Rabu, 16 Maret 2011

Islam, Pemuda dan Geologi: Panji Tengkorak

Islam, Pemuda dan Geologi: Panji Tengkorak:



Pagi yang sangat indah, dan begitulah adanya. Sama seperti hari-hari biasanya, dan mungkin masih ada kesempatan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih berarti. Beberapa orang pra
jurit dengan pakaian lengkap tampak sedang berjalan cepat menuju pasar, mereka menemani seorang bangsawan dari daerah yang lain. Hal ini nampak dari pakaian yang berbeda dari yang biasa dikenakan oleh kalangan petinggi istana disini. Kedatangan bangsawan tersebut sontak membuat banyak lidah mengeluarkan kata-kata yang tak jelas maknanya, pertanyaa kesana-kemari dan juga sesuatu yang mungkin berakibat fatal apabila diketahui oleh petinggi istana yang melintas.
Dari tempat lain tampak seorang pemuda, dengan pakaian seadanya melintas, dan tempat yang dituju adalah pasar tersebut. Ia membawa seekor burung kakak tua, burung yang ia dapatkan secara cuma-cuma dari sebuah sayembara istana beberapa bulan yang lalu. Ketika itu ia mampu membalas segala macam pantun yang dikeluarkan oleh seorang penyair istana yang terkenal kepandaiannya dalam merangkai kata serta berpantun ria. Pemuda ini dikenal sebagai ‘Panji Tengkorak’, dinamai demikian karena hobinya mengoleksi tulang kepala atau tengkorak hewan. Beberapa hari yang lalu ia mendapatkan tengkorak manusia dari seorang dukun sakti yang akhirnya mati karena kalah tanding dari seorang yang pintar.
“Oi Panji…!” teriak seorang penjual makanan.
“Yo mas… ono opo toh?!”
“Iku… ono wong sing daerah luar,” kata penjual itu sambil menunjuk ke arah bangsawan yang dikawal oleh prajurit kerajaan.
Panji Tengkorak hanya mengangguk perlahan, sepertinya ia mengenal pakaian yang bangsawan itu kenakan. Mirip dengan seseorang yang biasa ia temui ketika berpetualang ke daerah lain sambil mencari ilmu ataupun informasi berharga. Ia kembali melangkah menuju tempat lain, dan kali ini ia menemui seseorang berpakian serba putih, dan sepertinya bukan dari daerah sini. Orang itu membawa sebuah kitab, dan tampak sedang asyik komat-kamit membaca mantra menurutnya.
“Kisana… dukun ya?!”
Sontak pertanyaan Panji membuat orang tersebut terdiam sejenak, ia memandang wajah Panji sambil tersenyum.
“Saya sedang berdo’a sambil mengingat Allah… Tuhan Yang Maha Esa,”
“Wah… kisana dari padepokan di utara ya?!”
“Iya… saya sedang mengadakan perjalanan menuju selatan,” orang tua itu kembali melanjutkan kegiatannya, sementara Panji Tengkorak kembali menuju tempat yang lain.
Panji pun akhirnya sampai di sebuah sungai yang cukup jernih, ia melihat ikan mas berkejaran. Cepat ia membasuh mukanya, dan bayangan orang tua tadi seakan membuatnya hendak melakukan sesuatu.
“Hei kakak tua…!!! Kalo aku belajar sama orang tua itu bagus nggak?”
“Tidak tahu… tidak tahu…! Cari guru lain saja…!” burung kakak tuanya mengepakkan sayap dan akhirnya terbang menuju ranting.
“Tapi… aku mau belajar lebih banyak lagi,”
Panji terdiam sejenak, ia kembali membasuh mukanya. Perlahan ia pun mulai kembali melangkah menuju rumahnya. Di rumah ia sama sekali tidak memiliki sanak keluarga, ia tinggal sendirian di sebuah gubuk terpencil di daerahnya. Di kanan dan kirinya hanya pohon dan juga pematang sawah milik kerajaan yang menghampar luas. Ia diberi kepercayaan untuk menjaga sawah milik pembesar istana, pekerjaan sampingannya selain berjualan di pasar ketika modal dating. Maklum ia tidak memiliki banyak uang, tapi hidupnya selalu cukup dan mungkin jauh lebih baik dari kebanyakan penjual di pasar.
Dari kebanyakan pemuda di daerahnya, Panji terkenal dengan ketampanannya, tapi sampai saat ini berumur 26 tahun pun Panji masih beum beristri. Setiap kali ia menemui perempuan cantik, sama sekali terbesit dalam pikirannya untuk mencintai. Padahal cukup banyak perempuan yang menyukainya, terlebih ketika Panji memainkan serulingnya. Alat musik yang ia dapatkan dari padepokan sebelah barat, yang memiliki kekerabatan dengan Kerajaan Padjadjaran. Ia pun pernah berhasrat menuju daerah tersebut, mengingat sang raja atau prabunya adalah seorang yang sakti dan kesaktiannya jauh melebihi raja-raja di daerah sekitar tempat tinggalnya.
“Panji…!”teriak seseorang dari luar.
Cepat ia membuka pintu rumahnya, ia mendapati seorang prajurit kerajaan berdiri sambil tersenyum. Ternyata sang raja memanggilnya ke istana, ada sebuah pekerjaan yang harus ia lakukan sepertinya. Sang raja memang sering memintanya untuk mengirimkan surat ke kerajaan yang lain, mencari ilmu yang nantinya akan diajarkan kepada anak-anak maupun pemuda yang lain.
“Wahai Panji… aku mengundangmu karena ada satu hal yangm mungkin hanya kamu sendiri yang mampu mengerjakannya,”
“Pekerjaan apa paduka yang mulia…?!” kata Panji sambil duduk memberi penghormatan
“Ada seseorang yang sepertinya memantrai sahabatku dari selatan…,” kata sang raja sambil menunjukkan orang yang duduk di samping kirinya.
Spontan Panji teringat dengan wajah bangsawan yang ia temui di pasar tadi, serta orang tua yang hendak mengadakan perjalanan menuju daerah selatan.
“Apa yang harus hamba lakukan paduka yang mulia?”
“Antarkan dia pulang sampai istananya supaya bisa ditangani oleh orang sakti kerajaannya… kamu tahu sendiri kan orang sakti atau dukun kita sudah mati,”
“Baik paduka… kapan saya harus mengantarnya?!”
“Sekarang saja…,” pinta bangsawan tersebut.
Panji segera bangkit, ia melayangkan senyuman kepada rajanya dan juga bangsawan tadi. Raja meminjamkannya kuda, sementara bangsawan tersebut naik kereta kuda sambil memegangi tubuhnya yang demam. Sepertinya ada sesuatu yang aneh yang menimpanya, terlebih sebelumnya kondisi tubuhnya sehat dan tampak segar bugar.
Panji bersama tiga orang prajurit kerajaan akhirnya segera melaju, tampak seseorang dari atap istana memperhatikannya. Orang itu kemudian menghilang, dan entah pergi kemana. Dan kehadiran orang tersebut sepertinya dirasakan oleh Panji yang memang memiliki kesaktian orang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi. Hanya saja ia tidak terlalu memikirkan kehadiran aura orang yang tidak dikenalnya, ia terus menjalankan titah rajanya untuk mengantarkan bangsawan tadi menuju kerajaan di selatan.
Di tengah perjalanan ia menemui orang tua yang ia temui di pasar, sepertinya ia sedang beristirahat sejenak sambil meminum airnya.
“Kisana… ikut kami saja, kebetulan kami hendak menuju selatan…,” ajak Panji.
“Terima kasih nak…,”
Orang tua itu duduk di samping kusir, ia kembali membaca sesuatu dari kitab yang dibawanya. Panji pun kembali memimpin rombongan, dan kali ini ia kembali merasakan sesuatu yang aneh. Mirip dengan kehadiran seseorang di istana tadi, ia pun menghentikan laju rombongan sejenak.
Sebuah tombak melesat cepat menuju orang tua yang duduk di samping kusir. Dengan sigap ia menangkap tombak tersebut, sambil berkonsentrasi terhadap serangan selanjutnya. Ketiga prajurit kerajaan mulai berjaga di sekitar kereta kuda, dan Panji sendiri turun dari kudanya kemudian melompat menuju dahan pohon untuk melihat keadaan dari atas.
“Ha… ha… ha…!!!”
Rombongan ini mendengar suara tawa yang sepertinay tidak asing lagi, mirip dengan orang sakti yang mengalahkan dukun kerajaan.
“Suaranya Ki Wiro…,” kata salah seorang prajurit.
Panji kembali berdiri di atas kudanya, ia mengeluarkan segenap kesaktiannya agar mampu melihat Ki Wiro yang memiliki keahlian menghilang. Orang tua yang iktu bersamanya tampak mulai berdiri sambil menggerak-gerakkan sebuah benda di tangan kanannya. Panji meminta ketga prajurit kerajaan untuk berjaga, serta kusir sendiri untuk tetap tenang sambil mengendalikan kuda.
Orang yang disebut Ki Wiro pun akhirnya muncul dengan pakaian hitamnya, ia membawa seekor kelelawar raksasanya. Hewan yang membantunya mengalahkan dukun kerajaan saat itu. Ki Wiro dulunya seorang yang baik, dan entah kenapa sekarang ia berubah terlebih setelah menghilang selama lebih dari dua tahun. Ia langsung menantang dukun kerajaan dan membunuhnya, mengalahkan beberapa orang sakti, sehingga masuk dalam daftar buruan orang yang harus dilenyapkan dari muka bumi.
“Panji Tengkorak… orang sakti yang dikenal sebagai seorang murid dari empat penjuru mata angin… murid dari empat padepokan yang dikenal melahirkan banyak orang sakti… ha… ha… ha…!!!”
“Apa maumu hei… kakek tua?!”
“Ha… ha… ha… pertanyaan yang bagus… aku akan melenyapkanmu dari bumi ini agar mampu menguasi kerajaan… hiaatt!!!”
Ki Wiro langsung menyerang Panji, hanya saja orang tua yang ikut bersama segera menghalangi gerakan Ki Wiro.
“Hei orang tua… aku tidak ada urusan denganmu!” kata Ki Wiro dengan angkuhnya.
“Memang saya tidak ada urusan denganmu… tapi karena kamu menganggu perjalanan kami, maka ini menjadi urusan saya…,”
“Ha… ha… ha…. Orang dari padepokan utara dan Panji Tengkorak… nyawa kalian akan menjadi kesenangan bagiku,”
Ki Wiro kembali menyerang, kali ini ia membuat tubuhnya menjadi dua. Pertarungan sengit itu membuat bangsawan yang ada di kereta kuda segera keluar untuk melihat langsung sambil menahan rasa sakitnya.
Panji mengeluarkan segenap kemampuannya, tapi mungkin kesaktian Ki Wiro jauh lebih hebat. Beberapa kali ia harus menahan sakit dari tendangan maupun pukulan yang diterimanya, sebuah pedang hampir saja menusuk dadanya. Beruntung ia cepat menghindar, nyawanya pun tidak jadi melayang. Sementara orang tua yang iktu bersamanya tampak cukup tenang menghadapi serangan Ki Wiro, malah bahkan hanya dengan satu sabetan kain membuat belehan tubuh Ki Wiro yang lain terjungkal dan akhirnya menghilang.
“Hebat juga kau orang tua…,”
Ki Wiro mulai menggunakan kelelawarnya, dan orang itu mulai bersiap. Panji sendiri tampak menahan rasa sakitnya, ia melangkah perlahan menuju orang tua itu dengan maksud untuk membantunya.
“Matilah kalian berdua…!!!”
Ki Wiro mengerahkan segenap jurusnya untuk mengalahkan keduanya secara langsung. Orang tua yang ikut bersama Panji tampak memejamkan mata sambil menggerakkan benda yang ia pegang di tangan kanannya. Ia mengangkat tangan kanannya dan mulai berteriak,
“Allahu akbar!!!”
‘Duar…!!!’
Sebuah ledakan besar terjadi, ketiga prajurit, bangsawan dan juga kusir segera melindungi diri masing-masing, terutama dari jatuhan dahan dan ranting akibat ledakan tersebut. Dan ternyata ledakan tersebut menandakan berakhirnya pertarungan sengit antara tiga orang sakti. Ki Wiro pun akhirnya mati, tubuhnya hancur berkeping-keping karena sebuah teriakan yang menggelegar, ia dikalahkan oleh orang dari padepokan yang terkenal tidak suka bertarung kecuali dalam keadaan terdesak.
Ketiga prajurit, bangsawan dan kusir pun bergembira. Terlebih bangsawan yang Panji antar, tubuhnya kembali segar, dan mungkin sakitnya karena ulah Ki Wiro yang kini akhirnya almarhum.
“Kisana, mantra apa yang tadi kau ucapkan…?” Tanya Panji.
“Itu bukan mantra nak, tapi… kalimat suci milik Rabb pencipta alam semesta. Perjalanan saya ke selatan sebenarnya untuk menemui Ki Wiro yang menurut kabar berada di daerah selatan. Sudah terlalu banyak kedzaliman maupun kerusakan yang ia perbuat karena ilmu hitamnya…,”
Panji hanya mengangguk sambl tersenyum, sepertinya ia menemukan seorang guru yang akan memberinya ilmu.
“Terima kasih banyak kisana, kalau sudah sampai di kerajaan akan aku beri hadiah yang banyak…,” kata bangsawan yang dikawal oleh rombongan Panji.
“Terima kasih tuan… simpanlah hadiah itu untuk rakyat, tujuan saya yang lain ke selatan juga mencari ramuan. Kebetulan daerah tuan memiliki banyak persediaan ramuan obat yang mujarab…,”
“Baiklah… tinggallah di selatan selama kau suka,” kata bangsawan itu kembali.
Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan dengan tenang, tubuh Ki Wiro sendiri akhirnya menjadi abu dan hilang diterpa angin. Orang tua itu kembali membaca mantra yang akhirnya dikenal sebagai do’a oleh Panji. Kedatangan mereka disambut hangat oleh raja daerah selatan, terlebih sosok Panji yang begitu terkenal serta orang dari padepokan utara yang biasa berkunjung ke selatan untuk mengajarkan sesuatu yang akhirnya dikenal dengan Islam. Orang tua itu akhirnya tinggal di sebuah rumah, dekat dengan tempat tinggal bangsawan yang diantar tadi. Ia mulai mencari bahan-bahan yang akan diramu menjadi obat. Panji sendiri mulai menerima perawatan dari tabib kerajaan, ia beberapa kali harus menahan sakit maupun pahitnya obat yang tabib kerajaan berikan.
Kehadiran Panji sepertinya menarik hati anak bangsawan yang dikawalnya, ia pun bercerita kepada ayahnya mengenai sosok Panji yang akhirnya direspon baik oleh sang ayah. Mendengar bahwa anak bangsawan yang dikawalnya menyukainya, Panji segera mengadukan hal tersebut kepada guru barunya,
“Guru… apa yang harus aku lalukan? Aku masih merasa belum siap untuk menikah…,”
“Nak… menikah tidak hanya melampiaskan hawa nafsu atau memperoleh keturunan semata, tapi jauh dari itu… ia yang akan membuatmu mampu mengerti ilmu yang akan saya ajarkan selanjutnya,”
Panji pun tersenyum dengan jawaban yang diberikan gurunya, ia pun mengajukan lamaran kepada anak bangsawan yang terkenal karena kecantikan serta sifat pemalunya. Dengan modal sebuah kitab yang akhirnya ia kenal sebagai Al-Qur’an, ia pun meminang putri bangsawan yang dikawalnya dulu ketika diserang oleh Ki Wiro.
Beberapa tahun setelah pernikahannya, ia pun akhirnya diangkat sebagai raja karena kejujuran, ilmu serta kharismanya. Bersama dengan seorang keturunan laki-laki yang kembali diajarkan oleh gurunya, yakni orang tua yang ikut bersamanya ketika mengawal bangsawan. Ia namai anaknya Muhammad atas permintaan gurunya, bersamaan dengan itu, ia pun merubah namanya menjadi Ihsan Abdurrahman. Ihsan adalah nama gurunya, dan Abdurrahman adalah nama guru dari gurunya tersebut. Perkembangan Islam pun semakin pesat sejak kerajaan dipimpinnya, kepercayaan menyembah pohon maupun orang sakti ditinggalkan oleh penduduk daerah selatan. Para murid dari padepokan utara pun semakin banyak yang berdatangan, dan mulai banyak belajar ilmu bela diri dari padepokan selatan yang kini bernuansa islami.
Rumah Panji yang dulu pun akhirnya dirobohkan, bersama dengan tengkorak-tengkorak koleksinya yang akhirnya dikubur dekat rumah lamanya. Burung kakak tua peliharaannya pun sudah pergi entah kemana sejak ia pergi dan menetap di daerah selatan, beberapa kali ia merenungi kepergian burung kesayangannya. Kini kerajaan yang dipimpinya berkembang menjadi kerajaan Islam yang pertama, kerajaan Islam yang mungkin untuk pertama kalinya dipimpin oleh seorang rakyat jelata yang yatim piatu. Ia pun meraih segala kenikmatan dengan ilmunya, serta kemauannya untuk memperdalam ilmu sekaligus mengajarkannya. Istri cantiknya kini mengenakan kain yang dikenal sebagai jilbab, ia pun merubah namanya dari yang semula adalah Sri Lestari menjadi Aisyah. Kini kerajaan selatan bernama ‘Kerajaan Umar’, nama Umar diambil dari sosok yang selalu gurunya ceritakan sebagai pemimpin terbaik di masanya, sosok Umar bin Khatab sang khalifah kedua setelah Rasulullah SAW wafat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar