Jumat, 30 Desember 2011

Cinta-Dua-Bidadari_Bab 6

BAB VI
KEPINGAN PERJALANAN MASA LALU

            Sudah waktunya shalat Isya, Raden bergegas mengenakan sarungnya dan langsung pergi ke masjid yang berada di samping rumah. Sebenarnya ia masih cukup lelah setelah latihan sepak bola tadi sore, dan yang menjadi latihan yang terakhir kalinya. Sebagai kapten tim, ia mencoba untuk memberikan yang terbaik serta menunjukkan bahwa dirinyalah sosok yang mampu membuat irama permainan di lapangan menjadi lebih hidup.
             ”Raden... kalo sudah selesai shalat langsung pulang ya!!!” sahut ibunya dari dalam.
             ”Bu...ada ceramah malam dari ustadz Harun, paling agak sedikit lama pulangnya...!” balas Raden sambil mengenakan sandalnya.
             ”Ya udah... asalkan nggak main-main!!!” kata ibunya kembali.
            Raden langsung berlari menuju masjid, lantas segera melangkah untuk mengambil air wudlu. Disana teman-temannya sudah duduk tenangsambil membaca Al-Qur’an,
             ”Den, maneh nggak wudlu di rumah...?!” tanya Wawan, teman sekelasnya dan juga rekan satu tim sepak bola.
             ”Oh iya... udah telat euy, dah nyampe sini!!!” jawab Raden sambil sedikit bercanda.
            Selesai wudlu ia pun langsung duduk dibarisan paling depan, tepat di samping kanan dan kirinya adalah Wawan, Ujang dan juga Yayan. Mereka berempat sudah biasa mengambil shaf terdepan, mungkin kali ini adalah untuk yang terakhir kalinya mereka shalat berjamaah ditempat yang sama. Besok Raden dan seluruh keluarganya akan pindah,
             Isukan pindahan jam sabaraha...?” tanya Yayan pelan.
             Jam sapuluan...,”
             ”Wah anggota kita pasti berkurang, berarti... rencana kita untuk tetap bersama dalam satu tim sampai SMA nggak jadi... padahal kita semua punya mimpi untuk menjadi pemain Persib nantinya,” tutur Wawan yang kali ini menghadapkan wajahnya ke arah Raden.
             ”Mmm...bener atuh, kapten kita sudah pergi... kita harus mencari kapten tim yang baru,” imbuh Ujang kemudian.
            Raden hanya tersenyum mendengar perkataan ketiga temannya,
             ”Kan kamu atuh Jang penggantinya... biasana oge maneh anu jadi kapten upami urang teu aya...,”
             ”Oh iya... maneh atuh Jang sebagai pengemban kapten tim...!!!” kata Yayan dengan nada semangat. Ujang sendiri akhirnya terdiam sejenak,
             Urang mah acan siap... di SMA nanti juga ada anggota tim sepak bola yang lain atuh...,”
            Muadzin mulai mengumandangkan iqamah, mereka langsung menghentikan percakapannya. Jamaah yang lainnya mulai berdiri dan merapihkan shafnya termasuk beberapa anak-anak seumuran dengan Raden yang sejak tadi membaca Al-Qur’an. Sang imam ustadz Harun mengamati barisan sebelum memulai shalat, kemudian ia pun melakukan Takbiratul Ihram diikuti oleh semua makmumnya.
Pada rakaat pertama beliau membaca surat Adh-Dhuha, kemudian rakaat keduanya membaca surat Al-Alaq. Ustadz Harun terkenal dengan suaranya yang indah ketika membaca ayat suci Al-Qur’an, dan beliau juga adalah guru mengaji Raden dan kawan-kawannya sejak SD. Cara mengajar beliau yang teliti membuat banyak sekali anak-anak untuk berguru padanya, beliau juga salah seorang pemimpin pondok pesantren As-Salam yang letaknya sekitar 1 km dari rumah Raden atau lebih tepatnya bersebelahan dengan SD tempat Raden dan ketiga temannya dulu belajar.
            Raden bukanlah asli orang sini, kota Banjar yang merupakan wilayah perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dengan Provinsi Jawa Tengah. Ayahnya adalah seorang TNI Angkatan Darat dan kebetulan dinas disini, Batalyon Yonif 323 Buaya Putih. Namun ia tidak tinggal bersama ayahnya, melainkan teman ayahnya yang kini sudah pensiun, Kapten (Purn.) Asep Suganda yang biasa dipanggil pak Cecep oleh warga sekitar. Semasa muda ayahnya, beliaulah yang menggembleng ayah Raden sampai kini berpangkat sebagai Kapten. Sebelum dipindah tugas kesini, beliau dan ayah Raden ditugaskan untuk mengamankan daerah Timor Timur yang akhirnya terpisah juga dari negara Republik Indonesia. Beliau juga sering bercerita mengenai ayahnya ketika masa muda, hal ini yang membuatnya lebih dekat dengan beliau ketimbang dengan ayahnya yang terkadang jarang mengunjunginya karena tugas ataupun dinas. Hanya saja ayahnya yang menyuruh Raden untuk belajar mengaji kepada ustadz Harun, dan hal inilah yang membuatnya bahagia. Bahkan ayahnya sangat mendukung ketika ia memilih untuk masuk menjadi anggota tim sepak bola di SMP. Ayah Raden begitu mengerti perkembangan serta keinginannya untuk terus mengembangkan bakat yang dimiliki olehnya.
Malam ini adalah untuk yang terakhir kalinya ia berada disini setelah sembilan tahun lamanya, sang ayahakhirnya ditugaskanuntuk kembali ke Indramayu kota kelahirannya. Untuk itulah ia tidak mau melewatkan ceramah yang akan disampaikan oleh ustadz Harun. Seusai shalat beberapa anak yang sebaya dengannya mulai membereskan tempat yang menjadi tempat ustadz Harun menyampaikan ceramah, Raden dan ketiga temannya masih mengikuti dzikir yang dilakukan oleh beliau. Beberapa orang tua yang lain tampak khusyu’ membaca kalimat tasbih, tahmid, takbir, tahlil. Setelah membaca do’a ustadz Harun melakukan shalat sunnah 2 rakaat, kemudian menghampiri anak-anak yang sudah duduk rapih untuk  mendengarkan ceramah yang akan beliau sampaikan malam ini.
            Beliau membuka kegiatan malam ini dengan sebuah senyuman yang dilanjutkan dengan salam.
“Puji syukur alhamdulillah senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT... atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kita dapat berkumpul kembali disini dengan membawa kenikmatan yang luar... biasa... yakni nikmat sehat dan umur panjang. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada panutan kita, Rasulullah… sosok yang selama ini menjadi idola bagi seluruh kaum muslimin…,
            Selain beberapa pemuda, murid-murid SD sampai SMP, beberapa orang tua yang ikut shalat bejamaah disini mengurungkan niat mereka untuk pulang dan lebih memilih mendengarkan ceramah dari ustadz Harun.
            Malam ini beliau menyampaikan materi ‘Manisnya Iman’,
            Segala puji bagi Allah, hanya kepada-Nya kita memuji, meminta perlindungan, dan memohon petunjuk. Kita berlindung kepada Allah dari segala kejahatan diri kita dan perbuatan-perbuatan buruk kita. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, ia tidak akan tersesat, dan barang siapa yang dibiarkan tersesat oleh Allah, ia tidak akan mendapatkan petunjuk.
            Adik-adik... dan juga bapak-bapak, hadirin yang dimuliakan Allah SWT... dalam ash-Shahih, al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadist dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Ada tiga hal yang apabila ketiga-tiganya ada pada diri seseorang maka ia akan merasakan manisrnya iman: pertama, Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya. Kedua, mencintai seseorang hanya karena Allah. Ketiga, tidak suka kembali kepada kekufuran sebagaimana tidak suka dimasukkan kedalam api neraka.”
            Adik-adik yang masih muda, kalian adalah bibit unggul yang Insya Allah siap untuk menyampaikan risalah Islam di masa yang akan datang. Saya masih merasa belum cukup untuk menyampaikan semuanya, diluar sana juga masih banyak guru dan juga ustadz yang lain yang bahkan bisa dibilang lebih baik dari saya sendiri. Adik-adik adalah calon penerus generasi yang akan datang, pengganti kami semua yang suatu saat nanti pasti mengalami masa dimana kita semua pasti akan kembali kepada-Nya. Kalian semua yang akan mengemban tugas sebagai pemimpin bangsa ini... salah seorang yang ada disini, mungkin juga... kalian semua adalah calon pemimpin bangsa ini...,
             “Kepada bapak-bapak maupun ibu... harapan terbesar saya adalah semoga menjadi teladan yang baik bagi putra dan putrinya. Memberikan banyak nasihat dan ilmu agama kepada anak-anaknya sejak dini, memberikan mereka nilai-nilai Islami... dan juga mengajarkan mereka untuk lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah.”
            Beliau tersenyum dan terdiam sejenak, beliau pun kembali menyampaikan ceramahnya malam ini. Beberapa orang tua yang kebetulan ikut mendengarkan ceramah beliaumulai beranjak pergi setelah selesai dengan dzikir masing-masing, namun masih ada dua orang lagi disini, yakni pak RT dan juga pak Udin yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan masjid.
            Al-Bukhari membahas secara khusus tentang manisnya iman ini tak lain karena beliau telah menggambarkan iman atau kalimat tauhid itu bagaikan pohon yang baik. Pohon baik ini adalah kalimat Laa ilaaha illallaah; cabangnya adalah rukun Islam; rantingnya adalah ibadah-ibadah wajib dan sunnah; dedaunannya adalah ketaatan; dan buahnya adalah buah yang baik dan enak yang dipetik oleh orang yang taat.
            Seorang muslim yang merasakan manisnya iman, akan senantiasa menjaga segala amal ibadah yang Allah perintahkan. Disamping karena perasaan yang selalu diawasi... namun lebih dari itu... adik-adik... bapak-bapak... dan ibu-ibu... rasa cintalah yang menggerakkan hati-hati kita untuk senantiasa dekat dan jauh lebih dekat dengan Allah. Karena Allah pun begitu dekat dengan kita. Ketika sejak dini seorang muslim dibina dengan agama yang benar, teladan yang baik... ibarat tunas-tunas yang kelak akan menjadi pohon yang tinggi menjulang, tegak, kuat serta kokoh. Perkembangan serta perubahan zaman tidak merapuhkan imannya, berbagai pengaruh buruk yang dibawa lingkungan sama sekali tidak menggoyahkan keyakinannya untuk menjadi insan yang dicintai oleh Allah.
            Ceramah kali ini berlangsung sampai jam setengah sembilan malam, beberapa orang tua mulai datang dan menunggu anak-anak mereka yang masih berada di dalam masjid mendengarkan ceramah yang diberikan oleh ustdaz Harun. Beberapa diantaranya ada yang sudah tertidur, beralaskan sarung maupun yang menyandarkan diri di dinding.
             “Ustadz... kok ceramahnya malam-malam?!” tanya pak RT.
            Sambil tersenyum ustdaz pun menjawab, “Waktu sore tadi jadwalnya bentrok dengan kegiatan santri di pesantren... saya sendiri juga tidak memaksakan anak-anak untuk datang, mereka yang ingin datang kesini juga harus mendapatkan izin dari orang tua terutama yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Sebelumnya juga saya meminta agar orang tua mereka menjemput setelah ceramah ini selesai... Kalau tidak ada yang menjemput juga nanti biar saya sendiri yang mengantarkan mereka ke rumah masing-masing...,”
            Pak RT hanya mengangguk, setelah mengucapkan salam beliau pun kembali ke rumahnya bersama beberapa orang tua yang menjemput anak-anak mereka. Raden dan ketiga temannya masih berada di dalam, tiba-tiba salah seorang teman yang lain menghampiri mereka.
             “Raden...,” suara itu terdengar cukup lembut, mereka berempat yang kebetulan sedang berbincang-bincang mulai menghentikan sejenak topik yang kali ini sedang dibicarakan.
             ”Iya... ada apa Mala?” tanya Raden padanya.
             ”... ada yang mau saya omongin sama kamu Den sebentar,mmm... kamu ada waktu?!
             ”Mmm..., boleh kok... diluar saja ya...!”
            Raden meninggalkan ketiga temannya, ia melangkahkan kaki bersama Nurmala menuju keluar masjid. Malam ini banyak sekali bintang yang bersinar menemani bulan sabit, dan memang malam ini pula untuk Raden yang terakhir kalinya melihat bintang disini. Sebuah akhir yang akan menjadi kenangan baginya, sebuah catatan malam terakhir yang akan terus membekas dalam buku yang ia pegang di tangan kanannya. Buku ini menjadi catatan sejarah perjalanan Raden sejak ia mulai menuliskan beberapa kegiatan yang pernah ia lakukan sejak duduk di bangku kelas 1 SMP.
             ”Ada apa...?” tanya Raden pelan.
             ”Mmm... besok teh kamu pindahan nya?! Sebenarnya saya teh mau ngasih sesuatu sama kamu...,”
            Nurmala langsung mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, sebuah kado yang terbungkus rapih. Ia memberikannya perlahan kepada Raden,
             ”Wah jadi nggak enakan nih...apa nggak berlebihan...?!
             ”Nggak apa-apa kok Den... saya mah ikhlas... bulan Oktober nanti kan saya nggak bisa ngasih kado ulang tahun lagi buat kamu seperti tahun lalu...,”
            Raden tersenyum untuknya sambil mengucapkan terima kasih. Nurmala adalah salah seorang teman perempuannya yang paling baik, meskipun baru berteman selama tiga tahun karena waktu SD mereka tidak sekolah ditempat yang sama. Malam ini ia memakai kerudung birunya yang cukup panjang, dan tampak lebih cantik dari biasanya. Antara Raden dan Nurmala sendiri mulai akrab setelah sama-sama berada dalam satu kelas saat kelas 1 SMP. Jarak rumah yang relatif dekat juga membuat hubungan diantara keduanya menjadi lebih akrab, bersama ketiga teman yang lain, Yayan, Ujang dan Wawan, mereka sering belajar bersama. Bahkan saat Raden dan yang lainnya berlatih sepak bola, Nurmala selalu menyempatkan hadir untuk melihat sambil membawakan minuman untuk Raden dan trio sahabat terbaiknya. Meskipun diledek seperti orang pacaran, mereka berdua tidak terlalu menghiraukan begitu pula Wawan, Yayan dan Ujang.
            Ceramah dari ustadz Harun malam ini sudah selesai, mereka semua kembali ke rumah dan mulai terbuai dalam mimpi malam ini. Raden masih belum menutup kedua matanya, ia masih memegang bungkusan itu sambil memikirkan isinya. Tak lama kemudian bayangan Nurmala muncul, namun ia segera menepisnya dan mulai membuka bungkusan itu. Ia merasa cukup gembira dengan pemberian dari Nurmala malam ini,
            ’Tas pinggang...???’
Raden mulai keheranan, kemudian dari dalamnya ia mengambil sebuah kaos. Ternyata kaos ini yang dulu pernah dicuci oleh Nurmala. Cuaca saat itu mendung, dan gerimis mulai turun di sela-sela latihan sepak bola. Nurmala duduk di bangku cadangan bersama asisten pelatih, melihat Raden dan yang lainnya berlatih dibawah rintik-rintik hujan. Ia membawa sebuah tas berisi minuman untuk Raden dan ketiga temannya yang menggulirkan si kulit bundar di atas lapangan yang basah, sesekali ia memberikan semangat ketika tim Raden melakukan serangan ke arah gawang.
             “Nurmala... ternyata kamu teh masih menyimpannya..., tas pinggang ini... ternyata kamu ingat juga kalau aku mau membelinya...,”
            Kaos yang berada dalam bungkusan ini adalah yang pernah dipakai Raden ketika latihan saat itu, sekarang sudah kembali dengan kondisi seperti semula, padahal sebelumnya penuh dengan noda lumpur. Raden sendiri sudah lupa kalau Nurmala yang mencucikan untuknya, sebab saat itu ia membawa pakaian ganti jadi ia berpikir kalau kaosnya itu hilang di ruang ganti pemain.
            ’Terima kasih...,’
            Ia mulai terlelap, hadiah itu ia simpan di meja belajarnya. Dari luar ibunya masuk tanpa diketahuinya, merapihkan hadiah itu sambil tersenyum untuk anaknya.
             “Nak… kamu tumbuh menjadi orang yang sangat dibutuhkan kehadirannya seperti ayahmu. Ibu bangga sekali memiliki anak sepertimu…,”
            Beliau mengelus kening Raden perlahan sambil tersenyum, dan sebuah kecupan manis beliau berikan untuk sang putra tercinta. Seorang putra yang membuat beliau bangga, bahagia serta tersenyum lebih indah. Ada sebuah cahaya yang terbesit dari wajah Raden, dan itulah yang membuat beliau begitu tenang melihat wajah putranya setiap kali terlelap di malam hari.
*****
            Raden bersama kedua orang tuanya serta adiknya Runi, termasuk pak Cecep mulai membereskan semua barang-barang yang akan dibawa pindah ke rumah yang baru. Hanya adiknya yang masih kecil, Zahara duduk dengan tenang di dalam mobil sambil memegang bonekanya.
             “Runi… barang-barang punya kamu sudah dimasukkan ke dalam mobil belum?!” tanya Raden sambil memegang kardus berisi buku-buku bacaanya.
             “Sudah kak… tinggal punya si kecil Zahara yang belum semua, Ayah sama Ibu sedang mengurus yang lain… jadi barang-barang punya Zahara, Runi yang beresin…,
            Raden kembali melanjutkan langkahnya, begitu pula Runi yang langsung membereskan barang-barang milik adiknya. Tepat pukul sepuluh pagi, Raden dan keluarganya selesai merapihkan barang-barang untuk pindahan hari ini. Pekerjaan menjadi ringan setelah kedatangan ketiga teman Raden, yakni Wawan, Yayan serta Ujang. Bukan hanya mereka, ustadz Harun pun berada disana untuk membantu, begitu pula dengan Nurmala.
Ibu Raden dan juga istri pak Cecep tampak sedang asyik di dapur untuk menyiapkan makanan ringan setelah sebelumnya menyiapkan es teh manis sebagai pelepas dahaga. Pak RT tiba-tiba datang menghampiri ayah Raden yang sedang asyik mengobrol bersama pak Cecep dan ustadz Harun di teras.
             Assalamu’alaykum…!!!”
             Wa’alaykumsalam….!!” Jawab mereka serempak.
             “Aduh… pak RT, datangnya terlambat atuh?” kata Yayan sedikit menyindir.
             Iya maaf atuh cep… tumben lah bapak banyak kerjaan, ini juga buru-buru datang kesini. Sepertinya bapak juga nggak bisa bantu-bantu…?!”
             “Nggak apa-apa kok... mari pak RT minum teh sambil ngobrol-ngobrol,” ajak Ayah Raden.
            Suara tawa mulai terdengar diantara mereka semua, adik Raden yang paling kecil, Zahara, sudah terlelap dalam mobil. Ibu Raden dan juga istri pak Acep datang sambil membaca beberapa gorengan dan kue.
             “Wah ada pak RT juga ya...?!” kata ibu Raden sambil menghidangkan kue dan gorengan.
             “Iya bu... tapi punten atuh nggak bisa ngebantu karena lagi ada kerjaan,”
             “Namanya juga orang sibuk...,” sindir pak Cecep.
Suasana pun diselumuti dengan canda tawa. Sekitar satu jam mereka berbincang-bincang sambil minum teh dan menikmati gorengan serta kue, Raden bersama ketiga temannya pergi dan mendekat ke arah mobil yang mengangkut barang-barang pindahan, begitu pula halnya dengan Nurmala.
             “Kapten mau pergi nih…?!” papar Ujang.
             “….,”
            Nurmala mulai tersenyum kecil, sementara Raden sendiri menunduk sambil terdiam.
             “Ya mau gimana lagi? Ya gini lah nasib anak tentara…, meskipun jauh kita tetap teman sejati...,”
             “Kamu teh emang teman terbaik kami Den... susah kayaknya nyari temen kayak kamu,” ujar Yayan.
            Kedua teman yang lain mengangguk sebagai tanda setuju, Nurmala sendiri menunduk dan terdiam. Ia cukup sulit untuk mengatakan sesuatu, sampai akhirnya suara panggilan Zahara mulai membuatnya segera melangkahkan kaki. Senyuman manis segera terpancar dari bibir tipis Nurmala untuk Zahara yang masih memegang bonekanya.
             “Teh Mala... kok mukanya kelihatan sedih sih...? Pasti gara-gara kak Raden pergi ya?!
            Pertanyaan Zahara spontan membuat Nurmala terkejut, ia terdiam sesaat kemudian tersenyum. Memang tak bisa dipungkiri, kepergian Raden membuatnya sangat sedih. Seperti akan kehilangan teman terbaik yang selalu ada untuk mengisi hari-hari disini,
             “Nggak kok... teteh sepertinya agak sakit nih,”
             “Kang Raden...!!! Teh Nurmala sakit nih...!!!”
             Ssstt...!!! Nggak usah bilang atuh...,” Nurmala berusaha menutup mulut Zahara. Raden kemudian menghampiri keduanya, sambil memandang ke arah Nurmala yang mulai bersikap aneh.
             “Bener, Mala...?!”
             “Nggak kok Den, nggak kenapa-kenapa...,”
             “Lho... tadi kan teh Mala bilang lagi sakit?!” kata Zahara sambil memegang bonekanya.
            Raden tersenyum untuk Nurmala, ia mengusap-ngusap kepala adiknya yang masih kecil itu.
 “Teh Nurmala nggak kenapa-kenapa kok..., tadi mungkin salah ngomong. Oh ya, Zahara... mau minum nggak?”
             “Nggak usah kak, nanti saja... berangkatnya kapan nih?!
             “Sebentar lagi... tuh bapak sama ibu baru selesai ngobrol-ngobrol.” Kata Raden sambil menunjuk ke arah kedua orang tuanya yang mulai berdiri setelah cukup lama berbincang-bincang.
            Perjalanan sebentar lagi akan dimulai, Raden pun sudah siap untuk segera pergi, semuanya masuk kedalam mobil. Ujang, Wawan, Yayan, ustadz Harun, Nurmala, pak RT, pak Cecep beserta keluarganya juga bersiap untuk melepas kepergian mereka. Sebelum Raden naik, ustadz Harun memberinya sebuah buku, ‘Sirah Nabawiyah’, buku yang sudah lama beliau janjikan untuknya.
             “Buku ini saya khusus berikan buat kamu Den... kamu bisa belajar banyak dari tokoh idola saya lewat buku ini, semoga... Rasulullah pun menjadi idola bagimu,” kata ustadz Harun.
             Insya Allah ustadz... terima kasih buat semua pelajaran yang ustadz kasih,”
             “Nanti ayah carikan ustadz lain di tempat tinggal kita yang baru... kalau perlu, biar nanti Insya Allah ayah yang akan langsung memberikan ilmu agama sebagai kewajiban ayah terhadap keluarga...,” imbuh ayah Raden sambil tersenyum.
            Ibu tersenyum manis setelah mendengarkan kata-kata dari ayah, kalimat penuh makna serta menjadi contoh bagi kepala rumah tangga yang lainnya. Ustadz Harun mendekat ke arah Raden sambil mengelus-elus bahu muridnya serta tersenyum manis.
Raden mengenakan tas pinggang yang diberikan oleh Nurmala, membuat hati orang yang memberinya bahagia. Nurmala memberikan sebuah senyuman terbaik untuk Raden, meskipun ia merasa sedih karena harus melepas kepergian seorang sahabat yang begitu berarti dalam hidupnya.
             “Sering-sering main kesini ya...,” kata pak Cecep, orang yang sudah Raden anggap sebagai paman sendiri.
             Insya Allah kang... kami berangkat dulu, Assalamu’alaykum...!!!” kata Ayah Raden.
             Wa’alaykum salam...!!!”
            Sambil meninggalkan senyuman manis untuk Nurmala, mobil yang dinaikinya bersama keluarga melaju menuju sebuah kota yang baru. Ia seperti merasa kehilangan, terlebih ketiga teman yang sering bermain dan berlatih sepak bola bersamanya, Ujang, Wawan dan Yayan sudah tidak bersamanya lagi. Juga sosok perempuan bernama Nurmala yang sangat baik kepadanya. Takdir sudah ditentukan, masa depannya yang entah seperti apa sudah menanti di depan sana. Segenap jalanan berliku dari roda perputaran hidup manusia akan terus dijalani olehnya, sebagai konsekuensi bagi setiap makhluk ciptaan-Nya Yang Maha Agung. Raden duduk sambil berdo’a agar perjalanan kali ini dilindungi oleh Allah SWT, ia memasukkan buku yang ustadz berikan untuknya ke dalam tas. Beberapa saat kemudian matanya mulai terpejam, Runi yang duduk di sampingnya sudah tertidur beberapa saat yang lalu sambil memegang sebuah buku bacaan.
             “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”[1]

[1] Ibrahim ayat 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar