Aku masih belum mampu menjaga apa yang ada. Suasana keramaian tak ubahnya kegamangan dalam hatiku. Terlalu riak, sementara tak jua aku memantapkan pilihan dan tujuan. Mbak Lastri terus berupaya membujukku menetapi janji. Agar oerasaan tak menyayat hati. Ya, kami sudah berjumpa pada akhirnya.
"Hana... Makan dulu! Nanti keburu habis sama Hani...,"
Uh, ibu selalu begitu. Membawa Hani untuk urusan perut. Beliau tak ingin setiap masakan yang dibuat bersisa karena si Panda, kucing pungut kami, sudah ada jatah makan sendiri.
"Buat Panda aja bu... Hahahaha!!!"
'Kreeekkk...,'
Aku menutup kembali pintu kamar, dan pastinya, memasang wajah cemberut untuk dua wanita hebat yang kadang centil dan kanak-kanak. Ah, Hani memang masih bocah!
"Iya ibu cantik... Putri Hana makan ya...," aku mengambil nasi dan juga lauk ikan goreng yang dimasak ibu, "Tenang... Pasti habis!"
'Ahahahaha!'
Beginilah suasana rumah, yang kadang tanpa ayah, kadang lengkap dengan banyak kisah. Ayah? Seperti biasa masih sibuk di Ibukota dan hanya pulang saat akhir pekan. Tak apa, beliau masih terlampau baik.
'Reyhan...?'
Aku tak tahu seandainya kami dipersatukan. Aku hanya mengenalnya, tahu namanya, tak lebih banyak. Tapi kisahnya terlalu ramai di kampus. Entahlah, aku hanya berpikir bahwasanya Tuhan tak akan memilihkan jodoh yang salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar