Oleh Tri Asmoro <http://www.arrisalah.net/author/tri-asmoro/>
Apa yang diingat oleh manusia dewasa tentang orang tua mereka, saat
kanak-kanak dahulu, yang membahagiakan? Banyak studi menunjukkan, betapa
mereka merekam saat-saat kebersamaan sebagai kenangan tak terlupakan, bukan
uang atau barang yang pernah mereka terima. Kalaupun nama barang atau uang
disebutkan, itu lebih sebagai simbol perhatian, sebagai pelengkap saat-saat
kebersamaan yang mereka nikmati.
Kini, kita telah menjadi orang tua, para ayah tepatnya. Dan seharusnya kita
mengerti, bahwa kenangan terbaik dari masa kanak-kanak kita, hampir tidak
pernah berhubungan dengan uang atau barang. Namun member perhatian dengan
kebersamaan menjalani aktivitas bersama orang-orang terkasih. Dan sayangnya,
banyak di antara kita yang tidak menyadari pentingnya menyediakan waktu
untuk keluarga, kemudian menikmati kebersamaan bersama mereka.
Masyarakat materialis di sekitar kita, membawa pesan belanja yang akut.
Menimbulkan kesan bahwa membeli barang adalah simbol kesuksesan hidup.
Kemudian, banyak orangtua yang kehilangan rasa percaya diri saat mendapati
diri mereka tidak bisa mengikuti pola itu. Merasa bersalah karena tidak bisa
memenuhi permintaan salah satu anggota keluarga tentang barang atau uang.
Padahal mereka memiliki hal yang, insyaallah, jauh lebih berharga daripada
pemberian barang-barang kepada anak dan istri; yaitu diri dan waktu mereka!
Maka siapkah kita, memberikan perjalanan yang akan selalu dikenang, dari
kebersamaan yang kita jalani bersama anggota keluarga? Atau, kita malah
tidak bisa menikmati saat-saat seperti itu? Padahal, ialah kunci kenyamanan
itu, lebih dari sekedar menghujani anggota keluarga dengan hadiah barang dan
uang. Yakinlah, keduanya tidak bisa membeli kebahagiaan, jika tanpa
ketulusan, perhatian, dan kebersamaan.
Kebersamaan adalah awal dari sebuah komunikasi yang efektif. Jika ia
berjalan dengan kuantitas dan kualitas yang terjaga, komunikasi antar
anggota keluarga, insya Allah, akan membaik bersamaan dengan berjalannya
waktu. Dengan kebersamaan, kita akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk
berbicara dan mengenal anggota keluarga yang lain lebih mendalam. Lebih
berpeluang untuk berbicara dari hati ke hati, hal yang menjadi esensi
hubungan emosional antar sesama aggota keluarga.
Selain itu, perasaan tidak nyaman yang mungkin timbul dalam proses
bemuamalah dengan anggota keluarga, menemukan tempat untuk disalurkan. Rasa
tidak puas, juga amarah yang tertahan hingga menyesakkan dada, seringkali
menjadi penyebab perceraian jika tidak diselesaikan. Dan kebersamaan menjadi
alat untuk menguraikannya pelan-pelan. Mengasah kepekaan dan membangun
hubungan emosional yang lebih sehat.
Pernahkah kita mendengar tentang pasangan yang akhirnya bercerai, meski
mengaku masih saling mencintai dan tidak membenci pasangannya? Mereka hanya
tidak terhubung secara emosional. Tidak lagi saling peduli akan kebutuhan
‘rasa’ yang mulai hambar, serta energi untuk bertahan yang mulai melemah dan
pudar. Bukankah Jamilah binti Ubay, istri shahabat Tsabit bin Qais, serta
shahabiah istri Utsman bin Mazh’un, mengeluhkan suami-suami mereka karena
kehilangan kebersamaan, meski atas nama beribadah?
Para pembunuh berdarah dingin, pelaku tindak kriminal, para remaja yang
‘nakal’, hingga orang-orang yang stress dan depresi, banyak kita temukan di
sekitar kita. Mereka memiliki ciri yang hampir sama; terisolasi dari
lingkungan, merasa kesepian, dan terasing dari orang-orang terdekatnya.
Mereka kehilangan hubungan emosional yang dalam dan menyehatkan mental.
Mungkin mereka memiliki rumah yang megah. Mungkin perabotan mewah. Mungkin
juga ibu dan ayah. Namun mereka terasing di tengah semua yang ada. Mereka
kehilangan meski terlihat memiliki. Dan meski tinggal bersama, mereka,
sebenarnya, kesepian dan sendiri.
Kebersamaan yang baik menjadi penawar atas semua masalah itu. Komunikasi
yang terjalin, kehangatan yang tercipta, serta kenyamanan yang dirasa,
membuat seluruh anggota keluarga menjadi saling menghargai kehadiran,
menajamkan kepekaan akan perasaan orang lain, hingga perasaan diterima dan
dicintai. Menjaga kadar hormon oksitosin, yang membuat seluruh anggota
keluarga merasa ‘terhubung’.
Selain itu, kebersamaan yang positif akan menumbuhkan kerukunan, meski
kadang diselingi perbedaan pendapat. Para anggota keluarga juga akan, insya
Allah, mengembangkan jati diri mereka sebagai manusia yang memiliki akar dan
tempat di dalam sejarah kehidupan. Tidak tercampakkan dan kehilangan jejak
sejarah. Mereka, insyaallah, akan bangga menyebutkan pohon sejarah keluarga
mereka yang memang dirawat untuk dibanggakan.
Dan seperti juga pertunjukan penghargaan, kebersamaan akan menimbulkan efek
gelombang. Makin melebar dan meluas pengaruh yang diakibatkannya, jika ia
dikerjakan. Bahkan, seringkali ia akan melahirkan kejutan-kejutan manis yang
tidak terduga sebelumnya. Secara alamiah, kita akan menemukan harta karun
yang bahkan tidak kita cari; hubungan personal yang semakin membaik dari
hari ke hari, dari waktu ke waktu. Hal yang bahkan tidak ditemukan oleh
banyak keluarga yang mati-matian mencarinya, dalam harta dan gengsi material
yang palsu. Sedang kepuasan berkeluarga itu ada disini, di kebersamaan yang
dinikmati oleh seluruh anggotanya.
Marilah sebagai para pemimpin keluarga, kita tumbuhkan aktivitas bersama
dengan anggota keluarga. Yang fleksibel dan tidak kaku. Yang positif dan
sehat. Alih-alih sebuah keistimewaan, ia adalah sebuah kebutuhan, kuantitas
maupun kualitasnya. Jadi, menikmati kebersamaan keluarga, siapa yang
mau?(Tri Asmoro)
http://www.arrisalah.net/kajian/2011/03/menikmati-kebersamaan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar