Minggu, 16 September 2012

When Someone Tell His Story part 1

Mentari sangat sejuk meskipun membakar kulit para pekerja yang menjadikan lingkungan kampus asri dan berseri. Tak hijau namun cukup memberikan suplai oksigen bagi ribuan manusia yang masuk kedalamnya dalam rentang jam 7 pagi hingga berakhir pada 5 sore untuk aktivitas akademik. Ya, kehidupan kampus tak ubahnya miniatur masyarakat sebuah negara.

Aku dihadapkan pada seorang pemuda, sebut saja Hamdan. Usia beliau sama denganku, 23 tahun, bahkan beliau lebih dulu lahir sekitar lima bulan. Ya, kami cukup baik mengenal ide dan gagasan. Kami tidak banyak interaksi dalam hal dunia pendidikan yang digeluti, kecuali ada hal-hal yang bisa kami kaitkan dalam mata kuliah yang disajikan setiap dosen dalam satu semester.

'Gluk... gluk... sruput...!' Aku sudah menghabiskan minuman kotak bermerk yang digemari mahasiswa, "Hmm... ada agenda lagi?" sorot mataku cukup sayu, seperti biasanya setelah semalam aktivitas akademik mahasiswa tingkat akhir membuatku mengeluarkan sejumlah energi tambahan.

Ia hanya menggeleng, "Belum ada bang, aku bingung...," spontan aliran senyum itu menyejukkan pikiranku saat kutatap wajah diamnya menyimpan permasalahan. Dia memang memendam masalahnya, dan aku selalu berusaha membuka keran untuk membuatnya nyaman setiap kali bercerita.

"Bang...,"

Aku kembali menatap wajah Hamdan yang kali ini berbinar. Tampaknya ia sudah siap untuk berbicara panjang lebar.

"Aku lelah dengan aktivitas selama ini... aku bingung... abang yang selalu tampak ceria meskipun ada masalah tetap saja kan merasa lelah dengan keadaan yang selalu datang tanpa ada akhirnya?"

'Heh...,' Jantungku berdegup lebih dari normal, hanya kelu yang kurasa dibibir, tak banyak gerak badan meskipun berusaha untuk menggerakkan segenap tangan untuk meraih pundaknya.

"Kapan pikiran itu menghantuimu akhi...?" aku berlagak senyum tipis, meskipun sebenarnya dia tahu karena mempelajari bahasa tubuh manusia lebih banyak di bangku kuliah.

Masjid ini membuat kami berdua terdiam dalam keramaian, lalu-lalang mahasiswa yang menjabat tangan kami lalu tersenyum sudah lebih dari lima orang. Pun juga para mahasiswi berjilbab lebar-panjang maupun ketat mengucapkan salam seraya tersenyum untuk salah satu diantara kami.

"Amanah ini adalah masalah komunikasi, mungkin abang masih ingat masalahku dengannya beberapa minggu yang lalu?" Ia mendesah sesaat, kemudian menunduk sebelum akhirnya kedua bola mata kami berhadapan indah.

Aku berusaha menepuk pelan bahu kanannya, "Akhi... masalah antum hanya dirimu yang bisa menyelesaikannya. Masalah komunikasi adalah kemampuan antum untuk membuka keran permasalahan yang timbul. Ana... cukup sering mengalaminya dan tidak banyak berhasil. Antum tahu mengapa...? Karena diantara kita tidak banyak belajar untuk mendengarkan kemauan dan penjelasan. Hikmah yang Allah berikan dengan memberikan dua telinga dan satu mulut adalah agar kita... lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Antum pastinya sudah belajar mengenai ini dalam dunia kuliah antum...," Aku tersenyum tipis, termasuk dirinya yang kini berusaha membalas lebar senyumku dari kelu bibirnya.

"Allah memang hebat bang... Dia memberikan kita ujian atas apa yang kita pahami dan kuasai ataupun sesuatu yang nantinya akan dikuasai atau dipahami kita."

"Alhamdulillah...," Aku melepaskan tumpuan tangan kananku pada bahu kirinya, "Jadi... tersenyum dan ceria dalam segala hal agaknya harus jadi bagian dalam hidup kita... Laa yukallifullahu nafsan illa wush'aha... ana mencoba untuk mengamalkan salah satu penggalan ayat dalam firman-Nya. Berat... namun ana yakin bisa melaluinya," Aku menghela nafas panjang, sesekali kujawab salam dari beberapa mahasiswi berjilbab panjang-lebar yang menyapaku.

"Oh iya... tentang rencana setahun ini...?"

'Ups...,' aku buru-buru menghentikan kalimatnya, dan bukan waktunya sekarang untuk membahas masalah itu dengannya. Hari ini ia berhasil mengungkap masalahnya, dan lagi-lagi aku menemukan fenomena yang terjadi di kalangan aktivis yang memiliki 'sedikit beban' untuk memperbaiki kondisi yang ada.

*****

Kita hidup dalam takdir-Nya, sesulit apapun ujian yang dialami... akan selalu ada jalan keluar. Musibah apapun yang terjadi... selalu ada hikamh dibaliknya. Allah Maha Adil, hanya saja... kita belum menjadi hamba-Nya yang bersyukur... Fabiayyi aalaa irabbikumaa tukadzibaan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar