BAB VI
KEPINGAN PERJALANAN MASA LALU
Sudah waktunya shalat Isya, Raden
bergegas mengenakan sarungnya dan langsung pergi ke masjid yang berada di samping
rumah. Sebenarnya
ia masih cukup lelah setelah latihan sepak bola tadi sore, dan yang menjadi
latihan yang terakhir kalinya. Sebagai kapten tim, ia mencoba untuk memberikan yang terbaik
serta menunjukkan bahwa dirinyalah sosok yang mampu membuat irama permainan di lapangan
menjadi lebih hidup.
”Raden... kalo sudah selesai shalat langsung
pulang ya!!!” sahut ibunya dari dalam.
”Bu...ada ceramah malam dari ustadz Harun,
paling agak sedikit lama pulangnya...!” balas Raden sambil mengenakan sandalnya.
”Ya udah... asalkan nggak main-main!!!” kata ibunya kembali.
Raden langsung berlari menuju
masjid, lantas segera melangkah untuk mengambil air wudlu. Disana teman-temannya
sudah duduk tenangsambil membaca Al-Qur’an,
”Den, maneh nggak wudlu di rumah...?!”
tanya Wawan, teman sekelasnya dan juga rekan satu tim sepak bola.
”Oh iya... udah telat euy, dah nyampe sini!!!” jawab Raden sambil sedikit bercanda.
Selesai wudlu ia pun langsung duduk dibarisan
paling depan, tepat di samping kanan dan kirinya adalah Wawan, Ujang dan juga
Yayan. Mereka berempat sudah biasa mengambil shaf terdepan, mungkin kali ini
adalah untuk yang terakhir kalinya mereka shalat berjamaah ditempat yang sama.
Besok Raden dan seluruh keluarganya akan pindah,
”Isukan
pindahan jam sabaraha...?” tanya Yayan pelan.
”Jam
sapuluan...,”
”Wah anggota kita pasti berkurang, berarti... rencana
kita untuk tetap bersama dalam satu tim sampai SMA nggak jadi... padahal kita semua punya
mimpi untuk menjadi pemain Persib nantinya,” tutur Wawan yang kali ini
menghadapkan wajahnya ke arah Raden.
”Mmm...bener atuh, kapten kita sudah pergi... kita harus mencari kapten tim yang
baru,” imbuh Ujang kemudian.
Raden hanya tersenyum mendengar
perkataan ketiga temannya,
”Kan kamu atuh Jang
penggantinya... biasana oge maneh anu jadi kapten upami
urang teu aya...,”
”Oh iya... maneh atuh Jang sebagai
pengemban kapten tim...!!!” kata Yayan dengan nada semangat. Ujang sendiri akhirnya
terdiam sejenak,
”Urang
mah acan siap... di SMA nanti juga ada anggota tim sepak bola yang lain atuh...,”
Muadzin
mulai mengumandangkan iqamah, mereka
langsung menghentikan percakapannya. Jamaah yang lainnya mulai berdiri dan
merapihkan shafnya termasuk beberapa anak-anak seumuran dengan Raden
yang sejak tadi membaca Al-Qur’an. Sang imam ustadz Harun mengamati barisan sebelum
memulai shalat, kemudian ia pun melakukan Takbiratul
Ihram diikuti oleh semua makmumnya.
Pada
rakaat pertama beliau membaca surat Adh-Dhuha, kemudian rakaat keduanya membaca surat
Al-Alaq. Ustadz Harun
terkenal dengan suaranya yang indah ketika membaca ayat suci Al-Qur’an, dan beliau juga adalah guru mengaji Raden
dan kawan-kawannya sejak SD. Cara mengajar beliau yang teliti membuat banyak sekali anak-anak untuk berguru
padanya, beliau juga salah seorang pemimpin pondok pesantren As-Salam yang
letaknya sekitar 1 km dari rumah Raden atau lebih tepatnya bersebelahan dengan
SD tempat Raden dan ketiga temannya dulu belajar.
Raden bukanlah asli orang sini, kota
Banjar yang merupakan wilayah perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dengan
Provinsi Jawa Tengah. Ayahnya adalah seorang TNI Angkatan Darat dan kebetulan
dinas disini, Batalyon Yonif 323 Buaya
Putih. Namun ia tidak tinggal bersama ayahnya, melainkan teman ayahnya yang
kini sudah pensiun, Kapten (Purn.) Asep Suganda yang biasa dipanggil pak Cecep
oleh warga sekitar. Semasa muda ayahnya, beliaulah yang menggembleng ayah Raden sampai kini berpangkat sebagai Kapten.
Sebelum dipindah tugas kesini, beliau dan ayah Raden ditugaskan untuk mengamankan
daerah Timor Timur yang akhirnya terpisah juga dari negara Republik Indonesia.
Beliau juga sering bercerita mengenai ayahnya ketika masa muda, hal ini yang
membuatnya lebih dekat dengan beliau ketimbang dengan ayahnya yang terkadang
jarang mengunjunginya karena tugas ataupun dinas. Hanya saja ayahnya yang
menyuruh Raden untuk belajar mengaji kepada ustadz Harun, dan hal inilah yang
membuatnya bahagia. Bahkan ayahnya sangat mendukung ketika ia memilih untuk
masuk menjadi anggota tim sepak bola di SMP. Ayah Raden begitu mengerti
perkembangan serta keinginannya untuk terus mengembangkan bakat yang dimiliki
olehnya.
Malam ini adalah
untuk yang terakhir kalinya ia berada disini setelah sembilan tahun lamanya, sang ayahakhirnya ditugaskanuntuk kembali ke
Indramayu kota kelahirannya. Untuk itulah ia tidak mau melewatkan ceramah yang akan disampaikan
oleh ustadz Harun. Seusai shalat beberapa anak yang sebaya dengannya mulai membereskan tempat
yang menjadi tempat ustadz Harun menyampaikan ceramah, Raden dan ketiga temannya masih
mengikuti dzikir yang dilakukan oleh beliau. Beberapa orang tua yang lain
tampak khusyu’ membaca kalimat tasbih, tahmid, takbir,
tahlil. Setelah membaca do’a ustadz Harun melakukan shalat sunnah 2 rakaat,
kemudian menghampiri anak-anak yang sudah duduk rapih untuk mendengarkan ceramah yang akan beliau sampaikan malam
ini.
Beliau membuka kegiatan malam ini
dengan sebuah
senyuman yang dilanjutkan dengan salam.
“Puji
syukur alhamdulillah senantiasa kita
panjatkan kehadirat Allah SWT... atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kita dapat berkumpul
kembali disini dengan membawa kenikmatan yang luar... biasa... yakni nikmat
sehat dan umur panjang. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada panutan
kita, Rasulullah… sosok yang selama ini menjadi idola bagi seluruh kaum
muslimin…,”
Selain beberapa pemuda, murid-murid SD
sampai SMP, beberapa orang tua yang ikut shalat bejamaah disini mengurungkan
niat mereka untuk pulang dan lebih memilih mendengarkan ceramah dari ustadz Harun.
Malam ini beliau menyampaikan materi ‘Manisnya Iman’,
“Segala puji bagi Allah, hanya kepada-Nya
kita memuji, meminta perlindungan, dan memohon petunjuk. Kita berlindung kepada
Allah dari segala kejahatan diri kita dan perbuatan-perbuatan buruk kita.
Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, ia tidak akan tersesat, dan
barang siapa yang dibiarkan tersesat oleh Allah, ia tidak akan mendapatkan
petunjuk.
“Adik-adik... dan juga bapak-bapak,
hadirin yang dimuliakan Allah SWT... dalam ash-Shahih,
al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadist dari Anas bin Malik bahwa
Rasulullah SAW bersabda, ”Ada tiga hal
yang apabila ketiga-tiganya ada pada diri seseorang maka ia akan merasakan manisrnya
iman: pertama, Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya. Kedua,
mencintai seseorang hanya karena Allah. Ketiga, tidak suka kembali kepada
kekufuran sebagaimana tidak suka dimasukkan kedalam api neraka.”
“Adik-adik yang masih muda, kalian adalah bibit unggul
yang Insya Allah siap untuk menyampaikan
risalah Islam di
masa yang akan datang. Saya masih merasa belum cukup untuk menyampaikan semuanya, diluar sana
juga masih banyak guru dan juga ustadz yang lain yang bahkan bisa dibilang
lebih baik
dari saya sendiri. Adik-adik adalah calon penerus generasi yang akan
datang, pengganti kami semua yang suatu saat nanti pasti mengalami masa dimana kita
semua pasti akan kembali kepada-Nya. Kalian semua yang akan mengemban tugas
sebagai pemimpin bangsa ini... salah seorang yang ada disini, mungkin juga...
kalian semua adalah calon pemimpin bangsa ini...,”
“Kepada bapak-bapak maupun ibu... harapan
terbesar saya adalah semoga menjadi teladan yang baik bagi putra dan putrinya.
Memberikan banyak nasihat dan ilmu agama kepada anak-anaknya sejak dini,
memberikan mereka nilai-nilai Islami... dan juga mengajarkan mereka untuk lebih
banyak mendekatkan diri kepada Allah.”
Beliau tersenyum dan terdiam sejenak,
beliau pun kembali menyampaikan ceramahnya malam ini. Beberapa orang tua yang kebetulan ikut
mendengarkan ceramah
beliaumulai beranjak pergi setelah selesai dengan dzikir masing-masing, namun masih
ada dua orang lagi disini, yakni pak RT dan juga pak Udin yang kebetulan
rumahnya bersebelahan dengan masjid.
“Al-Bukhari membahas secara khusus
tentang manisnya iman ini tak lain karena beliau telah menggambarkan iman atau
kalimat tauhid itu bagaikan pohon yang baik. Pohon baik ini adalah kalimat Laa ilaaha illallaah; cabangnya adalah
rukun Islam; rantingnya adalah ibadah-ibadah wajib dan sunnah; dedaunannya
adalah ketaatan; dan buahnya adalah buah yang baik dan enak yang dipetik oleh
orang yang taat.
“Seorang muslim yang merasakan manisnya
iman, akan senantiasa menjaga segala amal ibadah yang Allah perintahkan.
Disamping karena perasaan yang selalu diawasi... namun lebih dari itu...
adik-adik... bapak-bapak... dan ibu-ibu... rasa cintalah yang menggerakkan
hati-hati kita untuk senantiasa dekat dan jauh lebih dekat dengan Allah. Karena
Allah pun begitu dekat dengan kita. Ketika sejak dini seorang muslim dibina
dengan agama yang benar, teladan yang baik... ibarat tunas-tunas yang kelak
akan menjadi pohon yang tinggi menjulang, tegak, kuat serta kokoh. Perkembangan
serta perubahan zaman tidak merapuhkan imannya, berbagai pengaruh buruk yang
dibawa lingkungan sama sekali tidak menggoyahkan keyakinannya untuk menjadi
insan yang dicintai oleh Allah.”
Ceramah kali ini berlangsung
sampai jam setengah
sembilan
malam, beberapa orang tua mulai datang dan menunggu anak-anak mereka yang masih
berada di dalam masjid mendengarkan ceramah yang diberikan oleh ustdaz Harun.
Beberapa diantaranya ada yang sudah tertidur, beralaskan sarung maupun yang
menyandarkan diri di dinding.
“Ustadz... kok ceramahnya malam-malam?!” tanya pak RT.
Sambil tersenyum ustdaz pun
menjawab, “Waktu sore tadi jadwalnya bentrok dengan kegiatan santri di pesantren...
saya sendiri juga tidak memaksakan anak-anak untuk datang, mereka yang ingin
datang kesini juga harus mendapatkan izin dari orang tua terutama yang masih
duduk di bangku Sekolah Dasar. Sebelumnya
juga saya meminta agar orang tua mereka menjemput setelah ceramah ini selesai...
Kalau tidak ada yang menjemput juga nanti biar saya sendiri yang mengantarkan
mereka ke rumah masing-masing...,”
Pak RT hanya mengangguk, setelah
mengucapkan salam beliau pun kembali ke rumahnya bersama beberapa orang tua
yang menjemput anak-anak mereka. Raden dan ketiga temannya masih berada di dalam,
tiba-tiba salah seorang teman yang lain menghampiri mereka.
“Raden...,” suara itu terdengar cukup lembut,
mereka berempat yang kebetulan sedang berbincang-bincang mulai menghentikan
sejenak topik yang kali ini sedang dibicarakan.
”Iya... ada apa Mala?” tanya Raden padanya.
”... ada yang mau saya omongin sama kamu Den sebentar,mmm...
kamu ada waktu?!”
”Mmm..., boleh kok... diluar saja ya...!”
Raden meninggalkan ketiga temannya, ia
melangkahkan
kaki bersama Nurmala menuju keluar masjid. Malam ini banyak sekali bintang yang bersinar
menemani bulan sabit, dan memang malam ini pula untuk Raden yang terakhir
kalinya melihat bintang disini. Sebuah akhir yang akan menjadi kenangan baginya, sebuah
catatan malam terakhir yang akan terus membekas dalam buku yang ia pegang di
tangan kanannya. Buku ini menjadi catatan sejarah perjalanan Raden sejak ia
mulai menuliskan beberapa kegiatan yang pernah ia lakukan sejak duduk di bangku
kelas 1 SMP.
”Ada apa...?” tanya Raden pelan.
”Mmm... besok teh kamu pindahan nya?! Sebenarnya saya teh mau ngasih sesuatu sama kamu...,”
Nurmala langsung mengeluarkan
sesuatu dari dalam tasnya, sebuah kado yang terbungkus rapih. Ia memberikannya
perlahan kepada Raden,
”Wah jadi nggak enakan nih...apa nggak
berlebihan...?!”
”Nggak apa-apa kok Den... saya mah ikhlas... bulan Oktober nanti kan saya nggak bisa ngasih kado
ulang tahun lagi
buat kamu seperti tahun lalu...,”
Raden tersenyum untuknya sambil
mengucapkan terima kasih. Nurmala adalah salah seorang teman perempuannya yang paling
baik, meskipun baru berteman selama tiga tahun karena waktu SD mereka tidak sekolah ditempat
yang sama. Malam
ini ia memakai kerudung birunya yang cukup panjang, dan tampak lebih cantik
dari biasanya.
Antara Raden dan Nurmala sendiri mulai akrab setelah sama-sama berada
dalam satu kelas saat kelas 1 SMP. Jarak rumah yang relatif dekat juga membuat hubungan diantara keduanya menjadi lebih akrab, bersama
ketiga teman yang lain, Yayan, Ujang dan Wawan, mereka sering belajar bersama.
Bahkan saat Raden dan yang lainnya berlatih sepak bola, Nurmala selalu menyempatkan hadir untuk
melihat sambil membawakan minuman untuk Raden dan trio sahabat terbaiknya. Meskipun diledek seperti orang pacaran, mereka berdua tidak terlalu
menghiraukan begitu pula Wawan, Yayan dan Ujang.
Ceramah dari ustadz Harun malam ini sudah
selesai, mereka semua kembali ke rumah dan mulai terbuai dalam mimpi malam ini. Raden masih
belum menutup kedua matanya, ia masih memegang bungkusan itu sambil memikirkan
isinya. Tak lama kemudian bayangan Nurmala muncul, namun ia segera menepisnya
dan mulai membuka bungkusan itu. Ia merasa cukup gembira dengan pemberian dari Nurmala malam ini,
’Tas
pinggang...???’
Raden
mulai keheranan, kemudian dari dalamnya ia mengambil sebuah kaos. Ternyata kaos
ini yang dulu pernah dicuci oleh Nurmala. Cuaca saat itu mendung, dan gerimis
mulai turun di sela-sela latihan sepak bola. Nurmala duduk di bangku cadangan bersama asisten
pelatih, melihat Raden dan yang lainnya berlatih dibawah rintik-rintik hujan. Ia membawa sebuah tas
berisi minuman untuk Raden dan ketiga temannya yang menggulirkan si kulit bundar di atas lapangan yang
basah, sesekali ia memberikan semangat ketika tim Raden melakukan serangan ke
arah gawang.
“Nurmala... ternyata kamu teh masih menyimpannya..., tas pinggang ini... ternyata kamu ingat juga
kalau aku mau
membelinya...,”
Kaos yang berada dalam bungkusan ini adalah yang pernah dipakai Raden ketika latihan saat itu,
sekarang sudah kembali dengan kondisi seperti semula, padahal sebelumnya penuh
dengan noda lumpur. Raden sendiri sudah lupa kalau Nurmala yang mencucikan
untuknya, sebab saat itu ia membawa pakaian ganti jadi ia berpikir kalau
kaosnya itu hilang di ruang ganti pemain.
’Terima
kasih...,’
Ia mulai terlelap, hadiah itu ia
simpan di meja belajarnya. Dari luar ibunya masuk tanpa diketahuinya,
merapihkan hadiah itu sambil tersenyum untuk anaknya.
“Nak… kamu tumbuh
menjadi orang yang sangat dibutuhkan kehadirannya seperti ayahmu. Ibu bangga
sekali memiliki anak sepertimu…,”
Beliau mengelus kening Raden perlahan sambil tersenyum,
dan sebuah kecupan manis beliau berikan untuk sang putra tercinta. Seorang putra yang
membuat beliau bangga, bahagia serta tersenyum lebih indah. Ada sebuah cahaya
yang terbesit dari wajah Raden, dan itulah yang membuat beliau begitu tenang
melihat wajah putranya setiap kali terlelap di malam hari.
*****
Raden bersama kedua orang tuanya
serta adiknya Runi, termasuk pak Cecep mulai membereskan semua barang-barang
yang akan dibawa pindah ke rumah yang baru. Hanya adiknya yang masih kecil,
Zahara duduk dengan tenang di dalam mobil sambil memegang bonekanya.
“Runi… barang-barang punya kamu sudah
dimasukkan ke dalam mobil belum?!” tanya Raden sambil memegang kardus berisi buku-buku
bacaanya.
“Sudah kak… tinggal punya si kecil Zahara yang
belum semua, Ayah sama Ibu sedang mengurus yang lain… jadi barang-barang punya
Zahara, Runi yang beresin…,”
Raden kembali melanjutkan
langkahnya, begitu pula Runi yang langsung membereskan barang-barang milik
adiknya. Tepat pukul sepuluh pagi, Raden dan keluarganya selesai merapihkan barang-barang untuk pindahan
hari ini. Pekerjaan menjadi ringan setelah kedatangan ketiga teman Raden, yakni
Wawan, Yayan serta Ujang. Bukan hanya mereka, ustadz Harun pun berada disana
untuk membantu, begitu pula dengan Nurmala.
Ibu
Raden dan juga istri pak Cecep tampak sedang asyik di dapur untuk menyiapkan
makanan ringan setelah sebelumnya menyiapkan es teh manis sebagai pelepas
dahaga. Pak RT tiba-tiba datang menghampiri ayah Raden yang sedang asyik
mengobrol bersama pak Cecep dan ustadz Harun di teras.
“Assalamu’alaykum…!!!”
“Wa’alaykumsalam….!!”
Jawab mereka serempak.
“Aduh… pak RT, datangnya terlambat atuh?” kata Yayan sedikit menyindir.
“Iya maaf atuh cep… tumben lah bapak banyak kerjaan,
ini juga buru-buru datang kesini. Sepertinya bapak juga nggak bisa
bantu-bantu…?!”
“Nggak apa-apa kok... mari pak RT minum teh
sambil ngobrol-ngobrol,” ajak Ayah Raden.
Suara tawa mulai terdengar diantara
mereka semua, adik Raden yang paling kecil, Zahara, sudah terlelap dalam mobil.
Ibu Raden dan juga istri pak Acep datang sambil membaca beberapa gorengan dan
kue.
“Wah ada pak RT juga ya...?!” kata ibu Raden
sambil menghidangkan kue dan gorengan.
“Iya bu... tapi punten atuh nggak bisa
ngebantu karena lagi ada kerjaan,”
“Namanya juga orang sibuk...,” sindir pak
Cecep.
Suasana
pun diselumuti dengan canda tawa. Sekitar satu jam mereka berbincang-bincang
sambil minum teh dan menikmati gorengan serta kue, Raden bersama ketiga
temannya pergi dan mendekat ke arah mobil yang mengangkut barang-barang
pindahan, begitu pula halnya dengan Nurmala.
“Kapten mau pergi nih…?!” papar Ujang.
“….,”
Nurmala mulai tersenyum kecil,
sementara Raden sendiri menunduk sambil terdiam.
“Ya mau gimana lagi? Ya gini lah nasib anak
tentara…, meskipun
jauh kita tetap teman sejati...,”
“Kamu teh emang teman terbaik kami Den... susah kayaknya nyari temen
kayak kamu,” ujar Yayan.
Kedua teman yang lain mengangguk
sebagai tanda setuju, Nurmala sendiri menunduk dan terdiam. Ia cukup sulit
untuk mengatakan sesuatu, sampai akhirnya suara panggilan Zahara mulai membuatnya segera
melangkahkan kaki. Senyuman manis segera terpancar dari bibir tipis
Nurmala untuk Zahara yang masih memegang bonekanya.
“Teh Mala... kok mukanya kelihatan sedih
sih...? Pasti gara-gara kak Raden pergi ya?!”
Pertanyaan Zahara spontan membuat Nurmala terkejut, ia
terdiam sesaat kemudian tersenyum. Memang tak bisa dipungkiri, kepergian Raden
membuatnya sangat
sedih. Seperti akan kehilangan teman terbaik yang selalu ada untuk mengisi
hari-hari disini,
“Nggak kok... teteh sepertinya agak sakit
nih,”
“Kang Raden...!!! Teh Nurmala sakit nih...!!!”
“Ssstt...!!!
Nggak usah bilang atuh...,” Nurmala
berusaha menutup mulut Zahara. Raden kemudian menghampiri keduanya, sambil memandang
ke arah Nurmala yang mulai bersikap aneh.
“Bener, Mala...?!”
“Nggak kok Den, nggak kenapa-kenapa...,”
“Lho... tadi kan teh Mala bilang lagi sakit?!” kata Zahara
sambil memegang bonekanya.
Raden tersenyum untuk Nurmala, ia
mengusap-ngusap kepala adiknya yang masih kecil itu.
“Teh Nurmala nggak kenapa-kenapa kok...,
tadi mungkin salah ngomong. Oh ya, Zahara... mau minum nggak?”
“Nggak usah kak, nanti saja... berangkatnya
kapan nih?!”
“Sebentar lagi... tuh bapak sama ibu baru
selesai ngobrol-ngobrol.” Kata Raden sambil menunjuk ke arah kedua orang tuanya yang mulai berdiri
setelah cukup lama berbincang-bincang.
Perjalanan sebentar lagi akan
dimulai, Raden pun sudah siap untuk segera pergi, semuanya masuk kedalam mobil.
Ujang, Wawan, Yayan, ustadz Harun, Nurmala, pak RT, pak Cecep beserta keluarganya
juga bersiap untuk melepas kepergian mereka. Sebelum Raden naik, ustadz Harun
memberinya sebuah buku, ‘Sirah Nabawiyah’, buku yang
sudah lama beliau janjikan untuknya.
“Buku ini saya khusus berikan buat kamu Den...
kamu bisa belajar banyak dari tokoh idola saya lewat buku ini, semoga...
Rasulullah pun menjadi idola bagimu,” kata ustadz Harun.
“Insya
Allah ustadz... terima kasih buat semua pelajaran yang ustadz kasih,”
“Nanti ayah carikan ustadz lain di tempat
tinggal kita yang baru... kalau perlu, biar nanti Insya Allah ayah yang akan
langsung memberikan ilmu agama sebagai kewajiban ayah terhadap keluarga...,”
imbuh ayah Raden sambil tersenyum.
Ibu tersenyum manis setelah
mendengarkan kata-kata dari ayah, kalimat penuh makna serta menjadi contoh bagi
kepala rumah tangga yang lainnya. Ustadz Harun mendekat ke arah Raden sambil
mengelus-elus bahu muridnya serta tersenyum manis.
Raden
mengenakan tas pinggang yang diberikan oleh Nurmala, membuat hati orang yang
memberinya bahagia. Nurmala memberikan sebuah senyuman terbaik untuk Raden, meskipun ia
merasa sedih karena harus melepas kepergian seorang sahabat yang begitu berarti
dalam hidupnya.
“Sering-sering main kesini ya...,” kata pak
Cecep, orang yang sudah Raden anggap sebagai paman sendiri.
“Insya
Allah kang... kami berangkat dulu, Assalamu’alaykum...!!!”
kata Ayah Raden.
“Wa’alaykum
salam...!!!”
Sambil meninggalkan senyuman manis
untuk Nurmala, mobil yang dinaikinya bersama keluarga melaju menuju sebuah kota yang baru.
Ia seperti merasa kehilangan, terlebih ketiga teman yang sering bermain dan
berlatih sepak bola bersamanya, Ujang, Wawan dan Yayan sudah tidak bersamanya
lagi. Juga sosok perempuan bernama Nurmala yang sangat baik kepadanya. Takdir sudah
ditentukan, masa depannya yang entah seperti apa sudah menanti di depan sana.
Segenap jalanan berliku dari roda perputaran hidup manusia akan terus dijalani
olehnya, sebagai konsekuensi bagi setiap makhluk ciptaan-Nya Yang Maha Agung. Raden duduk sambil berdo’a
agar perjalanan kali ini dilindungi oleh Allah SWT, ia memasukkan buku yang
ustadz berikan untuknya ke dalam tas. Beberapa saat kemudian matanya mulai
terpejam, Runi yang duduk di sampingnya sudah tertidur beberapa saat yang lalu
sambil memegang sebuah buku bacaan.
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami
akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”[1]
[1] Ibrahim ayat 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar