Ah,
rasanya ingin bertukar peran dengan mereka. Dengung kebisingan bantaran kali
Ciliwung hanya mampu mencekik gila kami berdua.
‘Tak-tok... tak-tok...
tak-tok...,’
‘Fuih... hmm...,’
Kau
tahu, kami sebenarnya membenci pekerjaan berkuman ini. Bukan karena terpaksa,
bukan pula karena tidak ada lagi pekerjaan. Kami dipecat. Hingga akhirnya
kumpulan botol bekas air mineral mampu menghidupi kami yang mampu tinggal di
bangunan super sederhana. Ruangan 3 x 4 meter. Huh, kami tak bisa pulang ke rumah. Bukan karena malu, karena tak
berani menjadi maling agar bisa sampai ke Sijunjung yang jauh di mata.
Orang-orang
di sekitar kami selalu tertawa. Entah sedang menertawakan nasib kami, ataukah
tawa mereka hanya sekedar melepas penat kehidupan gila ‘para penjilat’ di
gedung mewah sana. Jakarta semakin bobrok saja dari tahun ke tahun. Tak ada
peubahan yang dijanjikan. Hanya omong kosong. Rasanya kami puas apabila melihat
mereka terjun bebas ke neraka meskipun kami sendiri tak tahu apakah bergabung
dengan mereka atau tidaknya nanti.
‘Ngung... ngung...
nguuuuung...’
‘Ceplak... teplok...
ceplak... teplak!!!’
Bisa-bisa
darah kami yang kurus-kering ini habis disedot oleh mereka. Sementara lingkaran
hijau tipis itu semakin membuat dada kami sesak. Fuh... tampaknya kami perlu berganti ke lotion anti nyamuk saja agar baunya ikut nimbrung menemani
kegelapan dingin ini.
Tapi
kami berdua beruntung. Setidaknya mampu bertahan selama lima tahun sebagai
pengumpul botol bekas, kardus bekas, dan bekas-bekas lainnya, kecuali bekas
manusia. Hiiyyy... pekerjaan ini
meskipun tidak menguntungkan namun masih membuat kami sebagai penabung. Dan
pada akhirnya celoteh-celoteh bandar yang selalu menakar hasil sehari-hari kami
selalu menggiring telinga tipis kami ke alam kenestapaan hidup.
Orang
tua yang menjadi bandar sekaligus pemimpin kami punya nasib yang sama. Meskipun
lebih beruntung. Berteman para preman dan juga kedua putra jeniusnya berhasil
menggiring ratusan PHK pabrik yang selalu mengepulkan asap hitam dan terkadang
putih di posisi matahari terbit sana.
‘Huh... kalau saja aku
menjadi petani. Pasti kulamar Ratih dan punya dua anak hari ini.’
‘Aku ingin pulang...
aku ingin pulang,’
Ya,
kalimat-kalimat penyesalan, ini dan itu terus menggerogoti malam bagi Akbar dan
Fauzan. Bagaimana tidak...? tawaran
kerja tujuh tahun yang lalu setelah lulus SMA membuat keduanya buta akan
kemampuan sesungguhnya. Gelar sarjana pertanian yang bisa saja diembat sirna
begitu saja. Si ‘banci’ itu berhasil mengotori masa depan keduanya. Perawakan
tegap Akbar tetap saja menyimpan kedunguan. Kecerdasan Fauzan apalagi.
Pundi-pundi uang dari pabrik di belahan matahari terbit sana memakan habis
kejernihan otaknya. Nasib.
“Ah...
makin lama kupikir tentang banci itu, kurapan juga aku nantinya.”
“Zan...
mau kau sebut si Padlun itu banci... tetap saja tak mampu membuat kita pulang
ke Sijunjung. Aku rindu amak dan
adik-adik... apalagi pusaran ayah,”
Akbar
tertunduk, “Hmm... tidurlah cepat-cepat, besok kita akan bertemu kembali pak
tua Sitompul itu.”
“Ya...
berdo’a dulu kita,”
“Tuhan...
tak perlu kau buat aku kaya, tapi buatlah kami berdua bisa pulang ke
gadang...,”
“Ah
kau... masih sempat pula bercanda sama Tuhan,”
“Hahaha...,”
Sarung
dengan motif garis-garis warna putih berhasil membuat Akbar terlelap. Kedua telapak
tangan Fauzan masih belum mampu mengusir nyamuk-nyamuk genit dari kulit sawo
matangnya. Malam ini indah. Ya, seindah aliran Sungai Ciliwung dengan
sampah-sampahnya.
*****
“Akbar...
Fauzan... nih!”
Tangan
kanan orang tua bernama Sitompul itu memberikan segepok lembaran ribuan serta puluhan ribu untuk dibagikan kepada barisan prajurit setia di depannya. Ya,
setiap pukul empat sore sudah menjadi kebiasaannya menagih hasil alam prajuritnya dari tumpukan barang usang ataupun gunungan
sampah agar diolah menjadi barang jadi oleh kedua anaknya yang cerdas. Bergelar sarjanakah keduanya....? ya,
setidaknya mampu untuk menciptakan kreasi dengan memakai nama palsu sesuai dengan
KTP setelah mampu melunakkan sang pembuat dengan amplop warna coklat.
“Kau
sepertinya bosan Zan, benar...?”
“Adalah
pak... aku sudah lima tahun sejak kau bawa kesini. Dan tak mungkin jadi orang
kaya. Aku ingin pulang...,”
‘Puk... puk... puk...,’
“Ah
kau ini Zan... masih pula memikirkan yang semalam,” geleng-geleng kepala pula
akhirnya si Akbar, sambil memperhatikan kedua tangan Fauzan yang
menggeser-geser uang bergambar pattimura.
Pak
Sitompul hanya mampu tersenyum sampai akhirnya berhasil membagikan ‘sedekah’
hasil keringat kepada para prajuritnya yang sudah bekerja keras dengan ikhlas.
“Sudah
puluhan orang aku usir atau pulangkan dari tempat yang aku sebut benteng ini,”
tangan kanan pak Sitompul meraih secangkir kopi, “Hmm... apa keputusan kau
sudah bulat?”
Fauzan
hanya mampu mengangguk, Akbar tak mau kalah dengan teman satu kontrakan kumuhnya.
“Pabrik
di letak matahari terbit sana adalah surga sekaligus neraka dunia buatku,”
kembali meraih secangkir kopi panas dan meneguknya tiga kali. Fauzan dan Akbar
duduk tenang di atas kursi plastik berwarna hijau.
“Setidaknya
selama sepuluh tahun setelah perceraian aku pasti jatuh miskin. Tapi...
begitulah Tuhan membuatku miskin tetapi senang dengan tinggal bersama kalian
disini.”
Secangkir
kopi itu pun habis, pak Sitompul menatap dalam-dalam kedua prajuritnya.
“Tiga
pantangan lelaki semua kulanggar... harta... tahta... wanita...,” memandang ke
arah tumpukan kardus bekas yang dicatat oleh kedua anaknya, “segala jerih payah
untuk membangun pabrik itu musnah begitu saja karena ketiganya. Tiga puluh
tahun itu membuatku tersadar. Ya, aku pun membawa kedua anakku yang berhasil
kuhindarkan dari tabi’at nista inu mereka.”
“Kelainan
seksual,” setengah berbisik, memandang tumpukan kardus di sudut Timur, “Aku
tertipu kawanku sendiri sehingga mereka mengudetaku dari pabrik... pabrik itu
hanya mampu kutatap dari kejauhan. Aku pun tertipu oleh jabatan walikota yang
berhasil kuraih dari segepok uang melalui partai. Dan terakhir... aku mendapati
istriku tengah bermain mesra di atas ranjang dengan perempuan berambut panjang.
Ah... kalau kuingat apa yang terjadi waktu itu rasanya aku mau muntah. Tak puas
rasanya dia dengan servisku yang
telah membuatnya dua kali bunting.”
‘Bug...!!!’
Telapak
tangan pak Sitompul tak mampu menahan emosi jiwa. Akbar dan Fauzan hanya mampu
menatap dalam-dalam sang atasan. Dia pulalah yang akhirnya berhasil membawa
keduanya berada disini untuk bertahan hidup. Dan ajaib, seluruh orang yang
boleh dikatakan pemulung disini adalah para PHK dari pabrik di belahan matahari
terbit sana. Pabrik yang seenaknya membuang limbah dan dibiarkan oleh
pemerintah setempat karena segepok uang. Sungai Ciliwung tak ubahnya racun
mematikan yang tidak hanya menghadiahi banjir di musim penghujan.
Pak
Sitompul menatap tajam kedua prajuritnya, sesaat beliau tersenyum.
“Dari
Sijunjung kah kalian?”
Akbar
dan Fauzan mengangguk pelan.
“Bawalah
ini, besok... kau kosongkan kamar 3 x 4 itu. Kemarin baru saja kudapat dua
orang pengganti.” Sebuah amplop berwarna coklat menghampiri kedua prajurit yang
masih memanggul keranjang coklat berkuman itu.
“Ini...,”
“Sudahlah...
pulanglah kalian sana dan jadi orang yang benar!”
“Siap
komandan!!!” kaki keduanya berlalu. Sementara sang komandan tua, pak Sitompul
hanya mampu menahan tangis bahagianya.
*****
Bus
HZN berwarna biru muda itu berhasil membawa kedua prajurit pulang. Awan
tersenyum setelah sebelumnya patahan dan liukan jalan bukit mencoba menahan
rasa ingin tertawa. Perjalanan tiga hari dua malam itu sedikit membuat ambeien Akbar kambuh. Ya, ini adalah
perjalanan kedua setelah tujuh tahun yang lalu. Jakarta telah berlalu, lima
tahun bersama pak Sitompul yang membekas indah.
‘Bruk... bruk...!!!’
‘Ah...!!!’
Tas
keduanya tak mampu menahan gravitasi. Keramaian kaki-kaki di Pasar Sijunjung
menghiasi mata keduanya yang telah ditinggalkan selama tujuh tahun. Kedua
telapak tangan mereka bersiap membentuk TOA, menarik nafas sejenak untuk
memekikkan teriakan dari suara dada.
“Sijunjung... kami datang!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar