kuliahnya terlebih dahulu... kalau menurut umur, tapi
kalau ternyata Sekar siap untuk menikah, kenapa tidak?”
“Tapi kang, sepertinya anak itu
punya kekuatan yang meyakinkan untuk jadi jodoh keponakan kita suatu saat
nanti...,”
“Akhirnya istriku yang cantik ini berkata demikian
juga... kalo
untuk ukuran ikhwan, jika mereka
mampu untuk menikah atau agar terhindar dari perbuatan tercela maka diupayakan
untuk segera menikah… contohnya Raden. Punya pendapatan sendiri, mapan,
sebentar lagi akan lulus, pemahaman mengenai Islam yang Insya Allah luar biasa…, jika disandingkan dengan Sekar keponakan kita
dengan tingkat ketaqwaan yang cukup bagus… terlebih pernah menjadi ketua keputrian DKM
fakultasnya, rasanya… cocok dan Insya
Allah menjadi pasangan yang tepat. Mantan wakil ketua FKDF bersanding
dengan mantan ketua Keputrian DKM Fakultas Psikologi... akang nggak bisa
bayangin akan seperti apa cahaya iman itu berpendar dari keduanya,” kata ustadz
Mukhlis yang mulai mengamati bintang-bintang yang berpendar di gelapnya langit
malam ini.
Spontan istrinya tercengang, ustadz Mukhlis
mengamati wajah istri tercintanya sesaat kemudian kembali melanjutkan kata-katanya,
“Pemuda itulah yang mencintai
keponakan kita, tapi... dia sama sekali belum tahu kalau Sekar sudah dilamar
oleh orang lain. Akang sebenarnya sangat sedih dan mungkin… sulit untuk merasakan
beratnya kesedihan yang dialami. Disaat ia menemukan cinta sejatinya... Allah
memberinya rencana kehidupan yang lain, akang sendiri bingung untuk berkata apa
nantinya...,”
“Subhanallah...!!!
Jadi... pemuda itu...,”
“Ya... benar,”
Istri ustadz Mukhlis semakin
tercengang, beliau begitu yakin setelah pertama kali melihatnya. Ada cahaya
yang bersinar dalam diri Raden yang membuat beliau yakin bahwa ia jodoh yang
tepat untuk keponakannya. Meskipun harapan sepertinya hanya tinggal harapan yang tak
terwujud, keduanya
yakin Allah akan memberikan yang terbaik untuk Sekar dan juga Raden, sesuatu yang mungkin
tidak akan pernah mereka duga sebelumnya. Perjalanan hidup yang penuh dengan
misteri pun juga cerita indah, hanya saja Allah selalu punya rencana terbaik
dalam setiap kehidupan manusia.
*****
Sekar duduk tenang di belakang Raden,
sebuah tas yang dibawanya membatasi duduk diantara keduanya. Raden mengemudikan
sepeda motor perlahan, mempertahankan keseimbangan di tengah keramaian kota
malam ini. Setelah melewati Jalan Sayang yang
sebenarnya bernama Jalan Kolonel Achmad Syam, sepeda motor yang ditunggangi
mereka berdua akhirnya sampai di depan sebuah gang. Perjalanan mereka lalui
sepi-sepi saja, tanpa ada sepatah katapun yang terucap. Raden tak mampu banyak
bicara, sementara Sekar sendiri harus menahan kesedihannya dan tidak menginginkan
orang yang ada di dekatnya mengetahui sebuah hal yang menimpa dirinya. Tapi mungkin ini adalah hal yang cukup membuat Sekar
merasakan sedikit kebahagiaan, sebelum akhirnya melewati masa tersulit yang
harus ia jalani dalam kehidupannya di masa yang akan datang.
“Kuliahnya gimana Sekar…?”
Raden memulai pembicaraan dengan pertanyaan.
“Mmm… Alhamdulillah lancar kang, ya meskipun
harus disibukkan dengan beberapa tugas dari dosen…,” jawab Sekar tenang.
“Syukurlah kalau
begitu…,”
Sekar tersenyum kecil, ia cukup bahagia mendengarkan
suara Raden. Sekar terdiam, begitu pula dengan Raden. Dan keduanya hanya mampu terpaku
menemani lintasan waktu. Beberapa bulan lagi mungkin mereka berdua akan jarang
melakukan komunikasi. Raden yang akan segera sidang, sementara Sekar sendiri
akhirnya akan menikah dengan Ali. Sebuah momen yang agaknya sangat tidak diinginkan oleh Sekar, ukhuwah yang terjalin rasanya terganggu oleh tekanan
batin yang menyulitkannya untuk mencari jalan yang terbaik.
‘Ya
Allah, kuatkanlah hamba-Mu ini...’
Mereka berdua memasuki sebuah gang
kecil, sekitar 100 m akhirnya sampai di depan sebuah rumah kontrakan yang di kanan
dan kirinya penuh oleh tempat kos-kosan. Raden terus menjaga keseimbangan laju
sepeda motor yang mulai memasuki jalan yang sempit, beruntung tidak ada orang lalu
lalang yang bisa
sedikit menghambat laju sepeda motor yang dikemudikannya.
“Syukron,
kang...”
“Afwan...,”
“Lho, teh Sekar sudah pulang?”
Dian tiba-tiba memotong percakapan
pendek mereka berdua, selain dia, Fani dan juga Oppie berada disana. Sepertinya
mereka berdua hendak pergi ke suatu tempat.
“Pada mau kemana?” tanya Sekar.
“Ini Teh... mau nyari bahan kuliah
di warnet kebetulan Teh
Fani ma Oppie juga mau kesitu, jadi bareng aja...,”
“Hmm, oh ya Sekar... kalo mau makan
ntar tinggal ambil aja ya, lauknya ada di meja makan... semua yang masakin Dian lho,” Imbuh Fani
kemudian
sambil memberikan senyuman kecil untuk Raden yang masih duduk di atas jok sepeda
motor.
“Iya teh… cobain
deh masakan yang Dian buat,”
Ketiganya mulai memperhatikan tamu
yang datang malam ini. Raden tersenyum kecil sambil mengucapkan salam perlahan dan
dibalas kembali oleh mereka secara perlahan pula. Suasana yang kontras ini pun
sepertinya mulai ditangkap oleh ketiga teman sekontrakan Sekar, ini adalah kali
pertama untuk Raden mengantar Sekar sampai di depan kontrakan, terlebih malam
hari.
“Kang Raden..., kok bisa bareng ama Sekar?”
tanya Fani.
“Mmm...,”
“Tadi kebetulan kang Raden berkunjung ke rumah pamanku, terus... beliau meminta tolong kang
Raden untuk nganterin aku sampai kontrakan....,”
Sekar dengan cerdik memotong
pembicaraan dengan penjelasan singkat. Raden hanya bisa kembali tersenyum dan sepakat dengan jawaban yang
diberikan Sekar barusan.
“Ya udah kalo gitu... kami pergi
dulu ya...! Assalamu’alaykum!!!”
ketiganya mengucapkan salam cukup serempak.
“Wa’alaykum
salam,”
Ketiganya langsung pergi
meninggalkan Raden
bersama Sekar, dan berlalunya mereka menyimpan sebuah tanda tanya yang cukup
besar. Hal ini
bisa menjadi berita yang cukup kurang baik apabila diketahui oleh orang lain,
ketika seorang laki-laki yang bukan muhrimnya
serta tidak dalam keadaan darurat mengantarkan seorang perempuan malam hari.
Dan atas dasar itulah Sekar pun mulai merasakan sebuah kegelisahan, meskipun
akhirnya ketenangan batin yang ia coba hidupkan membuatnya mulai merasakan
sebuah kenyamanan.
Dari
dalam Sarah beranjak keluar dan mendapati mereka berdua tampak terdiam tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Ia langsung menelungkupkan kedua telapak tangannya di
dada sambil mengucapkan salam, Raden membalas dengan sebuah senyuman kecil dan kembali
menundukkan pandangannya.
“Sarah, nggak ikutan pergi ama yang lain?”
“Mmm, nggak... lagi ada tugas nih.
Tapi alhamdulillah sudah selesai
kok...,”
“Kang... makasih ya udah repot-repot
nganterin,”
“Lho Sekar... nggak disuruh duduk sebentar dulu terus dikasih
minum gitu...?” celetuk Sarah.
Spontan keduanya tersentak,
“Nggak usah repot-repot... akang cuma diberi amanah untuk nganterin
Sekar pulang aja kok. Sudah malam juga, dan nggak bagus juga misal ikhwan dan akhwat yang
bukan muhrim tanpa alasan atau tujuan yang jelas
untuk bertemu atau bahkan melakukan interaksi secara langsung ketika malam
hari. Akang cuma menyelesaikan amanah saja…,”
“Hmm… iya kang, afwan…,” kata Sarah.
Sekar hanya bisa tertunduk,
sementara Sarah terus memperhatikannya. Sikap yang biasa temannya lakukan
ketika nama ‘Raden’ disebut, bahkan kali ini orang itu ada di depan matanya. Orang tersebut nampak sangat jelas, suaranya,
wajahnya yang cukup cerah, serta senyuman kecilnya yang mampu membuat akhwat atau kebanyakan perempuan yang
kebetulan mendapatinya tersenyum akan mengingatnya dengan sangat baik. Sebuah senyuman
yang tulus, penuh makna serta ketenangan dan memberikan kenyamanan. Raden yang dikenal sebagai pribadi
yang santun,
murah senyum serta berjiwa pemimpin. Dan sebenarnya masih banyak lagi
kelebihan yang Raden miliki, karena pribadinya yang cukup sempurna itu terbalut
dengan rahmat Allah berupa keimanan.
Raden mulai
bersiap untuk beranjak dari tempat ini,
“Mmm, ya sudah... akang pergi dulu ya...,”
Raden mulai menyalakan mesin sepeda
motor, ia segera berbalik arah menuju keluar gang.
“Assalamu’alaykum...!”
Keduanya membalas salam, sejurus
kemudian Raden menghilang dari hadapan mereka berdua. Keduanya langsung masuk
kedalam, Sarah
mulai mengajak Sekar untuk berbincang-bincang.
“Sekar... kang Raden belum tahu
semuanya kan?!”
Sekar mulai kembali menunduk,
setitik air mata mulai jatuh, ia terus menundukkan wajahnya. Sarah mulai
menghampirinya, ia mendapati wajah saudara seperjuangannya terbasahi oleh air mata.
Keduanya saling berpelukan, Sarah begitu paham keadaan Sekar saat ini yang
begitu tertekan. Bagi Sekar,
Sarah adalah orang yang paling memahaminya. Dia yang selalu ada untuknya,
meluangkan kesempatan untuk menceritakan segala sesuatu tentangnya maupun
masalah yang sedang dialaminya.
“Yang sabar ya Sekar... Allah sedang
memberikan
sebuah ujian keimanan bagi hamba-Nya,”
“...Hiks..., aku juga ngerti, Sarah... tapi bagiku rasanya ini terlalu berat...” Sekar terus menangis
dalam pelukan temannya.
“Sekar... istighfar..., kemana Sekar yang selama ini tegar? Sekar yang punya
pemikiran jenius? Sekar mahasiswi psikologi yang teladan? Bukankah selama ini kamu yang
selalu membimbing kami? Ngasih semangat, motivasi... kemana Sekar yang dulu? Istighfar... jangan hanya karena hal ini
malah
membuatmu menjadi semakin lemah, jangan biarkan setan merasuki seluruh
pikiranmu...!” kata Sarah
sambil terus memandang wajah teman terbaiknya yang kini berlinang air mata.
Sekar masih terus menangis, sambil tak henti-hentinya ia mengucapkan ‘istghfar’. Sarah semakin larut dalam
masalah yang dialami oleh Sekar. Sementara diluar sana, seseorang yang sepertinya akan menerima ujian
dan permasalahan yang baru masih tenang mengendarai sepeda motor ditengah-tengah keramaian
jalan raya. Ia masih belum mengetahui hal yang sebenarnya terjadi, bahkan ustadz Mukhlis
sendiri mulai kebingungan untuk menjelaskan sesuatu yang sangat penting dan pastinya
akan membuat seorang Raden kembali merasakan sebuah kesedihan yang mendalam.
Perjuangan masih belum berakhir,
sudah banyak ujian yang dihadapinya. Perjalanan panjang sebagai khalifah di muka bumi sesuai yang Allah gariskan membuatnya begitu optimis
mampu melalui segala sesuatunya dengan penuh keimanan. Dengan berbagai cobaan berat yang sebentar lagi akan
menghampirinya, Raden masih tetap yakin bahwa dirinya akan berhasil melaluinya
kendati suatu saat nanti akan banyak kenyataan pahit yang harus ia terima.
Perjalanan dakwah ini terasa cukup berat manakala ia ragu untuk melangkah,
padahal selanjutnya Allah sudah menyiapkan hadiah terbaik hamba-Nya yang sabar
dan mampu melalui setiap episode rumitnya dinamika kehidupan.
‘Man
jadda wajada... Man shabara zafira...,’
[1]Lembaga Dakwah Kampus Universitas Padjadjaran yang
terdiri atas seluruh LDF (Lembaga Dakwah Fakultas) atau ROHIS Fakultas.
Dibentuk pertama kali atas prakarsa ROHIS Fakultas Kedokteran (DKM Asy-Syifa)
pada 2 Mei 1998 yang beranggotakan awal sebanyak 8 Fakultas.
[2] Sekar kemana…?
[3] Sebentar kang,
[4] Sama dengan ustadzah, lebih khususnya yang membimbing
halaqah bagi akhwat (perempuan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar