Alhamdulillah.
Segala puji hanya milik Allah, Rabb yang memberikan hidayah demi hidayah.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan
orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman. Manusia di berbagai negeri
sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga
walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian
tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan
tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Semoga artikel yang
singkat ini bisa menjawabnya.
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru
pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak
lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk
mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad
ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh
Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar
penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana
yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu
dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun
45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan
agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang
secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak
lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis
dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti
dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]
Dari sini
kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan
dari Islam. Perayaan tahun baru ini
terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.
Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru.
Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru.
Kerusakan Pertama: Merayakan
Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram.
Perlu diketahui bahwa perayaan
(’ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik
mengatakan,
“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang
ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau
mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua
hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi
kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari
Idul Fithri dan Idul Adha.’”[2]
Namun setelah
itu muncul berbagai perayaan (’ied) di tengah kaum muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk
ibadah atau sekedar meniru-niru orang
kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi. Perayaan
semacam ini berarti di luar perayaan
yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan
sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum
muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.
sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum
muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.
Perhatikan
penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa
di Saudi Arabia berikut ini: Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut
‘ied atau hari perayaan secara istilah
adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi
tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:
1.
Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
2.
Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
3.
Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik
berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.
Hukum ied
(perayaan) terbagi menjadi dua:
1.
Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri
kepada Allah dan mengagungkan hari
tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau
2.
Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang
jahiliah atau golongan-golongan orang
kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup dalam
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barang siapa yang mengada-adakan
amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut
tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Misalnya
adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu
terlarang karena hal itu termasuk
mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan di samping menyerupai orang-orang Nasrani dan
golongan orang kafir yang lain.
Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena menyerupai orang kafir.”[3] -Demikian
penjelasan Lajnah-
Begitu pula
perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan
orang kafir.
Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun
Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan
tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita
shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan
mengikuti jejak orang Persia, Romawi,
Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau
pun berhari raya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku
mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa
sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau
menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“[4]
Dari Abu
Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan
orang-orang sebelum kalian sejengkal
demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke
lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen),
pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai
Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab,
“Lantas siapa lagi?” [5]
An Nawawi
-rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan
dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku),
adalah permisalan bahwa tingkah laku
kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu
kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran.
Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau
katakan telah
terjadi saat-saat ini.”[6]
terjadi saat-saat ini.”[6]
Lihatlah apa
yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan
memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai
model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun
yang setengah telanjang. Begitu pula
berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula
perayaan tahun baru ini. Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara
tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh). Beliau bersabda,
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum,
maka dia termasuk bagian dari mereka.” [7]
Menyerupai
orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian,
penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As-Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[8]
penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As-Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[8]
Kerusakan Ketiga:Merekayasa
Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita sudah
ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun
sayangnya di antara orang-orang jahil
ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin
sia-sia, mending malam tahun baru kita
isi dengan dzikir berjama’ah di masjid. Itu
tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada
manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh.
manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh.
Pensyariatan
semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah
bukan perayaan atau ritual kaum
muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun
akan mengakibatkan meninggalkan berbagai
kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan. Jika ada yang mengatakan, “Daripada
menunggu tahun baru diisi dengan hal
yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.” Maka cukup kami
sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat
orang orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini
mengatakan pada Ibnu Mas’ud,
“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu
Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud lantas berkata,
“Betapa banyak orang yang menginginkan
kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” [9]
Jadi dalam
melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga
mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut
bisa diterima di sisi Allah.
Kerusakan Keempat: Terjerumus
dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru
Kita telah
ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak
pantas seorang muslim memberi selamat
dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan para
ulama (ijma’).
Ibnul Qoyyim
dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran
yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen)
adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti
mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar
mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini
bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang
diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan
kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan
perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam
ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada
orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat
pada maksiat lainnya.
Banyak orang
yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini
tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh
karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat
maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka
Allah Ta’ala.”[10]
Kerusakan Kelima: Meninggalkan
Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu
Betapa banyak
kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik
pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam
2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti
ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di
antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah
kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan
berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min
dzalik.
Ketahuilah
bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele.
Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar. Ibnul
Qoyyim -rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat
(sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja
termasuk dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh,
merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang
meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan
kehinaan di dunia dan akhirat.”[11]
Adz Dzahabi
–rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga
keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat -yaitu
satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan
shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang
meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia
bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang
merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).”[12]
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengancam dengan kekafiran bagi orang yang
sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy
berkata, “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Perjanjian antara kami dan mereka (orang
kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[13]
Oleh karenanya,
seorang muslim tidaksepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya
terjerumus dalam dosa besar. Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula
terluput dari amalan yang utama yaitu shalat malam.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah
shalat malam.”[14]
Shalat malam
adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari oleh orang-orang
sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena bertemu dengan waktu
yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Sungguh
sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut namun ia menyia-nyiakannya.
Melalaikan shalat malam disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah
kerugian yang sangat besar.
Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa
Ada Hajat
Begadang
tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak
ada manfaatnya sama sekali.
Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya
dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[15]
Ibnu Baththol
menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan
shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah.
‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah
shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam,
nanti di akhir malam tertidur lelap?!”[16]
Apalagi
dengan begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu
shalat Shubuh)?!
Kerusakan Ketujuh: Terjerumus
dalam Zina
Jika kita
lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka
tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat
(berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus
dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan
menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang
terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi.
Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan kemaluan telah
berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak Adam telah
ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa
tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan
mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba
(menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan
menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan
atau
mengingkari yang demikian.”[17]
mengingkari yang demikian.”[17]
Kerusakan Kedelapan: Mengganggu
Kaum Muslimin
Merayakan
tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara
bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu
muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat
seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah
terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak
mengganggu orang lain.”[18]
Ibnu Baththol
mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim
tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti
lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang
tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”[19]
Perhatikanlah
perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil
saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan
disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!
Kerusakan Kesembilan: Meniru
Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan
Perayaan
malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam.
Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar
Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut,
lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka
hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu
baru perkiraan setiap
orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
“Dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara syaitan.” (Qs. Al Isro’: 26-27)
Ibnu Katsir
mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh sikap boros dengan mengatakan:
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena
orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud
dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir
(pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.”
Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang
menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan).
Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada
jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah
mengatakan, “Yang namanya tabdzir
(pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada
jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”[20]
Kerusakan Kesepuluh:
Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan
tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan
untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam
seseorang,
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak
bermanfaat baginya.” [21]
Ingatlah
bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama
memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih
jelek dari kematian.
Semoga kita
merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu
lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu
lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu
dari dunia dan penghuninya.”[22]
Seharusnya
seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan.
Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri
nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah
hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu
seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk
berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu
pemberi peringatan?” (Qs. Fathir: 37).
Qotadah mengatakan,
“Beramallah karena umur yang panjang itu
akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada
Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”[23]
Inilah di
antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru. Sebenarnya masih banyak
kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam tulisan ini
karena saking banyaknya. Seorang muslim tentu akan berpikir seribu kali sebelum
melangkah karena sia-sianya merayakan tahun baru.
Jika ingin
menjadi baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi
baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah berikan.
Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan
dengan berbuat maksiat dan bukan dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia. Lalu
yang harus kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih baik dari hari
kemarin? Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah
semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali
bergulirnya waktu.Ya Allah, perbaikilah keadaan umat Islam saat ini.
Perbaikilah keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah Islam. Berilah petunjuk
pada mereka agar mengenal agama Islam ini dengan benar.
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan)
perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku
melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan
hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud: 88)
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala
alihi wa shohbihi wa sallam. Disempurnakan atas nikmat Allah di Pangukan-Sleman,
12 Muharram 1431 H Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.muslim.or.id,
dipublish ulang oleh Rumaysho.com
[2] HR. An Nasa-i no. 1556.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3]Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah
lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta‘, 3/88-89, Fatwa no. 9403, Mawqi’ Al Ifta’.
[4] HR. Bukhari no. 7319, dari
Abu Hurairah.
[5] HR. Muslim no. 2669, dari
Abu Sa’id Al Khudri.
[6]Al Minhaj Syarh Shohih
Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, 16/220, Dar Ihya’ At Turots Al
‘Arobiy, cetakan kedua, 1392.
[7] HR. Ahmad dan Abu Daud.
Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini
jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana
dalam Irwa’ul Gholil no. 1269.
[8] Lihat penukilan ijma’
(kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah,
cetakan ketujuh, tahun 1417 H.
[9] HR. Ad Darimi. Dikatakan
oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid (bagus).
[10]Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu
Qayyim Al Jauziyah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H.
[11] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha,
hal. 7, Dar Al Imam Ahmad
[12] Al Kaba’ir, hal. 26-27,
Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[13] HR. Ahmad, Tirmidzi, An
Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul
Mashobih no. 574
[14] HR. Muslim no. 1163
[15] HR. Bukhari no. 568
[16] Syarh Al Bukhari, Ibnu
Baththol, 3/278, Asy Syamilah.
[17] HR. Muslim no. 6925
[18] HR. Bukhari no. 10 dan
Muslim no. 41
[19] Syarh Al Bukhari, Ibnu
Baththol, 1/38, Asy Syamilah
[20] Lihat Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, 5/69, pada tafsir surat Al Isro’ ayat 26-27
[21] HR. Tirmidzi. Syaikh Al
Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini
shohih.
[22] Al Fawa’id, hal. 33
[23] Lihat Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, 6/553, pada tafsir surat Fathir ayat 37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar