Perkataan Imam
Al-Ghazali tentang ciri-ciri sifat zuhud adalah ketahuilah terkadang seseorang
yang meninggalkan hartanya mengatakan bahwa ia telah memiliki sifat zuhud.
Sesungguhnya tidak seperti itu, karena orang yang meninggalkan harta dan hidup prihatin
mudah dilakukan oleh orang yang ingin disebut sebagai orang yang zuhud. Berapa
banyak para pendeta (rahib) yang setiap harinya tidak pernah makan kecuali
hanya sedikit, tinggal di biara yang tidak ada pintunya, hanya agar dilihat
orang lain bahwa ia menjalani hidup secara zuhud dan mendapat pujian dari
mereka. Perbuatan seperti itu tidak dikategorikan seseorang yang memiliki sifat
zuhud. Maka, mengetahui sifat zuhud merupakan perkara yang sulit. Begitu juga
keadaan zuhud pada seseorang yang zuhud.
Ada tiga ciri sifat
zuhud.
Pertama, tidak senang apabila memiliki sesuatu dan tidak bersedih ketika
kehilangan sesuatu. Allah berfirman,
“...Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa
yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu...,” (Al-Hadid [57] : 23)
Kedua, menganggap sama antara pujian dan celaan. Ciri pertama merupakan
zuhud dalam harta, ciri kedua merupakan zuhud dalam kedudukan.
Ketiga, hatinya dipenuhi dengan kecintaan kepada Allah, meskipun tidak dapat
lebih daripada kecintaan kepada dunia dan kecintaan kepada Allah. Keduanya
ibarat air dan udara dalam gelas hati. Apabila air dimasukkan ke dalam gelas,
maka udara akan keluar, begitu pula apabila ditiupkan udara maka air akan
keluar. Air dan udara tidak dapat mungkin disatukan. Seseorang yang menyibukkan
hatinya kepada Allah, tidak akan yang dapat menyibukkan selain Allah. Ketika
seseorang bertanya kepada ahli zuhud, “Apa
pengaruh zuhud kepada mereka?” Ahli zuhud itu menjawab, “Menjadikan mereka akrab dengan Allah.”
Keakraban kepada
Allah tidak dapat bersatu denga orang yang akrab dengan dunia.
Ahlu ma’rifah
berkata, “Apabila iman seseorang
bergantung dengan hatinya, maka ia akan mencintai Allah dan dunia bersama-sama.
Akan tetapi, apabila iman telah masuk kedalam lubuk hatinya, maka ia akan
membenci dunia.”
Abu Sulaiman
berkata, “Barangsiapa yang sibuk dengan
dirinya, maka ia takkan disibukkan dengan orang lain. Ini merupakan maqam
orang-orang yang beramal. Barangsiapa sibuk dengan Tuhannya, maka ia tidak akan
disibukkan dengan dirinya sendiri. Ini merupakan maqam ma’rifah (‘arifiin).
Orang yang zuhud harus memiliki salah satu dari dua sifat ini. Maqam yang
pertama (‘amiliin) akan menyibukkan dirinya dengan dirinya sendiri. Pada saat
itu, bagi-Nya sama antara pujian dan celaan atau ada dan ketiadaan. Tidaklah
dengan memiliki harta menjadikan orang tidak mempunyai sifat zuhud.”
Jadi, ciri-ciri
sifat zuhud adalah kondisi yang sama ketika dalam keadaan miskin atau kaya,
mulia atau terhina, pujian atau celaan. Semua itu disebabkan keakrabannya
dengan Allah. Dari tiga ciri-ciri diatas mungkin akan memunculkan ciri-ciri
lainnya.
Yahya bin Mu’adz
berkata, “Ciri-ciri sifat zuhud adalah
dermawan atas apa yang dimiliki.”
Ibnu Khafif
berkata, “Ciri-ciri sifat zuhud adalah
merasa tenang ketika sesuatu miliknya hilang. Zuhud adalah menghindari dunia
tanpa terpaksa.”
Ahmad bin Hanbal
dan Sufyan At-Tsauri berkata, “Ciri-ciri
sifat zuhud adalah tidak panjang angan-angan.”
As-Sirry berkata, “Tidak baik bagi seorang yang zuhud apabila
ia tidak disibukkan dengan dirinya sendiri. Dan tidaklah baik bagi ahli
ma’rifah (‘arifiin) apabila ia disibukkan dengan dirinya sendiri (ia harus
disibukkan dengan Allah).”
Beliau pun berkata
kembali, “Aku telah melatih diriku dalam
perkara zuhud dan semua telah aku lakukan kecuali menyibukkan diri dengan orang
lain. Aku belum mampu melakukannya.”
Fudhail bin Iyadh
berkata, “Allah menjadikan segala
kejelekan ada di dalam rumah. Dan Allah menjadikan kuncu kejelekan itu dengan
cinta dunia. Begitu pula Allah menjadikan segala kebaikan ada dalam rumah dan
Allah menjadikan kunci kebaikan itu dengan zuhud terhadap dunia.”
Bukan berarti kita
tidak boleh kaya, atau malah malas berusaha lebih baik lagi dengan alasan
zuhud. Bukankah Utsman bin Affan serta Abdurrahman bin Auf telah memberikan
contoh sebagai sahabat yang kaya raya serta banyak
amalnya? Kekayaan malah semakin membuat keduanya mencintai Allah serta berderma
di jalan-Nya. Segala kekayaan yang dimiliki keduanya disumbangkan di jalan Allah.
Dan kemenangan atas Romawi dan Persia adalah pula ada sumbangan besar dari
kedua sahabat ini kepada pasukan muslimin dibawah komando Khalid bin Walid
serta Abu Ubaidah bin Jarrah.
Allah berfirman,
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah [2] : 261)
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah [62] : 10)
Allah menganjurkan
hamba-Nya untuk mencari nafkah serta rezeki yang halal, disamping terus
mengingatnya serta sadar bahwa segala perniagaan dan usaha yang dilakukan
adalah mutlak kuasa Allah. Dia yang memberikan kepada hamba-Nya agar melatih
rasa syukur serta menguji bagaimana hamba-Nya diberi nikmat berupa harta,
apakah menjadikannya semakin beriman atau malah kufur nikmat.
Jadi muslim pun
harus kaya, dan apa yang dimilikinya semata-mata memudahkan dirinya dalam
berinfak di jalan-Nya, semakin banyak pula sedekahnya. Dan kelak Allah akan
melipat-gandakan ganjaran baginya, yang diperoleh di dunia atau malah Allah
tangguhkan di akhirat kelak.
Zuhud bukan berarti
tidak boleh kaya, karena muslim yang tak kaya tak mungkin banyak berderma serta
berinfak di jalan-Nya. Tapi bukan berarti karena tidak memiliki kecukupan nihil
infak dan sedekahnya. Balasan mutlak kehendak Allah. Belajarlah bagaimana
generasi sahabat Rasul saw serta para ulama terdahulu mengaplikasikan zuhud
dalam kehidupannya. Para Khalifah (Abu Bakar,Umar, Utsman, Ali, Umar bin Abdul
Aziz) mewakili dari kalangan amir (pemimpin), Utsman dan Abdurrahman bin Auf
mewakili dari kalangan saudagar kaya raya, Abu Sulaiman, Abu Ubaidah bin
Jarrah, Thariq bin Ziyad, Mutsanna bin Harits serta lainnya mewakili dari
kalangan panglima perang. Ada Ibnu Sina, Al-Birruni, Al-Jabar dari kalangan
ilmuwan. Zuhud menampilkan kalangan yang memahami hakikatnya dengan banyak
hasil perjuangan atau ilmu ataupun amal. Maka belajarlah dari generasi
terdahulu agar kita memperoleh kebaikan atas contoh yang telah diberikan serta contoh
bagi generasi kita yang akan datang. Wallahualam.
Referensi :
Kajian Penyucian
Jiwa “Tazkiyatun Nafs” karya Said Hawwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar