Rabu, 07 Januari 2015

PESAN DARI HUJAN

“Ayah... hujan yah... berhenti dulu!!!”
Setengah berlari aku terus melihat sosok tegar dan kuat. Berhenti dan kembali berlari kecil. Ayah. Beliau terus mengayunkan kedua lengannya, mengadukan ujung cangkul dengan tanah subur sembari menerima tetesan air langit yang semakin lama semakin cepat terjun ke bumi. Ayah memang seperti itu, tak banyak berubah sejak pensiun dari Angkatan Darat. Dan juga sejak kedua kakakku berkelana dengan ilmu serta titipan do’a darinya. Ibu memang telah berpulang sejak kami kecil, dan ayah setia menemani kami bertiga sampai saat ini.
“Ayah...!”
Ayah menyapu dahinya yang semakin mengerut, “Iya nak... sebentar...,” seuntai senyum terarah lembut padaku. Ah, sungguh, ini menjadi hal paling kami bertiga suka.
Air yang kumasak mulai menunjukkan tanda mendidih, kepulan asap dari kayu bakar yang kunyalakan setengah jam sebelumnya semakin banyak dan terhempas hembusan angin. Hujan semakin deras, perlahan dan terus menghujam ke seantero bumi sejauh mata memandang. Ayah berjalan tenang ke arahku sambil memanggul cangkul di bahu kanan dan juga memegang capingnya yang lusuh.
“Ayah jangan sering kehujanan... nanti sakit,” aku mengambil sebuah gelas dan mengambil bubuk kopi serta gula, “Ayah sudah semakin tua... biar Ade yang mengerjakan ladang ini.”
Ayah tersenyum manis dan menaruh cangkulnya dekat pilar bambu saung, “Nggak apa-apa nak... ayah memang sudah tua,”
Aku memberikan segelas kopi panas untuk ayah. Beliau mengusap pelan wajahnya yang basah dengan handuk. Aroma kopi yang masih mengepul membangkitkan keinginanku untuk juga menikmatinya bersama ayah, seperti hari-hari libur biasanya. Sabtu dan Minggu. Dua hari ini aku memanfaatkan waktu untuk selalu bersama ayah, termasuk sepulang sekolah karena Ayah baru akan pulang dari ladang menjelang waktu Ashar.
“Nak...,” Ayah meletakkan gelas berisi kopinya dan memandangku tenang.
“Iya Ayah...,”
“Kamu tahu...? Hujan itu adalah anugerah bagi semesta... hujan adalah tanda cinta dari langit kepada makhluk di bumi.”
Aku mengernyitkan dahi, menghirup aroma nikmatnya kopi panas sembari memperhatikan wajah Ayah. Beliau tersenyum manis atas kepolosanku. Dan anugerah dari langit itu semakin deras menghujam ke bumi tanpa ampun, diiringi gemuruh genderang langit yang berpadu cahaya di ufuk Barat.
Ayah memandangku tenang, lebih teduh dari biasanya. “Kau tahu nak... hujan adalah tanda cinta dari semesta untuk kita. Seperti hujan... cinta adalah ketulusan untuk memberi. Cinta adalah energi luar biasa untuk memberikan seluruh yang ada bersama ketulusan.”
Ayah memegang kedua bahuku pelan, meremasnya sembari melayangkan senyuman. “Sebagaimana cinta... maka ia adalah kekuatan untuk memberi. Ibumu pernah mengatakan hal ini kepada Ayah,” Ayah menyapu pelan bulir air mata hangat yang mengalir, “Ibarat hujan yang memberikan keteduhan, hujan yang membawa kesuburan bagi tanaman kita dan semuanya. Darinya... tumbuh berbagai macam tanaman yang bisa dimanfaatkan. Darinya... kita belajar tentang cinta yang tak terbatas. Cinta adalah energi untuk berbagi kepada semuanya. Hujan tidak pandang bulu... tanah... batu... hewan... tumbuhan.... dan bahkan manusia beroleh manfaatnya.”
“Tapi Ayah...,” aku sedikit menunduk hingga beradu pandang dengan Ayah kembali, “Bukankah hujan yang banyak pun membawa bencana... banjir...?!”
Ayah menarik nafas agak panjang, “Ya... nak... sebagaimana cinta. Jika ia terlalu besar dan tidak diarahkan kepada yang benar maka ia hanya membawa petaka dalam kehidupan. Cinta bisa menghancurkan keharmonisan hubungan antar manusia dengan manusia... serta manusia dengan alam. Jika cinta itu bermakna memberi... maka ia tidak akan mengambil terlalu banyak dari bukti cinta yang alam berikan.”
Ayah mengalihkan pandangan ke ufuk Barat yang mulai berhenti bergemuruh, “Jika kita memiliki cinta yang besar... maka bagilah ia kepada semesta... berikan pada setiap manusia... sempurnakan dengan kebaikan yang ada pada cinta. Karena cinta yang besar pun bisa menghancurkan. Nak...,” Ayah kembali memandangku, “Pastikan... hanya cinta kepada Sang Maha Menciptakan cinta yang lebih besar dari segalanya. Karena cinta kepada dunia hanya akan menghancurkan hidup kita... cinta dunia yang akan menghancurkan hubungan sesama manusia.”
Aku mengangguk. Ayah selalu begitu, tenang dan meneduhkan. Untaian kalimat hikmahnya ibarat Luqman yang tengah menasehati anaknya. Seakan menemukan sosok ayah sejati yang selalu menjaga anak-anaknya untuk terus dalam kebaikan. Ayah memang seperti itu. Tidak ada yang berubah sejak Ibu kembali kehadirat-Nya. Kami mencintaimu Ayah dan akan mengikuti semua nasihat-nasihat kebaikanmu. Segalanya terpatri dalam hati.
*****
Sudah lebih dua tahun lamanya aku tak bertemu Ayah. Terpisah jarak dan waktu, meski sesekali suara beliau begitu hangat menyapa telinga. Dan hujan masih membasahi bumi, seiring bergulirnya waktu. Hari-hari terus berganti dan hujan terus membasahi bumi. Segala waktu yang terlewati selalu menjadi pelajaran yang berarti.
Pesan Ayah tentang hujan terus terjaga. Ya, cinta memang energi untuk memberi. Aku paham, ketika memberi bukanlah yang ada pada kita habis. Namun itu terus bertambah dan membuatku bersemangat untuk terus memberi dan berbagi. Ilmu dan cinta. Dua pesan yang Ayah berikan saat aku hendak melanjutkan kuliah ke luar kota.
‘Hujan adalah rahmat-Nya bagi semesta...,’
Aku memandang jendela yang mengembun, tangan kananku memegang foto berbingkai. Aku dan Ayah bersama kedua kakakku. Ya, dua tahun sudah aku berpisah karena tugas luar pulau. Jauh dari Ayah menjadi hal yang tersulit. Tidak banyak lagi kalimat hikmah yang beliau sampaikan untukku dan juga kami bertiga. Tapi pesan Ayah tak pernah kulupa dan kehadiran si kecil Wahyu serta bidadari hati, Rena, adalah tanda cinta Sang Maha Menciptakan cinta untukku.
Dua jam sudah langit kelabu. Mengisi seluruh pandanganku, lamunanku serta waktu istirahatku. Aku selalu menunggu saat-saat seperti ini. Menikmati hujan dari balik jendela.
“Mas...?”
Aku berpaling ke arah suara lembut yang menyapaku, “Iya sayang...,”
Rena memerah. Ya, kata ‘sayang’ menjadi kata yang selalu membuatnya menunduk. Aku bertemu dengannya setelah lulus dan kami memutuskan untuk berumah tangga. Dan Ayah, orang yang sudah mendukungku pertama kali untuk berumah tangga. Berbagi cinta.
“Ada telepon dari Mas Arya. Tadi nelpon kamu nggak diangkat...,”
Aku bergegas mendekati sang bidadari, melayangkan senyuman termanis yang barangkali sudah cukup bosan ia terima. Memandang cinta sang bidadari menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku. Bidadari yang menjaga diri dan terus menjalankan ajaran agama.
“Handphoneku mati...,” aku meraih ponsel di tangan kanan istriku, “Nanti malam kita makan di luar ya...?”
Rena mengernyitkan dahinya, “Sama Wahyu...?”
Aku mengangguk. Rena duduk tenang di atas tempat tidur dan mulai membuka beberapa halaman buku.
“Assalamu’alaykum... iya mas Arya...,”
“Wa’alaykum salam... Ade... Ayah...?”
Aku berdiri tegang setelah kata ‘Ayah’ terucap. Mas Arya memang sedang libur dari kantor dan tinggal bersama Ayah. Sekaligus menjaga beliau yang sedang sakit beberapa hari ini.
“Ada apa mas...? kenapa Ayah...?”
Arya meremas-remas rambutnya, air matanya mulai meleleh. “A... aaa.... aaa... yah... meninggal!”
            ‘Innalillaahi wainna ilaihi raaji’uun...,’
“Mas... Arya...?”
‘Prak...!’
*****
Sunyi berpadu dengan sedu-sedan. Kumpulan tanah yang beberapa diantaranya dihiasi ilalang menjadi pemandangan beraroma kelabu. Ayah. Sosok tenang dan penuh hikmah itu kini sudah tenang. Tidur berdampingan bersama ibu. Makam Ayah dan Ibu berdampingan, dan kami hanya mampu menahan isak tangis. Si kecil Wahyu mengusap makam Ayah pelan, mengisyaratkan salam kehilangan.
“Ayah sudah pergi mas...,” aku menutup seluruh wajahku dengan telapak tangan.
Arya memegang bahu kananku dan Rama meremas bahu kiriku. Kelabu masih menghiasi langit semesta, tak hanya hati kami bertiga. Wajah Arya dan Rama sangat mirip Ayah dan aku mewarisi wajah Ibu. Bagi bertiga kehilangan dua sosok penuh hikmah dan juga cinta, seakan langit pun hendak menangis dari tanda-tanda gemuruhnya yang mulai tertabuh.
Arya terduduk, memandang wajah sayuku. “De... ingat-ingat pesan Ayah untuk kita semua,”
“Bersyukur kita dilahirkan oleh kedua orang tua yang mengajari kita tentang cinta,” Rama memandang teduh dua batu nisan di depannya, “Seperti hujan yang akan turun... cinta adalah energi atau kekuatan untuk memberi secara tulus,”
Aku mengangguk, tak terasa air mata pu mengalir. Cepat kuusap agar tak jatuh ke bumi. Biarlah hujan yang kelak menjadi peneduh serta pembawa kebaikan bagi semesta. Tanda cinta-Nya yang tak bertepi, tanda rahmat-Nya yang seharusnya membuat manusia semakin bersyukur. Ayah telah pergi menyusul Ibu, namun hujan akan terus turun dan membasahi bumi.
               ‘Hujan akan terus memberikan tanda cinta bagi semesta.’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar