Oleh Tri Asmoro <http://www.arrisalah.net/author/tri-asmoro/>
Apa yang diingat oleh manusia dewasa tentang orang tua mereka, saat
kanak-kanak dahulu, yang membahagiakan? Banyak studi menunjukkan, betapa
mereka merekam saat-saat kebersamaan sebagai kenangan tak terlupakan, bukan
uang atau barang yang pernah mereka terima. Kalaupun nama barang atau uang
disebutkan, itu lebih sebagai simbol perhatian, sebagai pelengkap saat-saat
kebersamaan yang mereka nikmati.
Kini, kita telah menjadi orang tua, para ayah tepatnya. Dan seharusnya kita
mengerti, bahwa kenangan terbaik dari masa kanak-kanak kita, hampir tidak
pernah berhubungan dengan uang atau barang. Namun member perhatian dengan
kebersamaan menjalani aktivitas bersama orang-orang terkasih. Dan sayangnya,
banyak di antara kita yang tidak menyadari pentingnya menyediakan waktu
untuk keluarga, kemudian menikmati kebersamaan bersama mereka.
Masyarakat materialis di sekitar kita, membawa pesan belanja yang akut.
Menimbulkan kesan bahwa membeli barang adalah simbol kesuksesan hidup.
Kemudian, banyak orangtua yang kehilangan rasa percaya diri saat mendapati
diri mereka tidak bisa mengikuti pola itu. Merasa bersalah karena tidak bisa
memenuhi permintaan salah satu anggota keluarga tentang barang atau uang.
Padahal mereka memiliki hal yang, insyaallah, jauh lebih berharga daripada
pemberian barang-barang kepada anak dan istri; yaitu diri dan waktu mereka!
Maka siapkah kita, memberikan perjalanan yang akan selalu dikenang, dari
kebersamaan yang kita jalani bersama anggota keluarga? Atau, kita malah
tidak bisa menikmati saat-saat seperti itu? Padahal, ialah kunci kenyamanan
itu, lebih dari sekedar menghujani anggota keluarga dengan hadiah barang dan
uang. Yakinlah, keduanya tidak bisa membeli kebahagiaan, jika tanpa
ketulusan, perhatian, dan kebersamaan.
Kebersamaan adalah awal dari sebuah komunikasi yang efektif. Jika ia
berjalan dengan kuantitas dan kualitas yang terjaga, komunikasi antar
anggota keluarga, insya Allah, akan membaik bersamaan dengan berjalannya
waktu. Dengan kebersamaan, kita akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk
berbicara dan mengenal anggota keluarga yang lain lebih mendalam. Lebih
berpeluang untuk berbicara dari hati ke hati, hal yang menjadi esensi
hubungan emosional antar sesama aggota keluarga.
Selain itu, perasaan tidak nyaman yang mungkin timbul dalam proses
bemuamalah dengan anggota keluarga, menemukan tempat untuk disalurkan. Rasa
tidak puas, juga amarah yang tertahan hingga menyesakkan dada, seringkali
menjadi penyebab perceraian jika tidak diselesaikan. Dan kebersamaan menjadi
alat untuk menguraikannya pelan-pelan. Mengasah kepekaan dan membangun
hubungan emosional yang lebih sehat.
Pernahkah kita mendengar tentang pasangan yang akhirnya bercerai, meski
mengaku masih saling mencintai dan tidak membenci pasangannya? Mereka hanya
tidak terhubung secara emosional. Tidak lagi saling peduli akan kebutuhan
‘rasa’ yang mulai hambar, serta energi untuk bertahan yang mulai melemah dan
pudar. Bukankah Jamilah binti Ubay, istri shahabat Tsabit bin Qais, serta
shahabiah istri Utsman bin Mazh’un, mengeluhkan suami-suami mereka karena
kehilangan kebersamaan, meski atas nama beribadah?
Para pembunuh berdarah dingin, pelaku tindak kriminal, para remaja yang
‘nakal’, hingga orang-orang yang stress dan depresi, banyak kita temukan di
sekitar kita. Mereka memiliki ciri yang hampir sama; terisolasi dari
lingkungan, merasa kesepian, dan terasing dari orang-orang terdekatnya.
Mereka kehilangan hubungan emosional yang dalam dan menyehatkan mental.
Mungkin mereka memiliki rumah yang megah. Mungkin perabotan mewah. Mungkin
juga ibu dan ayah. Namun mereka terasing di tengah semua yang ada. Mereka
kehilangan meski terlihat memiliki. Dan meski tinggal bersama, mereka,
sebenarnya, kesepian dan sendiri.
Kebersamaan yang baik menjadi penawar atas semua masalah itu. Komunikasi
yang terjalin, kehangatan yang tercipta, serta kenyamanan yang dirasa,
membuat seluruh anggota keluarga menjadi saling menghargai kehadiran,
menajamkan kepekaan akan perasaan orang lain, hingga perasaan diterima dan
dicintai. Menjaga kadar hormon oksitosin, yang membuat seluruh anggota
keluarga merasa ‘terhubung’.
Selain itu, kebersamaan yang positif akan menumbuhkan kerukunan, meski
kadang diselingi perbedaan pendapat. Para anggota keluarga juga akan, insya
Allah, mengembangkan jati diri mereka sebagai manusia yang memiliki akar dan
tempat di dalam sejarah kehidupan. Tidak tercampakkan dan kehilangan jejak
sejarah. Mereka, insyaallah, akan bangga menyebutkan pohon sejarah keluarga
mereka yang memang dirawat untuk dibanggakan.
Dan seperti juga pertunjukan penghargaan, kebersamaan akan menimbulkan efek
gelombang. Makin melebar dan meluas pengaruh yang diakibatkannya, jika ia
dikerjakan. Bahkan, seringkali ia akan melahirkan kejutan-kejutan manis yang
tidak terduga sebelumnya. Secara alamiah, kita akan menemukan harta karun
yang bahkan tidak kita cari; hubungan personal yang semakin membaik dari
hari ke hari, dari waktu ke waktu. Hal yang bahkan tidak ditemukan oleh
banyak keluarga yang mati-matian mencarinya, dalam harta dan gengsi material
yang palsu. Sedang kepuasan berkeluarga itu ada disini, di kebersamaan yang
dinikmati oleh seluruh anggotanya.
Marilah sebagai para pemimpin keluarga, kita tumbuhkan aktivitas bersama
dengan anggota keluarga. Yang fleksibel dan tidak kaku. Yang positif dan
sehat. Alih-alih sebuah keistimewaan, ia adalah sebuah kebutuhan, kuantitas
maupun kualitasnya. Jadi, menikmati kebersamaan keluarga, siapa yang
mau?(Tri Asmoro)
http://www.arrisalah.net/kajian/2011/03/menikmati-kebersamaan.html
Senin, 28 Maret 2011
GUBERNUR YANG MISKIN
Pada suatu kesempatan, Umar -rodhiallahu'anhu- mengumpulkan penduduk kota Hims di suatu tempat guna mendengar secara langsung kesaksian mereka tentang kinerja para staf pemerintahan disana. Setelah mereka bekumpul, beliau -rodhiallahu'anhu- melontarkan pertanyaan,
“Wahai penduduk Hims, bagaimana pendapat kalian mengenai kinerja gubernur kalian?”
Mereka menjawab, “Wahai amirul mukminin, ada empat hal yang kami keluhkan tentang gubernur kami. Adapun yang pertama, dia baru keluar dari rumahnya untuk melayani kami dikala matahari sudah tinggi, dan itu terjadi setiap hari”
“Benar-benar keterlaluan”,kata Umar menanggapi keluhan mereka.
Keluhan pertama ini membuat tekanan darah beliau meningkat, pertanda rasa marah dan kecewa mulai menghampiri dirinya.
“Lalu apa lagi?”,tanyanya.
“Yang kedua, apabila malam tiba, dia tidak mau melayani siapapun”, jawab mereka.
“Ini juga sudah kelewatan”,tanggapnya.
Keluhan kedua ini membuatnya semakin kecewa.
“Lalu apa lagi?”,tanyanya lebih lanjut.
“Yang ketiga, dalam satu bulan, ada satu hari dimana dia tidak melayani kami sama sekali”,jawab mereka.
“Ini sudah tidak wajar”,kata Umar -rodhiallahu'anhu- yang makin bertambah kecewa.
“Lalu apa lagi?” tanyanya kembali.
“Yang keempat, saat bertugas dia sering mendadak pingsan tak sadarkan diri”, jawab mereka.
Keempat keluhan ini benar-benar mengganggu perasaan Umar. Pasalnya, Sa’id bin ‘Amir adalah salah satu sahabat Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- yang terpercaya. Umar sangat mengetahui reputasinya selama ini. Rasanya tidakmungkin dia berbuat demikian kecuali ada alasan kuat yang mendorongnya. Akhirnya, dia memanggil Sa’id bin ‘Amir sang gubernur guna dimintai keterangan mengenai keluhan-keluhan penduduk Hims atas kinerjanya selama ini. Tidak tanggung-tanggung, dia memanggilnya dan mengadilinya langsung dihadapan penduduk kota.
Sebelum memulai sesi pengadilan, Umar sempat melantunkan doa,”Ya Allah, Janganlah kau jadikan penilaianku selama ini terhadap dirinya meleset”.
Walaupun kritikan-kritikan pedas yang tidak menyenangkan hati tadi datang bagaikan hujan anak panah, namun di sudut hatinya Umar masih menyimpan prasangka baik terhadap Sa’id. Tidak mungkin penilainnya terhadap sahabat yang satu ini meleset. Pasti ada alasan kuat yang membuatnya bertingkah demikian.
“rakyat Hims sekalian… coba sebutkan keluhan-keluahan kalian tadi”, kata Umar memulai persidangan.
“dia baru keluar dari rumahnya untuk melayani kami dikala matahari sudah tinggi”, jawab mereka.
“Sa’id, apa pembelaanmu?”,tanyanya.
“wahai amirul mukminin, Demi Allah, sebenarnya aku benci mengatakan hal ini, namun apa daya, aku akan mengatakannya demi membela diri”,jawab Sa’id.
“Aku tidak memiliki pembantu di rumah. Setiap pagi aku membuat sendiri adonan roti untuk keluargaku, kemudian aku juga yang memanggangnya hingga matang. Setelah semuanya selesai, aku lantas berwudhu kemudian keluar melayani mereka”,lanjutnya.
Mendengar jawaban Sa’id tersebut hati Umar mulai terobati. Ternyata benar, penilaiannya selama ini tidak meleset, dia berbuat demikian bukan karena dorongan rasa malas dan ingin bersantai-santai. Kejujuranlah yang mendorongnya. Karena sifat jujur dan amanahnya itulah dia tidak berani mengambil uang rakyat sepeserpun untuk kepentingan pribadi. Oleh sebab itulah dia tetap hidup miskin dan tidak memiliki pembantu. Kalausaja dia tidak jujur dan amanah, tentu sekarang dia sudah hidup nyaman dikelilingi para pelayan.
“lantas apa lagi?”,Tanya Umar kepada rakyat Hims.
“apabila malam tiba dia tidak mau melayani siapapun” jawab mereka.
“apa pembelaanmu, Sa’id?”
”lagi-lagi aku benci untuk menjawabnya, tapi apa boleh buat, aku terpaksa akan menjawabnya demi membela diri”, Jawab Sa’id. “aku telah mengorbankan waktu siangku demi melayani mereka, jadi sudah sewajarnya bila waktu malamku aku khususkan untuk bermunajat kepada Allah ta'ala”.
Untuk kedua kalinya, jawaban Sa’id bagaikan semilir angin yang mengusir hawa panas dari hati Umar. Memang beginilah seharusnya perilaku orang-orang solih tamatan madrasah Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam-. Mereka tidak memandang urusan dunia yang membuat mereka super sibuk sebagai uzur untuk melalaikan hak-hak Allah ta'ala.
Kesemrawutan problem sehari-hari, gejolak hidup yang tak lekas pergi, hiruk pikuk alam fana ini, serta beribu urusan yang lalu lalang di kepala mereka, semua itu akan mereda begitu malam tiba, berganti dengan nuansa khusyu’ berbalut alunan senandung al- qur’an. Rintihan lirih ketika bermunajat, isak tangis karena takut akhirat, berpadu dengan tasbih dan istighfar hingga penghujung malam, itu semua menjadi melodi tak terpisahkan dari kehidupan malam mereka. Andaisaja kita bisa menyaksikan langsung rupa mereka di pagi hari, niscaya kita akan melihat wajah-wajah berhiaskan garis-garis hitam membujur dari mata hingga pipi. Itulah bekas banjir air mata, saking banyaknya mereka menangis hingga aliran air mata meninggalkan bekas seperti parit di wajah.
“apalagi?”,Tanya Umar melanjutkan sidang.
“dalam satu bulan, ada satu hari dimana dia tidak melayani kami sama sekali”,jawab mereka.
“apa pembelaanmu, Sa’id?”
“wahai amirul mukminin, aku tidak memiliki pelayan yang mencucikan pakaianku, dan juga aku tidak memiliki pakaian lain selain yang menempel di badanku ini. Oleh karenanya, aku mencuci pakaianku ini satu kali dalam sebualan. Pada hari itu aku mencucinya, kemudian aku menungguinya hingga mengering pada sore hari”, jawab Sa’id.
“apalagi?”, lanjut Umar kepada penduduk Hims.
“dia sering sekali mendadak pingsan tak sadarkan diri”, jawab mereka.
“apa tanggapanmu, Sa’id?”
“wahai amirul mukminin, aku telah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Khubaib Al-anshory menemui ajalnya”, jawab Sa’id.
“Ketika itu aku masih dalam keadaan musyrik. Aku menyaksikan orang-orang kafir Quraisy mencincang tubuhnya hidup-hidup seraya berkata,”wahai Khubaib! Apa kau rela andai saja Muhammad menggantikan posisimu sekarang ini?”. Khubaib menjawab,”demi Allah, jangankan posisiku sekarang, sedikit pun aku tak rela Muhammad tertusuk duri sementara aku duduk di rumah bersama anak dan istriku”.
Setiap kali aku mengingat peristiwa itu, aku selalu dirundung penyesalan. Menyesal karena aku tidak menolongnya. Menyesal karena aku ketika itu bukan termasuk golongan orang beriman. Aku khawatir, jangan-jangan Allah ta'ala tidak akan mengampuni dosaku itu. Itulah yang membuat sering pingsan”.
Mendengar jawaban-jawaban Sa’id diatas, hati Umar berbunga-bunga. ”segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan penilaianku terhadap dirinya meleset”, kalimat itulah yang spontan terlontar dari lisannya. Betapa bahagia dia, ternyata tudingan-tudingan penduduk Hims tehadap orang kepercayaannya ini hanya salah paham belaka.
Seusai sidang, Umar memerintahkan salah seorang pegawainya mengirimkan sekantung uang sejumlah seribu dinar ke rumah Sa’id seraya berpesan,
“wahai Sa’id, gunakanlah uang ini untuk membantu keperluan hidupmu”.
Sesampai di rumah, istri Sa’id berkata, “Alhamdulillah, akhirnya kita bisa membeli budak pelayan, sehingga engkau tidak perlu lagi kerepotan”.
“Wahai istriku, aku punya usul lain”, tanggap Sa’id. “Kita investasikan uang ini di tangan orang-orang. Lalu, jika suatu saat nanti kita dalam kondisi terdesak membutuhkan uang, baru kita ambil laba dari investasi ini. Bagaimana menurutmu?”,usulnya.
“wah, setuju sekali”, jawab sang istri spontan.
Istrinya tidak menyadari maksud Sa’id yang sebenarnya. Gambaran yang ada di benaknya, Sa’id akan menanamkan modal pada beberapa pedagang. Dengan begitu, seribu dinar tadi akan berkembang dan semakin banyak, dan menjadi tabungan yang bisa diambil sewaktu-waktu saat kebutuhan mendesak. Padahal maksud Sa’id yang sesungguhnya, dia ingin menyedekahkan seribu dinar itu kepada fakir miskin. Yang nantinya pada hari kiamat, dimana manusia dalam kondisi sangat terdesak membutuhkan amal soleh, sedekah seribu dinar tadi akan sangat menolong mereka.
Tanpa pikir panjang, Sa’id langsung keluar dan memanggil salah seorang kepercayaanya. Lalu, seribu dinar tadi dibagi-bagi dalam beberapa kantung kecil.
“kantung yang ini, tolong berikan kepada janda-janda miskin di kabilah fulan, yang ini, berikan kepada fakir miskin di kabilah fulan, yang ini, berikan kepada keluarga fulan yang sedang terkena musibah”, perintah Sa’id. Begitulah seterusnya, hingga yang tersisa tinggal beberapa keping uang dinar.
Lantas ia pulang dan memberikan sisa uang tadi kepada istrinya.”gunakan sisa uang ini untuk memenuhi kebutuhan kita”, katanya.
“Lho, kau kemanakan uang uang seribu dinar tadi?”, tanya sang istri keheranan.
“kita akan mengambil uang itu suatu saat nanti, di saat kita dalam keadaan sangat terdesak”, jawabnya sambil berlalu menuju tempat kerjanya.
Semoga rahmat Allah ta'ala selau tercurah kepada pemimpin-pemimpin semacam ini.
Disarikan dari buku: Shifatus Shofwah, karya Imam Ibnul Jauzi –rohimahullahu- halaman 254-247
(Dikutip dengan penyesuaian dari tulisan Holy Trooper dengan judul "Si Gubernur Miskin")
---
Syaikhul_Muqorrobin
BatikTen Owner
http://batikten.multiply.com
“Wahai penduduk Hims, bagaimana pendapat kalian mengenai kinerja gubernur kalian?”
Mereka menjawab, “Wahai amirul mukminin, ada empat hal yang kami keluhkan tentang gubernur kami. Adapun yang pertama, dia baru keluar dari rumahnya untuk melayani kami dikala matahari sudah tinggi, dan itu terjadi setiap hari”
“Benar-benar keterlaluan”,kata Umar menanggapi keluhan mereka.
Keluhan pertama ini membuat tekanan darah beliau meningkat, pertanda rasa marah dan kecewa mulai menghampiri dirinya.
“Lalu apa lagi?”,tanyanya.
“Yang kedua, apabila malam tiba, dia tidak mau melayani siapapun”, jawab mereka.
“Ini juga sudah kelewatan”,tanggapnya.
Keluhan kedua ini membuatnya semakin kecewa.
“Lalu apa lagi?”,tanyanya lebih lanjut.
“Yang ketiga, dalam satu bulan, ada satu hari dimana dia tidak melayani kami sama sekali”,jawab mereka.
“Ini sudah tidak wajar”,kata Umar -rodhiallahu'anhu- yang makin bertambah kecewa.
“Lalu apa lagi?” tanyanya kembali.
“Yang keempat, saat bertugas dia sering mendadak pingsan tak sadarkan diri”, jawab mereka.
Keempat keluhan ini benar-benar mengganggu perasaan Umar. Pasalnya, Sa’id bin ‘Amir adalah salah satu sahabat Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- yang terpercaya. Umar sangat mengetahui reputasinya selama ini. Rasanya tidakmungkin dia berbuat demikian kecuali ada alasan kuat yang mendorongnya. Akhirnya, dia memanggil Sa’id bin ‘Amir sang gubernur guna dimintai keterangan mengenai keluhan-keluhan penduduk Hims atas kinerjanya selama ini. Tidak tanggung-tanggung, dia memanggilnya dan mengadilinya langsung dihadapan penduduk kota.
Sebelum memulai sesi pengadilan, Umar sempat melantunkan doa,”Ya Allah, Janganlah kau jadikan penilaianku selama ini terhadap dirinya meleset”.
Walaupun kritikan-kritikan pedas yang tidak menyenangkan hati tadi datang bagaikan hujan anak panah, namun di sudut hatinya Umar masih menyimpan prasangka baik terhadap Sa’id. Tidak mungkin penilainnya terhadap sahabat yang satu ini meleset. Pasti ada alasan kuat yang membuatnya bertingkah demikian.
“rakyat Hims sekalian… coba sebutkan keluhan-keluahan kalian tadi”, kata Umar memulai persidangan.
“dia baru keluar dari rumahnya untuk melayani kami dikala matahari sudah tinggi”, jawab mereka.
“Sa’id, apa pembelaanmu?”,tanyanya.
“wahai amirul mukminin, Demi Allah, sebenarnya aku benci mengatakan hal ini, namun apa daya, aku akan mengatakannya demi membela diri”,jawab Sa’id.
“Aku tidak memiliki pembantu di rumah. Setiap pagi aku membuat sendiri adonan roti untuk keluargaku, kemudian aku juga yang memanggangnya hingga matang. Setelah semuanya selesai, aku lantas berwudhu kemudian keluar melayani mereka”,lanjutnya.
Mendengar jawaban Sa’id tersebut hati Umar mulai terobati. Ternyata benar, penilaiannya selama ini tidak meleset, dia berbuat demikian bukan karena dorongan rasa malas dan ingin bersantai-santai. Kejujuranlah yang mendorongnya. Karena sifat jujur dan amanahnya itulah dia tidak berani mengambil uang rakyat sepeserpun untuk kepentingan pribadi. Oleh sebab itulah dia tetap hidup miskin dan tidak memiliki pembantu. Kalausaja dia tidak jujur dan amanah, tentu sekarang dia sudah hidup nyaman dikelilingi para pelayan.
“lantas apa lagi?”,Tanya Umar kepada rakyat Hims.
“apabila malam tiba dia tidak mau melayani siapapun” jawab mereka.
“apa pembelaanmu, Sa’id?”
”lagi-lagi aku benci untuk menjawabnya, tapi apa boleh buat, aku terpaksa akan menjawabnya demi membela diri”, Jawab Sa’id. “aku telah mengorbankan waktu siangku demi melayani mereka, jadi sudah sewajarnya bila waktu malamku aku khususkan untuk bermunajat kepada Allah ta'ala”.
Untuk kedua kalinya, jawaban Sa’id bagaikan semilir angin yang mengusir hawa panas dari hati Umar. Memang beginilah seharusnya perilaku orang-orang solih tamatan madrasah Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam-. Mereka tidak memandang urusan dunia yang membuat mereka super sibuk sebagai uzur untuk melalaikan hak-hak Allah ta'ala.
Kesemrawutan problem sehari-hari, gejolak hidup yang tak lekas pergi, hiruk pikuk alam fana ini, serta beribu urusan yang lalu lalang di kepala mereka, semua itu akan mereda begitu malam tiba, berganti dengan nuansa khusyu’ berbalut alunan senandung al- qur’an. Rintihan lirih ketika bermunajat, isak tangis karena takut akhirat, berpadu dengan tasbih dan istighfar hingga penghujung malam, itu semua menjadi melodi tak terpisahkan dari kehidupan malam mereka. Andaisaja kita bisa menyaksikan langsung rupa mereka di pagi hari, niscaya kita akan melihat wajah-wajah berhiaskan garis-garis hitam membujur dari mata hingga pipi. Itulah bekas banjir air mata, saking banyaknya mereka menangis hingga aliran air mata meninggalkan bekas seperti parit di wajah.
“apalagi?”,Tanya Umar melanjutkan sidang.
“dalam satu bulan, ada satu hari dimana dia tidak melayani kami sama sekali”,jawab mereka.
“apa pembelaanmu, Sa’id?”
“wahai amirul mukminin, aku tidak memiliki pelayan yang mencucikan pakaianku, dan juga aku tidak memiliki pakaian lain selain yang menempel di badanku ini. Oleh karenanya, aku mencuci pakaianku ini satu kali dalam sebualan. Pada hari itu aku mencucinya, kemudian aku menungguinya hingga mengering pada sore hari”, jawab Sa’id.
“apalagi?”, lanjut Umar kepada penduduk Hims.
“dia sering sekali mendadak pingsan tak sadarkan diri”, jawab mereka.
“apa tanggapanmu, Sa’id?”
“wahai amirul mukminin, aku telah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Khubaib Al-anshory menemui ajalnya”, jawab Sa’id.
“Ketika itu aku masih dalam keadaan musyrik. Aku menyaksikan orang-orang kafir Quraisy mencincang tubuhnya hidup-hidup seraya berkata,”wahai Khubaib! Apa kau rela andai saja Muhammad menggantikan posisimu sekarang ini?”. Khubaib menjawab,”demi Allah, jangankan posisiku sekarang, sedikit pun aku tak rela Muhammad tertusuk duri sementara aku duduk di rumah bersama anak dan istriku”.
Setiap kali aku mengingat peristiwa itu, aku selalu dirundung penyesalan. Menyesal karena aku tidak menolongnya. Menyesal karena aku ketika itu bukan termasuk golongan orang beriman. Aku khawatir, jangan-jangan Allah ta'ala tidak akan mengampuni dosaku itu. Itulah yang membuat sering pingsan”.
Mendengar jawaban-jawaban Sa’id diatas, hati Umar berbunga-bunga. ”segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan penilaianku terhadap dirinya meleset”, kalimat itulah yang spontan terlontar dari lisannya. Betapa bahagia dia, ternyata tudingan-tudingan penduduk Hims tehadap orang kepercayaannya ini hanya salah paham belaka.
Seusai sidang, Umar memerintahkan salah seorang pegawainya mengirimkan sekantung uang sejumlah seribu dinar ke rumah Sa’id seraya berpesan,
“wahai Sa’id, gunakanlah uang ini untuk membantu keperluan hidupmu”.
Sesampai di rumah, istri Sa’id berkata, “Alhamdulillah, akhirnya kita bisa membeli budak pelayan, sehingga engkau tidak perlu lagi kerepotan”.
“Wahai istriku, aku punya usul lain”, tanggap Sa’id. “Kita investasikan uang ini di tangan orang-orang. Lalu, jika suatu saat nanti kita dalam kondisi terdesak membutuhkan uang, baru kita ambil laba dari investasi ini. Bagaimana menurutmu?”,usulnya.
“wah, setuju sekali”, jawab sang istri spontan.
Istrinya tidak menyadari maksud Sa’id yang sebenarnya. Gambaran yang ada di benaknya, Sa’id akan menanamkan modal pada beberapa pedagang. Dengan begitu, seribu dinar tadi akan berkembang dan semakin banyak, dan menjadi tabungan yang bisa diambil sewaktu-waktu saat kebutuhan mendesak. Padahal maksud Sa’id yang sesungguhnya, dia ingin menyedekahkan seribu dinar itu kepada fakir miskin. Yang nantinya pada hari kiamat, dimana manusia dalam kondisi sangat terdesak membutuhkan amal soleh, sedekah seribu dinar tadi akan sangat menolong mereka.
Tanpa pikir panjang, Sa’id langsung keluar dan memanggil salah seorang kepercayaanya. Lalu, seribu dinar tadi dibagi-bagi dalam beberapa kantung kecil.
“kantung yang ini, tolong berikan kepada janda-janda miskin di kabilah fulan, yang ini, berikan kepada fakir miskin di kabilah fulan, yang ini, berikan kepada keluarga fulan yang sedang terkena musibah”, perintah Sa’id. Begitulah seterusnya, hingga yang tersisa tinggal beberapa keping uang dinar.
Lantas ia pulang dan memberikan sisa uang tadi kepada istrinya.”gunakan sisa uang ini untuk memenuhi kebutuhan kita”, katanya.
“Lho, kau kemanakan uang uang seribu dinar tadi?”, tanya sang istri keheranan.
“kita akan mengambil uang itu suatu saat nanti, di saat kita dalam keadaan sangat terdesak”, jawabnya sambil berlalu menuju tempat kerjanya.
Semoga rahmat Allah ta'ala selau tercurah kepada pemimpin-pemimpin semacam ini.
Disarikan dari buku: Shifatus Shofwah, karya Imam Ibnul Jauzi –rohimahullahu- halaman 254-247
(Dikutip dengan penyesuaian dari tulisan Holy Trooper dengan judul "Si Gubernur Miskin")
---
Syaikhul_Muqorrobin
BatikTen Owner
http://batikten.multiply.com
Rabu, 16 Maret 2011
Islam, Pemuda dan Geologi: Panji Tengkorak
Islam, Pemuda dan Geologi: Panji Tengkorak:
Pagi yang sangat indah, dan begitulah adanya. Sama seperti hari-hari biasanya, dan mungkin masih ada kesempatan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih berarti. Beberapa orang prajurit dengan pakaian lengkap tampak sedang berjalan cepat menuju pasar, mereka menemani seorang bangsawan dari daerah yang lain. Hal ini nampak dari pakaian yang berbeda dari yang biasa dikenakan oleh kalangan petinggi istana disini. Kedatangan bangsawan tersebut sontak membuat banyak lidah mengeluarkan kata-kata yang tak jelas maknanya, pertanyaa kesana-kemari dan juga sesuatu yang mungkin berakibat fatal apabila diketahui oleh petinggi istana yang melintas.
Pagi yang sangat indah, dan begitulah adanya. Sama seperti hari-hari biasanya, dan mungkin masih ada kesempatan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih berarti. Beberapa orang prajurit dengan pakaian lengkap tampak sedang berjalan cepat menuju pasar, mereka menemani seorang bangsawan dari daerah yang lain. Hal ini nampak dari pakaian yang berbeda dari yang biasa dikenakan oleh kalangan petinggi istana disini. Kedatangan bangsawan tersebut sontak membuat banyak lidah mengeluarkan kata-kata yang tak jelas maknanya, pertanyaa kesana-kemari dan juga sesuatu yang mungkin berakibat fatal apabila diketahui oleh petinggi istana yang melintas.
Dari tempat lain tampak seorang pemuda, dengan pakaian seadanya melintas, dan tempat yang dituju adalah pasar tersebut. Ia membawa seekor burung kakak tua, burung yang ia dapatkan secara cuma-cuma dari sebuah sayembara istana beberapa bulan yang lalu. Ketika itu ia mampu membalas segala macam pantun yang dikeluarkan oleh seorang penyair istana yang terkenal kepandaiannya dalam merangkai kata serta berpantun ria. Pemuda ini dikenal sebagai ‘Panji Tengkorak’, dinamai demikian karena hobinya mengoleksi tulang kepala atau tengkorak hewan. Beberapa hari yang lalu ia mendapatkan tengkorak manusia dari seorang dukun sakti yang akhirnya mati karena kalah tanding dari seorang yang pintar.
“Oi Panji…!” teriak seorang penjual makanan.
“Yo mas… ono opo toh?!”
“Iku… ono wong sing daerah luar,” kata penjual itu sambil menunjuk ke arah bangsawan yang dikawal oleh prajurit kerajaan.
Panji Tengkorak hanya mengangguk perlahan, sepertinya ia mengenal pakaian yang bangsawan itu kenakan. Mirip dengan seseorang yang biasa ia temui ketika berpetualang ke daerah lain sambil mencari ilmu ataupun informasi berharga. Ia kembali melangkah menuju tempat lain, dan kali ini ia menemui seseorang berpakian serba putih, dan sepertinya bukan dari daerah sini. Orang itu membawa sebuah kitab, dan tampak sedang asyik komat-kamit membaca mantra menurutnya.
“Kisana… dukun ya?!”
Sontak pertanyaan Panji membuat orang tersebut terdiam sejenak, ia memandang wajah Panji sambil tersenyum.
“Saya sedang berdo’a sambil mengingat Allah… Tuhan Yang Maha Esa,”
“Wah… kisana dari padepokan di utara ya?!”
“Iya… saya sedang mengadakan perjalanan menuju selatan,” orang tua itu kembali melanjutkan kegiatannya, sementara Panji Tengkorak kembali menuju tempat yang lain.
Panji pun akhirnya sampai di sebuah sungai yang cukup jernih, ia melihat ikan mas berkejaran. Cepat ia membasuh mukanya, dan bayangan orang tua tadi seakan membuatnya hendak melakukan sesuatu.
“Hei kakak tua…!!! Kalo aku belajar sama orang tua itu bagus nggak?”
“Tidak tahu… tidak tahu…! Cari guru lain saja…!” burung kakak tuanya mengepakkan sayap dan akhirnya terbang menuju ranting.
“Tapi… aku mau belajar lebih banyak lagi,”
Panji terdiam sejenak, ia kembali membasuh mukanya. Perlahan ia pun mulai kembali melangkah menuju rumahnya. Di rumah ia sama sekali tidak memiliki sanak keluarga, ia tinggal sendirian di sebuah gubuk terpencil di daerahnya. Di kanan dan kirinya hanya pohon dan juga pematang sawah milik kerajaan yang menghampar luas. Ia diberi kepercayaan untuk menjaga sawah milik pembesar istana, pekerjaan sampingannya selain berjualan di pasar ketika modal dating. Maklum ia tidak memiliki banyak uang, tapi hidupnya selalu cukup dan mungkin jauh lebih baik dari kebanyakan penjual di pasar.
Dari kebanyakan pemuda di daerahnya, Panji terkenal dengan ketampanannya, tapi sampai saat ini berumur 26 tahun pun Panji masih beum beristri. Setiap kali ia menemui perempuan cantik, sama sekali terbesit dalam pikirannya untuk mencintai. Padahal cukup banyak perempuan yang menyukainya, terlebih ketika Panji memainkan serulingnya. Alat musik yang ia dapatkan dari padepokan sebelah barat, yang memiliki kekerabatan dengan Kerajaan Padjadjaran. Ia pun pernah berhasrat menuju daerah tersebut, mengingat sang raja atau prabunya adalah seorang yang sakti dan kesaktiannya jauh melebihi raja-raja di daerah sekitar tempat tinggalnya.
“Panji…!”teriak seseorang dari luar.
Cepat ia membuka pintu rumahnya, ia mendapati seorang prajurit kerajaan berdiri sambil tersenyum. Ternyata sang raja memanggilnya ke istana, ada sebuah pekerjaan yang harus ia lakukan sepertinya. Sang raja memang sering memintanya untuk mengirimkan surat ke kerajaan yang lain, mencari ilmu yang nantinya akan diajarkan kepada anak-anak maupun pemuda yang lain.
“Wahai Panji… aku mengundangmu karena ada satu hal yangm mungkin hanya kamu sendiri yang mampu mengerjakannya,”
“Pekerjaan apa paduka yang mulia…?!” kata Panji sambil duduk memberi penghormatan
“Ada seseorang yang sepertinya memantrai sahabatku dari selatan…,” kata sang raja sambil menunjukkan orang yang duduk di samping kirinya.
Spontan Panji teringat dengan wajah bangsawan yang ia temui di pasar tadi, serta orang tua yang hendak mengadakan perjalanan menuju daerah selatan.
“Apa yang harus hamba lakukan paduka yang mulia?”
“Antarkan dia pulang sampai istananya supaya bisa ditangani oleh orang sakti kerajaannya… kamu tahu sendiri kan orang sakti atau dukun kita sudah mati,”
“Baik paduka… kapan saya harus mengantarnya?!”
“Sekarang saja…,” pinta bangsawan tersebut.
Panji segera bangkit, ia melayangkan senyuman kepada rajanya dan juga bangsawan tadi. Raja meminjamkannya kuda, sementara bangsawan tersebut naik kereta kuda sambil memegangi tubuhnya yang demam. Sepertinya ada sesuatu yang aneh yang menimpanya, terlebih sebelumnya kondisi tubuhnya sehat dan tampak segar bugar.
Panji bersama tiga orang prajurit kerajaan akhirnya segera melaju, tampak seseorang dari atap istana memperhatikannya. Orang itu kemudian menghilang, dan entah pergi kemana. Dan kehadiran orang tersebut sepertinya dirasakan oleh Panji yang memang memiliki kesaktian orang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi. Hanya saja ia tidak terlalu memikirkan kehadiran aura orang yang tidak dikenalnya, ia terus menjalankan titah rajanya untuk mengantarkan bangsawan tadi menuju kerajaan di selatan.
Di tengah perjalanan ia menemui orang tua yang ia temui di pasar, sepertinya ia sedang beristirahat sejenak sambil meminum airnya.
“Kisana… ikut kami saja, kebetulan kami hendak menuju selatan…,” ajak Panji.
“Terima kasih nak…,”
Orang tua itu duduk di samping kusir, ia kembali membaca sesuatu dari kitab yang dibawanya. Panji pun kembali memimpin rombongan, dan kali ini ia kembali merasakan sesuatu yang aneh. Mirip dengan kehadiran seseorang di istana tadi, ia pun menghentikan laju rombongan sejenak.
Sebuah tombak melesat cepat menuju orang tua yang duduk di samping kusir. Dengan sigap ia menangkap tombak tersebut, sambil berkonsentrasi terhadap serangan selanjutnya. Ketiga prajurit kerajaan mulai berjaga di sekitar kereta kuda, dan Panji sendiri turun dari kudanya kemudian melompat menuju dahan pohon untuk melihat keadaan dari atas.
“Ha… ha… ha…!!!”
Rombongan ini mendengar suara tawa yang sepertinay tidak asing lagi, mirip dengan orang sakti yang mengalahkan dukun kerajaan.
“Suaranya Ki Wiro…,” kata salah seorang prajurit.
Panji kembali berdiri di atas kudanya, ia mengeluarkan segenap kesaktiannya agar mampu melihat Ki Wiro yang memiliki keahlian menghilang. Orang tua yang iktu bersamanya tampak mulai berdiri sambil menggerak-gerakkan sebuah benda di tangan kanannya. Panji meminta ketga prajurit kerajaan untuk berjaga, serta kusir sendiri untuk tetap tenang sambil mengendalikan kuda.
Orang yang disebut Ki Wiro pun akhirnya muncul dengan pakaian hitamnya, ia membawa seekor kelelawar raksasanya. Hewan yang membantunya mengalahkan dukun kerajaan saat itu. Ki Wiro dulunya seorang yang baik, dan entah kenapa sekarang ia berubah terlebih setelah menghilang selama lebih dari dua tahun. Ia langsung menantang dukun kerajaan dan membunuhnya, mengalahkan beberapa orang sakti, sehingga masuk dalam daftar buruan orang yang harus dilenyapkan dari muka bumi.
“Panji Tengkorak… orang sakti yang dikenal sebagai seorang murid dari empat penjuru mata angin… murid dari empat padepokan yang dikenal melahirkan banyak orang sakti… ha… ha… ha…!!!”
“Apa maumu hei… kakek tua?!”
“Ha… ha… ha… pertanyaan yang bagus… aku akan melenyapkanmu dari bumi ini agar mampu menguasi kerajaan… hiaatt!!!”
Ki Wiro langsung menyerang Panji, hanya saja orang tua yang ikut bersama segera menghalangi gerakan Ki Wiro.
“Hei orang tua… aku tidak ada urusan denganmu!” kata Ki Wiro dengan angkuhnya.
“Memang saya tidak ada urusan denganmu… tapi karena kamu menganggu perjalanan kami, maka ini menjadi urusan saya…,”
“Ha… ha… ha…. Orang dari padepokan utara dan Panji Tengkorak… nyawa kalian akan menjadi kesenangan bagiku,”
Ki Wiro kembali menyerang, kali ini ia membuat tubuhnya menjadi dua. Pertarungan sengit itu membuat bangsawan yang ada di kereta kuda segera keluar untuk melihat langsung sambil menahan rasa sakitnya.
Panji mengeluarkan segenap kemampuannya, tapi mungkin kesaktian Ki Wiro jauh lebih hebat. Beberapa kali ia harus menahan sakit dari tendangan maupun pukulan yang diterimanya, sebuah pedang hampir saja menusuk dadanya. Beruntung ia cepat menghindar, nyawanya pun tidak jadi melayang. Sementara orang tua yang iktu bersamanya tampak cukup tenang menghadapi serangan Ki Wiro, malah bahkan hanya dengan satu sabetan kain membuat belehan tubuh Ki Wiro yang lain terjungkal dan akhirnya menghilang.
“Hebat juga kau orang tua…,”
Ki Wiro mulai menggunakan kelelawarnya, dan orang itu mulai bersiap. Panji sendiri tampak menahan rasa sakitnya, ia melangkah perlahan menuju orang tua itu dengan maksud untuk membantunya.
“Matilah kalian berdua…!!!”
Ki Wiro mengerahkan segenap jurusnya untuk mengalahkan keduanya secara langsung. Orang tua yang ikut bersama Panji tampak memejamkan mata sambil menggerakkan benda yang ia pegang di tangan kanannya. Ia mengangkat tangan kanannya dan mulai berteriak,
“Allahu akbar!!!”
‘Duar…!!!’
Sebuah ledakan besar terjadi, ketiga prajurit, bangsawan dan juga kusir segera melindungi diri masing-masing, terutama dari jatuhan dahan dan ranting akibat ledakan tersebut. Dan ternyata ledakan tersebut menandakan berakhirnya pertarungan sengit antara tiga orang sakti. Ki Wiro pun akhirnya mati, tubuhnya hancur berkeping-keping karena sebuah teriakan yang menggelegar, ia dikalahkan oleh orang dari padepokan yang terkenal tidak suka bertarung kecuali dalam keadaan terdesak.
Ketiga prajurit, bangsawan dan kusir pun bergembira. Terlebih bangsawan yang Panji antar, tubuhnya kembali segar, dan mungkin sakitnya karena ulah Ki Wiro yang kini akhirnya almarhum.
“Kisana, mantra apa yang tadi kau ucapkan…?” Tanya Panji.
“Itu bukan mantra nak, tapi… kalimat suci milik Rabb pencipta alam semesta. Perjalanan saya ke selatan sebenarnya untuk menemui Ki Wiro yang menurut kabar berada di daerah selatan. Sudah terlalu banyak kedzaliman maupun kerusakan yang ia perbuat karena ilmu hitamnya…,”
Panji hanya mengangguk sambl tersenyum, sepertinya ia menemukan seorang guru yang akan memberinya ilmu.
“Terima kasih banyak kisana, kalau sudah sampai di kerajaan akan aku beri hadiah yang banyak…,” kata bangsawan yang dikawal oleh rombongan Panji.
“Terima kasih tuan… simpanlah hadiah itu untuk rakyat, tujuan saya yang lain ke selatan juga mencari ramuan. Kebetulan daerah tuan memiliki banyak persediaan ramuan obat yang mujarab…,”
“Baiklah… tinggallah di selatan selama kau suka,” kata bangsawan itu kembali.
Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan dengan tenang, tubuh Ki Wiro sendiri akhirnya menjadi abu dan hilang diterpa angin. Orang tua itu kembali membaca mantra yang akhirnya dikenal sebagai do’a oleh Panji. Kedatangan mereka disambut hangat oleh raja daerah selatan, terlebih sosok Panji yang begitu terkenal serta orang dari padepokan utara yang biasa berkunjung ke selatan untuk mengajarkan sesuatu yang akhirnya dikenal dengan Islam. Orang tua itu akhirnya tinggal di sebuah rumah, dekat dengan tempat tinggal bangsawan yang diantar tadi. Ia mulai mencari bahan-bahan yang akan diramu menjadi obat. Panji sendiri mulai menerima perawatan dari tabib kerajaan, ia beberapa kali harus menahan sakit maupun pahitnya obat yang tabib kerajaan berikan.
Kehadiran Panji sepertinya menarik hati anak bangsawan yang dikawalnya, ia pun bercerita kepada ayahnya mengenai sosok Panji yang akhirnya direspon baik oleh sang ayah. Mendengar bahwa anak bangsawan yang dikawalnya menyukainya, Panji segera mengadukan hal tersebut kepada guru barunya,
“Guru… apa yang harus aku lalukan? Aku masih merasa belum siap untuk menikah…,”
“Nak… menikah tidak hanya melampiaskan hawa nafsu atau memperoleh keturunan semata, tapi jauh dari itu… ia yang akan membuatmu mampu mengerti ilmu yang akan saya ajarkan selanjutnya,”
Panji pun tersenyum dengan jawaban yang diberikan gurunya, ia pun mengajukan lamaran kepada anak bangsawan yang terkenal karena kecantikan serta sifat pemalunya. Dengan modal sebuah kitab yang akhirnya ia kenal sebagai Al-Qur’an, ia pun meminang putri bangsawan yang dikawalnya dulu ketika diserang oleh Ki Wiro.
Beberapa tahun setelah pernikahannya, ia pun akhirnya diangkat sebagai raja karena kejujuran, ilmu serta kharismanya. Bersama dengan seorang keturunan laki-laki yang kembali diajarkan oleh gurunya, yakni orang tua yang ikut bersamanya ketika mengawal bangsawan. Ia namai anaknya Muhammad atas permintaan gurunya, bersamaan dengan itu, ia pun merubah namanya menjadi Ihsan Abdurrahman. Ihsan adalah nama gurunya, dan Abdurrahman adalah nama guru dari gurunya tersebut. Perkembangan Islam pun semakin pesat sejak kerajaan dipimpinnya, kepercayaan menyembah pohon maupun orang sakti ditinggalkan oleh penduduk daerah selatan. Para murid dari padepokan utara pun semakin banyak yang berdatangan, dan mulai banyak belajar ilmu bela diri dari padepokan selatan yang kini bernuansa islami.
Rumah Panji yang dulu pun akhirnya dirobohkan, bersama dengan tengkorak-tengkorak koleksinya yang akhirnya dikubur dekat rumah lamanya. Burung kakak tua peliharaannya pun sudah pergi entah kemana sejak ia pergi dan menetap di daerah selatan, beberapa kali ia merenungi kepergian burung kesayangannya. Kini kerajaan yang dipimpinya berkembang menjadi kerajaan Islam yang pertama, kerajaan Islam yang mungkin untuk pertama kalinya dipimpin oleh seorang rakyat jelata yang yatim piatu. Ia pun meraih segala kenikmatan dengan ilmunya, serta kemauannya untuk memperdalam ilmu sekaligus mengajarkannya. Istri cantiknya kini mengenakan kain yang dikenal sebagai jilbab, ia pun merubah namanya dari yang semula adalah Sri Lestari menjadi Aisyah. Kini kerajaan selatan bernama ‘Kerajaan Umar’, nama Umar diambil dari sosok yang selalu gurunya ceritakan sebagai pemimpin terbaik di masanya, sosok Umar bin Khatab sang khalifah kedua setelah Rasulullah SAW wafat.
Islam, Pemuda dan Geologi: THE FINAL GAME
Islam, Pemuda dan Geologi: THE FINAL GAME:
Sore ini penonton sudah memenuhi Satdion Tridaya Indramayu, dan tampak seluruh bangku di dalam stadion ini terisi penuh oleh para pendukung dari kedua kesebelasan yang akan bertanding sore ini. Ternyata pertandingan final kali ini mampu membuat banyak orang tertarik untuk menyaksikannya, dan yang tidak kebagian tempat duduk pun akhirnya duduk mengelilingi lapangan, menghampar santai di atas rumput-sumput stadion yang mengering sambil membicarakan susunan pemain yang akan bertanding sore ini.
Sore ini penonton sudah memenuhi Satdion Tridaya Indramayu, dan tampak seluruh bangku di dalam stadion ini terisi penuh oleh para pendukung dari kedua kesebelasan yang akan bertanding sore ini. Ternyata pertandingan final kali ini mampu membuat banyak orang tertarik untuk menyaksikannya, dan yang tidak kebagian tempat duduk pun akhirnya duduk mengelilingi lapangan, menghampar santai di atas rumput-sumput stadion yang mengering sambil membicarakan susunan pemain yang akan bertanding sore ini.
“Wah, pertandingan final yang ditunggu-tunggu ya…,” kata salah seorang penonton kepada teman di sebelahnya.
Suara terompet mulai bergemuruh, sorak-sorai penonton semakin meriah setelah kedua kesebelasan akhirnya berjalan perlahan menuju lapangan dengan kostum masing-masing. Dan inilah pertandingan final kejuaran sepak bola antar SSB (Sekolah Sepak Bola) se-Kabupaten Indramayu, kejuaraan atau turnamen rutin yang diadakan oleh Bupati setempat untuk melihat sekaligus memilih bibit unggul yang akan memperoleh beasiswa berlatih di klub sepak bola anak lokal sekaligus seleksi pemain nasional yang akan bertanding di kejuaraan internasional tahun depan. Tampak salah seorang asisten pelatih tim nasional U-12 duduk di samping bapak Bupati sambil sesekali menunjuk ke arah beberapa pemain yang mulai memainkan bola perlahan sebelum pertandingan dimulai. Orang ini tak lain adalah yang biasa mencari pemain baru untuk berlatih bersama anak-anak yang dikumpulkan dari berbagai daerah di seluruh tanah air, sekaligus mempersiapkan mereka pada kejuaraan internasional. Setahun yang lalu anak asuhannya berhasil menembus babak semifinal sebelum akhirnya dikalahkan oleh tim Argentina 5-4 melalui adu penalti, setelah hanya mampu bermain imbang 1-1 selama 90 menit ditambah dengan babak perpanjangan waktu.
Dan wasit pun mulai meniupkan peluit, ia berlari perlahan sambil membawa bola yang akan digunakan dalam pertandingan final sore ini. Tampak beberapa tim yang tersingkir di babak sebelumnya hadir untuk menonton, sekaligus memperhatikan gaya permainan tim yang berhasil mengalahkan mereka. Dua tim yang bertanding sore ini adalah SSB Alfa dari Kecamatan Losarang dan SSB Meteor dari Kecamatan Karangampel. Bintang lapangan sore ini adalah Yoga dari SSB Alfa, sekaligus kapten tim dan bermain di posisi penyerang lubang, termasuk Yanuar yang menjadi penjaga gawang dan baru kemasukan 2 gol dari 6 pertandingan yang dimainkan dari babak penyisihan hingga sekarang. Dari SSB Meteor sendiri adalah Sandy yang menjadi top skorer untuk sementara dan sudah tak mungkin dikejar oleh Hadi dari SSB Guntur dari Kecamatan Anjatan yang berhasil dikalahkan di babak semifinal, total Sandy membukukan 9 gol. Dua orang dari SSB Meteor yang perlu diperhitungkan adalah kedua pemain sayap mereka yang biasa mengobrak-abrik pertahanan lawan, Farhan di bagian sayap kiri dan Tatang di bagian sayap kanan.
Pertandingan sore inilah yang ditunggu-tunggu oleh seluruh penonton yang datang, terlebih keduanya tahun lalu bertemu di semifinal dan SSB Alfa berhasil mengalahkan SSB Meteor 3-1. Boleh jadi pertandingan kali ini menjadi ajang ‘balas dendam’ SSB Meteor yang kalah tahun kemarin. Kedua pemain tim saling berjabat tangan, Sandy tampak begitu segar sore ini. Kedua orang tuanya duduk tenang sambil memegang terompet untuk menyaksikannya bertanding.
‘Prittttt…….!!!’
Pertandingan pun dimulai, bola dikuasai oleh SSB Alfa yang mulai bermain cepat di awal pertandingan. Sebuah sepakan dari luar kotak penalti berhasil digagalkan oleh penjaga gawang SSB Meteor, bola pun keluar lapangan dan membuat SSB Alfa meraih tendangan penjuru untuk pertama kalinya. Kedua tim saling menyerang dan bertahan, membuat seluruh penonton yang hadir terus-menerus berteriak sambil meniupkan terompet. Tahun kemarin SSB Meteor tampak bermain tidak seperti biasanya, sehingga dikalahkan oleh SSB Alfa.
“Pak, yang nomor punggung sembilan dari SSB Meteor itu si Sandy ya…?” tanya Robert kepada Bupati.
“Oh iya, yang sudah pasti jadi top skorer pak Robert… sepertinya dia pantas untuk bermain di tim nasional,”
Robert Tantular mengangguk perlahan dan kembali menyaksikan pertandingan. Ayah Sandy terus berteriak memberikan dukungan bagi putra satu-satunya, ia bersama istri dan penonton yang disebelahnya terus meniupkan terompet untuk memeriahkan suasana.
Tatang mengirimkan umpan lambung ke arah tengah, bola masih berhasil dibuang oleh pemanin belakang SSB Alfa, hanya saja sebuah sepakan keras dilepaskan oleh Sandy yang berdiri bebas tanpa kawalan. Bola menghujam deras ke arah gawang,
“Gol…!!!” teriak komentator pertandingan sore ini.
Gol ke sepuluh Sandy, yang akhirnya membuat SSB Meteor unggul untuk sementara di babak pertama kali ini. Sepertinya Yanuar harus lebih waspada terhadap serangan yang dilancarkan oleh Sandy ke arah gawang yang dijaganya, ia pun memukul rumput stadion sambil meluapkan kekesalannya. Yoga menepuk bahu Yanuar sambil membuatnya lebih tenang lagi.
“Baru satu gol… nanti aku akan membalasnya,” kata Yoga sambil tersenyum.
SSB Alfa kembali menguasai bola, dan jalannya pertandingan. SSB Meteor mulai bertahan total sambil melihat celah untuk melakukan serangan balik, tampak Tatang berlari menjauh dari bagian belakang. Umpan silang dari Yoga digagalkan oleh Sandy, ia langsung mengumpan lambung ke arah Tatang yang sudah bersiap dari bagian sayap kanan, ia berlari sangat lincah sambil melewati hadangan dua pemain bertahan SSB Alfa. Tatang langsung memberikan umpan silang ke arah Galang yang berdiri bebas, lagi-lagi tanpa kawalan pemain belakang. Yanuar mulai keluar dari gawangnya untuk mengambil bola dari kaki Galang, dan kembali lagi, sebuah gol ke arah gawang Yanuar setelah Galang berhasil melewati hadangannya. Memutar tubuh seperti yang biasa dilakukan oleh Zidane, dan diakhiri dengan sebuah tendangan pelan ke arah gawang. Galang berlari sambil merayakan golnya yang kelima, tandem dari Sandy ini berlari menuju arah pelatih dan memeluknya erat. Tak ayal pendukung SSB Meteor semakin bersorak-sorai,
‘Maju… maju… maju Meteor… kalahkan lawan sekarang juga…! Tambah… tambah… tambah golnya… bawa piala ke rumah kita…!!!’
Yel-yel yang biasa dinyanyikan oleh pendukung SSB Meteor semakin bergemuruh di stadion, skor 2-0 membuat mental pemain SSB Alfa menurun.
“Hei…!!! Ganti alur serangan… bagian kanan diisi… kamu… Hendra…!!! Lebih teliti lagi jaga di belakang…!” teriak pelatih SSB Alfa dari bangku pemain cadangan.
Pertandingan babak pertama pun selesai, skor 2-0 untuk SSB Meteor. Sandy berjalan perlahan menghampiri Tatang sambil mengacungkan jempol,
“Mantap Tang…!”
“Kamu juga Sandy… wah-wah… jadi top skor juga,” papar Tatang sambil tersenyum. Mereka berdua berjalan perlahan, menghampiri pelatih yang berdiri sambil tersenyum untuk keduanya yang bermain sangat baik di babak pertama. Total SSB Alfa melesakkan 7 tendangan dan 3 diantaranya mengarak ke gawang, SSB meteor sendiri melesakkan 8 buah tendangan serta 5 diantaranya mengarah ke gawang, termasuk dua gol yang berhasil disarangkan oleh Sandy dan Galang.
Pelatih SSB Alfa tampak begitu kecewa melihat permainan anak asuhannya, seperti tidak pernah melakukan latihan. Banyak sekali umpan yang salah, serangan yang mudah dibaca dan juga lebih banyak melakukan tendangan dari luar kotak penalti.
“Tim lawan juga memang hebat pak, kami memang kurang koordinasi… tapi melihat kondisi yang tadi sepertinya kita perlu melakukan regulasi baru untuk babak kedua,” papar Yoga.
“Hmm… baiklah, sepertinya Asrul…,” kata pelatih SSB Alfa sambil melirik ke arah bangku cadangan, disana orang yang beliau panggil Asrul sedang asyik meminum air sambil sesekali membaca buku. Dialah yang tahun kemarin menghentikan perlawanan SSB Meteor untuk melaju ke babak final, seorang gelandang serang yang memiliki tendangan yang sangat keras serta berlari sangat cepat. Selama 6 bulan ia tidak berlatih sepak bola setelah mengalami kecelakaan, posisinya pun digantikan oleh Yoga yang kini menjadi kapten tim. Tahun kemarin, baik Asrul maupun Yoga membuat irama permainan SSB Alfa begitu hidup, terlebih kedua pemain ini yang mengantarkan timnya menjadi juara turnamen tahun kemarin.
“Tapi pak… apakah bapak yakin untuk memasukkan Asrul di babak kedua?” tanya Yanuar.
“Bapak yakin… meskipun seminggu yang lalu sepertinya bapak masih mengkhawatirkan kondisi kaki Asrul yang baru sebulan sembuh secara total, secara moral… bapak masih menaruh perhatian kepada teman kalian untuk bermain di lapangan dan menunjukkan kapasitasnya sebagai pemain terbaik tahun kemarin.”
Asrul tersenyum sesaat, ia mulai memakai sepatunya dan berlari kecil di pinggir lapangan. Tampak aktivitas yang dilakukan olehnya membuat pemain dari SSB Meteor mulai membicarakannya, termasuk Sandy yang sangat ingin sekali bertanding melawannya.
“Wah… itu, Asrul kayaknya mau dimainin di babak yang kedua, apa dia benar-benar sudah sembuh…?!” kata Galang.
“Ya, sepertinya begitu… kalian harus tampil lebih baik lagi di babak yang kedua, kelau perlu tambah gol lagi supaya kesempatan menjadi juara semakin terbuka…!” kata pelatih SSB Meteor.
“Ya… siap…!!!”
Pertandingan babak kedua pun dimulai, dan pergantian pemain sekaligus ban kapten yang kini terpasang di lengan kiri Asrul yang berlari perlahan ke tengah lapangan. Ia menghampiri Sandy sambil memberikan senyuman kecil dan menjabat tangannya.
‘Priitttt….!!!’
Bola kembali bergulir, kali ini Sandy langsung mengambil inisiatif untuk menyerang. Bola sodoran Tatang berhasil dipotong oleh Asrul yang langsung berlari menggiring bola sendirian, satu-dua-tiga pemain langsung ia lewati. Tak lama kemudian ia berhadapan satu lawan satu dengan Sandy, dan dengan mudah mampu dilewatinya dengan gaya mirip Ronaldo ketika masih bermain di Barcelona. Sebuah gerak tipu memperdaya penjaga gawang SSB Meteor, dan diakhiri denga tendangan keras yang menghujam gawang.
‘Gol…!!!’
Sontak pendukung SSB Alfa berteriak kegirangan, Asrul berhasil memperkecil ketertinggalan timnya menjadi 2-1. Sebuah permainan yang sangat cantik, mampu melewati hadangan lima pemain, berlari dari tengah lapangan dan bergerak sangat cepat. Itulah kelebihan yang dimiliki olehnya, satu catatan yang membuat Robert Tantular yang kini menjadi penonton begitu terkagum dengan permainan yang diperagakan oleh Asrul di lapangan. Sandy mulai menggelengkan kepalanya, seakan tidak percaya bahwa ia terlalu mudah untuk dilewati oleh Asrul. Baru satu menit berjalan, SSB Alfa menunjukkan permainan yang bagus lewat seorang Asrul.
Bola kembali bergulir, Galang melakukan sebuah tendangan jarak jauh dan masih membentur tiang gawang. Skor masih 2-1 untuk SSB Meteor sampai menit ke 80, dengan permainan cepat, dari kaki ke kaki yang dimainkan oleh kedua tim. Dan kali ini adalah final yang sangat ideal, pertarungan antara dua ‘penyihir’ lapangan hijau, antara Sandy dan Asrul.
Sebuah pelanggaran dilakukan oleh Tatang dan menghasilkan tendangan bebas yang diambil oleh Yoga, ia langsung memberikan umpan lambung dan mampu diterima oleh Asrul. Sebuah sundulan menghujam deras ke arah gawang, dan kembali sebuah gol mampi dilesakkan oleh Asrul melalui sundulan terarahnya.
“Gol…!!!” Asrul berlari sangat kencang menuju rekan setim yang lain, terutama Yoga yang berdiri tenang. Tim SSB Meteor semakin tidak percaya, seperti terkena sihir oleh Asrul yang bermain sangat cantik. Skor pun menjadi 2-2, dan kini keadaan menjadi seimbang. Para pemain SSB Alfa semakin menaruh harapan kepada Asrul untuk kembali memberikan keunggulan lewat golnya, dan ini yang mungkin dimanfaatkan oleh pemain SSB Meteor. Dengan matinya pergerakan Asrul membuat sisa pertandingan menjadi mutlak milik SSB Meteor. Sandy terus menggirng bola, sambil memberikan umpan silang ke arah Farhan yang berdiri bebas dan sebuah sepakan keras menghujam gawang Yanuar.
Bola masih mampu yanuar tepis, dan sebuah pertaka terjadi, Sandy yang berdiri bebas akhirnya memanfaatkan bola liar yang mengarah padanya. Asrul yang mencoba menghadang tak mampu berbuat banyak dan gol pun terjadi. Sandy merayakan golnya sambil menari-nari, diikuti oleh rekan setimnya yang lain. Kali ini terisa tiga menit lagi, perpanjangan waktu yang diberikan oleh wasit, dimanfaatkan oleh pemain SSB Meteor untuk membuat pertahanan berlapis. Tak ayal serangan yang dilancarkan pemain SSB Alfa lewat Asrul dan Yoga berhasil dimentahkan, dan terus menerus keduanya berusaha menerobos namun tidak berhasil.
‘Prit… prit… prit…!!!’
“Hore…!!!”
Peluit tanda berakhirnya pertandingan pun dibunyikan oleh wasit, seluruh pemain SSB Meteor, pelatih dan official bersorak-sorai merayakan kemenangan sekaligus meraih gelar juara turnamen tahun ini. Sebuah pencapaian yang sangat sensasional, dua gelar sekaligus yakni juara turnamen dan top skorer yang diraih oleh Sandy dengan 11 gol. Para pemain SSB Alfa seakan tak percaya dengan hasil yang diraih, termasuk Yoga yang menangis sambil menutup wajahnya.
“Ayo… bangun…!” kata Asrul, ia tampak begitu tenang meskipun timnya kalah. Karena baginya bermain sepak bola adalah bukan bagaimana memenangkan pertadingannya, tapi bagaimana sebuah tim mau menerima segala kenyataan yang terjadi di lapangan serta membuat penonton tertarik dengan permainan yang disuguhkan oleh para pemain di lapangan. Ia berjalan perlahan menuju Sandy dan kembali menjabat tangannya, ia pun kembali melayangkan sebuah senyuman.
“Selamat ya… aku kalah kali ini, kalian memang tim yang mampu bekerjasama dengan baik. Pertahankan gelarnya… dan jangan lupa, nanti kita ketemu di timnas kalo bisa,” kata Asrul.
“Wah nggak hebat-hebat amat kok… kamu juga mainnya bagus Srul… baru kali ini aku melawan orang yang punya skill seperti pemain kelas dunia,”
Keduanya saling tertawa dan bertukar kaos tim, Sandy kemudian bergabung dengan rekan setimnya untuk merayakan kemenangan. Dan kini akhirnya tiba waktunya untuk penyerahan piala kebanggaan,sekaligus pengumuman pemain terbaik sepanjang berlangsungnya turnamen. Tampak Robert Tantular berdiri di samping pak Bupati yang memberikan arahan bagi kedua tim yang bertanding sore ini, beliau melihat pemain kedua tim satu per satu, sambil membidik pemain yang akan ia ikut sertakan sebagai pemain timnas U-12 yang akan berangkat ke Perancis untuk berlatih bersama anak-anak dari berbagai penjuru dunia.
Sandy maju perlahan sebagai kapten tim, ia menerima piala kejuaraan antar SSB se-Indramayu, termasuk penobatan dirinya sebagai pemain terbaik di turnamen tahun ini. Sungguh prestasi yang sangat luar biasa, baik dirinya maupun timnya memperoleh gelar sekaligus, melampaui pencapaian juara sebelumnya, SSB Alfa.
“Yeah…!!!” Sandy mengangkat piala sambil berteriak, ia berlari kecil sambil membawa piala diikuti oleh rekan setimnya yang lain. Ia menuju kedua orang tuanya sambil menunjukkan piala yang berhasil direbut oleh timnya, berikut gelar top skor dan pemain terbaik. Hari ini mutlak menjadi miliknya yang melakukan hal yang terbaik, untuknya dan juga untuk timnya.
Dari turnamen ini pun akhirnya Robert Tantular mulai mengumumkan calon pemain timnas yang akan mengikuti seleksi bulan depan, ia mengambil tujuh orang pemain dari kedua tim. Dari SSB Alfa adalah Asrul, Yoga, dan Yanuar. Sedangkan dari SSB meteor adalah Sandy, Galang, Tatang dan Farhan. Ketujuh pemain inilah yang menunjukkan permainan yang memukau sepanjang 90 menit pertandingan bergulir.
“Kalian adalah calon pemain hebat… anak-anak yang suatu saat nanti menjadi kebanggaan bagi bumi pertiwi… terus asah kemampuan kalian, saya tunggu… bulan depan di Jakarta… bersama puluhan bahkan ratusan anak-anak calon pemain timnas dari berbagai penjuru nusantara, dan kemudian dipilih menjadi 23 orang yang akan berangkat ke Perancis,” kata Robert Tantular.
Ia melihat tujuh orang harapan masa depan bangsa, yang akan berjuang di lapangan hijau untuk mengibarkan bendera merah putih di kancah internasional. Sekaligus membuat bangga negara ini terhadap semangat anak-anak, perjuangan mereka yang tak kenal lelah. Ia kembali teringat akan prestasi timnas U-21 yang dibinanya bersama pelatih utama tahun lalu kala menembus babak semifinal. Dan kali ini secercah cahaya agaknya muncul dari ketujuh pemain yang bertanding sore ini, mereka yang nantinya akan mencoba menunjukkan kehebatan memainkan ‘si kulit bundar’ dihadapan pelatih utama dan juga calon pemain timnas yang lain dari seluruh penjuru nusantara.
‘Anak-anak… jadilah kebanggaan bagi bangsa ini, kalian adalah calon bintang lapangan di masa depan…,’
Leadership paper (What and which I meant about it…)
Kepemimpinan dan pemimpin, dua kata yang memiliki keseragaman makna dalam hal ruang lingkup namun memiliki perbedaan dalam cara pandang sikap dan penerapannya. Sekiranya cukup banyak artikel maupun buku yang bisa kita baca mengenai kepemimpinan maupun pemimpin itu sendiri, dan sekiranya saya disini hanya bisa memaparkan apa yang sebenarnya ‘kepemimpinan dan pemimpin’ itu harapkan untuk muncul ditengah-tengah kehidupan yang sedang dijalankan oleh kita saat ini.
Kepemimpinan-sebuah sistem, terapan hingga yang membentuk cara pandang dan berpikir seorang pemimpin
Sebagai sebuah sistem yang membentuk pola pikir pemimpin, maka inilah yang diharapkan menjadi ujung tombak bagi pergerakan seorang pemimpin kedepannya. Pemahaman seorang individu dalam hal organisasi dan pekerjaannya, kelompok dan tugasnya, tim dan tujuannya, dan lain sebagainya akan menentukan cara seseorang atau individu dalam memimpin sebuah kelompok, tim, jamaah, organisasi, wilayah dan lain sebagainya.
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS. Asy Syams: 8-10).
Cara pandang inilah yang kiranya akan menentukan baik-buruknya seseorang dalam memimpin, dan yang terpenting adalah cara seseorang dalam merumuskan sebuah sistem seperti seorang Karl Max dengan komunisnya, para pemikir barat dengan Liberalisnya, dan mungkin bagi kita ada sosok Rasulullah SAW yang mendasari cara memimpin sebuah kelompok atau jamaah berdasarkan nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an sehingga siapapun yang memegang amanah atau menjadi pemimpin akan menjadi orang yang paling banyak dan lama dihisab ketika di padang mahsyar nanti. Dan dari setiap sistem atau paham yang dianut pun melahirkan sebuah konsep atau kerangka berpikir seorang pemimpin yang akhirnya disebut tipe atau karakter pemimpin. Ada yang demokratis, otoriter, karismatis, hingga militeris dan lain sebagainya.
Seseorang yang hidup dalam suatu lingkungan akan membentuk karakter atau kepribadian seorang pemimpin yang sifatnya bisa cepat atau lambat. Cepat atau lambat disini diukur dalam faktor pengaruh lingkungan terhadap genetika atau bawaan dari orang tuanya ketika lahir, setiap individu memiliki kecenderungan untuk mengikuti apa yang lingkungan berikan. Padahal hukum keseimbangan berlaku ‘apabila kita memberikan sesuatu kepada alam atau alam, maka alam atau lingkungan tersebut akan merekam apa yang kita perbuat dan mengembalikannya kepada kita dalam bentuk nikmat atau karunia’. Nikmat atau karunia disini bergantung pada apa yang kita berikan, ataupun bisa disebut baik atau buruknya hal yang kita perbuat terhadap alam. Disinilah yang akhirnya sistem kepemimpinan yang berlaku dalam suatu tatanan masyarakat akan membentuk pola pikir pemimpin yang selanjutnya, namun bukan berarti sifatnya kekal, karena hal ini pun bisa berubah tergantung dari kemampuan masyarakat dalam mengolah perkembangan zaman, bertambahnya pola pikir serta adanya kepercayaan atau agama yang dianut. Seperti ketika Islam hadir di negeri kita yang kental dengan nuansa Hindu-Buddha, dalam hitungan bulan ternyata mampu mengubah tatanan hidup masyarakat, sistem pemerintahan, adat atau kebiasaan hingga undang-undang atau aturan yang berlaku. Dan karakter kepemimpinan berdasarkan mitologi dewa-dewa pun diganti dengan ajaran Rasulullah SAW, pengangkatan pemimpin pun dilakukan dengan jalan musyawarah untuk mufakat hingga saat ini (era reformasi) dimana demokrasi berdengung diseluruh pelosok nuasantara, sehingga semakin menambah beragamnya karakter atau tipe kepemimpinan yang berlaku di masyarakat.
A Leader… sosok yang dipuja, memiliki pengaruh, pengambil keputusan, namun sulit masuk surga kecuali bagi mereka yang mampu menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya.
Dalam hidup ini, sosok seorang pemimpin memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kemajuan-kemunduran sebuah bangsa, berhasil-gagalnya dalam mencapai tujuan, puas-kecewanya para anggota dalam hal pengambilan keputusan yang dibuat olehnya. Dari sekian banyak karakter pemimpin yang telah bermunculan, maka kiranya sosok Rasulullah merupakan yang patut kita teladani. Bagaimana tidak, kecakapan dalam menyampaikan pendapat, kemampuan beliau berkata dari hati ke hati, kebijaksanaan beliau dalam memaparkan tujuan serta keputusan, ahli berperang, adil dalam hal memimpin pemerintahan dan lain sebagainya. Dan inilah kiranya yang membuat Michael Hart memutuskan beliau (Rasulullah Muhammad SAW) sebagai ‘the number one’ dari 100 tokoh yang berpengaruh di dunia.
Akhirnya saya sendiri pun mulai mempelajari karakteristik pemimpin yang beliau ajarkan melalui sirahnya, hingga hadist-hadist yang meriwayatkan perkataan hingga perbuatan beliau yang akhirnya banyak menginspirasi umat muslim yang notabene diamanahkan menjadi seorang pemimpin dalam kelompok, tim, lembaga dan lain sebagainya. Dan hal inipun yang kemudian membuat saya yakin bahwa penerapan dari yang beliau ajarkan akan membuat tujuan mulia tercapai, kekompakkan terjaga, keseimbangan organisasi terus ada dan yang terpenting adalah adanya sikap saling menasehati antar sesama anggota atau tim dan komunikasi antara pemimpin serta orang yang dipimpin berjalan harmonis.
Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin pembelajar, yang dalam hal ini adalah seorang pemimpin yang tidak berhenti belajar dari apa yang telah ia kerjakan, kegagalan dalam mencapai tujuan yang ia alami serta tidak bosannya untuk terus menggali dan memperbaiki kemampuannya dalam hal memimpin. Dan akhirnya sosok atau pribadi pemimpin itulah yang memberikan inspirasi atau contoh bagi generasi selanjutnya.
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." –Al Qur–an, Surat At Taubah (9): 105–
“Pemimpin yang baik dan mengerti arah perubahan, akan memimpin dengan contoh. Ia berada di depan, berkorban demi kebaikan. Ia mengajak yang lain berkorban, tanpa harus merasa susah.” –Rhenald Kasali–
Namun yang perlu diperhatikan disini adalah sikap hati-hati dalam hal menjadi pemimpin, artinya kita jangan pernah sekali-kali meminta jabatan atau memimpin sesuatu, karena mungkin hal tersebut akan membuat tujuan mulia yang hendak kita usung menjadi bernilai keburukan atau dosa, hal ini sejalan dengan sebuah hadist;
Dikisahkan dari Abdurrahman bin Samurah, ia berkata, suatu ketika Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Wahai Abdurrahman, janganlah meminta jabatan pemimpin, sebab jika engkau diserahinya karena meminta maka semua menjadi tanggung jawabmu, dan sekiranya kamu diserahinya tanpa meminta maka kamu akan dibantu untuk menunaikannya…”(HR. Muslim)
Akhirnya saya pun mencoba menginventarisir hal atau modal yang diperlukan oleh seorang pemimpin;
1. Ketaatan dalam menjalankan agama, karena sesungguhnya hanya Allah yang akan membantunya dalam menjalankan amanah melalui segala hal yang ada disekitarnya.
2. Kemampuan dalam menjaga hati, lisan dan pikiran dari segala hal buruk yang memicu ambisi, keinginan buta, sikap otoriter dan segala hal yang sekiranya akan membuat sosok pemimpin menjadi orang yang dibenci.
3. Tujuan ketika ia menjadi seorang pemimpin, hal ini akan membuat ia mampu merealisasikan keinginan atau harapan selama ia menjadi pemimpin.
4. Kemampuan mengkomunikasikan tujuan kepada anggota, kemampuan menginventarisir keahlian dari anggota, kemampuan memilih orang yang mampu mewujudkan tujuannya, kemampuan bekerja sama dalam tim dan lain sebagainya.
5. Karakter yang kuat namun tidak kaku, pribadi yang lembut namun tak lemah, jiwa yang gagah tetapi baik hati, sikap dermawan tetapi memahami diri sendiri, toleran namun tegas, pemimpi tetapi mampi mewujudkannya, banyak berkata namun lebih sering bersikap, kerjasama tim bukan individu, cerdas tetapi terus belajar.
6. Mampu menjadi agen perubahan tatanan masyarakat atau kelompok menjadi lebih baik dalam hal bersikap dan berucap, pioneer dalam setiap gagasan atau ide namun tetap menerima masukan atau arahan bagi kelangsungan sebuah organisasi, dan ia pun menjadi sosok yang selalu dicari oleh anggotanya baik dalam hal keorganisasian maupun obrolan santai karena kemampuan berbicara dari hati ke hati.
7. Ia tidak pernah meminta namun diberikan kepercayaan oleh orang-orang disekitarnya untuk memimpin. Meskipun sebenarnya ia memiliki kapasitas pemimpin yang lebih hebat atau bagus, ia mampu merealisasikan tujuan dari pemimpin selainnya. Ia bukan tipe mau memimpin namun mampu menjalankan amanah yang diberikan kepadanya.
Langganan:
Postingan (Atom)