BAB IV
MASA PERSIAPAN
UNTUK MENIKMATI KENYATAAN
Yang
telah terjadi takkan pernah bisa terulang kembali. Raden masih duduk tenang di
depan teras Pesma pagi ini, setelah semalama
khirnya ia mengetahui segala hal terkait orang yang ia cintai. Pembicaraan semalam
bersama ustadz Mukhlis membuatnya semakin tertekan dan hampir saja membuat
mentalnya melemah. Ia kembali berjuang untuk menikmati segala kenyataan yang
Allah berikan untuknya.
‘Allah
pasti akan memberi antum sebuah hal yang lebih baik... perjuangan
masih belum berakhir, Akhi Raden... antum juga pasti
mengerti.. seorang ikhwan seperti antum pasti sudah Allah siapkan bidadari
terbaik yang akan menemani hari-hari yang dijalani. Pun juga jangan lupa dengan
hadiah spesial di surga-Nya kelak, Allah punya rencana terbaik bagi hamba-Nya
meskipun hanya sedikit saja yang mau mengerti.’
Semua perkataan ustadz Mukhlis yang semalam masih
membekas dalam pikirannya, perkataan yang kembali membuatnya kembali mengalami
kesedihan.
‘Kalau memang begitu... apa boleh buat...,’
Ia terus meneguhkan hatinya dan
kembali bersabar menghadapi semuanya, sepertinya ia perlu melakukan persiapan. Bahkan kali ini
perencanaan harus dibuat semaksimal mungkin, dengan kata lain ia harus menerima
segala macam resiko yang nantinya akan dihadapi dan mungkin lebih berat dari
yang sekarang. Tapi ia mulai berpikir mengenai ajakan ustadz Mukhlis mengenai kegiatan
Tabligh Akbar yang akan disiarkan secara langsung oleh salah satu stasiun
televisi swasta nasional.
‘tok...tok...tok...’
Bayu sepertinya menangkap sang
senior sedang duduk termenung di teras. Ia sengaja mengetuk pintu dari dalam
untuk menggugah lamunan Raden. Sebuah senyuman mulai terpancar dari bibir Raden
yang sejak tadi melamun.
“Kang, bentar lagi kan mau bulan Ramadhan... nanti
kita perlu apa aja yang mesti dipersiapin?” tanya Bayu padanya dengan semangat.
Ia memegang sebuah buku kecil dan juga pulpen.
“...Hmm, paling tidak kita harus belanja yang
cukup banyak terutama bahan makanan. Lho... kan bagusnya kita bicarakan dengan yang lain...?”
“Bener juga ya kang...?! Selain itu, kita mau ngadain kegiatan
rutin apa aja nih selain dengan agenda ‘nyantri’ kita disini... Apa sama saja
seperti tahun kemarin?”
Raden bersungut dengan memegang
janggutnya, ia berpikir sejenak sambil mengingat kegiatan Ramadhan tahun
lalu yang merupakan awal atau kali pertama Raden bersama kelima teman
terbaiknya menjadi santri Pesma. Pun
juga awal masa kuliah untuk Iyan, Febry, Herman dan Rizal. Keempatnya
memperoleh informasi Pesma lewat
selebaran atau pamflet yang ditempel di mading Fakultas, pun juga informasi
tambahan dari beberapa senior yang biasa ikut kajian Tasqif di Masjid As-Saakir. Dan masa awal menjadi santri pun
membuat enam sahabat sejati ini semakin akrab untuk berbagi berbagai macam hal.
Tidak ada julukan yang diberikan kepada mereka, namun satu hal yang pasti
adalah keenam mahasiswa ini adalah bagian dari ‘Pejuang Peradaban dan Agen Perubahan’.
Selama
Ramadhan mereka belanja bahan makanan cukup banyak yang bisa dipakai dalam
waktu seminggu, selain itu juga ada kegiatan keagamaan terutama ta’lim rutin selain
menimba ilmu dari ustadz-ustadz yang mengajar di Pesma. Setiap ba’da ashar mereka mengadakan kajian sore, dan
bergantian diantara keenam santri Pesma
ini untuk menyampaikan ilmu agama. Dan terkadang kegiatan tersebut diganti dengan kunjungan
sekaligus sharing ke rumah ustadz Mukhlis atas saran Raden yang memang sudah
mengenal beliau sejak duduk di tingkat dua. Sosok ustadz yang pertama kali
menyambut calon santri angkatan pertama Pesma
Ash-Shofwah.
‘Selamat
datang di lingkungan terbaik yang Insya Allah akan semakin menguatkan keimana
dan ketaqwaan kita kepada Allah... selamat bergabung dengan komunitas ‘Pejuang
Peradaban’ yang Insya Allah akan menorehkan tinta sejarah perjuangan
menyampaikan Risalah Illahi, ajaran Rasulullah serta golongan yang senantiasa
menyampaikan kebenaran.’
Kata-kata
yang pastinya akan terus teringat di dalam benak santri Pesma, ‘Pejuang Perdaban’ pun bukanlah slogan belaka. Dan memang
para santri bukanlah termasuk mereka yang mangkir dari organisasi. Semuanya
terlibat dengan berbagai macam aktivitas kampus yang pastinya akan meningkatkan
kapasitas Amal Jama’i diantara mereka. Dan tentunya mereka pun menggunakan
semaksimal mungkin ladang amal yang Allah ciptakan untuk menyampaikan Risalah-Nya.
Sehingga bukanlah suatu hal asing apabila ketika awal rapat, lantunan ayat suci
Al-Qur’an dibacakan oleh salah seorang diantara mereka yang hadir. Pun juga ada
beberapa pertemuan yang ditambahkan dengan tausiyah maupun kata-kata motivasi
yang menginspirasi. Ranah BEM dan BPM baik Universitas maupun Fakultas serta
beberapa Himpunan Mahasiswa, beberapa UKM adalah ladang amal terbaik untuk
menyampaikan Risalah Illahi. Dan memang para santri Pesma ada di dalamnya, menggeluti organisasi yang apakah itu ranah
eksekutif, legislatif, syi’ar hingga pengembangan minat dan bakat.
“Ehem...,”
‘Ups...’ sepertinya Raden terbuai
dalam lamunannya, Bayu sudah mengamati seniornya cukup lama.
“Hmm... mungkin kita bisa bicarakan hal ini ama
yang lain. Tapi yang pasti kita harus belanja bahan makanan dulu, bukannya
beberapa bahan makanan yang di dapur umum sudah mulai habis...?”
Bayu hanya mengangguk, ia pun masuk
ke dalam untuk menyimpan buku dan pulpennya.
“Assalamu’alaykum...,”
“Wa’alaykum
salam... eh... ada Dian toh, mau ketemu Bayu?!”
“Iya kang Raden,”
Dian tersenyum kecil dan memang
sedang menyembunyikan sesuatu, sementara Raden sendiri langsung masuk ke dalam
untuk memanggil Bayu.
“Kak Bayu... maaf nggak ngabarin kalo pagi ini
ade datang ke Pesma sendirian...,”
“Iya nggak apa-apa kok, tumben...?!”
“Mmm, sebenarnya... mmm... ada sesuatu...
buat... kang Raden...,” kata Dian yang semakin ragu untuk menyampaikan hal
penting. Kedatangannya ke Pesma
sebenarnya bukan untuk bertemu dengan Bayu, melainkan untuk menyampaikan sebuah
pesan untuk Raden dari seseorang yang pasti sangat dikenal baik olehnya. Bayu sendiri
mulai terdiam, ia mulai memandang wajah Raden sambil tersenyum sambil
memberikan isyarat.
“Nggak ada jadwal
kuliah Dian…?” Raden mulai bertanya kepada Dian.
“Insya Allah nggak ada kang,”
Dian agaknya ragu untuk menyampaikan
pesan yang diamanahkan padanya, sesuatu yang mungkin begitu menyakitkan bagi orang yang kini ada di depannya.
Kendati demikian Raden sudah tahu masalahnya ketika malam itu, malam yang
membuatnya harus kembali menangis dan menerima segala yang ditentukan Allah
untuknya. Baginya yang selalu hidup dalam kesedihan maupun kesulitan, agaknya
kali ini yang berat ia terima. Ia menghela nafas sesaat dan beristighfar beberapa kali, ia
beberapa kali harus menutup mulutnya karena masih merasakan kantuk.
“Jadi... mungkin akang sudah tahu masalah
semalam, ada sesuatu yang harus Dian sampaikan. Sebuah pesan dari teh Sekar...,”
Dian kembali membuka pembicaraan kali ini, meski akhirnya
ia pun kembali ragu untuk mengatakannya. Dengan cepat Raden mulai mengambil
alih perbincangan pagi ini, suasana mendadak menjadi cukup gamang dan tak tentu arah, kendati
demikian Raden mencoba untuk melawan segala kekhawatiran yang mulai menguasai
dirinya. Selain itu, ia sepertinya tidak ingin mendengar hal apapun tentang
orang itu. Orang yang sudah memupuskan harapannya, ‘Astagfirullah...’
“Jadi... sebuah pesan ya...?!” Raden bertanya
kepada Dian sambil
tersenyum.
Dian mulai mengeluarkan sebuah amplop yang masih terbungkus rapih, tertulis
nama Raden di bagian luarnya dengan tinta berwarna biru tua. Di dalamnya sebuah
tulisan yang
penuh makna harus ia baca dengan seksama, sebuah tulisan dari seseorang yang
harus menerima kenyataan yang tak sesuai dengan harapan.
“Kak Bayu... kang Raden... Dian pamit dulu, Assalamu’alaykum...!”
“Wa’alaykumsalam...,”
“Oh iya... de... biar kakak antar kamu sampai
kontrakan,” kata Bayu kepada adiknya.
Dian tersenyum kecil, ia sepertinya
tidak berani untuk melihat wajah Raden yang berdiri mematung sambil memegang
amplop titipan yang ia berikan.
‘Kang
Raden... semoga Allah memberikan yang terbaik,’ kata Dian dalam hati yang
kini sudah duduk tenang di belakang Bayu yang mengemudikan sepeda motornya
perlahan.
Malam ini sungguh amat memilukan
bagi Sekar, sudah terlalu
banyak air mata yang ia teteskan dan sudah lama pula Sarah menemani seluruh kesedihannya. Ia terus larut dalam
pelukan hangat teman sekontrakannya, dan sudah cukup lama sejak kepergian orang
itu yang telah mengantarkannya sampai ke kontrakannya. Seseorang yang ia
relakan untuk tidak kembali hadir untuk menemani kedamaian hatinya.
“Assalamu’alaykum...,”
‘tok...tok...tok...’
Sebuah ucapan salam menghentikan
tangisan Sekar, sepertinya ketiga teman sekontrakan yang lain sudah selesai
dengan agenda kegiatan mereka malam ini. Sekar dan Sarah menjawab salam ketiga
teman mereka perlahan, kemudian Sarah
melangkah menuju pintu
depan dan membukanya.
“Sudah selesai...?” tanya Sarah sambil
membukakan pintu.
‘Astaghfirullah...!!!’
Ketiganya
tersentak begitu mendengar pertanyaan yang diajukan Sarah karena mereka sedang
membahas sesuatu selama perjalanan.
“Teh Sarah bikin kami kaget saja...,” ujar
Dian sambil menepuk sedikit dadanya.
“Serius amat nih kayaknya...?! ngomong-ngomong sedang asyik ngobrolin
apa sih ?”
“Mmm... kasih tau nggak ya?! Ntar aja deh di dalam,
pokoknya lumayan seru...!” papar Fani, sementara Oppie tersenyum kecil dan Dian
mulai berlagak angkuh
sambil pura-pura tersenyum.
Ketiganya masuk kedalam, dan
langsung tercengang melihat Sekar yang mencoba mengusap air matanya beberapa kali. Semuanya pun
berkumpul di ruang tamu, Sekar masih belum bisa menghentikan aliran air mata
yang begitu derasnya bahkan semua teman sekontrakannya pun mulai merasa gelisah
dengan keadaannya kali ini. Malam ini rasanya sulit untuk menghentikan luapan
emosi Sekar yang tak tertahankan, semuanya
terlarut dalam kesedihannya. Ketiga temannya yang baru datang tak mampu berbuat banyak
karena mereka sama sekali tidak mengetahui permasalahan yang menimpa Sekar,
bahkan sebenarnya ada sesuatu yang ingin mereka bicarakan secara santai malam ini setelah
dari warnet.
“Sekar... kami semua ngerti apa yang kamu alami, tapi... nggak
semuanya harus dibalas dengan air mata dan juga rasa kecewa. Kami memang nggak mengalami yang sekarang kamu rasakan, tapi
setidaknya... kami sebagai sahabat terdekatmu Sekar... dan kami sudah cukup lama mengenalmu. Bukankah
segala kesedihan maupun kesenangan terasa hambar tanpa adanya teman? Itu kan yang
selalu kamu katakan ketika kami
mengalami masalah... Sekar tetaplah Sekar yang kami kenal sejak dulu, jangan sampai
perasaanmu mengubur segala keceriaan Sekar yang dulu,
ketegaran seorang Sekar, kecerdasan seorang Sekar, orang yang kami anggap kakak
sendiri yang selalu membimbing kami dalam segala hal... sahabat terbaik kami
yang senantiasa membimbing dalam keimanan, mengingatkan ketika berbuat salah,
selalu membuat kami lebih paham dalam memahami berbagai persoalan agama yang
belum kami ketahui... itulah Sekar yang kami kenal... bukan Sekar yang
sekarang...,”
Oppie mulai berkata panjang lebar,
namun masih belum cukup menghentikan tangisan teman sekontrakannya. Sekar terus menutup kedua
mukanya yang kembali dipenuhi air mata, ia semakin sulit untuk menghentikan
alirannya.
“Hiks...
aku ngerti... aku tahu... tapi ini
terasa sulit, lagi pula...,”
“Cukup Sekar...!!! Kenapa sekarang kamu jadi kaya gini sih ?! Aku dan yang lainnya
memang nggak ngalamin, tapi setidaknya kamilah yang selalu ada bersamamu untuk berbagi
segala hal. Berusahalah
untuk menghilangkan rasa sedihmu dan jangan sampai hal itu malah semakin membuatmu semakin terlarut dalam
sebuah nuansa tanpa solusi…, bukankah Allah SWT tidak memberikan cobaan kepada seseorang melainkan untuk
menguji sejauh mana iman orang tersebut...? Sekar.... tatap mataku!!! Lihat kami!!
Kami yang selalu ada disampingmu!!!”
Perkataan Sarah mulai menjurus ke arah
emosi, kendati demikian ia hanya ingin Sekar untuk tidak terlalu larut dalam
kesedihannya dan bangkit untuk tetap menjadi Sekar yang seperti biasanya. Ia kecewa dengan sikap
yang ditunjukkan oleh Sekar, ia seperti tidak melihat sosok Sekar yang seperti
dulu. Sekar yang sekarang seperti telur di ujung tanduk, Sekar yang berada
dihadapannya seperti orang yang menyerah pada keadaan tanpa berusaha untuk
melakukan yang terbaik. Sekar yang sekarang tampak dihadapannya hanyalah orang
yang mudah menyerah pada keadaan, bukan merubah keadaan menjadi lebih baik.
Beberapa saat kemudian, Sekar
bangkit dari duduknya.
“Mungkin... sebaiknya sekarang aku istirahat...,”
Ucapan Sekar semakin membuat
teman-temannya bingung, mereka sulit untuk berkata bahkan berbuat sesuatu yang
berarti. Keadaan menjadi
hening, bertemankan suara cicak dan juga jangkrik yang bernyanyi di luar.
“Sekar... jangan pernah lari dari masalah!!!”
kata Sarah.
“Aku ngerti Sarah... hiks... Assalamu’alaykum...,”
“Wa’alaykum
salam...,” jawab mereka berempat serempak. Sekar berjalan perlahan menuju
kamarnya, sementara yang lain memperhatikan dari belakang dan mulai
memperbincangkan sesuatu. Mereka tidak bisa membiarkan sahabat terbaik mereka terus
larut dalam kesedihan,
“Masalah ini terlalu berat...,” gumam Sarah.
“.........,” Dian mulai memikirkan sesuatu,
pemecah masalah dengan kata lain solusi terbaik.
“Teh..., Dian coba untuk bicara dengan teh Sekar...”
pinta Dian sambil memegang tangan kanan Sarah yang duduk disampingnya.
“Tapi..., teteh masih belum yakin apakah Sekar
mau ngobrol atau nggaknya...”
“Aku percaya ama Dian...,” potong Oppie
sesaat kemudian ia melanjutkan perkataannya, “Dian sering ngobrol ama Sekar... aku yakin, Insya Allah Sekar
akan jauh lebih baik,”
Semuanya menatap Dian dengan penuh
harapan, membuat Dian semakin mantap dengan langkah yang akan ia coba. Sambil mengucapkan basmallah perlahan ia
bangkit dan menuju kamar Sekar yang berada tepat disamping kamarnya.
‘tok...tok...tok...’
“Assalamu’alaykum...!
Teh, ini Dian... boleh masuk nggak...?”
Dari luar terdengar cukup jelas di telinga
Dian suara tangisan, yang tidak lain adalah suara tangisan Sekar seniornya.
Dian masih terus mengetuk pintu kamarnya seraya mengucapkan salam,
“Masuk aja... nggak dikunci...,”
Dian terhenti sejenak, membuka pintu
kamar itu. Pandangannya terarah menuju tempat tidur, Sekar tampak meringis
sambil memegang bantal, sebuah kesedihan yang amat dalam untuknya.
“Teh... maaf ya kalo Dian ganggu, terlebih...”
“Hiks...
nggak apa-apa... ya mungkin ini ujian terberat dalam hidup teteh,”
“Teh Sekar nggak boleh gitu... bukannya teteh
selalu bilang kalau segala sesuatu yang ada di bumi adalah milik Allah… segala sesuatu yang kita
rasakan juga pemberian dari-Nya, suka maupun duka kita harus tetap
menerima dengan ikhlas...,” potong Dian.
“Dian masih ingat perkataan teteh kemarin sore ya...?” sesaat kemudian senyuman
kecil mulai Sekar berikan untuk Dian.
Dian cukup gembira melihat senyuman kecil
dari Sekar, sepertinya raut wajah seniornya mulai berubah dari yang sebelumnya. Kemarin sore Sekar berbincang-bincang bersama Dian
diruang tengah sambil membaca Tafsir Al-Maraghi
juz 14 Surat An-Nahl ayat 31-35. Biasanya
Sekar membaca tafsir sendiri sambil mengisi waktu sore hari, kebetulan kemarin
Dian baru pulang dari kampus setelah ada kegiatan ‘mubes’[1].
Dan ada 2 tafsir yang biasa ia baca, yang Tafsir
Al-Maraghi adalah pemberian pamannya. Kemudian Tafsir Ibnu Katsir yang dibawa dari rumah secara berkala, dan
terkadang ia meminjam Tafsir Fi-Zhilalil
Qur’an karya Sayyid Quthub milik Sarah sebagai perbandingan serta untuk
semakin memperdalam pemahamannya.
“Dan
sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu : Bersyukurlah
kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya
ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Firman Allah dalam surat
Luqman ayat 12... Teh Sekar sering menyampaikannya ketika kita sedang berdiskusi atau membahas sesuatu, bahkan...
kemarin lusa baru saja teteh sampaikan,” kata Dian pelan sambil melihat wajah
seniornya dengan seksama.
Sekar teringat semua yang ia
kerjakan beberapa hari yang lalu, hari yang ia lalui seperti biasanya bersama teman sekontrakan. Ia bahkan teringat tiga
hari yang lalu bertemu dengan Raden di Alfamart
Bungamas ketika berbelanja, saat itu Raden tampak gagah dengan jaket hitamnya. Ia pun
teringat sesuatu
yang pernah Raden sampaikan,
“Sesungguhnya
Dia mengetahui perkataan (yang kamu ucapkan) dengan terang-terangan dan Dia
mengetahui apa yang kamu rahasiakan. Dan Aku tiada mengetahui boleh jadi hal
itu cobaan bagi kamu dan kesenangan sampai kepada suatu waktu.”[2]
Perkataan tersebut membuatnya cemas
manakala semua rahasia tentangnya, dan sekarang semuanya sudah terjadi menjadi sebuah beban bagi
orang yang ia cintai. Sekar terus melamun, sementara Dian memperhatikannya
dengan seksama. Air matanya mulai mengering, isak tangisnya pun perlahan
mereda. Dian masih menunggu seniornya tergugah dari lamunan. Ingatan masa lalu mulai membuatnya
cemas dan seakan ia kembali sulit untuk berfikir secara bijak.
“Teh...,”
Dian menepuk lengan atas Sekar,
membuat
seniornya bangkit dari lamunan. Sekar langsung mengusap air matanya yang sudah mulai
menghilang, mengering seiring dengan lamunannya. Ia mulai memberikan senyuman manis untuk Dian yang berada
dihadapannya,
“Teteh sudah terlalu banyak mengeluarkan air
mata, hari ini... sudah terlalu banyak waktu terbuang percuma untuk kesedihan
ini…,”
Dian terkejut dengan perkataan Sekar,
ia melihat sosok tegar seniornya mulai bangkit mengalahkan seluruh luapan emosi
kesedihan.
“Dian... teteh punya suatu permintaan,”
“Apa itu...?” Dian mulai keheranan, ia
memperhatikan Sekar yang mulai mengeluarkan alat tulis, ada sesuatu yang
ditulisnya. ‘Untuk Kang Raden...?’
Dalam hatinya ia mulai menebak isinya, sesuatu yang amat penting dan ditujukan
untuk seseorang seperti dalam pikirannya.
“Sepertinya teteh akan lama untuk menulis...
besok pagi nanti teteh kasih surat ini ke Dian,”
Sekar terhenti sejenak, air matanya kembali
menetes
perlahan. Dian langsung mengusap pipi seniornya yang mulai basah dengan sapu
tangannya, ia
memberikan senyuman hangat dan menatap wajah seniornya dengan seksama.
“Dian...,”
“Iya... teh...,”
“Terima kasih untuk semuanya, kamu...,”
“Sudah sewajarnya Dian membantu teteh, orang
yang Kak Bayu percaya untuk jagain Dian...,”
“Sebenarnya... kang Raden yang melakukan
semuanya atas
persetujuan Bayu kakakmu. Sudah terlalu banyak kebaikan yang beliau lakukan untuk teteh, tapi...,”
Sekar semakin larut kembali dalam
kesedihannya,
“Teh... seandainya keadaan yang sekarang tidak
teteh alami, apa yang hendak teteh lakukan...? Afwan...,”
“Teteh... akan menunggu lamaran kang Raden… Insya Allah, teteh mengetahui sesuatu dari
kakakmu kalau beliau mempunyai perasaan yang terpendam untuk diungkapkan. Dialah ‘Imam’
yang sebenarnya teteh inginkan sebagai pendamping hidup sampai ajal menjelang,
sungguh beruntung jikalau keadaan seperti itu yang sekarang teteh rasakan...
Sungguh beruntung perempuan yang kelak menjadi istrinya, orang sebaik kang Raden
sulit ditemukan. Dia... membuat teteh kagum bahkan... ketika pertama kali
bertemu dengannya,”
Sekar kembali teringat ketika
pertama kali bertemu Raden, ‘Islamic Day’
saat itu berlangsung meriah di Dipati Ukur tepatnya di Graha Sanusi. Raden
mengenakan pakaian muslim berwarna putih dan celana bahan warna hitam serta
berpeci putih, sedangkan dirinya memakai gamis berwarna biru langit. Saat itu sosok Raden
begitu bercahaya baginya, bahkan seperti menyiratkan sesuatu yang membuat orang
lain kagum terhadap dirinya.
Saat itu Sekar terjatuh tepat
didepannya yang sedang membawa sebuah kardus, kemudian Raden membantunya untuk
berdiri. Perkenalan antara keduanya berlangsung tidak sengaja, dan selanjutnya
perbincangan menghiasi hari-hari ikatan ukhuwah
diantara keduanya.
‘Maaf... boleh aku tahu namamu ukhti?’
‘... Boleh, aku... Sekar,’
‘Raden... Raden Saleh lengkapnya, aku mahasiswa Teknik Geologi...
ukhti
sendiri?’
‘Anindya
Sekar Arum... ana kuliah
di Psikologi,’
Sekar melamun cukup lama kali ini,
jam sudah menunjukkan pukul sebelas lewat sepuluh malam.
“Ehem...,”
“... Astagfirullah...!!!”
Sekar menutup muka dengan kedua
telapak tangannya, ia kembali menulis sesuatu sementara Dian masih terus
memperhatikan
gerakan tangan seniornya
yang menuliskan sesuatu pada sebuah kertas.
“Teh... Dian keluar dulu saja supaya teteh
bisa melanjutkan dengan tenang...,”
“Ya udah kalau begitu, makasih ya udah nemenin teteh malam ini...,”
Sekar mulai kembali tersenyum, mereka berdua saling
berpelukan. Setelah mengucapkan salam, Dian keluar dari kamar seniornya dan menuju
ruang tengah untuk mengambil handphone
yang tertinggal di atas meja.
“Dian...,”
“Astagfirullahaladzim...!!! Teh Sarah...? Bikin aku kaget saja. Kok masih belum
tidur?”
“Mmm, teteh masih belum ngantuk.
Ngomong-ngomong... gimana keadaan Sekar?”
Dian langsung duduk di sofa, “Tenang saja
teh... teh Sekar sudah mendingan kok,” jawab Dian sambil tersenyum.
“Alhamdulillah
kalau begitu...,”
Sarah menemaninya duduk sambil membaca sebuah
buku. Malam ini sepertinya keduanya masih terjaga dari gelapnya malam.
Sementara di dalam kamar, Sekar masih belum selesai menuliskansurat untuk Raden. Dengan segala
upaya ia mencoba untuk merangkai kata dengan sebaik-baiknya, kalimat yang merupakan
curahan hati bagi orang yang ia cintai karena Allah SWT.
“Teh Sarah... Dian mau nanya sesuatu...,”
“Boleh, mau nanya apa?”
“Seandainya teteh ada di posisi teh Sekar yang
sekarang... apa yang hendak teteh lakukan?!”
Sarah tersenyum kecil, “Mungkin... akan
bernasib sama seperti Sekar yang sekarang. Kalau Sekar saja seperti itu, apa
lagi teteh yang jelas-jelas
belajar banyak darinya...,”
“Yah... memang sulit menemukan orang yang
tegar ketika menghadapi cobaan seperti Rasulullah dan para sahabatnya,” kata Dian
sambil menatap ke arah langit-langit.
“Ada kok, mungkin hampir sama dengan cara Rasul dan para
sahabat dalam menghadapi ujian yang Allah berikan... bukankah kita juga bisa tegar
dalam menghadapi segala ujian yang Allah berikan...?!”
Dian mulai terdiam, ia pun memandang
wajah Sarah.
“Kang Raden mungkin salah satu contohnya…?!”
Dian setuju dengan pernyataan Sarah sambil sedikit mengangguk
dan memberikan sebuah senyuman. Raden adalah seorang yatim, kuliah ia biayai
sendiri dengan beasiswa yang ia raih dan juga hasil mengirim cerpen di beberapa
majalah dan surat kabar hingga akhirnya pamannya yang memaksa untuk membantu
membiayai seluruh biaya kuliah sampai selesai. Padahal ia menolak permintaan
pamannya karena yakin mampu membiayai kuliah dan juga hidup selama di
Jatinangor sendirian.
Hanya
saja sesuatu yang buruk kembali menimpa anggota
keluarganya, membuatnya harus kembali menghadapi sesuatu yang cukup berat. Penyakit serius
yang dialami oleh
ibunya
membuatnya menunda satu tahun sidang sarjananya, serta memilih proyek sebagai cara
untuk memperoleh uang untuk membiayai pengobatan beliau. Info mengenai Raden
banyak diketahui dari Bayu yang merupakan kakak Dian yang sama-sama nyantri di Pesma. Orang yang lebi senior daripada santri-santri yang lainnya,
pun juga sebagai seorang kakak pembimbing terbaik bagi santri yang lain.
Raden banyak
bercerita kepada Sekar sambil berdiskusi melalui dunia maya maupun via sms, dan beberapa kali hasil diskusi
tersebut disampaikan oleh Sekar kepada teman yang lain terutama teman
sekontrakannya. Banyak hal yang Sekar dan teman sekontrakan terima dari
penjelasan
seorang Raden, bagi mereka Raden adalah seorang murabbi dan ustadz terbaik yang pernah mereka kenal. Begitu
perlahan, tenang, teliti dan lugas dalam menyampaikan sesuatu sehingga orang
lain yang mendengarkan begitu tertarik dengan materi yang ia sampaikan. Maka tidak
salah apabila ia pernah menjabat sebagai wakil ketua Lembaga Dakwah Kampus,
meskipun ia sempat menolak permintaan Dewan
Syuro Lembaga[3]
karena merasa tidak layak dan pastinya kampus Unpad punya banyak kader terbaik
yang bisa menjalankan organisasi dakwah kampus.
“Sudah larut malam, sebaiknya Dian tidur duluan...,”
“Nggak teh... Dian belum ngantuk, ya mungkin beberapa
menit lagi deh,”
“Ya udah kalo gitu... teteh duluan ya, Assalamu’alaykum...!!!”
“Wa’alaykum
salam...,”
Sarah bangkit dari duduknya,
kemudian pergi menuju kamar mandi untuk mengambil air wudlu dan akhirnya menuju kamar
tidurnya. Dian masih duduk di sofa, ia mulai membaca majalah yang disimpan di bawah meja
sambil mengisi
waktu sebelum tidur. Entah kenapa rasanya sulit untuk memejamkan matanya,
malam ini berlalu tenang setelah terjadi beberapa masalah yang menimpa seniornya. Bagi Dian mungkin ini
menjadi sebuah pelajaran berharga bagaimana menjaga hati dari segala perasaan,
kesedihan, permasalahan hidup yang dialami serta dinamika kehidupan yang
merupakan kehendak dari Allah SWT.
‘Ya Allah semoga Engkau senantiasa menjadikan
hamba-Mu sebagai orang yang mampu menjaga hati, semakin menguatkan iman
kepada-Mu… berilah petunjuk agar hamba-Mu tetap istiqomah dalam jalan dakwah
ini. Dan juga… semoga Engkau memberikan petunjuk bagi teh Sekar yang kali ini
mengalami permasalahan yang cukup rumit dan mungkin apabila hamba-Mu yang
mengalami akan begitu sulit untuk menerimanya…,’ Dian terdiam sejenak, ia
merenung sambil menundukkan kepalanya.
Jauh disana, dua
orang perempuan, seorang ibu dan putrinya masih terjaga. Sepertinya terjadi
suatu perbincangan diantara mereka berdua, sebuah perbincangan pengantar tidur
yang mengakrabkan suasana. Mereka berdua saling tersenyum sambil menikmati
kehangatan malam yang Allah berikan bagi hamba-Nya. Dua orang
perempuan yang menjadi bagian dari keluarga Raden.
*****
“Ibu...,”
“Sudah tidur kok Bu, cuma pas mau ke kamar
mandi... Runi liat ibu masih belum tidur,”
Beliau hanya tersenyum kecil untuk putrinya, dan kali ini sepertinya
sebuah lamunan mulai menghiasi wajahnya yang mengerut termakan usia.
“Kakakmu Raden... kapan pulang ya?!” gumam beliau.
“Sebentar lagi kok Bu, kita doakan saja semoga
kak Raden sukses...,”
“Amin... moga
kakange sira diparingi waras ya,”[5]
Potong beliau dengan penuh keyakinan bahwa anak pertamanya
pasti datang dan kembali bertemu dengannya setelah kejadian yang beliau alami
setahun yang lalu, sesuatu yang cukup berat. Kejadian yang membuat Raden, anak
pertamanya harus menunda sidang sarjana untuk membiayai pengobatan sang ibu tercinta di rumah
sakit.
Kedua orang ini tak lain adalah ibu
dan adik perempuan
Raden,
sebenarnya Raden masih mempunyai seorang adik perempuan lagi. Namanya
Zahara, dia masih kelas 1 SMP, sedangkan Runi sendiri kelas 3 SMA. Di rumah ini suasana
begitu tenang, sederhana saja namun penuh kenangan dan kedamaian dengan nuansa Islam yang begitu
kental. Sang almarhum Ayah adalah seorang anggota TNI, dan beliau juga cukup baik dalam pemahaman
agama. Sang almarhum ayah menanamkan
nilai-nilai islam ketika Raden masih kecil, yang kemudian Raden sampaikan ilmu
yang ia peroleh dari beliau kepada kedua adik perempuannya.
Keluarga ini dikenal sebagai
keluarga yang sangat baik dan ramah, sehingga membuat warga disekitarnya
begitu peduli ketika mereka memerlukan bantuan. Bahkan ketika
musibah itu datang beberapa tahun yang lalu, tepatnya ketika sang Ayah harus pergi
meninggalkan mereka selama-lamanya. Sang almarhum ayah merupakan sosok terbaik yang selalu dinanti kehadirannya
setiap saat, tidak banyak bicara namun sekali beliau menyampaikan sesuatu
langsung mudah dipahami. Dan dari cara tersebut kini Raden pun mampu
menyampaikan sesuatu atau materi yang dapat menarik perhatian siapapun yang
mendengarkannya, sifat seorang anak akan
tidak berbeda jauh dengan kedua orang tuanya, begitulah kata pepatah.
“Kalau Ayah masih hidup... gimana ya perasaan beliau
ketika melihat kakakmu yang sudah hampir lulus beberapa saat lagi?” pertanyaan
ibu mulai membuat Runi terkejut, kendati demikian ia menjawabnya sambil
tersenyum.
Ada secercah kebahagiaan dari raut wajah ibunya,
“Pasti... Ayah akan mengunjungi kontrakan
kakak sambil menunggu wisuda, Bu!!!”
“Kira-kira... bagaimana ya, perasaan Ayah di alam
sana...?”
“Ibu ini... nanya yang aneh-aneh aja,
mungkin... Insya Allah Ayah sedang tersenyum...,”
“Ibu kangen sekali sama kakakmu...
bahkan Ibu sangat khawatir ketika dia lebih memilih untuk pergi proyek dan menunda wisuda demi membiayai
pengobatan ibu,”
Runi kembali tersenyum, ia memegang
pundak ibunya perlahan,
“Sebentar lagi, Bu... Insya Allah,”
Sang ibu dan anak saling
berpandangan sambil menaruh harapan besar kepada Raden, seorang kakak yang saat ini dirundung
kesedihan yang belum mereka ketahui. Sosok yang dinanti setelah kepergian ayah, sosok yang mampu membuat hati
mereka tenang dengan perkataannya yang bijak.
“Bu, tidur dulu... sudah malam,”
Sang Ibu akhirnya menuruti kemauan
putrinya, beliau bangkit dari duduknya menuju kamar mandi kemudian mengambil
air wudlu. Runi sendiri mulai melangkahkan kaki menuju ke kamarnya dan mulai terlelap dalam
buaian malam,
“Ya Allah... lindungilah putra hamba-Mu, jagalah ia
dari segala marabahaya, mudahkanlah jalan agar ia segera lulus, berkahilah ia
dengan seorang istri yang solehah serta anak-anak yang berbakti sebagaimana
engkau mengkaruniai hamba-Mu dengan ketiga
anak yang sangat berbakti... Ya Allah, berikanlah hamba-Mu kesempatan untuk bertemu kembali dan
melihatnya bahagia sebelum Engkau mencabut nyawa hamba-Mu. Dan juga... ampunilah segala dosa
yang pernah suami hamba lakukan selama hidup didunia, terimalah arwahnya
disisi-Mu...,”
Air mata mulai membasahi pipi beliau, di keheningan malam beliau terus memanjatkan doa
untuk putra dan almarhum suami tercinta. Hal yang selalu beliau lakukan setiap harinya dalam kondisi apapun, kerinduanlah yang
membuat beliau semakin khusyu’di tiap-tiap malam. Beliau memilki keyakinan pasti akan bertemu kembali dengan putranya serta melihat keberhasilan yang telah
putranya raih sebelum ajal menjemput. Kerinduan inilah yang mungkin membuat seorang Raden
begitu tegar menghadapi permasalahan yang ia hadapi, sesuatu yang sama sekali
tidak diketahui oleh ibunya. Dan beberapa saat yang lalu beliau merasakan
sesuatu yang kurang enak, agaknya hal ini yang belum beliau ketahui terutama terkait
dengan Raden yang mulai mengalami permasalahan yang baru dalam hidupnya.
‘Andaikata
penyakit ini tidak menimpa hamba-Mu...,’ gumam beliau dalam hati. Kendati
demikian beliau masih merasa bersyukur karena Allah SWT masih memberi kesempatan
untuk menghirup nafas dan menemani hari-hari kedua putrinya yang masih remaja, dan yang
terpenting adalah masih diberi kesempatan untuk beribadah kepada-Nya, Tuhan
Yang Maha Esa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar