BAB I
KOTA KECIL YANG
MENYIMPAN SEJARAH BERNAMA JATINANGOR
Hidup memang sebuah tantangan dan
juga kesenangan tiada akhir, bagi mereka yang mengerti akan maknanya. Setiap
orang memiliki ciri khas dan karakter tersendiri, serta nasibnya. Bagaimanapun
juga, manusia hanya bisa berharap dan berusaha semaksimal mungkin untuk
memperoleh segalanya. Ketika ia berjalan sendiri terkadang membutuhkan suatu
dorongan agar ia menjadi lebih baik untuk menggunakan waktu dengan
sebaik-baiknya, ia membutuhkan kehadiran orang lain yang bisa membuatnya
mengerti akan makna yang sebenarnya dari sebuah arti kehidupan. Ketika manusia
hanya mampu berharap, ia curahkan segalanya demi mendapatkan apa yang
diinginkan, sesulit apa pun itu dengan segala resiko yang mungkin akan dihadapinya.
Hal ini mungkin pemandangan dan
kenikmatan tersendiri bagi sosok bernama Raden. Seorang mahasiswa yang entah
memiliki segudang keyakinan yang ia miliki dari berbagai tantangan kehidupan
yang dialaminya. Sebagai seorang yatim, tentunya menjadi hal yang cukup berat
meskipun ternyata kasih sayang Allah senantiasa menuntunnya untuk terus
berusaha dan berusaha.
Hari
ini suasana mulai sepi, tepat pukul jam sebelas malam seperti yang ditunjukkan
jam tangannya. Raden terus berjalan menelusuri malam yang dingin, hanya
ditemani tas yang sudah lama ia panggul. Terus saja ia mengarahkan pandangan
kedepan, sesekali kendaraan sepeda motor melintas disampingnya, pun juga
beberapa bus antar kota, truk, angkutan umum dan kendaraan roda empat yang
lainnya. Ia terus berjalan sendiri menyusuri malam yang dingin.
Segala kegiatan yang dilalui selama seharian membuat tubuhnya cukup mengalami
keletihan, kakinya seakan ingin berkata bahwasanya ia
ingin segera terdiam. Raut wajahnya yang terlihat cukup lelah mengindikasikan sebuah pekerjaan
berat baru saja ia selesaikan.
Kota kecil di perbatasan
Bandung-Sumedang yang menjadi tempat tinggalnya kini memang sedikit demi
sedikit mulai berubah. Terutama areal depan kampus atau gerbang yang sudah
berubah sejak pertama kali ini tiba disini. Ya, kini keramaian terus mendera,
kota yang menjadi primadona sebagai
kawasan pendidikan dan mulai menyaingi keramaian kota Bandung. Sebuah kecamatan
bernama Jatinangor yang berada di wilayah perbatasan, yang akhirnya menjadi
tempat banyak mahasiswa menuntut ilmu. Apakah itu di Unpad, Ikopin[1],
IPDN, dan Unwim[2].
Nama kampus terakhir ternyata sudah harus mengalami kenyataan pahit, dan kini
berganti menjadi kampus yang bernama ITB, untuk program D3 Teknik Mesin dan
Teknik Elektro.
Dan kota kecil ini pun akhirnya
bertambah ‘mewah’ dengan kehadiran apartemen yang menjadi bangunan tertinggi.
Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, yang pasti kota kecil ini akan terus
berkembang dan berkembang. Dalam beberapa tahun kedepan mungkin akan lebih
banyak lagi lahan kosong yang sedianya diisi oleh tanaman sebagai paru-paru
kota disihir menjadi lahan hunian.
Sekian lamanya ia berjalan, dan
mungkin agak cukup aneh. Karena memang ada tukang ojek yang bisa mengantarkannya
menuju tempat tujuan yang memang cukup jauh dari pertigaan Sayang atau yang
dikenal dengan nama Jalan Kolonel Ahmad Syam. Ditemani suara-suara hewan malam,
ia terus melangkahkan kakinya. Hingga akhirnya sudah tepat ia berdiri didepan
sebuah bangunan,’home sweet home’,
tempat tinggal sementara disini, areal Pesantren
Mahasiswa Ash-Shofwah[3]
yang baru dibuka pada tahun 2010 dan menggoreskan sejarah hidupnya. Tempat
tinggal yang menyimpan berbagai macam kenangan bersama beberapa orang-orang
yang mengisi kehidupannya, dan tertulis dengan baik dalam sebuah buku harian
yang kini terus menghiasi kehidupannya.
Pesantren ini hanya terdiri atas
sebuah bangunan yang terdiri atas lima ruangan, dan hanya untuk kalangan ikhwan atau laki-laki saja. Tampak sebuah
gedung baru sedang dalam tahap pembangunan, dan memang didirikan untuk kalangan
akhwat atau perempuan. Bangunan tak
bertingkat ini berada dalam kompleks Masjid As-Saakir dan juga kantor cabang
DSA. Lima ruangan terdiri dari satu ruangan untuk staf pengajar atau ustadz,
dua ruangan sebagai tempat untuk belajar dan dua ruangan untuk tempat tidur
para santri. Tak lupa sebuah gedung khusus yang menjadi ruangan Taman
Kanak-Kanak dan Sekolah Alam Ash-Shofwah, berikut perlengkapan bermain untuk
para balita menghiasi kompleks masjid tersebut.
“Assalamu’alaikum…!”
‘Tok…tok…tok…,’
tangannya berayun dan mengetuk pintu untuk sesaat, masih belum ada balasan dari
dalam, ia terus mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Sampai salam dan ketukan yang
kelima mulai menggerakkan seseorang membalas salam dan membukakan pintu
untuknya.
“Wa’alaikum
salam…!”
Sebuah senyuman manis ia layangkan
kepada teman yang membukakan pintu untuknya, ia langsung melepas tasnya dan ‘ditentengnya’ kedalam kemudian disimpan
diatas meja belajarnya yang cukup rapih tertata dengan beberapa buku-buku
Islami.
“Kang, malam-malam gini tumben baru pulang?
emang dari mana?”
“Biasa Zal… tugas mahasiswa tingkat
akhir,”
Ia jawab datar-datar saja, temannya
yang bernama Rizal hanya bisa mengangguk sambil berkata ‘Oh..’ Selain mereka berdua, sebenarnya masih ada dua belas santri yang tidur di
ruangan ini. Ditambah dua belas santri di ruangan sebelah, maka jumlah santri Pesantren Mahasiswa Ash-Shofwah
berjumlah 26 orang. Tapi untuk urusan keakraban, rasanya Raden jauh lebih mampu
menguatkan chemistry dengan lima
orang saja di ruangan ini. Mereka adalah Ridwan jurusan Kimia berasal dari
Jember, Iyan jurusan Fisika dari Kebumen, Febry jurusan Sastra Inggris dari
Bandung, Herman jurusan Farmasi dari Indramayu dan Bayu jurusan Hubungan
Internasional dari Indramayu, semuanya duduk di tingkat 2 kecuali Bayu yang
sudah di tingkat 3. Sementara dua orang yang kali ini masih
bertatap muka sama-sama dari Teknik Geologi, Rizal dari Ciamis sedangkan Raden orang
yang paling senior diantara mereka berasal dari Indramayu. Orang yang terus disibukkan
dengan tugas lapangan yang menjadi bagian dari tugas akhir atau skripsinya.
Maklum, ia salah satu dari mahasiswa Fakultas Teknik Geologi
angkatan 2006 yang belum menjalani sidang skirpsi. Padahal cukup banyak teman-temannya
yang lain sudah menyelesaikan sidang skripsi hingga sarjananya, bahkan
ada yang sudah ditempatkan di perusahaan pertambangan maupun perminyakan pun
juga mereka yang melanjutkan pendidikan ke S2 via beasiswa di dalam maupun luar
negeri.
Selama menjadi santri Pesma, agak sulit bagi Raden dan keenam
orang teman terbaiknya mengatur jadwal kuliah yang terkadang sampai sore hari yang
bersamaan dengan waktu belajar di disini. Namun pihak Pesma memberikan kemudahan bagi mereka yang memang tidak bisa hadir
atau berhalangan masuk kelas karena kuliah ataupun rapat organisasi kampus, yang
kemudian diganti dengan pertemuan langsung bersama Ustadz Acep pada pukul
delapan malam di masjid. Herman lah yang memang cukup sibuk dengan agenda
praktikum, jadi ia lebih sering belajar bersama ustadz Acep. Pun juga dengan
Arul dan beberapa santri jurusan eksak atau sains dan bagian kesehatan, seperti
kedokteran, kedokteran gigi, farmasi dan keperawatan meskipun jumlah mereka
jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mahasiswa jurusan sosial, sastra dan
komunikasi.
Sudah lebih dari lima tahun Raden
berada di kota kecil ini atau tepatnya lima tahun dua bulan, sampai lupa kalau
sudah waktunya ia berpisah dengan almamater
yang membesarkan namanya dan memberinya banyak ilmu dan pengalaman lapangan
yang berharga melalui dosen pembimbing serta senior-seniornya.
“Astaghfirullahaladzim…,” Ia langsung
bangkit dari lamunannya, merebahkan tubuh diatas kasur sambil mengusap mukanya
yang penuh dengan rasa kelelahan.
“Kang, ini diminum dulu…,” Rizal
datang dengan membawa secangkir teh hangat, Raden pun segera bangkit.
“Ah, jadi ngerepotin kamu nih Zal…
ngomong-ngomong jam segini masih belum tidur, emang ada tugas?”
“Nggak juga kok kang, habis
baca-baca buku trus main ‘game’
juga…”
“Astagfirullahaladzim… kamu ini kebiasaan main
game… kurangin dong mainnya!”
“Iya kang, tapi… kalo buat rileks sedikit
sih nggak salah kan? Hehehe…”
“Terserah aja… tapi kan akhirnya
malah jadi menyia-nyiakan waktu, kuliah kamu gimana?”
“Biasa-biasa aja kok… oh ya kang,
punya bahan buat referensi Petrologi[4]
ga? Ada tugas dari dosen nih…”
“Ada…,”
Raden segera memberikan laptop yang
ada di dalam tasnya, kemudian terlelap tidur bermandikan mimpi. Sama halnya
dengan sebelas santri yang lainnya, kecuali Rizal yang memang sedang asyik
mencari bahan untuk tugas yang diberikan oleh dosen siang tadi. Malam yang
indah, seindah hafalan Al-Qur’an yang mulai dibaca Raden untuk mengantarkan
tidurnya malam ini.
*****
Masih dengan suasana malam, kali ini
kesepian menyelimuti tempat yang lain, hanya terdengar suara seorang perempuan
melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Ia duduk sendirian di atas kursi di
depan meja belajarnya. Perempuan cantik ini tampak ceria melantunkan ayat demi
ayat yang ia baca untuk senantiasa mengingat-Nya. Malam yang semakin
larut seakan tak membuat keinginannya meredup untuk terus membaca Kalamullah yang suci ini, seluruh
anggota tubuhnya seakan tak bergeming sedikit pun meski terkadang rasa kantuk
sesekali menghampirinya. Dan beberapa kali ia harus menjaga kepalanya agar tetap
tegak saat membaca ayat suci Al-Qur’an, sambil menutup mulutnya yang terkadang menguap.
Hal yang sudah biasa dilakukan Sekar,
mahasiswi tingkat 3 Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Membaca
Al-Qur’an sebelum tidur, dan memang menjadi targetan harian bahwa ia harus bisa
membaca 2 juz. Perempuan yang selalu tenang, bawaannya yang ‘kalem’, pun juga cerdas dalam memahami
berbagai keadaan yang ada. Beberapa hal yang diantaranya membuat seorang Raden
menyukainya. Awalnya mereka berdua bertemu dalam kegiatan Islamic Day[5],
perkenalan diantara mereka kemudian dilanjutkan dengan beberapa kali
perbincangan dan diskusi keagamaan lewat sms
maupun e-mail.
Sudah tepat jam dua belas malam, ia
pun sudah selesai membaca mushafnya.
‘Alhamdulillah…’ ia langsung
merapihkan beberapa buku yang hendak dibawa kuliah besok pagi. Pandangannya
sedikit terarah pada ponselnya, sebuah pesan singkat yang belum dibaca,
pesan yang seharusnya ia baca beberapa jam yang lalu.
“Assalamu’alaykum…, Sekar besok ada ta’lim dari ustadz Acep di Masjid
Asy-Syakir, nanti ajakin juga temen-temen sekontrakan yang lainnya,,,syukran…”
‘Astagfirullahaladzim…,’
ia lupa membaca pesan dari Raden karena mensilent
Hpnya, kebetulan malam ini ia harus segera menyelesaikan tugas untuk dikumpulkan besok
pagi, jadi ia pun berkonsentrasi untuk menyelesaikannya. Terbesit untuk
membalas pesan tersebut, namun ia urungkan mengingat waktu juga yang sudah
malam serta tidak bagus untuknya yang bukan muhrim.
Kendati akhirnya bayangan orang yang bernama Raden akhirnya muncul dalam
dimensi pikirannya, cepat ia harus menepis agar tidak mengurangi pahala bacaan
Al-Qur’an yang baru saja ia selesaikan.
Sekar menyewa sebuah kontrakan bersama
keempat temannya yang lain. Sarah jurusan Matematika berasal dari Garut, Fani
dan Oppie sama-sama dari Cirebon juga kuliah di Fakultas Keperawatan, ketiganya
pun duduk di tingkat 3, sama dengannya. Dan yang terakhir Dian yang baru masuk,
kuliah di jurusan Farmasi, adik perempuan satu-satunya Bayu yang juga santri
seperti Raden. Bayu sengaja menitipkan adiknya kepada Sekar, maksudnya supaya
ada yang mengontrol kegiatan sehari-harinya, bahkan Sekar sendiri cukup gembira
dengan kehadiran Dian. Anaknya yang periang, pintar lagi, bahkan sempat
terdengar kabar kalau Herman menyukainya, sebuah penyakit yang dialami
oleh aktivis ROHIS kampus.
‘Tok…
tok… tok’ suara pintu menggugahnya, ia kembali bangkit dari perbaringannya,
“Siapa…?”
“Aku Teh, Dian…,”
“Masuk aja Dian… nggak dikunci kok!”
Sekar akhirnya menunda untuk memejamkan matanya, agaknya ada
sesuatu yang hendak diperbincangkan malam ini.
“Teh, aku mau sedikit ngobrol… tapi
ntar ngeganggu istirahat Teteh nggak malam ini? Afwan…,”
“Mmm…, nggak pa-pa kok, Teteh juga
belum tidur. Tumben malam-malam gini mau ngobrol?”
“Teh… sebenarnya… aduh gimana ya?
Jadi bingung mau ngomong apaan, tapi…”
Dian agak kebingungan untuk memulai
pembicaraan malam ini bersama seniornya. Sekar hanya membalas dengan senyuman,
ia meletakkan kedua tangannya diatas kedua tangan Dian dan perlahan mengatakan
sesuatu kepadanya,
“Bilang aja kalo
Dian mau ngomong ama teteh… Teteh nggak selamanya bisa memberikan
solusi yang terbaik, tapi Insya
Allah akan teteh
usahain kalo bisa…”
Dian mulai tersenyum, tapi
sebenarnya ia masih ragu untuk membicarakannya sekarang. Tapi hatinya seakan meminta untuk
segera mengatakannya.
“Teteh pernah nggak ngerasa jatuh cinta...?!”
Pertanyaan Dian langsung menusuk
menuju segala persendian Sekar, sebuah pertanyaan yang memang mudah untuk
dijawab namun perlu energi besar untuk menjelaskannya.
“Pernah... dulu... dan memang fitrah yang
Allah berikan kepada manusia, bahwa ia pasti akan merasakan jatuh cinta kepada
lawan jenis. Tapi... Allah sudah menetapkan koridor atau batasan mengenai
cinta,” kata-kata Sekar agak berat untuk dijelaskan, ia mencoba untuk
menyembunyikan perasaan cintanya kepada seseorang yang entah apakah mungkin
sama sepertinya.
“Emangnya... Dian lagi jatuh cinta?”
pertanyaan Sekar pun akhirnya membuat Dian terdiam sejenak, sambil mencoba untuk
memberikan senyuman terbaik untuk seniornya. Anggukan kepala Dian agaknya
membuat Sekar paham maksud juniornya meminta waktu untuk berbicara malam ini.
“Dian sebenernya bingung teteh... sikap ikhwan[6]nya
mengundang tanda tanya, nggak seperti ikhwan
yang lainnya. Sebagai akhwat[7]
yang memang sangat kuat dalam hal perasaan, pastinya teteh yang ngalamin pun
akan kebingungan nanggepinnya gimana. Dan yang bikin bingung malah justru
karena sikap ikhwan itu yang bikin
Dian jatuh cinta... orangnya baik dan tidak banyak bicara kalo emang nggak
perlu,”
“Teteh juga pernah ngalamin kok... memang
wajar. Pihak ikhwan bingung mau
bersikap gimana karena khawatir akan timbul fitnah, yang akhwat juga sama... khawatir memberikan perhatian yang lebih kepada
teman ikhwannya.”
Pernyataan Sekar barusan memang
cukup dipahami oleh Dian, tapi mungkin bagi Sekar hal ini menjadi bagian
tersulit untuk dijelaskan. Sebagai seorang perempuan yang juga sedang mengalami
jatuh cinta, ia pun terkadang sulit melepas bayang-bayang seseorang yang ia
anggap baik dan mungkin sangat baik. Seseorang yang berjuang melawan segala
kondisi yang menerpa sepanjang perjalanan hidup, orang yang banyak memberikan
inspirasi dan ilmu lewat kata-kata yang terucap dari mulutnya yang tiada kesan
menggurui.
“Teh… ngelamun ya...?!”
“Eh...,” tampaknya Sekar baru saja menikmati
lamunannya malam ini.
“Hayo... mikirin akang itu ya...?!”
“… maksudnya?”
“Ih… teteh berlagak nggak paham
maksud Dian, bukannya…,”
Sekar langsung menutup mulut Dian
dengan kedua jari tangan kanannya. Ia kembali terdiam, sementara Dian terus
memperhatikan sikap seniornya yang mulai berubah, seakan menyembunyikan
sesuatu. Sesuatu yang memang sudah diketahui oleh semua orang yang tinggal
dikontrakan ini, sesuatu yang selama ini membuat Sekar sering terbawa dalam
lamunan.
“Ya udah teh… malam ini cukup sampai
disini ngobrolnya, Dian kembali ke kamar aja. Maaf banget ya kalo malam ini
Dian udah bikin teh Sekar kesel…,”
Sekar hanya membalas dengan
senyuman,
“Nggak apa-apa…,”
Dian langsung beranjak menuju
kamarnya, perlahan ia membuka pintu kamar Sekar dan menghilang ke ruangan lain
di rumah ini. Sekar masih belum berbaring, ia tetap saja terdiam
untuk beberapa saat. Ia pun meraih selimutnya dan mulai merebahkan tubuh diatas
tempat tidurnya. Perkataan Dian menyentuh hatinya, sama sekali tidak ia sangka
bahwa juniornya akan mengatakan hal
yang demikian.
Sebenarnya ia memendam perasaan
untuk Raden, tapi tidak untuk sekarang. Saat ini ia fokuskan untuk kuliah dan
segera menyelesaikan S1-nya, kemudian
mengambil langkah selanjutnya, yakni melanjutkan studi ke S2. Konsentrasinya akhir-akhir ini mulai sedikit buyar. Tiga bulan
yang lalu keluarganya mengatakan bahwa ada seorang ikhwan yang hendak melamarnya, alumni ITB, orang yang pastinya dikenal baik oleh Raden.
Agaknya ia masih belum mau menjawab, kendati sang pelamar tetap memberi kebebasan
baginya menyelesaikan studi sebelum akhirnya melanjutkan ke jenjang pernikahan.
Sebuah lamaran atas janji yang pernah terucap oleh ayah Sekar dan juga ikhwan yang melamarnya.
‘Kang,
Sekar bingung... Sekar khawatir... Sekar nggak mau hawa nafsu yang akhirnya
membuat rasa cinta ini tidak ada artinya di mata Allah. Tapi Sekar bingung
kang... Sekar bingung... tapi Sekar harus gimana...?!’
Kata demi kata mulai menyelimuti
hatinya yang gundah, rasanya sudah semakin kuat kegalauan itu melanda
perasaannya selama tiga bulan ini. Semakin memikirkannya, semakin kuat pula
deraan keresahan batin yang memuncak. Rasa gelisah membuatnya sulit untuk tertidur,
ia hanya mampu menyerahkan keadaan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Pengasih
Maha Penyayang dan Maha Mengetahui. Zat Maha Agung tempat ia selama ini
berserah diri. Entah apa yang akan terjadi esok, yang pasti malam ini bukan
hanya dia sendiri yang sulit untuk memejamkan mata.
Raden
sepertinya terbangun dan entah sebabnya mengapa, di kedua tempat yang berbeda
menyiratkan aura yang ingin mempersatukan antara dua hati.
Sekar sulit untuk memejamkan mata,
sementara jauh disana, Raden terbangun dan duduk termenung diatas tempat
tidurnya. Rasanya malam ini kerumitan melanda keduanya, tapi entah bagaimana
kelanjutan esok hari, yang pasti para malaikat memperhatikan sikap keduanya
malam ini. Baik Sekar maupun Raden, keduanya seperti memiliki
ikatan batin yang cukup kuat, meskipun akhirnya bukan saat ini mereka bersatu
dan masih harus melalui beberapa tahap yang Allah siapkan bagi
keduanya.
*****
Pagi ini awan mendung mulai
menyelimuti seisi kota Jatinangor, namun semangat mahasiswa untuk datang ke
kampus lebih awal dari saat masuk jam kuliah tetaplah terjaga. Terutama
mahasiswa yang berasal dari Malaysia dan India, lantas dimanakah mahasiswa
Indonesia?
Sepertinya kehangatan selimut masih
membalut tidur lelap mereka, disisi lain ada juga beberapa diantaranya yang
sudah tenang membaca buku di teras kontrakan atau kosan maupun mereka yang
pergi untuk membeli sarapan meskipun belum mandi. Pagi ini Bayu sudah bersiap
berangkat kendati waktu masih menunjukkan pukul 07.05 WIB, sambil membaca buku di
teras ia mendengarkan kicau burung yang hinggap di atap masjid As-Saakir.
Didalam dapur umum sana, Febry, Iyan dan juga Herman menyiapkan sarapan pagi
ini. Menu sarapan biasa ala mahasiswa, telur mata sapi ditambah teh manis
hangat yang hampir tiap pagi mereka rasakan. Ataupun sekedar
menikmati kupat tahu atau lontong kari dari tukang jualan yang biasa lewat di
depan masjid. Terkadang warung di samping masjid milik bi Inah,
menjadi tempat favorit bagi mereka dan juga para santri lain yang terbiasa menikmati
makanan murah sesuai dengan jatah bulanan yang diberikan.
Raden masih belum bangun dari
tidurnya, setelah shalat subuh ia kembali memejamkan mata dan terbaring diatas
sajadahnya. Dinginnya udara semakin membuatnya terlelap dalam
kehangatan sarung yang dikenakan. Beberapa santri yang lainnya
tampak sibuk mengantri mandi, ada pula diantara mereka yang menyempatkan waktu
untuk bermain futsal di kampus, yang lainnya masih sibuk dengan tugas kuliah
masing-masing ataupun sekedar membaca bahan kuliah di laptop, buku-buku sumber
maupun komputer umum milik pengurus pesantren yang terkadang membawa virus yang
bisa saja menghilangkan file-file penting perkuliahan.
“Wan… Kang Raden kok tumben belum
keluar?” tanya Bayu.
“Waduh nggak tau juga tuh kang,
tapi… ntar aku bangunin deh!”
Ridwan bergegas kembali kedalam, mendekat
ke arah tempat tidur Raden yang kebetulan berada di depan tempat tidurnya.
“Wan, jangan ganggu istirahat kang Raden…
mungkin beliau kecapean…” potong Rizal yang baru saja selesai mandi.
“Lho… Zal, bukannya sekarang giliran
kamu menyapu halaman depan…?!”
“Ini juga mau ngerjain, tadi habis
dari WC… semalam kang Raden baru pulang dan sepertinya habis ngerjain tugas
yang berat, jadi… biarin istirahat aja dulu.”
Mereka berdua akhirnya kembali
melanjutkan pekerjaan masing-masing pagi ini, dari dapur sendiri sarapan siap
untuk disantap bersama.
“Alhamdulillah…,”
papar Iyan.
“Oke… kita makan!!!” sahut Herman
dengan semangat. Semua sudah siap pagi ini, kecuali Raden yang masih tertidur
lelap. Bayu segera menutup bukunya dan masuk ke dalam ruangan. Di Pesma Ash-Shofwah ini memang hanya enam
orang ini saja yang rajin memasak dengan memanfaatkan dapur umum. Nasi tinggal
di tanak di rice-cooker milik Febry,
untuk urusan lauk ada yang giliran belanja, dan kendati tidak sempat pun mereka
bisa membeli lauk di warung bi Inah ataupun sekalian jalan-jalan mencari
makanan di warung makan dekat kampus.
“Kang Raden masih belum bangun, Zal?”
tanya Bayu
“Belum kang… paling sebentar lagi
juga bangun,”
“Nah, sekarang kita makan!!!” potong
Iyan.
Pagi ini bukan hanya disini yang
berbahagia dengan sarapan, di tempat lain pun demikian, sama seperti dengan
beberapa tempat lain terutama para penjaja sarapan pagi yang sudah berjualan
untuk menyiapkan sarapan pagi khususnya untuk mahasiswa. Pagi ini awan gelap
tetap membuat semangat beberapa mahasiswa tak memudar, beberapa diantaranya
bergegas menuju kampus yang menanjak, beberapa diantaranya memilih untuk
membeli gorengan ataupun bubur ayam untuk sekedar mengganjal perut agar tidak kelaparan ketika dosen menyampaikan
materi. Beberapa tukang ojek dalam kampus sudah bersiap untuk mengantarkan
mahasiswa sampai di tempat tujuan, dan juga supir angkot gratis yang mulai
mengatur barisan dan bersiap memberangkatkan penumpang yang tiba bergelombang.
Biasanya pak Lukman dan kawan-kawan dari Biro
Administrasi Umum Unpad mengatur pergerakan angkot gratis di halte, ataupun
hanya sekedar memastikan semua supir menjalankan tugasnya dengan baik. Tak hanya
itu, satpam yang bertugas pun tampak semangat mengatur arus lalu-lintas dalam
kampus. Mulai bagian gerbang belakang depan Asrama Padjadjaran, gerbang BNI,
persimpangan jalan depan gedung Fakultas Teknik Geologi, dan pertigaan antara
Fisika-Dekanat MIPA-Psikologi.
Kali ini Raden mulai membuka
matanya, perlahan ia bangkit dari sajadahnya, mengusap kedua mata dan duduk
tenang.
“Astaghfirullah…
aku sudah tidur terlalu lama,”
Ia melirik kearah jam dinding
kamarnya, waktu sudah menunjukkan pukul 07.35 WIB. Langsung ia bangkit dan
mengambil handphone, tampak sebuah pesan
tertera pada layar.
“Wa’alaykum salam,,, afwan[8]
kang baru bales… kebetulan Sekar juga ada agenda yang
lain ama temen, tapi Insya Allah aku kabarin ke temen lain yang bisa ikutan.
Syukron[9]
buat infonya…,”
Raden hanya bisa tersenyum, ia
langsung pergi menuju kamar mandi dan mencuci mukanya. Dari arah dekat dapur
yang biasa menjadi tempat makannya bersama lima sahabat terdengar percakapan
yang begitu akrab. Dan tak asing lagi suara lima sahabatnya yang biasa
memanfaatkan dapur umum untuk makan.
“Hmmm……. ngomong-ngomong
Herman kayaknya lagi nyimpen sesuatu dari kita nih,”
Sindiran Iyan mulai mengganggu
sarapan Herman pagi ini, sementara yang lain mulai memandanginya seksama.
“Nah lho…, kok pada curigain aku sih??! Lagian… parah
banget nih ente Yan!?”
“Assalamu’alaykum…!!!”
“Wa’alaykum
salam!!!” jawab mereka serempak.
Raden
masih tampak memegang alat mandi yang baru saja digunakannya, termasuk handuk yang
sudah tiga tahun lamanya belum diganti dengan yang baru.
“Waduh… akang kita sudah seger nih!”
papar Herman.
“Mmm… ngomong-ngomong ada apa dengan
si Herman nih? Kalo nggak salah, akang sempat ngutip pembicaraan kalian tadi…,”
“Jadi…”
‘Duk…!!!’
‘Ups…!?’
Kaki Herman menendang kaki Iyan, membuat temannya terpotong untuk
melanjutkan kata-katanya. Sementara yang lain seolah termakan sikap Herman yang menginginkan mereka semua untuk tidak
angkat bicara. Raden sendiri hanya bisa tersenyum, ia langsung duduk
santai di atas tikar bersama lima sahabatnya untuk sarapan pagi ini. Sebuah
piring memang sengaja disiapkan untuk Raden, dan lengkaplah sudah suasana
sarapan pagi di Pesma ini.
“Jadi… ada rahasia nih?!”
“Ya udah… sekarang yang penting kita
semua sarapan, oke!!!”
Bayu langsung mengambil alih suasana,
sementara Raden hanya bisa tersenyum. Sarapan pagi ini terasa sangat nikmat,
diluar sana arus kendaraan dari arah Rancaekek mulai memadat terutama kendaraan
mahasiswa dan angkot. Hari ini Raden tidak berencana untuk pergi menuju kampus, ada beberapa
hal yang perlu dibicarakan bersama ustadz Teguh yang merupakan salah satu staf
pengajar pesantren ini. Beliau biasa memberikan materi Sirah Nabawiyah dan juga
Tafsir Al-Qur’an, hari Selasa sore dan Sabtu malam menjadi waktu beliau
mengajar kelasnya Raden.
Pesma
atau Pesantren Mahasiswa tidaklah sama seperti pesantren pada umumnya. Disini
selain pesertanya adalah mahasiswa, kurikulum yang diajarkan sesuai dengan
kondisi atau keadaan yang ada di lapangan. Tentunya tugas sebagai da’i yang
diemban membuat sang pendiri, ustadz Acep, yang merupakan alumni S2 program
Fiqih Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir bersemangat pun juga memperhatikan
perkembangan santri Pesma. Setiap
ba’da Subuh, beliau biasa memberikan tausiyah bagi para santri pun juga jamaah
yang shalat subuh di Masjid As-Saakir. Harapan terbesar beliau terhadap para
santri, yang tak lain para mahasiswa yang merupakan agen perubahan, tak lain
adalah terciptanya nuansa Islami di lingkungan kampus pun juga membantu kerja
para aktivis kampus yang bergerak di Lembaga Dakwah Kampus atau LDK untuk
melebarkan sayap dakwah. Dan memang kebanyakan dari santri Pesma adalah mereka yang aktif di LDK, maupun Lembaga Dakwah
Fakultas hingga Jurusan.
Raden pernah menjadi wakil ketua LDK
dua tahun yang lalu, kemudian Bayu yang menjadi ketua Himpunan Jurusan Hubungan
Internasional, Herman pun saat ini masih mengemban amanah sebagai kepala
departemen mentoring ROHIS Fakultas Farmasi yang dikenal dengan nama Pharma, Febry baru saja memperoleh amanah
sebagai ketua ROHIS Fakultas Sastra atau DKM Al-Mushlih Sastra. Dan beberapa
santri yang lainnya, kebanyakan mereka aktif di ROHIS dan Himpunan Jurusan atau
BEM maupun BPM Fakultas hingga Universitas.
Praktis para santri setiap harinya
memperoleh berbagai materi yang akan memperkuat wawasan keislaman. Para ustadz
yang mengajar hampir semuanya adalah lulusan Universitas Al-Azhar Kairo,
kecuali ustadz Teguh yang merupakan alumni sebuah pondok pesantren yang ada di
Jawa Timur. Para santri memperoleh jatah libur pada hari Kamis dan Jum’at, dan
biasanya mereka mengisi waktu dengan bermain futsal, menghafal Al-Qur’an
ataupun sekedar berjalan-jalan hingga mereka yang akhirnya menggunakan untuk
rapat bersama anggota Lembaga Kemahasiswaan. Hari Kamis sendiri adalah waktu
untuk agenda ta’lim rutin, dimana para mahasiswa selain santri Pesma bisa ikut
menghadiri. Materinya pun beragam, mulai dari Tafsir Al-Qur’an, Sirah
Nabawiyah, Fiqih dan Dakwah.
Untuk
kelas Raden sendiri, Senin sore adalah waktunya memperoleh materi Bahasa Arab
dari ustadz Acep, Selasa Sore ustadz Teguh dengan Sirah Nabawiyahnya, Rabu sore
adalah waktu bagi ustadz Wahyu memberikan materi Fiqih Dakwah, Sabtu malamnya
giliran ustdaz Teguh kembali menyampaikan materi Tafsir Al-Qur’an dan juga
Tahsin, kemudian yang terakhir yakni hari Minggu pagi giliran ustadz Rahmat
menagih hafalan ayat dari santri kelasnya Raden sambil memberikan materi
mengenai Fiqih Islam.
Dan semua materi yang diterima oleh
santri sesuai dengan kondisi dan realita yang terjadi di lapangan, sehingga
mereka ketika memang membutuhkan penguatan maka materi yang disajikan bisa
menjadi referensi sebagai penjelas mengenai suatu hal yang berhubungan dengan
Islam. Dan khusus untuk tausiyah ba’da Shalat Subuh, ustadz Acep terkadang
memberikan penjelasan mengenai Shahih Bukhari-Muslim, Riyadus Shalihin karya
Imam An-Nawawi, Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, kitab Al-Hikam karangan
Ibnu At-Thailah, dan lain sebagainya.
“Oh ya kang, hari ini ada rencana mau kemana?” tanya
Herman.
“Mmm… paling disini saja, mau
ngobrol-ngobrol sama ustadz Teguh. Tapi ntar juga mau pergi ke Bandung…,”
“Sama temen sekampus, atau yang lainnya
kang…?!” potong Rizal.
“Hus!!!”
mata Febry tertuju penuh ke arah Rizal.
Suasana
agak berubah, menjadi jauh lebih tenang karena diamnya mereka.
“Kang… maaf ya yang tadi,”
Raden tersenyum, “Nyantai aja…, nggak bagus juga
membicarakan sesuatu yang mengundang kontroversi,” sarapan paginya agak dipercepat,
ia memegang bahu kanan Herman.
“Oke… akang duluan ya, mau
jalan-jalan sebentar!”
Raden langsung meminum air di
gelasnya, selanjutnya ia bangkit dan tersenyum kemudian mengucapkan salam. Semua
pandangan tertuju tajam ke arah Rizal, terutama Bayu.
“Zal… ente ini kurang ajar
banget sih!” suara Iyan cukup keras, sedikit terdengar oleh telinga Raden yang tampak
tenang menyimpan handuknya di jemuran. Ia kembali melangkah dan tidak tahu apa
yang sedang terjadi di dapur umum tersebut.
“Sudah,
cukup!!! Sekarang kita jangan membahas masalah itu lagi… kang Raden Insya Allah tidak akan marah, yang
penting… Rizal
jangan ulangi lagi yang tadi!!!”
Bayu berusaha untuk meredakan
ketegangan di dapur umum ini, semuanya beristighfar dan memohon ampun atas segala
yang mereka lakukan pagi ini. Terutama Rizal yang merasa sangat bersalah atas
kejadian pagi ini. Ia terus melangkah menuju suatu tempat untuk membuatnya
tersenyum kembali setelah kejadian kecil di pagi ini.
Langkah kaki Raden sepertinya menuju
lingkungan kampus, setelah
ia memastikan sudah berpakaian rapih untuk berjalan-jalan sambil mencari koran
atau surat kabar untuk dibaca. Ia terus melangkah dan akhirnya sampai di jalan
menuju depan gerbang. Ia berhenti sejenak di tempat penjual koran dan matanya mulai
tertuju pada dua buah tabloid olahraga, ‘Soccer’dan
‘Bola’. Dua buah tabloid yang menjadi
pilihannya setiap minggu untuk dibaca sebagai selingan. Sekarang hari Jum’at, ia sudah
terbiasa memilih satu diantara dua tabloid olahraga ini setiap minggunya. Tabloid
sepakbola yang sebenarnya bisa ia beli hari kemarin, Kamis, namun belum sempat
membelinya karena berbagai agenda yang menyibukkannya.
Hujan rintik-rintik membuatnya
merapat pada sebuah tempat ‘fotocopy’,
bersama seorang perempuan berjilbab panjang ia berteduh sesaat sambil membaca
korannya.
“Kang Raden…,”
Ia menoleh kearah suara yang
memanggilnya,
“Assalamu’alaykum…”
“Wa’alaykum
salam, eh…Dian. Kok sendirian aja?”
“Iya nih, Teh Sekar tadi buru-buru
berangkatnya. Terus yang lain nggak ada jadwal kuliah pagi ini, jadi… ya
sendirian deh,”
Raden hanya mengangguk sambil
tersenyum. Ia kembali mengalihkan pandangan ke berita olahraga, jadwal
pertandingan sepakbola untuk Minggu sekarang yang bisa ia tonton bersama santri
di ruangan staf pengajar. Sementara Dian mulai memeriksa tasnya dan melihat
keadaan sekitar, ia meraih kantung plastik dan mengeluarkan sebuah payung dari
dalamnya.
“Kang… ana berangkat dulu
ya, assalamu’alaykum!”
“Wa’alaykum
salam… selamat belajar ya dek,”
Dian tersenyum sesaat dan langsung
beranjak dari tempat itu, ia berjalan berlindung dari payungnya. Raden kembali
membaca. Sesaat ia memperhatikan Dian pagi ini, ‘Betapa beruntungnya Bayu memiliki adik seperti dia…,’ gumamnya
dalam hati. Penampilan Dian sangat cantik pagi ini, bahkan menurutnya lebih
cantik dari hari biasanya. Jilbab panjang berwarna biru yang dipakainya sama seperti
yang biasa dikenakan Sekar, perempuan yang akhir-akhir ini selalu muncul saat
ia tengah melamun.
‘Astaghfirullahaladzim…’
ia cukup terlena setelah melihat penampilan Dian, matanya tertuju kearah langit
pagi ini. ‘Ya Allah semoga engkau memberikan yang terbaik bagi hamba-Mu… Dan…
memberikan tempat terbaik bagi ayah hamba-Mu, amin…’
Air
matanya mulai jatuh, ia berusaha menghilangkan kesedihan agar tidak tampak di
depan umum.
Sosok itu yang membuat segalanya berubah, merubahnya untuk menjadi insan sejati yang penuh menfaat serta menebar kebaikan
untuk orang-orang di sekitarnya. Sosok yang terus menguatkannya untuk terus
melangkah dalam jalan dakwah di
lingkungan kampus,
jalan yang sudah Allah tentukan atas setiap makhluk-Nya di dunia. Dan semua perjalanan hebat itu ia lalui di sebuah kota kecil bersejarah
ini, ya... sebuah kota yang akhirnya diramaikan oleh mahasiswa yang menuntut
ilmu untuk meraih mimpi masa depan yang lebih baik. Dan di kota bernama
Jatinangor inilah ia menemukan berbagai hal yang semakin membuatnya bijak dalam
menyikapi berbagai fenomena kehidupan yang Allah tetapkan untuknya.
[1]Institut Manajemen Koperas Indonesia
[2]Universitas Winaya Mukti
[3]Pesantren yang didirikan oleh Lembaga Penyalur
Zakat, Infaq dan Shadaqah ‘Dompet Sosial Ash-Shofwah’ yang disingkat DSA.
[4] Cabang ilmu geologi yang mempelajari batuan, asal
terbentuknya suatu batuan serta pemeriannya.
[5] Perlombaan seni Islam yang setiap tahun diadakan oleh LDF (Lembaga Dakwah Fakultas) GEMA atau tim ROHIS Fakultas Teknik Geologi Unpad.
[6]Laki-laki
[7]Perempuan
[8]Maaf
[9]Sama dengan Jazakallah, artinya terima kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar