“Ayah... hujan yah... berhenti dulu!!!”
Setengah berlari aku terus melihat sosok
tegar dan kuat. Berhenti dan kembali berlari kecil. Ayah. Beliau terus
mengayunkan kedua lengannya, mengadukan ujung cangkul dengan tanah subur
sembari menerima tetesan air langit yang semakin lama semakin cepat terjun ke
bumi. Ayah memang seperti itu, tak banyak berubah sejak pensiun dari Angkatan
Darat. Dan juga sejak kedua kakakku berkelana dengan ilmu serta titipan do’a
darinya. Ibu memang telah berpulang sejak kami kecil, dan ayah setia menemani
kami bertiga sampai saat ini.
“Ayah...!”
Ayah menyapu dahinya yang semakin mengerut,
“Iya nak... sebentar...,” seuntai senyum terarah lembut padaku. Ah, sungguh,
ini menjadi hal paling kami bertiga suka.
Air yang kumasak mulai menunjukkan tanda
mendidih, kepulan asap dari kayu bakar yang kunyalakan setengah jam sebelumnya
semakin banyak dan terhempas hembusan angin. Hujan semakin deras, perlahan dan
terus menghujam ke seantero bumi sejauh mata memandang. Ayah berjalan tenang ke
arahku sambil memanggul cangkul di bahu kanan dan juga memegang capingnya yang
lusuh.
“Ayah jangan sering kehujanan... nanti
sakit,” aku mengambil sebuah gelas dan mengambil bubuk kopi serta gula, “Ayah
sudah semakin tua... biar Ade yang mengerjakan ladang ini.”
Ayah tersenyum manis dan menaruh cangkulnya
dekat pilar bambu saung, “Nggak apa-apa nak... ayah memang sudah tua,”
Aku memberikan segelas kopi panas untuk ayah.
Beliau mengusap pelan wajahnya yang basah dengan handuk. Aroma kopi yang masih
mengepul membangkitkan keinginanku untuk juga menikmatinya bersama ayah,
seperti hari-hari libur biasanya. Sabtu dan Minggu. Dua hari ini aku
memanfaatkan waktu untuk selalu bersama ayah, termasuk sepulang sekolah karena
Ayah baru akan pulang dari ladang menjelang waktu Ashar.
“Nak...,” Ayah meletakkan gelas berisi
kopinya dan memandangku tenang.
“Iya Ayah...,”
“Kamu tahu...? Hujan itu adalah anugerah bagi
semesta... hujan adalah tanda cinta dari langit kepada makhluk di bumi.”
Aku mengernyitkan dahi, menghirup aroma
nikmatnya kopi panas sembari memperhatikan wajah Ayah. Beliau tersenyum manis
atas kepolosanku. Dan anugerah dari langit itu semakin deras menghujam ke bumi
tanpa ampun, diiringi gemuruh genderang langit yang berpadu cahaya di ufuk Barat.
Ayah memandangku tenang, lebih teduh dari
biasanya. “Kau tahu nak... hujan adalah tanda cinta dari semesta untuk kita.
Seperti hujan... cinta adalah ketulusan untuk memberi. Cinta adalah energi luar
biasa untuk memberikan seluruh yang ada bersama ketulusan.”
Ayah memegang kedua bahuku pelan, meremasnya
sembari melayangkan senyuman. “Sebagaimana cinta... maka ia adalah kekuatan
untuk memberi. Ibumu pernah mengatakan hal ini kepada Ayah,” Ayah menyapu pelan
bulir air mata hangat yang mengalir, “Ibarat hujan yang memberikan keteduhan,
hujan yang membawa kesuburan bagi tanaman kita dan semuanya. Darinya... tumbuh
berbagai macam tanaman yang bisa dimanfaatkan. Darinya... kita belajar tentang
cinta yang tak terbatas. Cinta adalah energi untuk berbagi kepada semuanya.
Hujan tidak pandang bulu... tanah... batu... hewan... tumbuhan.... dan bahkan
manusia beroleh manfaatnya.”
“Tapi Ayah...,” aku sedikit menunduk hingga
beradu pandang dengan Ayah kembali, “Bukankah hujan yang banyak pun membawa
bencana... banjir...?!”
Ayah menarik nafas agak panjang, “Ya...
nak... sebagaimana cinta. Jika ia terlalu besar dan tidak diarahkan kepada yang
benar maka ia hanya membawa petaka dalam kehidupan. Cinta bisa menghancurkan
keharmonisan hubungan antar manusia dengan manusia... serta manusia dengan
alam. Jika cinta itu bermakna memberi... maka ia tidak akan mengambil terlalu
banyak dari bukti cinta yang alam berikan.”
Ayah mengalihkan pandangan ke ufuk Barat yang
mulai berhenti bergemuruh, “Jika kita memiliki cinta yang besar... maka bagilah
ia kepada semesta... berikan pada setiap manusia... sempurnakan dengan kebaikan
yang ada pada cinta. Karena cinta yang besar pun bisa menghancurkan. Nak...,”
Ayah kembali memandangku, “Pastikan... hanya cinta kepada Sang Maha Menciptakan
cinta yang lebih besar dari segalanya. Karena cinta kepada dunia hanya akan
menghancurkan hidup kita... cinta dunia yang akan menghancurkan hubungan sesama
manusia.”
Aku mengangguk. Ayah selalu begitu, tenang
dan meneduhkan. Untaian kalimat hikmahnya ibarat Luqman yang tengah menasehati
anaknya. Seakan menemukan sosok ayah sejati yang selalu menjaga anak-anaknya
untuk terus dalam kebaikan. Ayah memang seperti itu. Tidak ada yang berubah
sejak Ibu kembali kehadirat-Nya. Kami mencintaimu Ayah dan akan mengikuti semua
nasihat-nasihat kebaikanmu. Segalanya terpatri dalam hati.
*****
Sudah lebih dua tahun lamanya aku tak bertemu
Ayah. Terpisah jarak dan waktu, meski sesekali suara beliau begitu hangat
menyapa telinga. Dan hujan masih membasahi bumi, seiring bergulirnya waktu.
Hari-hari terus berganti dan hujan terus membasahi bumi. Segala waktu yang
terlewati selalu menjadi pelajaran yang berarti.
Pesan Ayah tentang hujan terus terjaga. Ya,
cinta memang energi untuk memberi. Aku paham, ketika memberi bukanlah yang ada
pada kita habis. Namun itu terus bertambah dan membuatku bersemangat untuk
terus memberi dan berbagi. Ilmu dan cinta. Dua pesan yang Ayah berikan saat aku
hendak melanjutkan kuliah ke luar kota.
‘Hujan
adalah rahmat-Nya bagi semesta...,’
Aku memandang jendela yang mengembun, tangan
kananku memegang foto berbingkai. Aku dan Ayah bersama kedua kakakku. Ya, dua
tahun sudah aku berpisah karena tugas luar pulau. Jauh dari Ayah menjadi hal
yang tersulit. Tidak banyak lagi kalimat hikmah yang beliau sampaikan untukku
dan juga kami bertiga. Tapi pesan Ayah tak pernah kulupa dan kehadiran si kecil
Wahyu serta bidadari hati, Rena, adalah tanda cinta Sang Maha Menciptakan cinta
untukku.
Dua jam sudah langit kelabu. Mengisi seluruh
pandanganku, lamunanku serta waktu istirahatku. Aku selalu menunggu saat-saat
seperti ini. Menikmati hujan dari balik jendela.
“Mas...?”
Aku berpaling ke arah suara lembut yang
menyapaku, “Iya sayang...,”
Rena memerah. Ya, kata ‘sayang’ menjadi kata
yang selalu membuatnya menunduk. Aku bertemu dengannya setelah lulus dan kami
memutuskan untuk berumah tangga. Dan Ayah, orang yang sudah mendukungku pertama
kali untuk berumah tangga. Berbagi cinta.
“Ada telepon dari Mas Arya. Tadi nelpon kamu
nggak diangkat...,”
Aku bergegas mendekati sang bidadari,
melayangkan senyuman termanis yang barangkali sudah cukup bosan ia terima.
Memandang cinta sang bidadari menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku. Bidadari
yang menjaga diri dan terus menjalankan ajaran agama.
“Handphoneku mati...,” aku meraih ponsel di
tangan kanan istriku, “Nanti malam kita makan di luar ya...?”
Rena mengernyitkan dahinya, “Sama Wahyu...?”
Aku mengangguk. Rena duduk tenang di atas
tempat tidur dan mulai membuka beberapa halaman buku.
“Assalamu’alaykum... iya mas Arya...,”
“Wa’alaykum salam... Ade... Ayah...?”
Aku berdiri tegang setelah kata ‘Ayah’
terucap. Mas Arya memang sedang libur dari kantor dan tinggal bersama Ayah.
Sekaligus menjaga beliau yang sedang sakit beberapa hari ini.
“Ada apa mas...? kenapa Ayah...?”
Arya meremas-remas rambutnya, air matanya
mulai meleleh. “A... aaa.... aaa... yah... meninggal!”
‘Innalillaahi
wainna ilaihi raaji’uun...,’
“Mas... Arya...?”
‘Prak...!’
*****
Sunyi berpadu dengan sedu-sedan. Kumpulan
tanah yang beberapa diantaranya dihiasi ilalang menjadi pemandangan beraroma
kelabu. Ayah. Sosok tenang dan penuh hikmah itu kini sudah tenang. Tidur
berdampingan bersama ibu. Makam Ayah dan Ibu berdampingan, dan kami hanya mampu
menahan isak tangis. Si kecil Wahyu mengusap makam Ayah pelan, mengisyaratkan
salam kehilangan.
“Ayah sudah pergi mas...,” aku menutup
seluruh wajahku dengan telapak tangan.
Arya memegang bahu kananku dan Rama meremas
bahu kiriku. Kelabu masih menghiasi langit semesta, tak hanya hati kami
bertiga. Wajah Arya dan Rama sangat mirip Ayah dan aku mewarisi wajah Ibu. Bagi
bertiga kehilangan dua sosok penuh hikmah dan juga cinta, seakan langit pun
hendak menangis dari tanda-tanda gemuruhnya yang mulai tertabuh.
Arya terduduk, memandang wajah sayuku. “De...
ingat-ingat pesan Ayah untuk kita semua,”
“Bersyukur kita dilahirkan oleh kedua orang
tua yang mengajari kita tentang cinta,” Rama memandang teduh dua batu nisan di
depannya, “Seperti hujan yang akan turun... cinta adalah energi atau kekuatan
untuk memberi secara tulus,”
Aku mengangguk, tak terasa air mata pu
mengalir. Cepat kuusap agar tak jatuh ke bumi. Biarlah hujan yang kelak menjadi
peneduh serta pembawa kebaikan bagi semesta. Tanda cinta-Nya yang tak bertepi,
tanda rahmat-Nya yang seharusnya membuat manusia semakin bersyukur. Ayah telah
pergi menyusul Ibu, namun hujan akan terus turun dan membasahi bumi.
‘Hujan
akan terus memberikan tanda cinta bagi semesta.’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar