Dia mungkin Hana ku. Begitu celetuk bahasa hati saat kulihat ia menikmati senja bersama beberapa muda-mudi. Termasuk ayah dan ibunya. Duh! Entah mengapa ia memutuskan dan menentukan pertemuan ini. Dua keluarga, aku dan dia, meski hanya Mas Hadi yang menemaniku. Ya, tak mungkin aku mengajak kedua ortuku yang jauh. Kecuali lamaran!
"Reyhan...!"
Aku membalas panggilan Pak Rahmat dengan bangkit dari duduk santaiku. Kuperhatikan ada rona senyum yang terpancar dari wajahnya.
"Iya, Pak...," aku masih setengah kikuk di depan orang yang mungkin Tuhan takdirkan sebagai mertuaku.
"Apapun itu... Rencanakan dengan matang," memandang Hana yang tertunduk menyembunyikan perasaan, "Bapak hanya punya Hana dan Rana... Keduanya perempuan."
'Eh...?'
Aku membiarkan lintasan pikiran. Hembusan angin laut semakin kencang senja ini, menari seirama dengan pasukan burung camar yang menikmati jingganya langit di ufuk barat. Aku melirik ke arah Hana yang juga membalas tatapanku perlahan. Warna jingga langit kali ini selaras dengan jilbabnya. Ada suasana yang mungkin berbeda kedepannya.
"Mas Reyhan... Aku harap mas bisa memahami pesanku sebelum pertemuan ini."
Aku membalasnya dengan senyuman dan anggukan. Ya, benar kata Pak Rahmat. Matang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar