Kamis, 20 Maret 2014

Resensi - Zionis dan Syiah bersatu Hantam Islam


 
 
Judul : Zionis dan Syiah bersatu Hantam Islam
Penulis : Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi
Penerbit : Ar-Rahmah Publishing
Tahun Terbit : 2013 (Cet. I)
Tempat Terbit : Tangerang, Banten
Tebal : 426 Halaman
 
POKOK-POKOK ISI BUKU :
Selama ini opini berhembus bahwa Syiah dan Zionis adalah dua kelompok yang saling bertikai. Namun buku ini memberi perspektif baru dalam melihat fakta yang sebenarnya bahwa pada satu titik mereka dapat bersama melawan umat Islam. Selain itu, buku ini sangat menarik karena mengetengahkan data-data mutakhir terkait upaya Zionisme menyongsong akhir zaman. Umat Islam harus membacanya.” (Dr. Adhyaksa Dault – Mantan Menpora RI)

Buku ini menguraikan romantisme hubungan antara Zionis dengan Syiah, yang selama ini tertutup oleh media-media sekuler pendukung Liberalisme. Konflik-konflik antara umat Islam dengan Syiah sejatinya berawal dari infiltrasi Yahudi yang kini menancapkan hegemoninya sebagai penguasa bumi melalui tangan-tangan negara besar lain semisal Amerika Serikat dan Inggris. Negara terakhir menjadi ‘pengimpor’ para Yahudi ke bumi Palestina, Al Quds, medio 1947 sampai 1950 menjadi masa-masa tragis bagi kehidupan Muslim yang hidup damai dan berdampingan dengan Nasrani sejak ditaklukkannya Jerussalem oleh Salahudin Al-Ayubi. Negara Iran yang gembar-gembor melalui Ahmadinejad yang mengatakan hendak menghapuskan peta Israel ternyata hanya isapan jempol belaka. Iran sejatinya adalah negara dengan mayoritas Syiah terbesar, tentunya dengan persentase masjid bagi Sunni paling kecil. Isu bahwa muslim Sunni hidup damai di Iran adalah kebohongan, justru mereka sangat tertekan dibawah pemerintahan Syiah. 18 Sinagog tegak berdiri di Teheran, sementara tak satupun masjid Sunni berdiri serta mengumandangkan adzan. Kaum Sunni terbelenggu dalam urusan ibadah shalat berjamaah, diantara mereka ada yang ditangkap karena melaksanakan shalat berjamaah di rumah yang di dalamnya sengaja dibuat mushala kecil. Na’udzubillah.

Kamp pengungsian Shabra dan Shatilla di Libanon tahun 1982 menjadi salah satu saksi tragedi berdarah bagi muslim Palestina, dimana secara brutal pasukan Syiah Libanon menembaki seluruh pengungsi, anak-anak, wanita, laki-laki, tua-muda tidak ada yang luput dari tragedi berdarah sekaligus harmonisasi Zionis memanfaatkan tangan-tangan Syiah untuk menghabisi nyawa muslim. Belum lagi hingga saat ini dukungan Israel atas Basyar Asad di Suriah tetap mengalir karena mereka takut apabila Mujahidin yang menjadi pemenang serta mendirikan Daulah Islamiyah menjadi musuh kedua setelah mereka tak mampu menaklukan Hamas di Palestina. Dan Syiah pula, dari Iran, yang membantu pasukan Amerika membombardir instalasi nuklir di Irak era rezim Saddam Hussein hingga akhirnya negara tersebut menjadi boneka AS melalui tangan Syiah. Herannya, tidak semua muslim mau mencari, menelaah serta menyadari bahwa fakta sebenarnya tak hanya ingin menguasai minyak serta sumber daya lain di Irak. Tapi juga memperluas jaringan Syiah yang sejak awal dibuat untuk menghancurkan umat Islam dari dalam.

Dalam buku ini juga penulis menyampaikan beberapa artikel mengenai “New World Order” serta beberapa ‘Protocol Zion’ yang sejatinya dibentuk tidak hanya agar hanya agama Yahudi menjadi satu-satunya agama yang dianut, tapi juga menghancurkan umat Islam yang menjadi musuh bebuyutan Yahudi sejak lama. Para pemuda yang dibina Al-Qur’an, mencintainya, mengamalkannya lebih jauh ditakuti karena mereka yang kelak akan memoncongkan senapan tepat di depan wajah mereka. Para agen-agen Yahudi melalui lembaga sosial semacam Rotary Club telah mengaburkan misi sebenarnya dari hanya menjadi lembaga sosial dan amal. Menanamkan simbol-simbol serta tujuan bahwa Yahudi adalah agama yang mampu hidup berdampingan dengan Islam, namun sejatinya mereka sering membombardir pemukiman Palestina, menculik anak-anak karena takut mereka ketika dewasa menjadi Mujahidin melawan keangkuhan Zionis.

Percuma kita memerangi umat Islam, dan tidak akan mampu menguasainya selama di dada pemuda-pemuda Islam ini bertengger Al-Qur’an. Tugas kita sekarang adalah mencabut Al-Qur’an di hati-hati mereka, baru kita akan menang dan menguasai mereka.” Ucap Mantan PM Inggris, Gladstone. Hendaknya menjadi perhatian bagi segenap pemuda, karena hingga kini industri musik, minuman keras, seks bebas, paham-paham menyimpang telah mengikis akidah dan berakibat fatal pada menjauhnya generasi muda dari Al-Qur’an. Mereka rela mengantri tiket konser K-Pop, atau bahkan Lady Gaga, sang Ratu Illuminati yang beruntung gagal konser di Indonesia, ketimbang duduk di Majelis Ta’lim, mengaji, membaca buku-buku Islam, Sejarah Peradaban Islam. Stone sudah benar dalam memaparkan bagaimana menghancurkan suatu komunitas adalah bukan hanya dengan berperang, kikis habis keyakinan mereka dengan apa yang dianut serta tanamkan kecintaan pada dunia.
KEUNGGULAN ISI BUKU :
Buku ini menjadi penyingkap tabir dari data-data serta sumber berita yang boleh jadi fiktif tentang keterlibatan Syiah dalam menghancurkan Islam dari dalam. Memberi pemahaman yang menyeluruh tentang fakta-fakta yang masih bisa ditelisik lebih lanjut akan harmonisasi Zionis dan Syiah dalam mengalahkan musuh bebuyutan keduanya, umat Islam. Disamping itu penulis memberikan jawaban atas masalah tentang bagaimana yang harus dilakukan umat Islam serta generasi muda saat ini, kembali kepada Al-Qur’an, disertai beberapa cerita menarik serta menggugah kesadaran muslim akan bahaya Yahudi serta produk-produknya hingga jangan terbutakan akan Syiah yang mengaku-ngaku Islam.
KELEMAHAN ISI BUKU :
Diawal memang dijelaskan terkait harmonisasi, namun pada akhirnya lebih banyak menjelaskan tentang bagaimana Yahudi serta karakteristik hingga perkembangannya hingga saat ini. Agen-agen atau sayap Yahudi melalui perfilm, makanan, lembaga sosial dan lainnya sehingga porsi hubungan intim antara dua kubu (Zionis dan Syiah) hanya disingkap beberapa hal saja, Iran, Irak, Libanon, Palestina serta Suriah. Lebih banyak berisikan data dan fakta pergerakan Yahudi untuk menghancurkan Umat Islam melalui berbagai cara penggerusan akidah. Tidak adanya daftar pustaka bisa menjadi kekurangan yang cukup fatal terhadap buku non-fiksi.
SARAN-SARAN TERHADAP BUKU INI :
Sebaiknya dicantumkan daftar pustaka, untuk menjadi referensi bagi pembaca terkait Zionisme serta bahaya Syiah bagi generasi muslim saat ini. Mengingat persediaan serta hasil tulisan tentang hal tersebut hanya terbatas, sementara banyak umat Islam terbutakan serta lupa akan bahaya dari musuh yang menampakkan taring-taringnya di depan mata melalui tirai. Tak jelas nampaknya, namun nyata bukti kedzalimannya. Sub-bab atau judul artikel atau tulisan yang tidak relevan dengan pembahasan sebaiknya tidak perlu dimasukkan, seperti terkait Kartini. Termasuk sub-bab yang bisa masuk dalam satu judul sebaiknya disatukan, tidak dipecah sehingga lebih menguraikan masalah yang lain ketimbang benang-merah dari maksud diterbitkannya buku ini.
MANFAAT ISI BUKU :
                Buku yang sangat layak dibaca bagi segenap Muslim yang mencintai agamanya serta membela Kalimatullah secara kaffah. Islam sudah diserang dari segala lini kehidupan dan saatnya bagi generasi muda untuk bangkit memanfaatkan segala sumber daya yang ada untuk membendung arus penyimpangan dari pemikiran serta paham yang menyesatkan. Umat Islam diajak untuk kembali kepada manhaj Al-Qur’an, suatu pedoman yang menyelamatkan kehidupan di dunia dan akhirat. Pedoman yang membuat nyali Yahudi kecut jika harus kembali berhadapan dengan pasukan Muslim dengan keimanan yang benar, akidah yang lurus serta mengamalkan setiap ajaran yang dibawa Nabi SAW agar menuju keselamatan hakiki. Zionis dan Syiah sudah bersatu untuk menghantam Islam, maka bukan waktunya lagi untuk membicarakan perbedaan selama satu pedoman yang dipegang, Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Pegangan tanpa adanya distorsi serta isme-isme yang menyesatkan. Wallahu’alam.

Oleh :
Rifki Asrul Sani, Junior Geologist PT. GeoACE Bandung. Alumni Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, penulis novel A Diary Book ‘satu’ (2013, Writing Revolution). Email : asrul.smile@gmail.com, blog : asrulsmile.blogspot.com, twitter : asrul_sani1, fb : Abu Hudzaifah, bb : 756476c3.

Jumat, 14 Maret 2014

Zuhud


Perkataan Imam Al-Ghazali tentang ciri-ciri sifat zuhud adalah ketahuilah terkadang seseorang yang meninggalkan hartanya mengatakan bahwa ia telah memiliki sifat zuhud. Sesungguhnya tidak seperti itu, karena orang yang meninggalkan harta dan hidup prihatin mudah dilakukan oleh orang yang ingin disebut sebagai orang yang zuhud. Berapa banyak para pendeta (rahib) yang setiap harinya tidak pernah makan kecuali hanya sedikit, tinggal di biara yang tidak ada pintunya, hanya agar dilihat orang lain bahwa ia menjalani hidup secara zuhud dan mendapat pujian dari mereka. Perbuatan seperti itu tidak dikategorikan seseorang yang memiliki sifat zuhud. Maka, mengetahui sifat zuhud merupakan perkara yang sulit. Begitu juga keadaan zuhud pada seseorang yang zuhud.

Ada tiga ciri sifat zuhud.

Pertama, tidak senang apabila memiliki sesuatu dan tidak bersedih ketika kehilangan sesuatu. Allah berfirman,
“...Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu...,” (Al-Hadid [57] : 23)

Kedua, menganggap sama antara pujian dan celaan. Ciri pertama merupakan zuhud dalam harta, ciri kedua merupakan zuhud dalam kedudukan.

Ketiga, hatinya dipenuhi dengan kecintaan kepada Allah, meskipun tidak dapat lebih daripada kecintaan kepada dunia dan kecintaan kepada Allah. Keduanya ibarat air dan udara dalam gelas hati. Apabila air dimasukkan ke dalam gelas, maka udara akan keluar, begitu pula apabila ditiupkan udara maka air akan keluar. Air dan udara tidak dapat mungkin disatukan. Seseorang yang menyibukkan hatinya kepada Allah, tidak akan yang dapat menyibukkan selain Allah. Ketika seseorang bertanya kepada ahli zuhud, “Apa pengaruh zuhud kepada mereka?” Ahli zuhud itu menjawab, “Menjadikan mereka akrab dengan Allah.
Keakraban kepada Allah tidak dapat bersatu denga orang yang akrab dengan dunia.

Ahlu ma’rifah berkata, “Apabila iman seseorang bergantung dengan hatinya, maka ia akan mencintai Allah dan dunia bersama-sama. Akan tetapi, apabila iman telah masuk kedalam lubuk hatinya, maka ia akan membenci dunia.

Abu Sulaiman berkata, “Barangsiapa yang sibuk dengan dirinya, maka ia takkan disibukkan dengan orang lain. Ini merupakan maqam orang-orang yang beramal. Barangsiapa sibuk dengan Tuhannya, maka ia tidak akan disibukkan dengan dirinya sendiri. Ini merupakan maqam ma’rifah (‘arifiin). Orang yang zuhud harus memiliki salah satu dari dua sifat ini. Maqam yang pertama (‘amiliin) akan menyibukkan dirinya dengan dirinya sendiri. Pada saat itu, bagi-Nya sama antara pujian dan celaan atau ada dan ketiadaan. Tidaklah dengan memiliki harta menjadikan orang tidak mempunyai sifat zuhud.

Jadi, ciri-ciri sifat zuhud adalah kondisi yang sama ketika dalam keadaan miskin atau kaya, mulia atau terhina, pujian atau celaan. Semua itu disebabkan keakrabannya dengan Allah. Dari tiga ciri-ciri diatas mungkin akan memunculkan ciri-ciri lainnya.

Yahya bin Mu’adz berkata, “Ciri-ciri sifat zuhud adalah dermawan atas apa yang dimiliki.

Ibnu Khafif berkata, “Ciri-ciri sifat zuhud adalah merasa tenang ketika sesuatu miliknya hilang. Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.

Ahmad bin Hanbal dan Sufyan At-Tsauri berkata, “Ciri-ciri sifat zuhud adalah tidak panjang angan-angan.

As-Sirry berkata, “Tidak baik bagi seorang yang zuhud apabila ia tidak disibukkan dengan dirinya sendiri. Dan tidaklah baik bagi ahli ma’rifah (‘arifiin) apabila ia disibukkan dengan dirinya sendiri (ia harus disibukkan dengan Allah).

Beliau pun berkata kembali, “Aku telah melatih diriku dalam perkara zuhud dan semua telah aku lakukan kecuali menyibukkan diri dengan orang lain. Aku belum mampu melakukannya.

Fudhail bin Iyadh berkata, “Allah menjadikan segala kejelekan ada di dalam rumah. Dan Allah menjadikan kuncu kejelekan itu dengan cinta dunia. Begitu pula Allah menjadikan segala kebaikan ada dalam rumah dan Allah menjadikan kunci kebaikan itu dengan zuhud terhadap dunia.

Bukan berarti kita tidak boleh kaya, atau malah malas berusaha lebih baik lagi dengan alasan zuhud. Bukankah Utsman bin Affan serta Abdurrahman bin Auf telah memberikan contoh sebagai sahabat yang kaya raya serta banyak amalnya? Kekayaan malah semakin membuat keduanya mencintai Allah serta berderma di jalan-Nya. Segala kekayaan yang dimiliki keduanya disumbangkan di jalan Allah. Dan kemenangan atas Romawi dan Persia adalah pula ada sumbangan besar dari kedua sahabat ini kepada pasukan muslimin dibawah komando Khalid bin Walid serta Abu Ubaidah bin Jarrah.

Allah berfirman,
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah [2] : 261)

Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah [62] : 10)

Allah menganjurkan hamba-Nya untuk mencari nafkah serta rezeki yang halal, disamping terus mengingatnya serta sadar bahwa segala perniagaan dan usaha yang dilakukan adalah mutlak kuasa Allah. Dia yang memberikan kepada hamba-Nya agar melatih rasa syukur serta menguji bagaimana hamba-Nya diberi nikmat berupa harta, apakah menjadikannya semakin beriman atau malah kufur nikmat.

Jadi muslim pun harus kaya, dan apa yang dimilikinya semata-mata memudahkan dirinya dalam berinfak di jalan-Nya, semakin banyak pula sedekahnya. Dan kelak Allah akan melipat-gandakan ganjaran baginya, yang diperoleh di dunia atau malah Allah tangguhkan di akhirat kelak.

Zuhud bukan berarti tidak boleh kaya, karena muslim yang tak kaya tak mungkin banyak berderma serta berinfak di jalan-Nya. Tapi bukan berarti karena tidak memiliki kecukupan nihil infak dan sedekahnya. Balasan mutlak kehendak Allah. Belajarlah bagaimana generasi sahabat Rasul saw serta para ulama terdahulu mengaplikasikan zuhud dalam kehidupannya. Para Khalifah (Abu Bakar,Umar, Utsman, Ali, Umar bin Abdul Aziz) mewakili dari kalangan amir (pemimpin), Utsman dan Abdurrahman bin Auf mewakili dari kalangan saudagar kaya raya, Abu Sulaiman, Abu Ubaidah bin Jarrah, Thariq bin Ziyad, Mutsanna bin Harits serta lainnya mewakili dari kalangan panglima perang. Ada Ibnu Sina, Al-Birruni, Al-Jabar dari kalangan ilmuwan. Zuhud menampilkan kalangan yang memahami hakikatnya dengan banyak hasil perjuangan atau ilmu ataupun amal. Maka belajarlah dari generasi terdahulu agar kita memperoleh kebaikan atas contoh yang telah diberikan serta contoh bagi generasi kita yang akan datang. Wallahualam.

Referensi :
Kajian Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” karya Said Hawwa.

Ketika Malaikat Ikut Berperang Bersama Mujahidin Melawan Tentara Syiah Nushairiyyah


Ada kisah menarik dari relawan Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) yang bertugas ke Suriah dan melakukan presentasi di gedung Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Jakarta, Selasa (11/12/2012). Abu Yahya, koordinator relawan HASI menceritakan kisah seorang mantan tentara Basyar Asad yang bertaubat lalu bergabung dengan Mujahidin.

Kepada mantan tentara itu, para Mujahidin sempat bertanya mengapa para tentara Asad yang berjumlah 1500 personel di Jabal Akhrod tidak berani melakukan serangan kepada Mujahidin Suriah yang hanya berjumlah 150 personel, baik secara kekuatan (jumlah) maupun persenjataan, Muajhidin jauh lebih kalah dari tentara Asad.

Mendengar pertanyaan itu, mantan tentara Basyar Asad ini justru heran dan balik bertanya. “Siapa bilang jumlah kalian sedikit? Kami setiap malam melihat kalian dengan pakaian putih-putih bergerak dari satu lembah ke lembah lain sehingga kami pikir-pikir dulu untuk menyerang,” kenangnya.

Ternyata kisah diatas bukan terjadi satu kali. Cerita lainnya muncul saat Mujahidin hendak melakukan perang dengan konvoi 50 truk yang berisi tentara Basyar Asad. Hingga pada satu titik terjadilah baku tembak antara Mujahidin dengan tentara Asad. Karena Mujahidin memang sudah merencanakan aksi serangan untuk menghabisi dan memukul mundur tentara Asad.

Namun saat perang berlangsung, tiba-tiba saja muncul kejadian di luar perkiraan mereka. Helikopter dan pesawat tempur datang seperti hendak memerangi Mujahidin. Tentu Mujahidin berkesimpulan bahwa ini bantuan dari pihak Basyar Asad untuk menewaskan mereka. Ingat, hingga kini Mujahidin Suriah sama sekali tidak memiliki alat tempur seperti pesawat. Mereka hanya bertempur via jalur darat dengan persenjataan yang kalah canggih jika dibandingkan milik rezim Asad.

Mengukur jumlah personel dan persenjataan yang terbatas, komando Mujahidin menyerukan untuk segera mengosongkan tempat pertempuran dan masuk ke gunung-gunung untuk mengatur strategi. Anehnya, ketika Mujahidin sudah menarik diri, suara baku tembak masih saja terus terjadi. Berondongan dan desingan peluru seperti enggan berhenti walaupun tidak ada satu pun Mujahidin tersisa di lokasi pertempuran. Komando Mujahidin sampai bertanya-tanya dalam hati, siapakah sebenarnya yang sedang berperang melawan tentara Basyar Asad itu. Komandan Mujahidin itu pun mengecek jumlah personel untuk mengantisipasi kemungkinan ada Mujahidin tertinggal dan melakukan perlawanan kepada tentara Asad. Namun hasil perhitungannya, seluruh Mujahidin sudah masuk kedalam gunung (gua).

Hingga datang matahari terbit dan mereka yakin kondisi telah aman, barisan Mujahidin turun dari gunung dan betapa terkejutnya mereka melihat sebagian tentara Asad telah tewas dengan luka menganga. Sebagian lainnya mengalami luka berat layaknya menghadapi pertempuran hebat. Tentu kejadian ini menjadi seribu pertanyaan bagi Abu Yahya, relawan HASI yang menghabiskan waktu selama satu bulan di Desa Salma, daerah Jabal Akhrod, Suriah dan mendapatkan kisah ini langsung dari Mujahidin.

“Lantas siapa yang berada di dalam pesawat dan helikopter untuk melawan tentara Suriah?” tutup Abu Yahya dengan segudang tanya di depan para awak media yang juga diliputi keheranan.

Subhanallah, inilah Ayaturrahman yang muncul dalam jihad di bumi Syam. Fakta yang menjadi bukti bahwa Mujahidin tidak sendiri. Mereka bersama Allah untuk menegakkan Islam di Suriah dan melawan kedzaliman rezim Syiah Nushairiyah kepada umat Islam. Semoga ini menjadi kabar baik bagi kemenangan bagi Mujahidin dan tegaknya Islam di Suriah. Tentu jika kita mendengar penuturan dari Mujahidin tersebut, kita akan sangat paham siapakah balatentara yang tiba-tiba datang membantu para Mujahidin melawan tentara Asad.

Allah berfirman, “(Ingatlah) Ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankannya bagimu. Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.”

Referensi :
Zionis dan Syiah Bersatu Hantam Islam karya Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi.

Hati-Hati... Kedzaliman Lidah


Ketauhilah bahwa setiap kedzaliman yang dilakukan seseorang tidak boleh dibalas dengan kedzaliman yang sama. Ghibah (membicarakan kejelekan orang lain) tidak boleh dibalas dengan ghibah. Memata-matai (tajassus) tidak boleh dibalas dengan yang sama. Penghinaan tidak boleh dibalas dengan penghinaan. Begitu pula dengan semua kemaksiatan. Qishas (hukuman) dan denda dapat diterapkan selama itu sesuai dengan syariat.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw,
Jika ada seseorang yang menghinamu yang ada pada dirimu, maka janganlah kamu membalas dengan apa yang ada pada orang itu.” (HR. Ahmad)

Dua orang yang saling mencaci-maki, maka yang menanggung dosa atas apa yang mereka katakan adalah orang yang memulai mencaci-maki, selama orang yang didzalimi (yang tidak memulainya) tidak melampaui batas.” (HR. Muslim)

Suatu hari, seseorang mencaci-maki Abu Bakar ra., tetapi ia diam saja. Orang itu terus mencaci sampai Abu Bakar mulai membalas. Maka Rasulullah saw berdiri sehingga Abu Bakar bertanya, “Bukankah engkau tadi diam ketika orang itu mencaci-maki aku. Tetapi aku mulai membalas caci-maki orang itu mengapa engkau berdiri?
Rasulullah saw berkata, “Karena tadi malaikat bersamamu akan tetapi kamu membalas caciannya malaikat pun pergi dan setan datang. Oleh karena itu, aku tidak mau duduk dalam majelis bersama setan.

Sebagian orang berpendapat, “Boleh membalas cacian orang lain apabila tidak mengandung kebohongan.” Perkataan ini sangat bertentangan dengan sabda Rasulullah saw yang melarang umat beliau untuk membalas hinaan dengan hal yang sama. Akan tetapi larangannya bersifat tanzihiyyah (ringan). Walaupun demikian yang lebih utama adalah meninggalkannya. Ucapan balasan yang diperbolehkan adalah seperti, “Siapa kamu?”. Bukan dengan mengucapkan, “Kamu hanyalah seorang dari bani fulan?

Perkataan seperti itu pernah terucap oleh Sa’ad kepada Ibnu Mas’ud, “Bukankah kamu hanya seseorang dari bani Hudzail?

Ibnu Mas’ud menjawab, “Bukankah kamu juga hanya seorang dari bani Umaiyyah?

Begitu pula dengan membalas, “Wahai orang bodoh (ya ahmaq).

Demikian pula perkataan, “Wahai orang yang buruk perangainya. Wahai orang yang tidak tahu malu. Wahai penggunjing,” dan perkataan yang lainnya yang sesuai dengan kenyataan yang ada.

Rasulullah saw membolehkan orang yang teraniaya untuk membalas selama tidak melampaui batas. Kadar inilah yang dibolehkan, yaitu rukhsah (keringanan) dalam menyakiti sebagai balasan atas perbuatan menyakiti yang dilakukan sebelumnya. Tetapi yang lebih utama adalah meninggalkannya karena dengan membalasnya, walaupun tidak dusta, akan dapat menyeret pada hal yang lebih jauh.

Diam tidak memberi jawaban sama sekali barangkali lebih mudah daripada memberi jawaban. Tetapi diantara manusia ada yang tidak bisa mengendalikan diri dalam melampiaskan kemarahan, sekalipun bisa cepat reda. Ada pula orang yang tidak bisa menahan dirinya untuk tidak melupakan tetapi senantiasa mendendam.

Dalam masalah kemarahan ini, manusia terbagi menjadi empat kategori. Pertama, seperti semak belukar, cepat terbakar dan cepat pula padamnya. Kedua, seperti pohon bakau, lambat terbakar dan lambat pula padamnya. Ketiga, lambat terbakar dan cepat padamnya. Jenis ini yang paling terpuji, selagi tidak mengakibatkan hilangnya ghirah (keinginan) dan semangat pembelaan kebenaran. Keempat, cepat terbakar dan lambat padamnya. Jenis ini yang paling buruk.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Siapa yang dibuat marah tetapi tidak marah, maka dia adalah keledai. Dan barangsiapa diminta maaf tetapi tidak memaafkan adalah setan.

Abu Said al-Khudri ra., berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ketauhilah bahwa anak Adam diciptakan bertingkat-tingkat, ada yang lambat marahnya dan cepat reda, ada yang cepat marah tetapi cepat pula redanya, ada pula yang cepat marah dan lambat reda. Ketauhilah bahwa yang terbaik di antara mereka adalah yang lambat marah dan cepat reda. Dan yang terburuk adalah yang cepat marah dan lambat reda.

Begitu mudahnya lidah kita menguraikan kata-kata keji, sementara disamping kita selalu ada malaikat yang mencatat segenap amal. Bukankah Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu meski takdir menunjukkan bahwa kita tak mampu menjaga lidah. Setiap perbuatan dan ucapan mengandung konsekuensi, dan bagaimana keadaan kita ketika di hari hisab-Nya ternyata lidah kita begitu lugas menyakiti orang lain dan kaya akan caci-maki. Sementara Allah Yang Maha Suci tengah menatap kita yang hina dan semakin menghinakan diri dengan segenap dosa yang diakibatkan oleh lidah.

Dan begitu mudah pula emosi tersulut karena perkara dunia, uang, jabatan, dan segala hal yang melenakan, wanita. Padahal semua itu hanyalah bersifat sementara, tidak dibawa mati. Nyawa melayang karena caci-maki, luka-luka merambat pada pertikaian antar kelompok, sementara fakir-miskin serta kaum duafa dibiarkan begitu saja dalam keadaanya. Kita terlalu sibuk mencampuri urusan orang lain dalam masalah harta sehingga timbul ghibah serta dengki, padahal boleh jadi dengan kekayaannya ratusan anak yatim telah disekolahkan secara gratis. Kita terlalu sibuk mencela orang-orang miskin padahal boleh jadi ia memiliki keuletan serta keshalehan sosial yang jauh lebih tinggi dibandingkan orang-orang yang kaya.

Mudah sekali kita menghakimi kondisi orang lain, seakan-akan hanya kitalah yang terbaik dan orang lain yang lebih rendah dalam urusan dunia adalah suatu kehinaan. Bukankah pintu surga tertutup bagi seseorang yang dalam dirinya terselip kesombongan meski hanya secuil?

Sampai kapan kita terus hidup dengan membalas segenap caci-maki atas apa yang terjadi pada diri kita? Bukankah itu bisa menjadi ladang motivasi serta pembuktian bahwa kita bisa lebih baik di masa yang akan datang bersama segenap ikhtiar, do’a serta tawakkal? Einsten telah membuktikan berkat kata ‘idiot’ yang pernah disematkan padanya. Begitu pula dengan Thomas Alva Edison. Abdullah bin Mas’ud ra., hanyalah seorang gembala kambing, hingga Islam menghidupkan segenap hati beliau dan menjadikannya sosok yang dijanjikan masuk surga, melebihi Abu Hakam (Abu Jahal) yang pernah menghina serta memukulinya karena menjadi seorang muslim serta melafadzkan awal surat Ar-Rahman di dekat majelis pertemuan Quraisy di Mekkah.

Ada Allah yang mengawasi, Dzat yang tak pernah luput dalam pengawasan terhadap hamba-Nya, muslim maupun non-muslim. Belajarlah dari bagaimana generasi sahabat Rasulullah saw dalam menjaga emosi, yang hanya mereka tegaskan ketika panji-panji dan Kalimatullah dihina. Saat Rasulullah saw dicela maka wajib hukumnya bagi kita marah, karena itu adalah menyangkut perkara agama. Ketika Al-Qur’an diinjak-injak atau bahkan dibakar maka sudah sepatutnya kita marah meski harus pula menahan diri dari caci-maki. Allah tidak pernah tidur, Dia akan selalu mengawasi segenap ucapan dan mendengarkan setiap perkataan yang terlontar dari lidah kita. Sampai kapan kita mampu dan telah sadarkan diri?

Referensi :
Kajian Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Intisari Ihya Ulumuddin) karya Sa’id Hawwa.