Senin, 12 Desember 2011

CINTA DUA BIDADARI_sebuah novel


BAB I
KOTA KECIL YANG MENYIMPAN SEJARAH BERNAMA JATINANGOR

            Hidup memang sebuah tantangan dan juga kesenangan tiada akhir, bagi mereka yang mengerti akan maknanya. Setiap orang memiliki ciri khas dan karakter tersendiri, serta nasibnya. Bagaimanapun juga, manusia hanya bisa berharap dan berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh segalanya. Ketika ia berjalan sendiri terkadang membutuhkan suatu dorongan agar ia menjadi lebih baik untuk menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya, ia membutuhkan kehadiran orang lain yang bisa membuatnya mengerti akan makna yang sebenarnya dari sebuah arti kehidupan. Ketika manusia hanya mampu berharap, ia curahkan segalanya demi mendapatkan apa yang diinginkan, sesulit apa pun itu dengan segala resiko yang mungkin akan dihadapinya.
            Hal ini mungkin pemandangan dan kenikmatan tersendiri bagi sosok bernama Raden. Seorang mahasiswa yang entah memiliki segudang keyakinan yang ia miliki dari berbagai tantangan kehidupan yang dialaminya. Sebagai seorang yatim, tentunya menjadi hal yang cukup berat meskipun ternyata kasih sayang Allah senantiasa menuntunnya untuk terus berusaha dan berusaha.
Hari ini suasana mulai sepi, tepat pukul jam sebelas malam seperti yang ditunjukkan jam tangannya. Raden terus berjalan menelusuri malam yang dingin, hanya ditemani tas yang sudah lama ia panggul. Terus saja ia mengarahkan pandangan kedepan, sesekali kendaraan sepeda motor melintas disampingnya, pun juga beberapa bus antar kota, truk, angkutan umum dan kendaraan roda empat yang lainnya. Ia terus berjalan sendiri menyusuri malam yang dingin. Segala kegiatan yang dilalui selama seharian membuat tubuhnya cukup mengalami keletihan, kakinya seakan ingin berkata bahwasanya ia ingin segera terdiam. Raut wajahnya yang terlihat cukup lelah mengindikasikan sebuah pekerjaan berat baru saja ia selesaikan.
            Kota kecil di perbatasan Bandung-Sumedang yang menjadi tempat tinggalnya kini memang sedikit demi sedikit mulai berubah. Terutama areal depan kampus atau gerbang yang sudah berubah sejak pertama kali ini tiba disini. Ya, kini keramaian terus mendera, kota yang menjadi primadona sebagai kawasan pendidikan dan mulai menyaingi keramaian kota Bandung. Sebuah kecamatan bernama Jatinangor yang berada di wilayah perbatasan, yang akhirnya menjadi tempat banyak mahasiswa menuntut ilmu. Apakah itu di Unpad, Ikopin[1], IPDN, dan Unwim[2]. Nama kampus terakhir ternyata sudah harus mengalami kenyataan pahit, dan kini berganti menjadi kampus yang bernama ITB, untuk program D3 Teknik Mesin dan Teknik Elektro.
            Dan kota kecil ini pun akhirnya bertambah ‘mewah’ dengan kehadiran apartemen yang menjadi bangunan tertinggi. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, yang pasti kota kecil ini akan terus berkembang dan berkembang. Dalam beberapa tahun kedepan mungkin akan lebih banyak lagi lahan kosong yang sedianya diisi oleh tanaman sebagai paru-paru kota disihir menjadi lahan hunian.
            Sekian lamanya ia berjalan, dan mungkin agak cukup aneh. Karena memang ada tukang ojek yang bisa mengantarkannya menuju tempat tujuan yang memang cukup jauh dari pertigaan Sayang atau yang dikenal dengan nama Jalan Kolonel Ahmad Syam. Ditemani suara-suara hewan malam, ia terus melangkahkan kakinya. Hingga akhirnya sudah tepat ia berdiri didepan sebuah bangunan,’home sweet home’, tempat tinggal sementara disini, areal Pesantren Mahasiswa Ash-Shofwah[3] yang baru dibuka pada tahun 2010 dan menggoreskan sejarah hidupnya. Tempat tinggal yang menyimpan berbagai macam kenangan bersama beberapa orang-orang yang mengisi kehidupannya, dan tertulis dengan baik dalam sebuah buku harian yang kini terus menghiasi kehidupannya.
            Pesantren ini hanya terdiri atas sebuah bangunan yang terdiri atas lima ruangan, dan hanya untuk kalangan ikhwan atau laki-laki saja. Tampak sebuah gedung baru sedang dalam tahap pembangunan, dan memang didirikan untuk kalangan akhwat atau perempuan. Bangunan tak bertingkat ini berada dalam kompleks Masjid As-Saakir dan juga kantor cabang DSA. Lima ruangan terdiri dari satu ruangan untuk staf pengajar atau ustadz, dua ruangan sebagai tempat untuk belajar dan dua ruangan untuk tempat tidur para santri. Tak lupa sebuah gedung khusus yang menjadi ruangan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Alam Ash-Shofwah, berikut perlengkapan bermain untuk para balita menghiasi kompleks masjid tersebut.
            “Assalamu’alaikum…!”
            ‘Tok…tok…tok…,’ tangannya berayun dan mengetuk pintu untuk sesaat, masih belum ada balasan dari dalam, ia terus mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Sampai salam dan ketukan yang kelima mulai menggerakkan seseorang membalas salam dan membukakan pintu untuknya.
            “Wa’alaikum salam…!”
            Sebuah senyuman manis ia layangkan kepada teman yang membukakan pintu untuknya, ia langsung melepas tasnya dan ‘ditentengnya’ kedalam kemudian disimpan diatas meja belajarnya yang cukup rapih tertata dengan beberapa buku-buku Islami.
 “Kang, malam-malam gini tumben baru pulang? emang dari mana?”
            “Biasa Zal… tugas mahasiswa tingkat akhir,”
            Ia jawab datar-datar saja, temannya yang bernama Rizal hanya bisa mengangguk sambil berkata ‘Oh..’ Selain mereka berdua,  sebenarnya masih ada dua belas santri yang tidur di ruangan ini. Ditambah dua belas santri di ruangan sebelah, maka jumlah santri Pesantren Mahasiswa Ash-Shofwah berjumlah 26 orang. Tapi untuk urusan keakraban, rasanya Raden jauh lebih mampu menguatkan chemistry dengan lima orang saja di ruangan ini. Mereka adalah Ridwan jurusan Kimia berasal dari Jember, Iyan jurusan Fisika dari Kebumen, Febry jurusan Sastra Inggris dari Bandung, Herman jurusan Farmasi dari Indramayu dan Bayu jurusan Hubungan Internasional dari Indramayu, semuanya duduk di tingkat 2 kecuali Bayu yang sudah di tingkat 3. Sementara dua orang yang kali ini masih bertatap muka sama-sama dari Teknik Geologi, Rizal dari Ciamis sedangkan Raden orang yang paling senior diantara mereka berasal dari Indramayu. Orang yang terus disibukkan dengan tugas lapangan yang menjadi bagian dari tugas akhir atau skripsinya. Maklum, ia salah satu dari mahasiswa Fakultas Teknik Geologi angkatan 2006 yang belum menjalani sidang skirpsi. Padahal cukup banyak teman-temannya yang lain sudah menyelesaikan sidang skripsi hingga sarjananya, bahkan ada yang sudah ditempatkan di perusahaan pertambangan maupun perminyakan pun juga mereka yang melanjutkan pendidikan ke S2 via beasiswa di dalam maupun luar negeri.
            Selama menjadi santri Pesma, agak sulit bagi Raden dan keenam orang teman terbaiknya mengatur jadwal kuliah yang terkadang sampai sore hari yang bersamaan dengan waktu belajar di disini. Namun pihak Pesma memberikan kemudahan bagi mereka yang memang tidak bisa hadir atau berhalangan masuk kelas karena kuliah ataupun rapat organisasi kampus, yang kemudian diganti dengan pertemuan langsung bersama Ustadz Acep pada pukul delapan malam di masjid. Herman lah yang memang cukup sibuk dengan agenda praktikum, jadi ia lebih sering belajar bersama ustadz Acep. Pun juga dengan Arul dan beberapa santri jurusan eksak atau sains dan bagian kesehatan, seperti kedokteran, kedokteran gigi, farmasi dan keperawatan meskipun jumlah mereka jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mahasiswa jurusan sosial, sastra dan komunikasi.
            Sudah lebih dari lima tahun Raden berada di kota kecil ini atau tepatnya lima tahun dua bulan, sampai lupa kalau sudah waktunya ia berpisah dengan almamater yang membesarkan namanya dan memberinya banyak ilmu dan pengalaman lapangan yang berharga melalui dosen pembimbing serta senior-seniornya.     
Astaghfirullahaladzim…,” Ia langsung bangkit dari lamunannya, merebahkan tubuh diatas kasur sambil mengusap mukanya yang penuh dengan rasa kelelahan.
            “Kang, ini diminum dulu…,” Rizal datang dengan membawa secangkir teh hangat, Raden pun segera bangkit.
            “Ah, jadi ngerepotin kamu nih Zal… ngomong-ngomong jam segini masih belum tidur, emang ada tugas?”
            “Nggak juga kok kang, habis baca-baca buku trus main ‘game’ juga…”
            “Astagfirullahaladzim… kamu ini kebiasaan main game… kurangin dong mainnya!”
            “Iya kang, tapi… kalo buat rileks sedikit sih nggak salah kan? Hehehe…”
            “Terserah aja… tapi kan akhirnya malah jadi menyia-nyiakan waktu, kuliah kamu gimana?”
            “Biasa-biasa aja kok… oh ya kang, punya bahan buat referensi Petrologi[4] ga? Ada tugas dari dosen nih…”
            “Ada…,”
            Raden segera memberikan laptop yang ada di dalam tasnya, kemudian terlelap tidur bermandikan mimpi. Sama halnya dengan sebelas santri yang lainnya, kecuali Rizal yang memang sedang asyik mencari bahan untuk tugas yang diberikan oleh dosen siang tadi. Malam yang indah, seindah hafalan Al-Qur’an yang mulai dibaca Raden untuk mengantarkan tidurnya malam ini.
*****
            Masih dengan suasana malam, kali ini kesepian menyelimuti tempat yang lain, hanya terdengar suara seorang perempuan melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Ia duduk sendirian di atas kursi di depan meja belajarnya. Perempuan cantik ini tampak ceria melantunkan ayat demi ayat yang ia baca untuk senantiasa mengingat-Nya. Malam yang semakin larut seakan tak membuat keinginannya meredup untuk terus membaca Kalamullah yang suci ini, seluruh anggota tubuhnya seakan tak bergeming sedikit pun meski terkadang rasa kantuk sesekali menghampirinya. Dan beberapa kali ia harus menjaga kepalanya agar tetap tegak saat membaca ayat suci Al-Qur’an, sambil menutup mulutnya yang terkadang menguap.
            Hal yang sudah biasa dilakukan Sekar, mahasiswi tingkat 3 Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Membaca Al-Qur’an sebelum tidur, dan memang menjadi targetan harian bahwa ia harus bisa membaca 2 juz. Perempuan yang selalu tenang, bawaannya yang ‘kalem’, pun juga cerdas dalam memahami berbagai keadaan yang ada. Beberapa hal yang diantaranya membuat seorang Raden menyukainya. Awalnya mereka berdua bertemu dalam kegiatan Islamic Day[5], perkenalan diantara mereka kemudian dilanjutkan dengan beberapa kali perbincangan dan diskusi keagamaan lewat sms maupun e-mail.
            Sudah tepat jam dua belas malam, ia pun sudah selesai membaca mushafnya. ‘Alhamdulillah…’ ia langsung merapihkan beberapa buku yang hendak dibawa kuliah besok pagi. Pandangannya sedikit terarah pada ponselnya, sebuah pesan singkat yang belum dibaca, pesan yang seharusnya ia baca beberapa jam yang lalu.
Assalamualaykum…, Sekar besok ada ta’lim dari ustadz Acep di Masjid Asy-Syakir, nanti ajakin juga temen-temen sekontrakan yang lainnya,,,syukran…
            ‘Astagfirullahaladzim…,’ ia lupa membaca pesan dari Raden karena mensilent Hpnya, kebetulan malam ini ia harus segera  menyelesaikan tugas untuk dikumpulkan besok pagi, jadi ia pun berkonsentrasi untuk menyelesaikannya. Terbesit untuk membalas pesan tersebut, namun ia urungkan mengingat waktu juga yang sudah malam serta tidak bagus untuknya yang bukan muhrim. Kendati akhirnya bayangan orang yang bernama Raden akhirnya muncul dalam dimensi pikirannya, cepat ia harus menepis agar tidak mengurangi pahala bacaan Al-Qur’an yang baru saja ia selesaikan.
            Sekar menyewa sebuah kontrakan bersama keempat temannya yang lain. Sarah jurusan Matematika berasal dari Garut, Fani dan Oppie sama-sama dari Cirebon juga kuliah di Fakultas Keperawatan, ketiganya pun duduk di tingkat 3, sama dengannya. Dan yang terakhir Dian yang baru masuk, kuliah di jurusan Farmasi, adik perempuan satu-satunya Bayu yang juga santri seperti Raden. Bayu sengaja menitipkan adiknya kepada Sekar, maksudnya supaya ada yang mengontrol kegiatan sehari-harinya, bahkan Sekar sendiri cukup gembira dengan kehadiran Dian. Anaknya yang periang, pintar lagi, bahkan sempat terdengar kabar kalau Herman menyukainya, sebuah penyakit yang dialami oleh aktivis ROHIS kampus.
            ‘Tok… tok… tok’ suara pintu menggugahnya, ia kembali bangkit dari perbaringannya, “Siapa…?”
            “Aku Teh, Dian…,”
            “Masuk aja Dian… nggak dikunci kok!”
            Sekar akhirnya menunda untuk memejamkan matanya, agaknya ada sesuatu yang hendak diperbincangkan malam ini.
            “Teh, aku mau sedikit ngobrol… tapi ntar ngeganggu istirahat Teteh nggak malam ini? Afwan…,”
            “Mmm…, nggak pa-pa kok, Teteh juga belum tidur. Tumben malam-malam gini mau ngobrol?”
            “Teh… sebenarnya… aduh gimana ya? Jadi bingung mau ngomong apaan, tapi…”
            Dian agak kebingungan untuk memulai pembicaraan malam ini bersama seniornya. Sekar hanya membalas dengan senyuman, ia meletakkan kedua tangannya diatas kedua tangan Dian dan perlahan mengatakan sesuatu kepadanya,
            “Bilang aja kalo Dian mau ngomong ama teteh… Teteh nggak selamanya bisa memberikan solusi yang terbaik, tapi Insya Allah akan teteh usahain kalo bisa…”
            Dian mulai tersenyum, tapi sebenarnya ia masih ragu untuk membicarakannya sekarang. Tapi hatinya seakan meminta untuk segera mengatakannya.
             “Teteh pernah nggak ngerasa jatuh cinta...?!”
            Pertanyaan Dian langsung menusuk menuju segala persendian Sekar, sebuah pertanyaan yang memang mudah untuk dijawab namun perlu energi besar untuk menjelaskannya.
             “Pernah... dulu... dan memang fitrah yang Allah berikan kepada manusia, bahwa ia pasti akan merasakan jatuh cinta kepada lawan jenis. Tapi... Allah sudah menetapkan koridor atau batasan mengenai cinta,” kata-kata Sekar agak berat untuk dijelaskan, ia mencoba untuk menyembunyikan perasaan cintanya kepada seseorang yang entah apakah mungkin sama sepertinya.
             “Emangnya... Dian lagi jatuh cinta?” pertanyaan Sekar pun akhirnya membuat Dian terdiam sejenak, sambil mencoba untuk memberikan senyuman terbaik untuk seniornya. Anggukan kepala Dian agaknya membuat Sekar paham maksud juniornya meminta waktu untuk berbicara malam ini.
             “Dian sebenernya bingung teteh... sikap ikhwan[6]nya mengundang tanda tanya, nggak seperti ikhwan yang lainnya. Sebagai akhwat[7] yang memang sangat kuat dalam hal perasaan, pastinya teteh yang ngalamin pun akan kebingungan nanggepinnya gimana. Dan yang bikin bingung malah justru karena sikap ikhwan itu yang bikin Dian jatuh cinta... orangnya baik dan tidak banyak bicara kalo emang nggak perlu,”
             “Teteh juga pernah ngalamin kok... memang wajar. Pihak ikhwan bingung mau bersikap gimana karena khawatir akan timbul fitnah, yang akhwat juga sama... khawatir memberikan perhatian yang lebih kepada teman ikhwannya.”
            Pernyataan Sekar barusan memang cukup dipahami oleh Dian, tapi mungkin bagi Sekar hal ini menjadi bagian tersulit untuk dijelaskan. Sebagai seorang perempuan yang juga sedang mengalami jatuh cinta, ia pun terkadang sulit melepas bayang-bayang seseorang yang ia anggap baik dan mungkin sangat baik. Seseorang yang berjuang melawan segala kondisi yang menerpa sepanjang perjalanan hidup, orang yang banyak memberikan inspirasi dan ilmu lewat kata-kata yang terucap dari mulutnya yang tiada kesan menggurui.
            “Teh… ngelamun ya...?!”
             “Eh...,” tampaknya Sekar baru saja menikmati lamunannya malam ini.
             “Hayo... mikirin akang itu ya...?!”
            “… maksudnya?”
            “Ih… teteh berlagak nggak paham maksud Dian, bukannya…,”
            Sekar langsung menutup mulut Dian dengan kedua jari tangan kanannya. Ia kembali terdiam, sementara Dian terus memperhatikan sikap seniornya yang mulai berubah, seakan menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang memang sudah diketahui oleh semua orang yang tinggal dikontrakan ini, sesuatu yang selama ini membuat Sekar sering terbawa dalam lamunan.
            “Ya udah teh… malam ini cukup sampai disini ngobrolnya, Dian kembali ke kamar aja. Maaf banget ya kalo malam ini Dian udah bikin teh Sekar kesel…,”
            Sekar hanya membalas dengan senyuman,
 “Nggak apa-apa…,”
            Dian langsung beranjak menuju kamarnya, perlahan ia membuka pintu kamar Sekar dan menghilang ke ruangan lain di rumah ini. Sekar masih belum berbaring, ia tetap saja terdiam untuk beberapa saat. Ia pun meraih selimutnya dan mulai merebahkan tubuh diatas tempat tidurnya. Perkataan Dian menyentuh hatinya, sama sekali tidak ia sangka bahwa juniornya akan mengatakan hal yang demikian.
            Sebenarnya ia memendam perasaan untuk Raden, tapi tidak untuk sekarang. Saat ini ia fokuskan untuk kuliah dan segera menyelesaikan S1-nya, kemudian mengambil langkah selanjutnya, yakni melanjutkan studi ke S2. Konsentrasinya akhir-akhir ini mulai sedikit buyar. Tiga bulan yang lalu keluarganya mengatakan bahwa ada seorang ikhwan yang hendak melamarnya, alumni  ITB, orang yang pastinya dikenal baik oleh Raden. Agaknya ia masih belum mau menjawab, kendati sang pelamar tetap memberi kebebasan baginya menyelesaikan studi sebelum akhirnya melanjutkan ke jenjang pernikahan. Sebuah lamaran atas janji yang pernah terucap oleh ayah Sekar dan juga ikhwan yang melamarnya.
            ‘Kang, Sekar bingung... Sekar khawatir... Sekar nggak mau hawa nafsu yang akhirnya membuat rasa cinta ini tidak ada artinya di mata Allah. Tapi Sekar bingung kang... Sekar bingung... tapi Sekar harus gimana...?!
            Kata demi kata mulai menyelimuti hatinya yang gundah, rasanya sudah semakin kuat kegalauan itu melanda perasaannya selama tiga bulan ini. Semakin memikirkannya, semakin kuat pula deraan keresahan batin yang memuncak. Rasa gelisah membuatnya sulit untuk tertidur, ia hanya mampu menyerahkan keadaan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Pengasih Maha Penyayang dan Maha Mengetahui. Zat Maha Agung tempat ia selama ini berserah diri. Entah apa yang akan terjadi esok, yang pasti malam ini bukan hanya dia sendiri yang sulit untuk memejamkan mata.
Raden sepertinya terbangun dan entah sebabnya mengapa, di kedua tempat yang berbeda menyiratkan aura yang ingin mempersatukan antara dua hati.
            Sekar sulit untuk memejamkan mata, sementara jauh disana, Raden terbangun dan duduk termenung diatas tempat tidurnya. Rasanya malam ini kerumitan melanda keduanya, tapi entah bagaimana kelanjutan esok hari, yang pasti para malaikat memperhatikan sikap keduanya malam ini. Baik Sekar maupun Raden, keduanya seperti memiliki ikatan batin yang cukup kuat, meskipun akhirnya bukan saat ini mereka bersatu dan masih harus melalui beberapa tahap yang Allah siapkan bagi keduanya.
*****
            Pagi ini awan mendung mulai menyelimuti seisi kota Jatinangor, namun semangat mahasiswa untuk datang ke kampus lebih awal dari saat masuk jam kuliah tetaplah terjaga. Terutama mahasiswa yang berasal dari Malaysia dan India, lantas dimanakah mahasiswa Indonesia?
            Sepertinya kehangatan selimut masih membalut tidur lelap mereka, disisi lain ada juga beberapa diantaranya yang sudah tenang membaca buku di teras kontrakan atau kosan maupun mereka yang pergi untuk membeli sarapan meskipun belum mandi. Pagi ini Bayu sudah bersiap berangkat kendati waktu masih menunjukkan pukul 07.05 WIB, sambil membaca buku di teras ia mendengarkan kicau burung yang hinggap di atap masjid As-Saakir. Didalam dapur umum sana, Febry, Iyan dan juga Herman menyiapkan sarapan pagi ini. Menu sarapan biasa ala mahasiswa, telur mata sapi ditambah teh manis hangat yang hampir tiap pagi mereka rasakan. Ataupun sekedar menikmati kupat tahu atau lontong kari dari tukang jualan yang biasa lewat di depan masjid. Terkadang warung di samping masjid milik bi Inah, menjadi tempat favorit bagi mereka dan juga para santri lain yang terbiasa menikmati makanan murah sesuai dengan jatah bulanan yang diberikan.
            Raden masih belum bangun dari tidurnya, setelah shalat subuh ia kembali memejamkan mata dan terbaring diatas sajadahnya. Dinginnya udara semakin membuatnya terlelap dalam kehangatan sarung yang dikenakan. Beberapa santri yang lainnya tampak sibuk mengantri mandi, ada pula diantara mereka yang menyempatkan waktu untuk bermain futsal di kampus, yang lainnya masih sibuk dengan tugas kuliah masing-masing ataupun sekedar membaca bahan kuliah di laptop, buku-buku sumber maupun komputer umum milik pengurus pesantren yang terkadang membawa virus yang bisa saja menghilangkan file-file penting perkuliahan.
            “Wan… Kang Raden kok tumben belum keluar?” tanya  Bayu.
            “Waduh nggak tau juga tuh kang, tapi… ntar aku bangunin deh!”
            Ridwan bergegas kembali kedalam, mendekat ke arah tempat tidur Raden yang kebetulan berada di depan tempat tidurnya.
            “Wan, jangan ganggu istirahat kang Raden… mungkin beliau kecapean…” potong Rizal yang baru saja selesai mandi.
            “Lho… Zal, bukannya sekarang giliran kamu menyapu halaman depan…?!”
            “Ini juga mau ngerjain, tadi habis dari WC… semalam kang Raden baru pulang dan sepertinya habis ngerjain tugas yang berat, jadi… biarin istirahat aja dulu.”
            Mereka berdua akhirnya kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing pagi ini, dari dapur sendiri sarapan siap untuk disantap bersama.
            “Alhamdulillah…,” papar Iyan.
            “Oke… kita makan!!!” sahut Herman dengan semangat. Semua sudah siap pagi ini, kecuali Raden yang masih tertidur lelap. Bayu segera menutup bukunya dan masuk ke dalam ruangan. Di Pesma Ash-Shofwah ini memang hanya enam orang ini saja yang rajin memasak dengan memanfaatkan dapur umum. Nasi tinggal di tanak di rice-cooker milik Febry, untuk urusan lauk ada yang giliran belanja, dan kendati tidak sempat pun mereka bisa membeli lauk di warung bi Inah ataupun sekalian jalan-jalan mencari makanan di warung makan dekat kampus.
            “Kang Raden masih belum bangun, Zal?” tanya Bayu
            “Belum kang… paling sebentar lagi juga bangun,”
            “Nah, sekarang kita makan!!!” potong Iyan.
            Pagi ini bukan hanya disini yang berbahagia dengan sarapan, di tempat lain pun demikian, sama seperti dengan beberapa tempat lain terutama para penjaja sarapan pagi yang sudah berjualan untuk menyiapkan sarapan pagi khususnya untuk mahasiswa. Pagi ini awan gelap tetap membuat semangat beberapa mahasiswa tak memudar, beberapa diantaranya bergegas menuju kampus yang menanjak, beberapa diantaranya memilih untuk membeli gorengan ataupun bubur ayam untuk sekedar mengganjal perut agar tidak kelaparan ketika dosen menyampaikan materi. Beberapa tukang ojek dalam kampus sudah bersiap untuk mengantarkan mahasiswa sampai di tempat tujuan, dan juga supir angkot gratis yang mulai mengatur barisan dan bersiap memberangkatkan penumpang yang tiba bergelombang. Biasanya pak Lukman dan kawan-kawan dari Biro Administrasi Umum Unpad mengatur pergerakan angkot gratis di halte, ataupun hanya sekedar memastikan semua supir menjalankan tugasnya dengan baik. Tak hanya itu, satpam yang bertugas pun tampak semangat mengatur arus lalu-lintas dalam kampus. Mulai bagian gerbang belakang depan Asrama Padjadjaran, gerbang BNI, persimpangan jalan depan gedung Fakultas Teknik Geologi, dan pertigaan antara Fisika-Dekanat MIPA-Psikologi.
            Kali ini Raden mulai membuka matanya, perlahan ia bangkit dari sajadahnya, mengusap kedua mata dan duduk tenang.
            “Astaghfirullah… aku sudah tidur terlalu lama,”
            Ia melirik kearah jam dinding kamarnya, waktu sudah menunjukkan pukul 07.35 WIB. Langsung ia bangkit dan mengambil handphone, tampak sebuah pesan tertera pada layar.
Wa’alaykum salam,,, afwan[8] kang baru bales… kebetulan Sekar juga ada agenda yang lain ama temen, tapi Insya Allah aku kabarin ke temen lain yang bisa ikutan. Syukron[9] buat infonya…,
            Raden hanya bisa tersenyum, ia langsung pergi menuju kamar mandi dan mencuci mukanya. Dari arah dekat dapur yang biasa menjadi tempat makannya bersama lima sahabat terdengar percakapan yang begitu akrab. Dan tak asing lagi suara lima sahabatnya yang biasa memanfaatkan dapur umum untuk makan.
            “Hmmm……. ngomong-ngomong Herman kayaknya lagi nyimpen sesuatu dari kita nih,”
            Sindiran Iyan mulai mengganggu sarapan Herman pagi ini, sementara yang lain mulai memandanginya seksama.
            “Nah lho…, kok pada curigain aku sih??! Lagian… parah banget nih ente Yan!?”
            “Assalamu’alaykum…!!!”
            “Wa’alaykum salam!!!” jawab mereka serempak.
Raden masih tampak memegang alat mandi yang baru saja digunakannya, termasuk handuk yang sudah tiga tahun lamanya belum diganti dengan yang baru.
            “Waduh… akang kita sudah seger nih!” papar Herman.
            “Mmm… ngomong-ngomong ada apa dengan si Herman nih? Kalo nggak salah, akang sempat ngutip pembicaraan kalian tadi…,”
            “Jadi…”
            ‘Duk…!!!’
             ‘Ups…!?’
Kaki Herman menendang kaki Iyan, membuat temannya terpotong untuk melanjutkan kata-katanya. Sementara yang lain seolah termakan sikap Herman yang menginginkan mereka semua untuk tidak angkat bicara. Raden sendiri hanya bisa tersenyum, ia langsung duduk santai di atas tikar bersama lima sahabatnya untuk sarapan pagi ini. Sebuah piring memang sengaja disiapkan untuk Raden, dan lengkaplah sudah suasana sarapan pagi di Pesma ini.
            “Jadi… ada rahasia nih?!”
            “Ya udah… sekarang yang penting kita semua sarapan, oke!!!”
            Bayu langsung mengambil alih suasana, sementara Raden hanya bisa tersenyum. Sarapan pagi ini terasa sangat nikmat, diluar sana arus kendaraan dari arah Rancaekek mulai memadat terutama kendaraan mahasiswa dan angkot. Hari ini Raden tidak berencana untuk pergi menuju kampus, ada beberapa hal yang perlu dibicarakan bersama ustadz Teguh yang merupakan salah satu staf pengajar pesantren ini. Beliau biasa memberikan materi Sirah Nabawiyah dan juga Tafsir Al-Qur’an, hari Selasa sore dan Sabtu malam menjadi waktu beliau mengajar kelasnya Raden.
            Pesma atau Pesantren Mahasiswa tidaklah sama seperti pesantren pada umumnya. Disini selain pesertanya adalah mahasiswa, kurikulum yang diajarkan sesuai dengan kondisi atau keadaan yang ada di lapangan. Tentunya tugas sebagai da’i yang diemban membuat sang pendiri, ustadz Acep, yang merupakan alumni S2 program Fiqih Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir bersemangat pun juga memperhatikan perkembangan santri Pesma. Setiap ba’da Subuh, beliau biasa memberikan tausiyah bagi para santri pun juga jamaah yang shalat subuh di Masjid As-Saakir. Harapan terbesar beliau terhadap para santri, yang tak lain para mahasiswa yang merupakan agen perubahan, tak lain adalah terciptanya nuansa Islami di lingkungan kampus pun juga membantu kerja para aktivis kampus yang bergerak di Lembaga Dakwah Kampus atau LDK untuk melebarkan sayap dakwah. Dan memang kebanyakan dari santri Pesma adalah mereka yang aktif di LDK, maupun Lembaga Dakwah Fakultas hingga Jurusan.
            Raden pernah menjadi wakil ketua LDK dua tahun yang lalu, kemudian Bayu yang menjadi ketua Himpunan Jurusan Hubungan Internasional, Herman pun saat ini masih mengemban amanah sebagai kepala departemen mentoring ROHIS Fakultas Farmasi yang dikenal dengan nama Pharma, Febry baru saja memperoleh amanah sebagai ketua ROHIS Fakultas Sastra atau DKM Al-Mushlih Sastra. Dan beberapa santri yang lainnya, kebanyakan mereka aktif di ROHIS dan Himpunan Jurusan atau BEM maupun BPM Fakultas hingga Universitas.
            Praktis para santri setiap harinya memperoleh berbagai materi yang akan memperkuat wawasan keislaman. Para ustadz yang mengajar hampir semuanya adalah lulusan Universitas Al-Azhar Kairo, kecuali ustadz Teguh yang merupakan alumni sebuah pondok pesantren yang ada di Jawa Timur. Para santri memperoleh jatah libur pada hari Kamis dan Jum’at, dan biasanya mereka mengisi waktu dengan bermain futsal, menghafal Al-Qur’an ataupun sekedar berjalan-jalan hingga mereka yang akhirnya menggunakan untuk rapat bersama anggota Lembaga Kemahasiswaan. Hari Kamis sendiri adalah waktu untuk agenda ta’lim rutin, dimana para mahasiswa selain santri Pesma bisa ikut menghadiri. Materinya pun beragam, mulai dari Tafsir Al-Qur’an, Sirah Nabawiyah, Fiqih dan Dakwah.
Untuk kelas Raden sendiri, Senin sore adalah waktunya memperoleh materi Bahasa Arab dari ustadz Acep, Selasa Sore ustadz Teguh dengan Sirah Nabawiyahnya, Rabu sore adalah waktu bagi ustadz Wahyu memberikan materi Fiqih Dakwah, Sabtu malamnya giliran ustdaz Teguh kembali menyampaikan materi Tafsir Al-Qur’an dan juga Tahsin, kemudian yang terakhir yakni hari Minggu pagi giliran ustadz Rahmat menagih hafalan ayat dari santri kelasnya Raden sambil memberikan materi mengenai Fiqih Islam.
            Dan semua materi yang diterima oleh santri sesuai dengan kondisi dan realita yang terjadi di lapangan, sehingga mereka ketika memang membutuhkan penguatan maka materi yang disajikan bisa menjadi referensi sebagai penjelas mengenai suatu hal yang berhubungan dengan Islam. Dan khusus untuk tausiyah ba’da Shalat Subuh, ustadz Acep terkadang memberikan penjelasan mengenai Shahih Bukhari-Muslim, Riyadus Shalihin karya Imam An-Nawawi, Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, kitab Al-Hikam karangan Ibnu At-Thailah, dan lain sebagainya.
            “Oh ya kang, hari ini ada rencana mau kemana?” tanya Herman.
            “Mmm… paling disini saja, mau ngobrol-ngobrol sama ustadz Teguh. Tapi ntar juga mau pergi ke Bandung…,”
            “Sama temen sekampus, atau yang lainnya kang…?!” potong Rizal.
            “Hus!!!” mata Febry tertuju penuh ke arah Rizal.
Suasana agak berubah, menjadi jauh lebih tenang karena diamnya mereka.
            “Kang… maaf ya yang tadi,”
            Raden tersenyum, “Nyantai aja…, nggak bagus juga membicarakan sesuatu yang mengundang kontroversi,” sarapan paginya agak dipercepat, ia memegang bahu kanan Herman.
            “Oke… akang duluan ya, mau jalan-jalan sebentar!”
            Raden langsung meminum air di gelasnya, selanjutnya ia bangkit dan tersenyum kemudian mengucapkan salam. Semua pandangan tertuju tajam ke arah Rizal, terutama Bayu.
            “Zal… ente ini kurang ajar banget sih!” suara Iyan cukup keras, sedikit terdengar oleh telinga Raden yang tampak tenang menyimpan handuknya di jemuran. Ia kembali melangkah dan tidak tahu apa yang sedang terjadi di dapur umum tersebut.
“Sudah, cukup!!! Sekarang kita jangan membahas masalah itu lagi… kang Raden Insya Allah tidak akan marah, yang penting… Rizal jangan ulangi lagi yang tadi!!!”
            Bayu berusaha untuk meredakan ketegangan di dapur umum ini, semuanya beristighfar dan memohon ampun atas segala yang mereka lakukan pagi ini. Terutama Rizal yang merasa sangat bersalah atas kejadian pagi ini. Ia terus melangkah menuju suatu tempat untuk membuatnya tersenyum kembali setelah kejadian kecil di pagi ini.
            Langkah kaki Raden sepertinya menuju lingkungan kampus, setelah ia memastikan sudah berpakaian rapih untuk berjalan-jalan sambil mencari koran atau surat kabar untuk dibaca. Ia terus melangkah dan akhirnya sampai di jalan menuju depan gerbang. Ia berhenti sejenak di tempat penjual koran dan matanya mulai tertuju pada dua buah tabloid olahraga, ‘Soccer’dan ‘Bola’. Dua buah tabloid yang menjadi pilihannya setiap minggu untuk dibaca sebagai selingan. Sekarang hari Jum’at, ia sudah terbiasa memilih satu diantara dua tabloid olahraga ini setiap minggunya. Tabloid sepakbola yang sebenarnya bisa ia beli hari kemarin, Kamis, namun belum sempat membelinya karena berbagai agenda yang menyibukkannya.
            Hujan rintik-rintik membuatnya merapat pada sebuah tempat ‘fotocopy’, bersama seorang perempuan berjilbab panjang ia berteduh sesaat sambil membaca korannya.
            “Kang Raden…,”
            Ia menoleh kearah suara yang memanggilnya,
            “Assalamualaykum…”
            “Wa’alaykum salam, eh…Dian. Kok sendirian aja?”
            “Iya nih, Teh Sekar tadi buru-buru berangkatnya. Terus yang lain nggak ada jadwal kuliah pagi ini, jadi… ya sendirian deh,”
            Raden hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia kembali mengalihkan pandangan ke berita olahraga, jadwal pertandingan sepakbola untuk Minggu sekarang yang bisa ia tonton bersama santri di ruangan staf pengajar. Sementara Dian mulai memeriksa tasnya dan melihat keadaan sekitar, ia meraih kantung plastik dan mengeluarkan sebuah payung dari dalamnya.
            “Kang… ana berangkat dulu ya, assalamualaykum!”
            “Wa’alaykum salam… selamat belajar ya dek,”
            Dian tersenyum sesaat dan langsung beranjak dari tempat itu, ia berjalan berlindung dari payungnya. Raden kembali membaca. Sesaat ia memperhatikan Dian pagi ini, ‘Betapa beruntungnya Bayu memiliki adik seperti dia…,’ gumamnya dalam hati. Penampilan Dian sangat cantik pagi ini, bahkan menurutnya lebih cantik dari hari biasanya. Jilbab panjang berwarna biru yang dipakainya sama seperti yang biasa dikenakan Sekar, perempuan yang akhir-akhir ini selalu muncul saat ia tengah melamun.
            ‘Astaghfirullahaladzim…’ ia cukup terlena setelah melihat penampilan Dian, matanya tertuju kearah langit pagi ini. ‘Ya Allah semoga engkau memberikan yang terbaik bagi hamba-Mu… Dan… memberikan tempat terbaik bagi ayah hamba-Mu, amin…’
            Air matanya mulai jatuh, ia berusaha menghilangkan kesedihan agar tidak tampak di depan umum. Sosok itu yang membuat segalanya berubah, merubahnya untuk menjadi insan sejati yang penuh menfaat serta menebar kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Sosok yang terus menguatkannya untuk terus melangkah dalam jalan dakwah di lingkungan kampus, jalan yang sudah Allah tentukan atas setiap makhluk-Nya di dunia. Dan semua perjalanan hebat itu ia lalui di sebuah kota kecil bersejarah ini, ya... sebuah kota yang akhirnya diramaikan oleh mahasiswa yang menuntut ilmu untuk meraih mimpi masa depan yang lebih baik. Dan di kota bernama Jatinangor inilah ia menemukan berbagai hal yang semakin membuatnya bijak dalam menyikapi berbagai fenomena kehidupan yang Allah tetapkan untuknya.


[1]Institut Manajemen Koperas Indonesia
[2]Universitas Winaya Mukti
[3]Pesantren yang didirikan oleh Lembaga Penyalur Zakat, Infaq dan Shadaqah ‘Dompet Sosial Ash-Shofwah’ yang disingkat DSA.
[4] Cabang ilmu geologi yang mempelajari batuan, asal terbentuknya suatu batuan serta pemeriannya.
[5] Perlombaan seni Islam yang setiap tahun diadakan oleh LDF (Lembaga Dakwah Fakultas) GEMA atau tim ROHIS Fakultas Teknik Geologi Unpad.
[6]Laki-laki
[7]Perempuan
[8]Maaf
[9]Sama dengan Jazakallah, artinya terima kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar