Sabtu, 04 Januari 2014

A Cup of Tarapuccino (Secangkir Cinta, Rindu dan Harapan) – Resensi



Judul : A Cup of Tarapuccino (Secangkir Cinta, Rindu dan Harapan)
Pengarang : Riawani Elyta dan Rika Yulia Sari
Penerbit : Indivia
Tebal : 304 Halaman

Satu lagi novel dengan genre cinta, tapi BCB (Bukan Cinta Biasa). Duo Hawa ini berkolaborasi menghasilkan sebuah karya yang tidak hanya menuangkan nada cinta, tapi juga sebuah harapan, tantangan serta permainan yang terjadi di salah satu sudut pulau perbatasan. Batam. Jika menilik judul, bisa jadi kita akan menangkap aroma “Romantika” pada umumnya, tapi setelah membaca secara keseluruhan akan nampak nuansa pembeda yang menjadikan setiap alur dan settingnya menarik.
Tara dan Raffi masih dalam ruang lingkup satu keluarga, namun permintaan sang bunda sesaat sebelum wafat sungguh terlampau menikam ulu hati. Tak mungkin dua hati dalam satu keluarga yang saling melindungi serta menjaga terikat dalam nuansa pernikahan. Alasan hubungan dekat serta masalah pembagian warisan bisa jadi alasan terkonyol yang pernah diberikan. Raffi hanya memegang satu janji untuk terus menjaga Tara apa pun yang terjadi, sembari memendam sebuah getaran yang tak asing bagi pemuda seusianya.
Keduanya berkolaborasi dalam usaha bakery, Bread Time, sebuah franchise yang menyediakan aneka hidangan roti, minuman serta makanan yang tak hanya dinikmati kalangan menengah ke atas. Mereka yang berprofesi sebagai kuli pun bisa menikmati sajiannya. Namun bayang-bayang kekhawatiran akan kehalalan bahan baku yang diberikan langganan pemasok menghantui keduanya setelah kiriman beberapa e-mail saat usaha keduanya berkembang. Termasuk dua tindakan percobaan membuat nama buruk Bread Time semakin membuat keduanya waspada.
Hazel, bukan nama sebenarnya, bergabung dengan Bread Time. Ada sejarah terkelam yang harus dilewati sebelumnya dan tak mudah untuk lepas dari bayang-bayang Bos Bo Bo Ho serta lingkungan “dermaga tikus” yang menjadi tempatnya menyambung hidup. Mantan aktivis kampus yang kehilangan nuansa ukhuwah serta tekanan finansial, ia dikucilkan tanpa ada yang mau memahami kondisi serta hidupnya. Belum lagi gunungan hutang sang ayah ‘tiri’ yang membawanya dari balik jeruji besi, menjauhkannya dari sang bunda ‘asli’. Tiga orang adik yang menyayanginya tak pernah mengetahui seperti apa usaha serta bisnis yang dijalani. Ia dan ketiganya saling menyayangi. Dan nama Allah yang perlahan memudar itu kembali muncul, bangkit dari peraduan kalbu serta memberanikan diri setalah lama mengumpat dalam sanubari. Ia selalu merasakan getaran-Nya, namun seperti inilah kenyataan hidup. Terlalu pahit. Sulit untuk menghilang dari dunia hitam.
Bukan novel cinta biasa yang menyuguhkan romantika, karena cinta adalah bumbu yang menyegarkan suasana serta ketegangan yang tengah terjadi dalam kehidupan. Hazel menemukan sebuah getaran saat ada di Bread Time, suatu gerak dan denyut yang dulu pernah muncul. Bergetar pelan dan terus mengalami peningkatan adrenalin. Sang peach yang dulu tak pernah ditemuinya, dengan harapan mau menjadi pendamping hidup. Dan warna itu seakan jelas dimatanya, sejelas sinar mentari yang menerobos kabut di pegunungan kala pagi. Sang peach yang jua merasakan sebuah getaran lain dalam hidupnya. Baru kali ini ia merasakan kehadiran rasa itu, yang tak pernah terbayangkan dalam kebersamaannya dengan Raffi.
Dunia ‘dekat’ perbatasan yang menyimpan banyak pil pahit pun memunculkan taringnya. Diantara pilihan terburuk, maka Hazel memilih untuk meneruskan ‘tujuan terakhir’ yang ia harap mampu membuatnya terlepas dan bebas. Dan Raffi menangkap sinyal yang lain pada diri Tara, seakan melodi ‘cemburu’ itu membayangi setiap detik langkah kebersamaannya. Akankah ketiganya mampu menguatkan langkah hati?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar