Pembicaraan seputar ikhtilath atau bercampur baur antara laki-laki dan
perempuan dengan tanpa hijab/tabir penghalang sudah pernah kita
singgung. Namun karena banyaknya penyimpangan kaum muslimin dalam
perkara ini dan adanya sisi-sisi permasalahan yang belum tersentuh maka
tak ada salahnya kita bicarakan dan kita ingatkan kembali.
Bukankah Rabbul Izzah telah berfirman:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)
Dan juga dalam rangka menasihati diri pribadi dan orang lain, karena
agama ini adalah nasihat, seperti kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits yang shahih:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
“Agama itu adalah nasihat.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh[1] rahimahullahu menyatakan
dalam Fatawa dan Rasa`ilnya (10/35-44) bahwa ikhtilath antara laki-laki
dengan perempuan ada tiga keadaan:
“Pertama: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki dari kalangan mahram mereka, maka ini jelas dibolehkan.
Kedua: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram) untuk tujuan yang rusak, maka hal ini jelas keharamannya.
Ketiga: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram) di
tempat pengajaran ilmu, di toko/warung, kantor, rumah sakit,
perayaan-perayaan dan semisalnya. Ikhtilath yang seperti ini terkadang
disangka tidak akan mengantarkan kepada fitnah di antara lawan jenis,
padahal hakikatnya justru sebaliknya. Sehingga bahaya ikhtilath semacam
ini perlu diterangkan dengan membawakan dalil-dalil pelarangannya.
”
Dalil secara global, kita tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
menciptakan laki-laki dalam keadaan punya kecenderungan yang kuat
terhadap wanita. Demikian pula sebaliknya, wanita punya kecenderungan
kepada lelaki. Bila terjadi ikhtilath tentunya akan menimbulkan dampak
yang negatif dan mengantarkan kepada kejelekan. Karena, jiwa cenderung
mengajak kepada kejelekan dan hawa nafsu itu dapat membutakan dan
membuat tuli. Sementara setan mengajak kepada perbuatan keji dan
mungkar.
Dalil secara rinci, kita tahu bahwa wanita merupakan tempat laki-laki
menunaikan hasratnya. Penetap syariat pun menutup pintu-pintu yang
mengantarkan keterkaitan dan keterpautan sepasang insan yang berlawanan
jenis di luar jalan pernikahan yang syar’i. Hal ini tampak dari
dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang akan kita bawakan di bawah ini.
1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ
الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي
أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
“Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk
menundukkan dirinya kepadanya dan dia menutup pintu-pintu seraya
berkata, ‘Marilah ke sini.’ Yusuf berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah,
sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya
orang-orang zalim tidak akan beruntung.” (Yusuf: 23)
Ketika terjadi ikhtilath antara Nabi Yusuf ‘alaihissalam dengan istri
Al-Aziz, pembesar Mesir di kala itu, tampaklah dari si wanita apa yang
tadinya disembunyikannya. Ia meminta kepada Yusuf untuk menggaulinya.
Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi Yusuf dengan rahmat-Nya
sehingga dia terjaga dari perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari
tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (Yusuf: 34)
Demikian pula bila lelaki lain ikhtilath dengan wanita ajnabiyah.
Masing-masingnya tentunya menginginkan apa yang dicondongi oleh hawa
nafsunya. Berikutnya, dicurahkanlah segala upaya untuk mencapainya.
2. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan lelaki yang beriman untuk
menundukkan pandangan dari melihat wanita yang bukan mahramnya, demikian
pula sebaliknya seperti termaktub dalam firman-Nya:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا
فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah
mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan
mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada
wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan
mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kaum
mukminin dan kaum mukminat untuk menundukkan pandangan mereka. Kita tahu
dari kaidah yang ada, perintah terhadap sesuatu menunjukkan wajibnya
sesuatu tersebut. Berarti menundukkan pandangan dari melihat yang haram
itu hukumnya wajib. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa
hal itu lebih bersih dan lebih suci bagi mereka. Penetap syariat tidak
membolehkan lelaki memandang wanita yang bukan mahramnya terkecuali
pandangan yang tidak disengaja. Itu pun, pandangan tanpa sengaja itu,
tidak boleh disusul dengan pandangan berikutnya. Jarir bin Abdillah
radhiyallahu ‘anhu berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ نَظْرِ الْفُجَاءَةِ، فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja), maka beliau
memerintahkan aku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5609)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, “Makna الْفُجَاءَةِ نَظْرِ
adalah pandangan seorang lelaki kepada wanita ajnabiyah tanpa sengaja.
Maka tidak ada dosa baginya pada awal pandangan tersebut, dan wajib
baginya memalingkan pandangannya pada saat itu. Jika segera
dipalingkannya, maka tidak ada dosa baginya. Namun bila ia terus
memandangi si wanita, ia berdosa berdasarkan hadits ini. Karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Jarir untuk
memalingkan pandangannya. Juga bersamaan dengan adanya firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
“Katakanlah (Ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah
mereka menahan sebagian pandangan mata…’.” (An-Nur: 30) [Al-Minhaj,
14/364]
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menundukkan pandangan dari
lawan jenis, karena melihat wanita yang haram untuk dilihat, adalah
zina. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ
ذَلِكَ لاَ مَحَالَة، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ
الْمَنْطِقُُ، وَالنَّفُسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ
ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina[2],
dia akan mendapatkannya, tidak bisa terhindarkan. Maka zinanya mata
dengan memandang (yang haram), dan zinanya lisan dengan berbicara.
Sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan kemaluan
yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari no.
6243 dan Muslim no. 2657)
Dalam lafadz lain disebutkan:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَى، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَ
مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ
زِنَاهُمَا الْاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ
زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى
وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperoleh hal itu,
tidak bisa terhindarkan. Kedua mata itu berzina dan zinanya dengan
memandang (yang haram). Kedua telinga itu berzina dan zinanya dengan
mendengarkan (yang haram). Lisan itu berzina dan zinanya dengan
berbicara (yang diharamkan). Tangan itu berzina dan zinanya dengan
memegang. Kaki itu berzina dan zinanya dengan melangkah (kepada apa yang
diharamkan). Sementara hati itu berkeinginan dan berangan-angan,
sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR.
Muslim no. 2657)
Memandang wanita yang haram teranggap zina, karena seorang lelaki
merasakan kenikmatan tatkala melihat keindahan si wanita. Hal ini akan
menumbuhkan sebuah “rasa” di hati si lelaki, sehingga hatinya pun
terpaut dan pada akhirnya mendorongnya untuk melakukan perbuatan keji
dengan si wanita. Tentunya kita maklumi adanya saling pandang antara
lawan jenis bisa terjadi karena adanya ikhtilath antara lawan jenis.
Ikhtilath pun dilarang karena akan berujung kepada kejelekan.
3. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan di dalam dada.” (Ghafir: 19)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Ayat ini terkait dengan
seorang lelaki yang duduk bersama suatu kaum. Lalu lewatlah seorang
wanita. Ia pun mencuri pandang kepada si wanita.” Ibnu Abbas berkata
pula, “Lelaki itu mencuri pandang kepada si wanita. Namun bila
teman-temannya melihat dirinya, ia menundukkan pandangannya. Bila ia
melihat mereka tidak memerhatikannya (lengah), ia pun memandang si
wanita dengan sembunyi-sembunyi. Bila teman-temannya melihatnya lagi, ia
kembali menundukkan pandangannya. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengetahui keinginannya dirinya. Ia ingin andai dapat melihat aurat si
wanita.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 15/198)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifatkan mata yang mencuri pandang kepada
wanita yang tidak halal untuk dipandang sebagai mata yang khianat. Lalu
bagaimana lagi dengan ikhtilath? Bila memandang saja dicap berkhianat
sebagai suatu cap yang jelek, apalagi berbaur dan saling bersentuhan
dengan wanita ajnabiyah.
4. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah
bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang dahulu.”
(Al-Ahzab: 33)
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada
istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang suci lagi
menjaga kehormatan diri untuk tetap tinggal di rumah mereka. Hukum ini
berlaku umum untuk semua wanita yang beriman, karena tidak ada dalil
yang menunjukkan kekhususan ayat ini hanya untuk para istri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka diperintah tetap tinggal di dalam
rumah, kecuali bila ada kebutuhan darurat untuk keluar rumah. Lalu
bagaimana bisa dikatakan bahwa ikhtilath dengan lawan jenis sebagai
perkara yang boleh dilakukan, sementara wanita diperintah untuk tidak
keluar dari rumahnya?
Adapun dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan tidak dibolehkannya ikhtilath, di antaranya:
1. Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha istri Abu Humaid As-Sa’idi Al-Anshari
radhiyallahu ‘anahu datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku senang shalat
berjamaah bersamamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّيْنَ الصَّلاَةَ مَعِيْ، وَصَلاَتُكِ فِي
بَيْتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي
حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي دَارِكِ
خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسجدِ قَومِِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي مَسْجِدِ
قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِي
“Sungguh aku tahu bahwa engkau senang shalat berjamaah bersamaku, akan
tetapi shalatmu di kamar khususmu lebih baik daripada shalatmu di
kamarmu. Dan shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di
rumahmu. Dan shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid
kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih utama bagimu daripada
shalatmu di masjidku.” (HR. Ahmad 6/371. Al-Haitsami berkata, “Rijal
hadits ini rijal shahih kecuali Abdullah bin Suwaid, ia di-tsiqah-kan
oleh Ibnu Hibban.” Demikian pula yang dikatakan Al-Hafizh dalam
At-Ta’jil. Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad, 18/424, cet. Darul
Hadits, Al-Qahirah)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menyatakan, “Hadits seperti ini
memberi pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama. Jika
mereka (para wanita) berkata, ‘Aku ingin shalat di masjid agar dapat
berjamaah.’ Maka aku katakan, ‘Sesungguhnya shalatmu di rumahmu lebih
utama dan lebih baik.’ Hal itu karena seorang wanita akan terjauh dari
ikhtilath dengan lelaki yang bukan mahramnya, sehingga akan
menjauhkannya dari fitnah.” (Majmu’ah Durus Fatawa, 2/274)
Beliau rahimahullahu juga mengatakan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda demikian sementara beliau berada di Madinah. Dan kita
tahu shalat di Masjid Nabawi memiliki keutamaan dan nilai lebih. Akan
tetapi karena shalat seorang wanita di rumahnya lebih tertutup baginya
dan lebih jauh dari fitnah (godaan) maka hal itu lebih utama dan lebih
baik.” (Al-Fatawa Al-Makkiyyah, hal. 26-27, sebagaimana dinukil dalam
Al-Qaulul Mubin fi Ma’rifati ma Yuhammimul Mushallin, hal. 570)
2. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf (jamaah) lelaki adalah shaf yang awal dan
sejelek-jelek shaf (jamaah) lelaki adalah yang akhirnya. Sebaik-baik
shaf wanita adalah shaf yang terakhir dan sejelek-jelek shaf wanita
adalah yang paling awal.” (HR. Muslim no. 440)
Al-Imam Nawawi rahimahullahu berkata, “Adapun shaf-shaf lelaki maka
secara umum selama-lamanya yang terbaik adalah shaf awal, dan
selama-lamanya yang paling jelek adalah shaf akhir. Beda halnya dengan
shaf wanita. Yang dimaukan dalam hadits ini adalah shaf wanita yang
shalat bersama kaum lelaki. Adapun bila mereka (kaum wanita) shalat
terpisah dari jamaah lelaki, tidak bersama dengan lelaki, maka shaf
mereka sama dengan lelaki. Yakni, yang terbaik adalah shaf yang awal
sementara yang paling jelek adalah shaf yang paling akhir. Yang dimaksud
shaf yang jelek bagi lelaki dan wanita adalah yang paling sedikit
pahalanya dan keutamaannya, serta paling jauh dari tuntunan syar’i.
Sedangkan maksud shaf yang terbaik adalah sebaliknya. Shaf yang paling
akhir bagi wanita yang hadir shalat berjamaah bersama lelaki memiliki
keutamaan karena wanita yang berdiri dalam shaf tersebut akan jauh dari
bercampur baur dengan lelaki dan melihat mereka. Di samping jauhnya
mereka dari berhubungan dengan kaum lelaki dan memikirkan mereka ketika
melihat gerakan mereka, mendengar ucapannya, dan semisalnya. Shaf yang
awal dianggap jelek bagi wanita karena alasan yang sebaliknya dari yang
telah disebutkan.” (Syarh Shahih Muslim, 4/159-160)
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu menyatakan, “Dalam hadits ini ada
petunjuk bolehnya wanita berbaris dalam shaf-shaf. Dan zahir hadits ini
menunjukkan sama saja baik shalat mereka itu bersama kaum lelaki atau
bersama wanita lainnya. Alasan baiknya shaf akhir bagi wanita karena
dalam keadaan demikian mereka jauh dari kaum lelaki, jauh dari melihat
dan mendengar ucapan mereka. Namun alasan ini tidaklah terwujud kecuali
bila mereka shalat bersama lelaki. Adapun bila mereka shalat dengan
diimami seorang wanita maka shaf mereka sama dengan shaf lelaki, yang
paling utama adalah shaf yang awal.” (Subulus Salam, 2/49)
Apabila penetap syariat menjaga jangan sampai campur baur dan
keterpautan antara lelaki dan wanita terjadi pada tempat ibadah, padahal
dalam shalat jelas terpisah antara shaf lelaki dengan shaf wanita dan
umumnya mereka yang datang memang ingin menghadap kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, jauh dari keinginan untuk berbuat jelek, maka tentunya di
tempat lain yang terjadi ikhtilath lebih utama lagi pelarangannya.
3. Zainab radhiyallahu ‘anha istri Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada
kami:
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيْبًا
“Apabila salah seorang dari kalian menghadiri shalat berjamaah di masjid
maka jangan ia menyentuh (memakai) minyak wangi.” (HR. Muslim no. 996)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ
“Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari mendatangi
masjid- masjid Allah. Akan tetapi hendaklah mereka keluar rumah dalam
keadaan tidak memakai wangi-wangian.” (HR. Abu Dawud no. 565. Kata
Al-Imam Al Albani rahimahullahu, “Hadits ini hasan shahih.”)
Ibnu Daqiqil Id rahimahullahu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang para wanita keluar menuju masjid bila mereka memakai
wangi-wangian atau dupa-dupaan, karena akan membuat fitnah bagi lelaki
dengan aroma semerbak mereka, sehingga menggerakkan hati dan syahwat
lelaki. Tentunya pelarangan memakai wangi-wangian bagi wanita selain
keluar menuju ke masjid lebih utama lagi (keluar ke pasar, misalnya,
pent.).”
Beliau mengatakan pula, “Termasuk dalam makna wangi-wangian adalah
menampakkan perhiasan, pakaian yang bagus, suara gelang kaki, dan
perhiasan.” (Al-Ikmal, 2/355)
Keluar rumah memakai wangi-wangian saja dilarang bagi wanita, apalagi bercampur baur dengan lelaki ajnabi.
4. Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anahuma menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا تَرَكْتُ فِتْنَةً بَعْدِيْ هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah (ujian) sepeninggalku yang lebih
berbahaya bagi lelaki daripada fitnah wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5096
dan Muslim no. 6880)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas menyatakan
wanita sebagai fitnah (ujian/ cobaan) bagi lelaki. Lalu apa persangkaan
kita bila yang menjadi fitnah dan yang terfitnah berkumpul pada satu
tempat?
5. Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ
فِيْهَا فَنَاظِرٌ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُنْيَا وَاتَّقُوا
النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي
النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia ini manis lagi hijau, dan sungguh Allah menjadikan
kalian sebagai khalifah di atasnya, lalu Dia akan melihat bagaimana
kalian berbuat. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan
hati-hatilah terhadap wanita, karena awal fitnah yang menimpa Bani
Israil dari wanitanya.” (HR. Muslim no. 6883)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan lelaki untuk
berhati-hati dari wanita. Lalu bagaimana perintah beliau ini dapat
terealisir bila ikhtilath dianggap boleh? Bila demikian keadaannya maka
jelaslah keharaman ikhtilath.
6. Abu Usaid Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita ketika beliau
keluar dari masjid dan mendapati para lelaki bercampur baur dengan
mereka di jalan:
اسْتَأْخِرْنَ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرْيْقَ،
عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيْقِ.- فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْصُقُ
بِالْجِدَارِ حَتَّى أَنَّ ثَوْبَهَا يَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ
لُصُوقِهَا بِهِ
“Berjalanlah kalian di belakang (jangan mendahului laki-laki). Karena
sungguh tidak ada bagi kalian hak untuk lewat di tengah-tengah jalan,
tapi bagi kalian hanyalah (boleh lewat/berjalan di) tepi-tepi jalan.”
Maka ada wanita yang berjalan menempel/merapat ke dinding/tembok
sampai-sampai pakaiannya melekat dengan tembok karena rapatnya dengan
tembok tersebut. (HR. Abu Dawud no. 5272, dihasankan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 856 dan Al-Misykat no. 4727)
Dalam hadits di atas jelas sekali larangan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dari ikhtilath di jalanan karena akan mengantarkan
kepada fitnah. Pelarangan ini juga berlaku di tempat lain.
7. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menceritakan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا سَلَّمَ قَامَ النِّسَاءُ
حِيْنَ يَقْضِي تَسْلِيْمَهُ، وَيَمْكُثُ هُوَ فِي مَقَامِهِ يَسِيْرًا
قَبْلَ أَنْ يَقُوْمَ. قَالَ: نَرَى – وَاللهُ أَعْلَمُ- أَنَّ ذَلِكَ
كَانَ لِكَيْ يَنْصَرِفَ النِّسَاءُ قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ
الرِّجاَلِ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila telah mengucapkan
salam sebagai akhir shalatnya, maka para wanita yang ikut hadir dalam
shalat berjamaah bersama beliau segera bangkit meninggalkan masjid
pulang kembali ke rumah mereka. Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tetap diam sebentar di tempatnya sebelum beliau bangkit.”
Perawi hadits ini berkata, “Kami memandang –wallahu a’lam– Rasulullah
berbuat demikian agar para wanita telah pulang semuanya meninggalkan
masjid sebelum ada seorang lelakipun yang mendapati/bertemu dengan
mereka” (HR. Al-Bukhari no. 870)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghindarkan terjadinya
ikhtilath antara lelaki dan wanita sepulangnya mereka dari menunaikan
ibadah shalat di masjid. Ini jelas menunjukkan terlarangnya ikhtilath.
8. Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu berkata dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَـحِلُّ لَهُ
“Ditusuk kepala seorang lelaki dengan jarum dari besi itu lebih baik
baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya[3].” (HR.
Ar-Ruyani dalam Musnadnya 2/227. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu
berkata, “Hadits ini sanadnya jayyid.” Lihat Ash-Shahihah no. 226)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang laki-laki bersentuhan
dengan wanita yang bukan mahramnya karena bersentuhan dengan lawan jenis
memberi dampak yang jelek. Dan saling sentuh ini bisa terjadi karena
adanya ikhtilath, maka pantas sekali bila ikhtilath itu dilarang karena
akibat buruk yang ditimbulkannya.
Demikian beberapa dalil yang bisa dibawakan untuk menunjukkan terlarangnya ikhtilath.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan kaki:
[1] Beliau adalah Abu Abdil Aziz Muhammad bin Ibrahim bin Abdil Lathif
bin Abdurrahman bin Hasan bin Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhab, semoga
Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka semua. Beliau lahir di
Riyadh, 17 Muharram 1311 H. Tumbuh dalam bimbingan langsung dari sang
ayah dan pamannya Abdullah bin Abdil Lathif, seorang yang sangat alim di
zamannya. Hafal Al-Qur’an pada usia 11 tahun dan mengalami kebutaan
pada usia 16 tahun, namun tidak mengurangi semangatnya untuk meraup ilmu
dari ulama yang hidup di masa itu. Beliau adalah mufti kerajaan Saudi
Arabia di zamannya. Dari pengajaran beliau, lahirlah para ulama besar
seperti Asy-Syaikh Abdullah bin Humaid, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz,
Asy-Syaikh Abdullah Al-Qar’awi, dan selain mereka –semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka semuanya–. Beliau wafat di bulan
Ramadhan tahun 1389 H dengan mewariskan banyak karya dalam bentuk fatwa,
rasa’il dan masa’il yang telah dicetak
berjilid-jilid tebalnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau dan menempatkannya di surga-Nya nan luas.
[2] Yakni zina itu tidak hanya apa yang diperbuat oleh kemaluan, bahkan
memandang apa yang haram dipandang dan selainnya juga diistilahkan zina.
(Fathul Bari, 11/28)
[3] Faedah: Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata setelah membawakan
hadits ini, “Dalam hadits ini ada ancaman yang keras bagi lelaki yang
menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Ini juga merupakan dalil
haramnya berjabat tangan dengan wanita, karena berjabat tangan jelas
tanpa ragu terjadi sentuhan. Kebanyakan kaum muslimin di masa ini telah
ditimpa musibah, bahkan di antara mereka sebagiannya adalah ahlul ilmi.
Seandainya ahlul ilmi ini mengingkari hal tersebut dengan hati mereka,
niscaya sebagian perkaranya jadi mudah. Akan tetapi mereka menghalalkan
berjabat tangan tersebut dengan beragam cara/jalan dan penakwilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar