Kamis, 02 Januari 2014

Pembeda Kita dengan Pejuang Rabbani



Cukuplah dengan satu kata yang membedakan Sang pejuang dengan kita saat ini dan disini. Ia adalah sifat rabbaniyah. Rabbaniyah berarti berhubungan kepada Rabb dan manusia yang berpredikat rabbani bila ia berhubungan dengan Allah sebagai satu-satunya Rabb.
 
“Dan tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (Ali Imran [3] : 79)

Dengan sifat rabbaniyah ini seorang Muslim tidak ada pilihan lain kecuali ia menjawab sami’na wa atha’na atas syariat Islam. Konsekuensi lain dari sifat rabbaniyah ini adalah taqarrub illallah menjadi tuntutan bagi Muslim. Lebih dari itu, seorang Muslim bahkan harus bersegera untuk berkomitmen melaksanakan semua perintah syara’ sebagai suatu ibadah.

Seperti para salafus shaleh, suatu generasi terbaik sepanjang zaman. Generasi ideal yang digambarkan sebagai generasi pilihan Allah, tampil dengan julukan “Layaknya rahib-rahib di malam hari dan penunggang kuda di siang hari.” Ketika malam tiba, mereka berdiri di mihrab, hingga larut dalam kekhusyukan shalat, larut tersedu oleh dzikir yang panjang. Namun begitu fajar menyingsing dan hari beranjak siang, gaung jihad menggema menyeru para mujahidin, niscaya kita lihat mereka segera melompat ke atas punggung-punggung kudanya sembari meneriakkan syia-syiar kebenaran dengan lantang sehingga menembus segenap penjuru dunia.

Inilah generasi rabbani, sebagaimana yang dimaksud firman Allah dalam Ali Imran ayat 79. Menurut Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Jami’ al-Bayaan fii Ta’wil Qur’an mengatakan bahwa dalam surat tersebut, makna rabbani adalah seseorang yang memenuhi beberapa kualifikasi:

Pertama, fakih. Seorang yang fakih adalah orang memiliki keilmuan dan wawasan yang luas, terutama pemahaman tentang agama (yufaqihu fi ad-diin). Ia mudah memahaminya dan memahamkan kepada orang lain. Ia memiliki kemampuan memahami kondisi dan lingkungan sekitarnya, dan mampu memberi solusi yang tepat sebagai aplikasi keagamaannya. Ia layaknya seorang dokter yang dengan jeli melihat pasiennya hingga menemukan sumber penyakitnya, merumuskan resep yang tepat dan sekaligus dapat memberikan fatwa yang tepat, efektif dan efisien. Meminjam istilah ustadz Salim A. Fillah, “Seorang yang rabbani mencoba untuk melihat apa yang ada di balik sesuatu, mendengarkan yang tak terucapkan, dan menilai dari berbagai sisi yang tak selalu linear.”

Kedua, alim. Inilah karakter seorang rabbani yang dituntut untuk memiliki ilmu dan wawasan yang luas, semangat belajar yang tak pernah surut. Ia senantiasa ditarbiyah oleh Rabbnya dengan perantaraan pena. Tuntutan keilmuan dibutuhkan sebagai panduan dalam melakukan amal perbuatan. Dalam dataran praktek di lapangan, wawasan akan memberikan asupan dan informasi akan efektif-efisien tidaknya apa yang sedang dan akan dilaksanakan.

Ketiga, paham politik (bashir bi as-siyasah). Seorang yang rabbani, memiliki kedalaman pandangan tentang politik. Politik Islam adalah seni mengelola urusan publik agar manusia merasa indah beribadah dan mampu menjadikan setiap aktivitas mereka sebagai ibadah. Dia mampu mengelola sebuah kebjakan yang membuat orang kaya merasa terjamin hartanya dan gembira menunaikan kewajibannya. Kebijakan itu membuat orang miskin merasa tenteram sekaligus bersemangat dalam etos kerjanya.

Keempat, melek manajemen (as-shahirah bi at-tadbir). Seorang yang rabbani juga memiliki kedalaman pandangan dalam hal manajemen. Dia tahu bagaimana menempatkan sumber daya pada posisi yang tepat sesuai dengan ahlinya. Didasari hal inilah, Rasulullah tak pernah mengangkat Umar ra., menjadi komandan satuan pasukan besar bukan karena beliau tidak mampu. Tapi model seperti Umar akan mementingkan mencari kematian (syahadah) daripada kemenangan pasukan yang dipimpinnya. Berbeda dengan profil Khalid bin Walid ra. Saat dipecat dari kedudukannya sebagai panglima ia berujar, “Kini aku bebas mencari kematian. Kemarin ketika menjadi panglima, tentu kupikirkan pasukanku. Kini aku berpikir tentang diriku sendiri, dan aku merindukan surga.” Kalau bukan karena dia panglima, Khalid mungkin tak perlu mematahkan sampai 13 bilah pedang dalam Perang Mu’tah.

Kelima, al-qiyam bi as-su-unir ra ‘iyah lil maslahati ad-dunyaa wa ad-diin. Poin ini adalah implementasi dari poin ketiga dan keempat. Kata kuncinya adalah kepedulian pada kepentingan publik. Seorang yang rabbani memiliki peran dalam menegakkan kepentingan masyarakat banyak dalam kerangka kebaikan dunia dan agama. Ada advokasi, penyantunan, pelayanan, peningkatan kesejahteraan dan ada kebijakan yang membuka peluang-peluang kebaikan. Itulah orang-orang rabbani.

Air mata di jalan dakwah, jelaslah yang membedakan antara kita dengan sang pejuang itu. Mereka kalau toh harus menangis bukan lantaran kegenitan dan kecengengan mereka. Tetapi, lantaran muhasabah atas apa yang semestinya mereka lakukan merasa belum sepenuhnya dilakukan. Mereka menangis dalam himpitan perasaan khauf dan raja’ kepada Allah. Mereka menangis lantaran ilmu yang dimilikinya belum banyak diambil manfaatnya bagi orang lain. Mereka menangis lantaran takut kesetiaan imannya tergadaikan dengan urusan dunia. Mereka menangis lantaran takut merosotnya tekad yang kuat dalam dada. Lantaran itu semua mereka layak menjadi generasi rabbani yang pantas mengemban amanah khalifah di muka bumi.
Air mata di jalan dakwah, ada tanya yang tersisa, bagaimana dengan Anda? Seorang pejuang sejati takkan mengalirkan air matanya tanpa makna.

Dinukil dari buku “Air Mata di Jalan Dakwah”, Umar Hidayat.

Buku adalah gudang ilmu, membaca adalah kuncinya. Ketiadaan dana untuk membeli sebuah buku bukan halangan untuk membaca, karena ruang perpustakaan dan rak-rak sahabat muslim kita sudah terlalu penuh oleh ‘debu’ dan kesepian. Jauhnya kita dari toko buku bukan pula halangan untuk mencari ilmu dari membaca, karena kita memiliki segala upaya untuk mendapatkan dengan cucuran keringat serta air mata. Kemanakah segala waktu kita...? muslim beribadah berdasarkan Ilmu, bukan teka-teki ataupun taklid buta. Barangkali dengan membaca kita bisa semakin dekat dengan “Generasi Rabbani”, sebagaimana ayat pertama yang turun... “IQRA...!!!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar