'Kau harus bisa... Bisa... Berlapang dada... Kau harus bisa... Bisa... Ambil hikmahnya...'
Berdetak. Beradu dengan kecepatan arteri pulmonalis. Ada kata dan kalimat yang beradu tapi bisa dipadukan. Aku hanya mampu membisik lewat tatapan pada si putih berjarum. Pukul dua malam. Nafasku masih normal, syukurlah. Namun siang tadi adalah momen pembuka yang bisa jadi awal ataupun akhir. Hana. Sepuluh tahun sudah aku mengenalnya sebagai perempuan baik hati. Ada rasa yang membisik untuknya. Tapi siang tadi nuansa langit tak ubahnya rasa dalam hati. Kesabaran dalam menanti atau menjemput jodoh. Ah, sudahlah. Perempuan baik sepertinya pasti akan menemukan laki-laki yang baik.
Ah, aku lupa mematikan lagu-lagu yang menemaniku menguyah lembaran demi lembaran catatan kuliah. Magister. Rona dan aromanya tak sengeri kata mereka, namun geliat dan cara dosen yang membimbingku membuat diri seolah kuda pacuan yang berlatih untuk lomba pekan depan. Sudahlah, ini pilihanku. Hana? Pilihanku juga!
'Bismillah...,'
Rabb, biarkanku bersujud sembari berdoa. Mudah-mudahan hal yang membuatku lalai dari-Mu semakin berkurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar