Jumat, 14 Maret 2014

Hati-Hati... Kedzaliman Lidah


Ketauhilah bahwa setiap kedzaliman yang dilakukan seseorang tidak boleh dibalas dengan kedzaliman yang sama. Ghibah (membicarakan kejelekan orang lain) tidak boleh dibalas dengan ghibah. Memata-matai (tajassus) tidak boleh dibalas dengan yang sama. Penghinaan tidak boleh dibalas dengan penghinaan. Begitu pula dengan semua kemaksiatan. Qishas (hukuman) dan denda dapat diterapkan selama itu sesuai dengan syariat.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw,
Jika ada seseorang yang menghinamu yang ada pada dirimu, maka janganlah kamu membalas dengan apa yang ada pada orang itu.” (HR. Ahmad)

Dua orang yang saling mencaci-maki, maka yang menanggung dosa atas apa yang mereka katakan adalah orang yang memulai mencaci-maki, selama orang yang didzalimi (yang tidak memulainya) tidak melampaui batas.” (HR. Muslim)

Suatu hari, seseorang mencaci-maki Abu Bakar ra., tetapi ia diam saja. Orang itu terus mencaci sampai Abu Bakar mulai membalas. Maka Rasulullah saw berdiri sehingga Abu Bakar bertanya, “Bukankah engkau tadi diam ketika orang itu mencaci-maki aku. Tetapi aku mulai membalas caci-maki orang itu mengapa engkau berdiri?
Rasulullah saw berkata, “Karena tadi malaikat bersamamu akan tetapi kamu membalas caciannya malaikat pun pergi dan setan datang. Oleh karena itu, aku tidak mau duduk dalam majelis bersama setan.

Sebagian orang berpendapat, “Boleh membalas cacian orang lain apabila tidak mengandung kebohongan.” Perkataan ini sangat bertentangan dengan sabda Rasulullah saw yang melarang umat beliau untuk membalas hinaan dengan hal yang sama. Akan tetapi larangannya bersifat tanzihiyyah (ringan). Walaupun demikian yang lebih utama adalah meninggalkannya. Ucapan balasan yang diperbolehkan adalah seperti, “Siapa kamu?”. Bukan dengan mengucapkan, “Kamu hanyalah seorang dari bani fulan?

Perkataan seperti itu pernah terucap oleh Sa’ad kepada Ibnu Mas’ud, “Bukankah kamu hanya seseorang dari bani Hudzail?

Ibnu Mas’ud menjawab, “Bukankah kamu juga hanya seorang dari bani Umaiyyah?

Begitu pula dengan membalas, “Wahai orang bodoh (ya ahmaq).

Demikian pula perkataan, “Wahai orang yang buruk perangainya. Wahai orang yang tidak tahu malu. Wahai penggunjing,” dan perkataan yang lainnya yang sesuai dengan kenyataan yang ada.

Rasulullah saw membolehkan orang yang teraniaya untuk membalas selama tidak melampaui batas. Kadar inilah yang dibolehkan, yaitu rukhsah (keringanan) dalam menyakiti sebagai balasan atas perbuatan menyakiti yang dilakukan sebelumnya. Tetapi yang lebih utama adalah meninggalkannya karena dengan membalasnya, walaupun tidak dusta, akan dapat menyeret pada hal yang lebih jauh.

Diam tidak memberi jawaban sama sekali barangkali lebih mudah daripada memberi jawaban. Tetapi diantara manusia ada yang tidak bisa mengendalikan diri dalam melampiaskan kemarahan, sekalipun bisa cepat reda. Ada pula orang yang tidak bisa menahan dirinya untuk tidak melupakan tetapi senantiasa mendendam.

Dalam masalah kemarahan ini, manusia terbagi menjadi empat kategori. Pertama, seperti semak belukar, cepat terbakar dan cepat pula padamnya. Kedua, seperti pohon bakau, lambat terbakar dan lambat pula padamnya. Ketiga, lambat terbakar dan cepat padamnya. Jenis ini yang paling terpuji, selagi tidak mengakibatkan hilangnya ghirah (keinginan) dan semangat pembelaan kebenaran. Keempat, cepat terbakar dan lambat padamnya. Jenis ini yang paling buruk.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Siapa yang dibuat marah tetapi tidak marah, maka dia adalah keledai. Dan barangsiapa diminta maaf tetapi tidak memaafkan adalah setan.

Abu Said al-Khudri ra., berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ketauhilah bahwa anak Adam diciptakan bertingkat-tingkat, ada yang lambat marahnya dan cepat reda, ada yang cepat marah tetapi cepat pula redanya, ada pula yang cepat marah dan lambat reda. Ketauhilah bahwa yang terbaik di antara mereka adalah yang lambat marah dan cepat reda. Dan yang terburuk adalah yang cepat marah dan lambat reda.

Begitu mudahnya lidah kita menguraikan kata-kata keji, sementara disamping kita selalu ada malaikat yang mencatat segenap amal. Bukankah Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu meski takdir menunjukkan bahwa kita tak mampu menjaga lidah. Setiap perbuatan dan ucapan mengandung konsekuensi, dan bagaimana keadaan kita ketika di hari hisab-Nya ternyata lidah kita begitu lugas menyakiti orang lain dan kaya akan caci-maki. Sementara Allah Yang Maha Suci tengah menatap kita yang hina dan semakin menghinakan diri dengan segenap dosa yang diakibatkan oleh lidah.

Dan begitu mudah pula emosi tersulut karena perkara dunia, uang, jabatan, dan segala hal yang melenakan, wanita. Padahal semua itu hanyalah bersifat sementara, tidak dibawa mati. Nyawa melayang karena caci-maki, luka-luka merambat pada pertikaian antar kelompok, sementara fakir-miskin serta kaum duafa dibiarkan begitu saja dalam keadaanya. Kita terlalu sibuk mencampuri urusan orang lain dalam masalah harta sehingga timbul ghibah serta dengki, padahal boleh jadi dengan kekayaannya ratusan anak yatim telah disekolahkan secara gratis. Kita terlalu sibuk mencela orang-orang miskin padahal boleh jadi ia memiliki keuletan serta keshalehan sosial yang jauh lebih tinggi dibandingkan orang-orang yang kaya.

Mudah sekali kita menghakimi kondisi orang lain, seakan-akan hanya kitalah yang terbaik dan orang lain yang lebih rendah dalam urusan dunia adalah suatu kehinaan. Bukankah pintu surga tertutup bagi seseorang yang dalam dirinya terselip kesombongan meski hanya secuil?

Sampai kapan kita terus hidup dengan membalas segenap caci-maki atas apa yang terjadi pada diri kita? Bukankah itu bisa menjadi ladang motivasi serta pembuktian bahwa kita bisa lebih baik di masa yang akan datang bersama segenap ikhtiar, do’a serta tawakkal? Einsten telah membuktikan berkat kata ‘idiot’ yang pernah disematkan padanya. Begitu pula dengan Thomas Alva Edison. Abdullah bin Mas’ud ra., hanyalah seorang gembala kambing, hingga Islam menghidupkan segenap hati beliau dan menjadikannya sosok yang dijanjikan masuk surga, melebihi Abu Hakam (Abu Jahal) yang pernah menghina serta memukulinya karena menjadi seorang muslim serta melafadzkan awal surat Ar-Rahman di dekat majelis pertemuan Quraisy di Mekkah.

Ada Allah yang mengawasi, Dzat yang tak pernah luput dalam pengawasan terhadap hamba-Nya, muslim maupun non-muslim. Belajarlah dari bagaimana generasi sahabat Rasulullah saw dalam menjaga emosi, yang hanya mereka tegaskan ketika panji-panji dan Kalimatullah dihina. Saat Rasulullah saw dicela maka wajib hukumnya bagi kita marah, karena itu adalah menyangkut perkara agama. Ketika Al-Qur’an diinjak-injak atau bahkan dibakar maka sudah sepatutnya kita marah meski harus pula menahan diri dari caci-maki. Allah tidak pernah tidur, Dia akan selalu mengawasi segenap ucapan dan mendengarkan setiap perkataan yang terlontar dari lidah kita. Sampai kapan kita mampu dan telah sadarkan diri?

Referensi :
Kajian Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Intisari Ihya Ulumuddin) karya Sa’id Hawwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar