Rabu, 16 Maret 2011

“Aku Melamarmu Kepala Pelayan Restoranku…”


Sudah jam lima pagi, dan seperti biasa Ratih telah terjaga untuk melaksanakan shalat subuh bersama kedua teman sekontrakannya, Gita dan Tika. Mereka bertiga bekerja di tempat yang sama, yakni sebuah restoran yang kental dengan nuansa sunda atau parahyangan. Ratih adalah yang paling tua diantara yang lainnya, dan yang belum pernah merasakan jatuh cinta sejak lulus dari SMA. Dan kisah cinta yang dulu adalah dimana ia harus membuangnya jauh-jauh, serta harus segera dilupakan untuk masa depan yang lebih baik.
Disini ia sudah dianggap seperti kakak sendiri bagi Gita dan juga Tika, terlebih setelah ia memutuskan untuk masuk kuliah di salah satu universitas swasta, sosok Ratih seperti seorang guru yang membimbing murid-muridnya. Kendati waktunya terbagi dengan kuliah, Ratih tidak terlalu pusing untuk mengatur jadwal kerja karena ia sendiri bukan bekerja sebagai koki, sebagai seorang kepala pelayan ia mungkin lebih banyak mengatur jadwal karyawan tetap dan juga freelance. Tapi bukan berarti pekerjaannya ringan, karena beberapa kali ia harus memindahkan jadwal kerja pelayan tetap, terlebih ketika ada tamu penting yang memesan tempat di restoran tempat ia bekerja.
Hanya saja sampai saat ini ia masih belum mengetahui pemilik sebenarnya dari restoran ini. Setahun yang lalu ia bertemu dengan seseorang yang menurut kabar adalah sang pemilik restoran, tapi orang itu hanya berkata bahwa ia adalah adik dari sang pemilik restoran yang hendak melihat langsung kondisi restoran milik kakaknya.
Gita bekerja sebagai recepcionist, sementara Tika sendiri adalah pelayan, keduanya bekerja cukup baik sehingga manajer restoran, Ibu Retno, bangga memiliki pegawai seperti mereka. Terlebih terhadap Ratih yang sudah memasukkan keduanya untuk bekerja disini.
Setelah bersiap untuk berangkat, ketiganya mulai keluar dari rumah kontrakan satu per satu, setelah memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat. Ratih sendiri mungkin tidak langsung menuju restoran karena harus masuk kuliah sampai jam dua belas siang, dan Gita sudah dijemput oleh sang pacar Yudha yang kini sudah duduk santai diatas sepeda motornya. Ia datang bersama Randi yang biasa mengantar Tika, dan sempat terdengar desas-desus bahwa keduanya tengah menjalin asmara.
 “Hati-hati ya…!” kata Ratih.
 “Iya mbak Ratih… mau kuliah dulu?” tanya Randi.
Ratih hanya mengangguk perlahan sambil tersenyum. Ia pun akhirnya berlalu dari keempatnya untuk segera naik kendaraan umum menuju kampus.
 “Mbak Ratih itu sudah punya pacar belum?” tanya Yudha kepada Gita.
 “Belum… kayaknya kalo mbak Ratih sih nggak pacaran lagi, langsung nikah…!” jawab Gita.
 “Hus…!!! Pagi-pagi udah ngomongin orang…,” sela Tika.
Mereka pun akhirnya beranjak untuk menuju restoran tempat Gita dan Tika berkerja, Yudha dan Randi memacu perlahan sepeda motornya sambil melewati beberapa kendaraan roda empat yang mulai terjebak kemacetan. Dan seperti biasa perjalanan menuju restoran atau kampus pun ditemani oleh kemacetan lalu lintas, baik yang hendak bekerja maupun kaum pelajar.
*****
Ratih duduk tenang sambil mendengarkan penjelasan dosen pengajar, ia beberapa kali membalas pesan yang masuk. Dan kali ini ada laporan bahwa nanti sore akan ada kumpul penting bersama para petinggi restoran, dan ternyata sang pemilik asli restoran tempat ia bekerja akan tiba tiga hari lagi untuk melihat langsung kondisi restorannya.
 ‘Haduh… akhirnya datang juga,’ kata Ratih dalam hati.
Setelah kuliah Ratih segera menuju restoran tempat ia bekerja yang tidak cukup jauh, dan itulah alasan mengapa ia memilih untuk kuliah sambil bekerja. Seseorang berjalan cepat menghampirinya,
 “Ratih…,”sapa orang itu.
Ratih memandanginya perlahan sambil tersenyum kecil, “Angga… ada apa ya?!”
 “Hmm… mau ke restoran tempat kamu kerja kan? Mau aku antar…?!”
 “Boleh…,” Ratih memberikan senyuman hangat untuknya.
Angga sendiri adalah orang yang baru ia kenal setahun yang lalu, memiliki kepribadian yang cukup baik dan berasal dari keluarga yang cukup kaya. Hal ini terlihat dari kendaraan yang ia bawa ke kampus, yang terkadang ia membawa sepeda motor atau mobil. Keduanya memang berbeda jurusan, kalau Ratih mengambil D3 manajemen bisnis dan Angga sendiri kini sudah melangkah ke jenjang S2 mengambil Magister Ekonomi.
Keduanya tidak sengaja bertemu ketika Ratih hendak pulang menuju kontrakannya ketika hujan lebat, waktu itu Angga adalah tamu yang datang ke restoran tempat ia bekerja.
 “Mbak mau pulang…?! Saya antar mau nggak?”
 “Nggak usah mas… saya bisa naik kendaraan umum,”
 “Lagi hujan… nggak baik, nanti kalau kamu sakit jadi nggak bisa kerja untuk beberapa hari di restoran ini…,”
Ratih pun akhirnya menerima ajakan orang yang belum ia kenal, perlahan ia masuk kedalam mobil yang dibawa orang itu. Dan akhirnya keduanya saling memperkenalkan diri, sambil berbincang-bincang mengenai pekerjaan dan kehidupan masing masing-masing selama perjalanan menuju kontrakan Ratih.
 “Mbak kerja sudah berapa lama?”
 “Mmm… baru satu tahun, dan sekarang juga baru diangkat sebagai kepala pelayan sama Bu Retno… manajer restoran tempat saya bekerja tadi. Mas sendiri sekarang kerja dimana?!” tanya Ratih malu-malu.
 “Oh… saya sedang melanjutkan kuliah S2, kebetulan saya juga punya sebuah restoran di daerah sini…,”
Angga terus memperhatikan Ratih yang kali ini asyik dengan lamunannya,
 “Ratih…?!” kata Angga sambil memandang wajah Ratih seksama.
 “Eh..? iya maaf… aku ngelamun ya…?”
 “Iya mbak… gimana sih…??? Mau kerja kok ngelamun…,”
 “Itu… pemilik restoran tempat aku kerja mau datang besok lusa untuk melihat kondisi restorannya. Aku jadi penasaran kayak gimana ya orangnya?!
Angga pun akhirnya segera mengajak Ratih untuk segera beranjak dari tempat ini, Ratih sendiri mengikuti langkah Angga dari belakang. Sesekali ia kembali melamun, dan kali ini Angga pun terus memperhatikan tingkah temannya sambil mencoba menahan rasa ingin tertawa. Dan sepertinya ada sesuatu yang ia sembunyikan dari Ratih.
 ‘Nanti juga ada waktunya kamu mengetahui hal yang sebenarnya… Ratih… Ratih…,
Angga memacu sepeda motornya perlahan, melewati jalan raya yang selalu padat oleh kendaraan bermotor.
*****
 “Baiklah… besok lusa pemilik restoran ini akan tiba, beliau memang tidak meminta apa-apa ketika tiba disini… tapi, saya harap kalian menunjukkan kerja terbaik ketika beliau memantau restorannya. Saya harap juga kalian menjaga kesehatan supaya tidak sakit ketika melihat sang pemilik restoran ini untuk yang pertama kali…,”
Setelah mendengarkan arahan dari bu Retno, Ratih segera kembali untuk bekerja. Ia berjalan perlahan menghampiri Gita dan juga Tika yang tengah bersiap untuk pulang.
 “Mbak Ratih… yang tadi nganter siapa hayo…?!” sindiri Tika.
 “Yang mana…?”
 “Ih… mbak Ratih sok jaim deh! Itu tuh… yang tadi siang nganter sambil bawa sepeda motor,” kata Tika kembali.
 “Cuma temen kampus kok…,”
 “Hayo… temen apa temen?!” sela Gita.
 “Ya ampun… temen kok, udah… kalian berdua pulang aja, dan jangan lupa masak buat makan malam. Mbak Insya Allah pulangnya jam sembilan…,”
 “Iya… iya…,” kata Gita sambil berlalu untuk segera pulang bersama Tika.
Ratih kembali masuk ke dalam restoran, menuju ruangan tempat ia bekerja untuk merapihkan beberapa dokumen dan juga data yang diminta oleh Bu Retno mengenai seluruh karyawan yang bekerja di restoran ini. Ia mulai mengambil air minum dan akhirnya duduk diatas kursi, satu per satu lembaran kertas yang menumpuk di mejanya mulai dirapihkan. Tak lama kemudian ia kembali memantau kerja para pelayan, dan juga masuk ke dapur untuk mempersiapkan beberapa bahan untuk dimasak dan disajikan kepada sang pemilik restoran ketika datang besok lusa.
Ya Allah… semoga nanti baik-baik saja,
*****
Sebuah mobil melaju perlahan ke restoran tempat Ratih bekerja, sebuah mobil yang tidak asing lagi di mata Ratih. Tiga orang keluar dari mobil, yang satu adalah adik pemilik restoran ini bersama seorang perempuan yang kemungkinan adalah istrinya dan yang satu lagi adalah Angga, teman satu kampus Ratih.
 ‘Jadi… pemilik restorannya yang mana ya?!’ kata Ratih dalam hati, ia kembali melanjutkan pekerjaannya.
Bu Retno menghampiri ketiganya sambil mempersilahkan untuk segera masuk dan meminta beberapa pelayan untuk mempersiapkan minuman segar untuk dinikmati oleh ketiga tamu spesial yang datang.
 “Indra… jadi kapan rencana kalian berdua menikah?” tanya Bu Retno, yang tidak lain adalah tante dari Angga dan juga Indra. Beliau dipercaya ayah keduanya untuk membantu mengelola restoran ini.
 “Menunggu kak Angga sudah sih tante, nggak tahu nih… ditanyain terus sama ayah tapi jawabannya nanti atau Insya Allah terus…,”
 “Sabar… aku Insya Allah sudah punya calon yang tepat,”
Ratih menghampiri keempatnya perlahan bersama dua orang pelayan yang membawa minuman serta makanan, ia pun segera beranjak untuk kembali bekerja, tapi Bu Retno memintanya untuk bergabung.
 “Nah… ini dia karyawan terbaik di restoran ini,” kata Bu Retno sambil memegang bahu Ratih yang kini mulai menunduk.
 “Jadi… kamu ya karyawan terbaik disini? Aku nggak nyangka…,”
 “Maksud kakak…?!” tanya Indra.
 “Ya ini… Ratih… temen sekampus dan juga kepala pelayan restoran ini,”
Bu Retno cukup terkejut mendengarkan pernyataan Angga, sesaat kemudian ia tersenyum untuk Ratih.
 “Ratih… jadi, Angga adalah pemilik restoran ini, yang disebelahnya adalah Indra… orang yang tahun kemarin datang kesini, bersama calon istrinya Yuni. Jadi sekalian saja saya kenalkan kamu sama mereka sebelum pertemuan nanti bersama karyawan yang lainnya…,”
 “Ha…?!” Ratih mulai menutup mulutnya, sungguh sangat terkejut ia mendengarkan perkataan yang keluar dari mulut Bu Retno. Jadi selama ini Angga sudah menyembunyikan sesuatu darinya, serta membuatnya agak sedikit malu setelah mengetahui hal yang sebenarnya.
Angga mengajak Ratih untuk berjalan menuju taman di depan restoran, ia terus memandangi teman kampusnya yang terus menunduk.
 “Kamu bohongin aku Angga…,”
 “Ya kalo ketahuan dulu… kan nggak surprise?!”
 “Ya tapi… nggak gitu juga…,”
Angga tersenyum kecil, ia mulai memegang kedua bahu Ratih sambil menatapnya cukup tajam. Denyut jantung Ratih pun mulai semakin kencang, ia tak mampu melakukan sesuatu untuk menenangkan hatinya. Angga mulai melepaskan kedua tangannya yang memegang bahu Ratih beberapa saat yang lalu,
 “Ratih… aku cuma mau ngasih sesuatu,” kata Angga sambil mengeluarkan sebuah kotak berisi cincin.
 “Aku ingin melamar kamu secara resmi melalui kedua orang tuamu…,”
 “Kamu mau sama kepala pelayan restoran yang kamu punya…?!”
 “Kan kalau kamu sudah jadi istri aku jadi bukan kepala pelayan lagi…?!”
 “Ih…!!!” Ratih mencubit cukup keras lengan kanan Angga.
 “Aduh…!!!”
Ratih mulai berlari kecil, ia pun kembali menoleh ke arah Angga yang menahan rasa sakit cubitannya.
 “Kalau kamu serius… coba kejar aku!” kata Ratih sambil tersenyum, ia kembali berlari menuju sebuah kolam di depan restoran ini. Angga pun segera mengejarnya dengan penuh gembira, ia pun akhirnya menemukan sang bidarari yang selama ini ia cari untuk mengisi kehidupannya. Terlebih bagi Ratih, ini mungkin adalah sebuah mimpi yang cukup luar biasa dan mungkin hanya sekali saja yang menjadi kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar