Cukuplah dengan
satu kata yang membedakan Sang pejuang dengan kita saat ini dan disini. Ia
adalah sifat rabbaniyah. Rabbaniyah berarti berhubungan kepada
Rabb dan manusia yang berpredikat rabbani bila ia berhubungan dengan Allah
sebagai satu-satunya Rabb.
“Dan tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah
dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata):
"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (Ali Imran [3]
: 79)
Dengan
sifat rabbaniyah ini seorang Muslim
tidak ada pilihan lain kecuali ia menjawab sami’na
wa atha’na atas syariat Islam. Konsekuensi lain dari sifat rabbaniyah ini adalah taqarrub illallah menjadi tuntutan bagi
Muslim. Lebih dari itu, seorang Muslim bahkan harus bersegera untuk berkomitmen
melaksanakan semua perintah syara’ sebagai suatu ibadah.
Seperti
para salafus shaleh, suatu generasi terbaik sepanjang zaman. Generasi ideal
yang digambarkan sebagai generasi pilihan Allah, tampil dengan julukan
“Layaknya rahib-rahib di malam hari dan penunggang kuda di siang hari.” Ketika
malam tiba, mereka berdiri di mihrab, hingga larut dalam kekhusyukan shalat,
larut tersedu oleh dzikir yang panjang. Namun begitu fajar menyingsing dan hari
beranjak siang, gaung jihad menggema menyeru para mujahidin, niscaya kita lihat
mereka segera melompat ke atas punggung-punggung kudanya sembari meneriakkan
syia-syiar kebenaran dengan lantang sehingga menembus segenap penjuru dunia.
Inilah
generasi rabbani, sebagaimana yang dimaksud firman Allah dalam Ali Imran ayat
79. Menurut Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Jami’ al-Bayaan fii Ta’wil Qur’an mengatakan bahwa dalam surat
tersebut, makna rabbani adalah seseorang yang memenuhi beberapa kualifikasi:
Pertama, fakih. Seorang yang fakih adalah orang memiliki keilmuan dan wawasan
yang luas, terutama pemahaman tentang agama (yufaqihu fi ad-diin). Ia mudah memahaminya dan memahamkan kepada
orang lain. Ia memiliki kemampuan memahami kondisi dan lingkungan sekitarnya,
dan mampu memberi solusi yang tepat sebagai aplikasi keagamaannya. Ia layaknya
seorang dokter yang dengan jeli melihat pasiennya hingga menemukan sumber
penyakitnya, merumuskan resep yang tepat dan sekaligus dapat memberikan fatwa
yang tepat, efektif dan efisien. Meminjam istilah ustadz Salim A. Fillah,
“Seorang yang rabbani mencoba untuk melihat apa yang ada di balik sesuatu,
mendengarkan yang tak terucapkan, dan menilai dari berbagai sisi yang tak
selalu linear.”
Kedua, alim. Inilah karakter seorang rabbani
yang dituntut untuk memiliki ilmu dan wawasan yang luas, semangat belajar yang
tak pernah surut. Ia senantiasa ditarbiyah oleh Rabbnya dengan perantaraan
pena. Tuntutan keilmuan dibutuhkan sebagai panduan dalam melakukan amal
perbuatan. Dalam dataran praktek di lapangan, wawasan akan memberikan asupan
dan informasi akan efektif-efisien tidaknya apa yang sedang dan akan
dilaksanakan.
Ketiga, paham politik (bashir bi
as-siyasah). Seorang yang rabbani, memiliki kedalaman pandangan tentang
politik. Politik Islam adalah seni mengelola urusan publik agar manusia merasa
indah beribadah dan mampu menjadikan setiap aktivitas mereka sebagai ibadah.
Dia mampu mengelola sebuah kebjakan yang membuat orang kaya merasa terjamin
hartanya dan gembira menunaikan kewajibannya. Kebijakan itu membuat orang
miskin merasa tenteram sekaligus bersemangat dalam etos kerjanya.
Keempat, melek manajemen (as-shahirah bi
at-tadbir). Seorang yang rabbani juga memiliki kedalaman pandangan dalam
hal manajemen. Dia tahu bagaimana menempatkan sumber daya pada posisi yang
tepat sesuai dengan ahlinya. Didasari hal inilah, Rasulullah tak pernah
mengangkat Umar ra., menjadi komandan satuan pasukan besar bukan karena beliau
tidak mampu. Tapi model seperti Umar akan mementingkan mencari kematian (syahadah) daripada kemenangan pasukan
yang dipimpinnya. Berbeda dengan profil Khalid bin Walid ra. Saat dipecat dari
kedudukannya sebagai panglima ia berujar, “Kini aku bebas mencari kematian.
Kemarin ketika menjadi panglima, tentu kupikirkan pasukanku. Kini aku berpikir
tentang diriku sendiri, dan aku merindukan surga.” Kalau bukan karena dia
panglima, Khalid mungkin tak perlu mematahkan sampai 13 bilah pedang dalam
Perang Mu’tah.
Kelima, al-qiyam bi as-su-unir ra ‘iyah
lil maslahati ad-dunyaa wa ad-diin. Poin ini adalah implementasi dari poin
ketiga dan keempat. Kata kuncinya adalah kepedulian pada kepentingan publik. Seorang
yang rabbani memiliki peran dalam menegakkan kepentingan masyarakat banyak
dalam kerangka kebaikan dunia dan agama. Ada advokasi, penyantunan, pelayanan,
peningkatan kesejahteraan dan ada kebijakan yang membuka peluang-peluang
kebaikan. Itulah orang-orang rabbani.
Air
mata di jalan dakwah, jelaslah yang membedakan antara kita dengan sang pejuang
itu. Mereka kalau toh harus menangis bukan lantaran kegenitan dan kecengengan
mereka. Tetapi, lantaran muhasabah atas apa yang semestinya mereka lakukan merasa
belum sepenuhnya dilakukan. Mereka menangis dalam himpitan perasaan khauf dan raja’ kepada Allah. Mereka menangis lantaran ilmu yang dimilikinya
belum banyak diambil manfaatnya bagi orang lain. Mereka menangis lantaran takut
kesetiaan imannya tergadaikan dengan urusan dunia. Mereka menangis lantaran
takut merosotnya tekad yang kuat dalam dada. Lantaran itu semua mereka layak
menjadi generasi rabbani yang pantas mengemban amanah khalifah di muka bumi.
Air
mata di jalan dakwah, ada tanya yang tersisa, bagaimana dengan Anda? Seorang
pejuang sejati takkan mengalirkan air matanya tanpa
makna.
Dinukil dari buku “Air Mata di
Jalan Dakwah”, Umar Hidayat.
Buku adalah gudang ilmu, membaca adalah kuncinya. Ketiadaan dana untuk
membeli sebuah buku bukan halangan untuk membaca, karena ruang perpustakaan dan
rak-rak sahabat muslim kita sudah terlalu penuh oleh ‘debu’ dan kesepian.
Jauhnya kita dari toko buku bukan pula halangan untuk mencari ilmu dari
membaca, karena kita memiliki segala upaya untuk mendapatkan dengan cucuran
keringat serta air mata. Kemanakah segala waktu kita...? muslim beribadah
berdasarkan Ilmu, bukan teka-teki ataupun taklid buta. Barangkali dengan
membaca kita bisa semakin dekat dengan “Generasi Rabbani”, sebagaimana ayat
pertama yang turun... “IQRA...!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar