Jumat, 14 Maret 2014

Zuhud


Perkataan Imam Al-Ghazali tentang ciri-ciri sifat zuhud adalah ketahuilah terkadang seseorang yang meninggalkan hartanya mengatakan bahwa ia telah memiliki sifat zuhud. Sesungguhnya tidak seperti itu, karena orang yang meninggalkan harta dan hidup prihatin mudah dilakukan oleh orang yang ingin disebut sebagai orang yang zuhud. Berapa banyak para pendeta (rahib) yang setiap harinya tidak pernah makan kecuali hanya sedikit, tinggal di biara yang tidak ada pintunya, hanya agar dilihat orang lain bahwa ia menjalani hidup secara zuhud dan mendapat pujian dari mereka. Perbuatan seperti itu tidak dikategorikan seseorang yang memiliki sifat zuhud. Maka, mengetahui sifat zuhud merupakan perkara yang sulit. Begitu juga keadaan zuhud pada seseorang yang zuhud.

Ada tiga ciri sifat zuhud.

Pertama, tidak senang apabila memiliki sesuatu dan tidak bersedih ketika kehilangan sesuatu. Allah berfirman,
“...Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu...,” (Al-Hadid [57] : 23)

Kedua, menganggap sama antara pujian dan celaan. Ciri pertama merupakan zuhud dalam harta, ciri kedua merupakan zuhud dalam kedudukan.

Ketiga, hatinya dipenuhi dengan kecintaan kepada Allah, meskipun tidak dapat lebih daripada kecintaan kepada dunia dan kecintaan kepada Allah. Keduanya ibarat air dan udara dalam gelas hati. Apabila air dimasukkan ke dalam gelas, maka udara akan keluar, begitu pula apabila ditiupkan udara maka air akan keluar. Air dan udara tidak dapat mungkin disatukan. Seseorang yang menyibukkan hatinya kepada Allah, tidak akan yang dapat menyibukkan selain Allah. Ketika seseorang bertanya kepada ahli zuhud, “Apa pengaruh zuhud kepada mereka?” Ahli zuhud itu menjawab, “Menjadikan mereka akrab dengan Allah.
Keakraban kepada Allah tidak dapat bersatu denga orang yang akrab dengan dunia.

Ahlu ma’rifah berkata, “Apabila iman seseorang bergantung dengan hatinya, maka ia akan mencintai Allah dan dunia bersama-sama. Akan tetapi, apabila iman telah masuk kedalam lubuk hatinya, maka ia akan membenci dunia.

Abu Sulaiman berkata, “Barangsiapa yang sibuk dengan dirinya, maka ia takkan disibukkan dengan orang lain. Ini merupakan maqam orang-orang yang beramal. Barangsiapa sibuk dengan Tuhannya, maka ia tidak akan disibukkan dengan dirinya sendiri. Ini merupakan maqam ma’rifah (‘arifiin). Orang yang zuhud harus memiliki salah satu dari dua sifat ini. Maqam yang pertama (‘amiliin) akan menyibukkan dirinya dengan dirinya sendiri. Pada saat itu, bagi-Nya sama antara pujian dan celaan atau ada dan ketiadaan. Tidaklah dengan memiliki harta menjadikan orang tidak mempunyai sifat zuhud.

Jadi, ciri-ciri sifat zuhud adalah kondisi yang sama ketika dalam keadaan miskin atau kaya, mulia atau terhina, pujian atau celaan. Semua itu disebabkan keakrabannya dengan Allah. Dari tiga ciri-ciri diatas mungkin akan memunculkan ciri-ciri lainnya.

Yahya bin Mu’adz berkata, “Ciri-ciri sifat zuhud adalah dermawan atas apa yang dimiliki.

Ibnu Khafif berkata, “Ciri-ciri sifat zuhud adalah merasa tenang ketika sesuatu miliknya hilang. Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.

Ahmad bin Hanbal dan Sufyan At-Tsauri berkata, “Ciri-ciri sifat zuhud adalah tidak panjang angan-angan.

As-Sirry berkata, “Tidak baik bagi seorang yang zuhud apabila ia tidak disibukkan dengan dirinya sendiri. Dan tidaklah baik bagi ahli ma’rifah (‘arifiin) apabila ia disibukkan dengan dirinya sendiri (ia harus disibukkan dengan Allah).

Beliau pun berkata kembali, “Aku telah melatih diriku dalam perkara zuhud dan semua telah aku lakukan kecuali menyibukkan diri dengan orang lain. Aku belum mampu melakukannya.

Fudhail bin Iyadh berkata, “Allah menjadikan segala kejelekan ada di dalam rumah. Dan Allah menjadikan kuncu kejelekan itu dengan cinta dunia. Begitu pula Allah menjadikan segala kebaikan ada dalam rumah dan Allah menjadikan kunci kebaikan itu dengan zuhud terhadap dunia.

Bukan berarti kita tidak boleh kaya, atau malah malas berusaha lebih baik lagi dengan alasan zuhud. Bukankah Utsman bin Affan serta Abdurrahman bin Auf telah memberikan contoh sebagai sahabat yang kaya raya serta banyak amalnya? Kekayaan malah semakin membuat keduanya mencintai Allah serta berderma di jalan-Nya. Segala kekayaan yang dimiliki keduanya disumbangkan di jalan Allah. Dan kemenangan atas Romawi dan Persia adalah pula ada sumbangan besar dari kedua sahabat ini kepada pasukan muslimin dibawah komando Khalid bin Walid serta Abu Ubaidah bin Jarrah.

Allah berfirman,
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah [2] : 261)

Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah [62] : 10)

Allah menganjurkan hamba-Nya untuk mencari nafkah serta rezeki yang halal, disamping terus mengingatnya serta sadar bahwa segala perniagaan dan usaha yang dilakukan adalah mutlak kuasa Allah. Dia yang memberikan kepada hamba-Nya agar melatih rasa syukur serta menguji bagaimana hamba-Nya diberi nikmat berupa harta, apakah menjadikannya semakin beriman atau malah kufur nikmat.

Jadi muslim pun harus kaya, dan apa yang dimilikinya semata-mata memudahkan dirinya dalam berinfak di jalan-Nya, semakin banyak pula sedekahnya. Dan kelak Allah akan melipat-gandakan ganjaran baginya, yang diperoleh di dunia atau malah Allah tangguhkan di akhirat kelak.

Zuhud bukan berarti tidak boleh kaya, karena muslim yang tak kaya tak mungkin banyak berderma serta berinfak di jalan-Nya. Tapi bukan berarti karena tidak memiliki kecukupan nihil infak dan sedekahnya. Balasan mutlak kehendak Allah. Belajarlah bagaimana generasi sahabat Rasul saw serta para ulama terdahulu mengaplikasikan zuhud dalam kehidupannya. Para Khalifah (Abu Bakar,Umar, Utsman, Ali, Umar bin Abdul Aziz) mewakili dari kalangan amir (pemimpin), Utsman dan Abdurrahman bin Auf mewakili dari kalangan saudagar kaya raya, Abu Sulaiman, Abu Ubaidah bin Jarrah, Thariq bin Ziyad, Mutsanna bin Harits serta lainnya mewakili dari kalangan panglima perang. Ada Ibnu Sina, Al-Birruni, Al-Jabar dari kalangan ilmuwan. Zuhud menampilkan kalangan yang memahami hakikatnya dengan banyak hasil perjuangan atau ilmu ataupun amal. Maka belajarlah dari generasi terdahulu agar kita memperoleh kebaikan atas contoh yang telah diberikan serta contoh bagi generasi kita yang akan datang. Wallahualam.

Referensi :
Kajian Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” karya Said Hawwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar