Selamat siang siang sahabat, assalamu'alaykum warahmatullah, hmm... lagi-lagi mau berbagi sesuatu. Eits... Ini kembali menghadirkan sebuah artikel yang kemudian saya kembangkan bersama ide/pemikiran tentang bagaimana menyampaikan sesuatu. Yapz, saya hanya membuka kerangka berpikir sahabat tentang tulisan di salah satu koran yang memang 'menarik' untuk kita pahami secara kontekstual maupun realita yang ada. Dan... ini adalah fakta yang terjadi, dimana kita, dan mungkin juga saya, belum bisa banyak belajar darinya.
Kita awali dengan lafadz basmallah... Bismillahirrahmanirrahim
Menghadirkan Tuhan
“Kita, kata Wallace, berusaha mencari pengganti kegalauan tersebut
dengan mencari hiburan, kecanduan, kompetisi untuk untuk mencapai tujuan-tujuan
pengganti.”
Menyusul tragedi penembakan di sekolah
dan kampus di Amerika Serikat beberapa waktu lalu, senator dan mantan gubernuer
Arkansas, Mike Huckabee menyatakan kejadian ini merupakan konsekuensi dari
upaya sistematis menghapus Tuhan dari sekolah. “Dan karena kita memerintahkan
Tuhan keluar dari sekolah, dari masyarakat, dari militer, dan perbincangan
publik, kita tidak perlu terlalu terkejut... ketika segala bentuk kejahatan
bisa terjadi dengan leluasa,” katanya.
Pendapat Huckabee termasuk
sedikit aneh dalam konteks sistem sekuler yang dibangun di negara barat. Ada
tesis menyebutkan bahwa pengalaman keber-agama-an Barat memang tidak terlalu
kompatibel untuk menerima agama dalam sistem sosial, dan Tuhan sebagai tujuan
utama. Dalam sistem seperti ini, seperti diakui Huckabee, Tuhan dan agama dipisahkan
dari sistem kemasyarakatan, termasuk pendidikan.
Huckabee bukan orang pertama yang
mengakui ketidakhadiran Tuhan dalam sistem sosial dan konsekuensi yang muncul.
Dalam kutipan terkenalnya, Filsuf Jerman, Friedrich Wilhelm Nietszhe membuat
metafora bahwa kita telah ‘membunuh’ Tuhan. Namun, setelah itu muncul
kegalauan. “Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri
kita sendiri...? pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah
yang perlu kita ciptakan?” Tanya Nietszhe.
Eksistensi manusia yang
meniadakan Tuhan dalam kehidupannya mengarah pada nihilisme, hidup yang tanpa
tujuan untuk mengganti kekosongan. Sastrawan David Foster Wallace menyebut
fenomena ini sebagai ‘stomach level sadness’ atau ‘kegalauan setingkat perut’.
Kita, kata Wallace, berusaha mencari pengganti kegalauan tersebut dengan
mencari hiburan, kecanduan, kompetisi untuk mencapai tujuan-tujuan pengganti.
Tujuan pengganti tersebut sebenarnya hanya bersifat sementara-dan hanya selevel
perut-hingga pada akhirnya hanya membuat kekosongan-kekosongan baru.
‘Mematikan’ Tuhan secara (tidak)
sadar telah kita lakukan dengan menganggap agama adalah sesuatu yang hanya
diperlukan untuk kebutuhan privat. Tidak meyakini bahwa Tuhan tidak pantas
hadir dalam sistem kehidupan yang lebih besar dari kehidupan privat bisa
berarti dua hal. Pertama, kita menilai Sang Pencipta memiliki kelemahan, atau,
kedua, pemahaman kita sendiri yang terlalu dangkal untuk memahami kebesaran
Sang Pencipta.
Kita sepakat untuk tidak menerima
pilihan pertama. Namun pada pilihan kedua pun, konsekuensi akibat ‘ketiadaan’
Tuhan dalam kehidupan kita saat ini tetap sama. Segala bentuk kejahatan leluasa
terjadi-yang paling terasa saat ini-antara lain korupsi merasuki di semua
bidang, bahkan di instistusi pendidikan dan keagamaan. Kekosongan spiritual
juga terasa dari begitu gempitanya panggung hiburan, kecanduan, dan kompetisi
sebagai jawaban ‘stomach level sadness’.
Pada titik inilah, kita perlu
menerima Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai momentum untuk menghadirkan kembali
Tuhan dalam kehidupan kita. Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah merayakan
kelahiran hingga akhir hayatnya. Baru 600 tahun kemudian, Maulid dirayakan.
Pesannya jelas, bukan soal kelahiran-apalagi perdebatan soal waktu kelahiran-
tetapi melahirkan kembali nilai-nilai yang kerasulan itu yang utama.
Kerasulan terakhir adalah upaya
menghadirkan Sang Maha Pencipta Allah SWT, dalam kehidupan manusia. Alquran dan
Sunnah yang disampaikan Nabi Muhammad SAW bukan sekadar gagasan dan renungan
tetapi juga aksi, baik untuk kehidupan privat maupun sosial. Oleh karena itu,
Allah SWT seharusnya dihadirkan kembali di dalam hati setiap individu dan
tindakannya, dalam interksi sosial, dan sistem yang dibangun. Melalui Maulid
Nabi Muhammad SAW, Islam seharusnya ‘dilahirkan’ kembali dari sekadar
formalitas menjadi essensi yang mendasari kehidupan, privat maupun sosial.
Maulid adalah momentum untuk menghadirkan kembali Allah SWT dalam dalam
kehidupan kita.
*****
‘Menghadirkan Tuhan (Allah)’
setiap saat dan setiap waktu. Termaktub dalam Qur’an dan Hadist, dan bahkan
film-film pun menunjukkan yang demikian hingga kehidupan sehari-hari kita. Coba
sejenak kita bayangkan bagaimana ‘indahnya’ kehidupan zaman Rasul SAW,
menyenangkan bukan? Setiap waktu kita disejukkan dengan untaian kalimat dan
sikap nan lembut beliau, para sahabat dan juga lingkungan yang sangat mendukung
nuansa kedamaian. Tanpa benci, dengki, hasad, kecuali yang ada pada diri orang
munafik maupun mereka ‘yang cari aman’ dari golongan Yahudi. Orang-orang
Nasrani merasakan kedamaian dan ketentraman, begitu pula Yahudi yang kini
dengan para ‘Zionis’ terus merongrong bumi Palestina. Kehidupan nan tentram
yang didambakan seluruh umat manusia dan diajarkan seluruh agama di bumi ini
bukan? Semua manusia merasa selalu diawasi oleh Tuhan, dan bukankah seluruh
kitab agama-agama dunia yang dianut mengajarkan demikian? Apalagi Al-Qur’an
yang berkali-kali mengingatkan manusia (khususnya Muslim) agar senantiasa
menjaga hubungan dengan Allah setiap waktu.
Perasaan selalu merasa diawasi
oleh Allah, secara tidak langsung, memastikan bahwa diri ini memang senantiasa
berhati-hati dalam segala jenis ucapan maupun tindakan. Itulah sebagian ajaran
Islam yang mulia dan penuh rahmat ini. Sebagai muslim, terlebih saya, kekuatan inilah
yang seringkali menghilang dari sebagian masyarakat dalam menjalani setiap
episode kehidupan. Mengutip tajuk diatas, ‘Pertama, kita menilai Sang Pencipta
memiliki kelemahan, atau, kedua, pemahaman kita sendiri yang terlalu dangkal
untuk memahami kebesaran Sang Pencipta’, barangkali inilah alasan yang membuat
kita melupakan bagaimana kehadiran-Nya setiap waktu. Seolah-olah Tuhan tak
pernah tahu bahwasanya aktivitas lalai, korupsi, mencontek, menipu, mencuri,
dan segala macam tindakan buruk lain hanya menjadi bumbu ‘pemanis’ kehidupan
kita agar terus bertahan.
Atau mungkin, dalam segala macam
permohonan yang kita ajukan (do’a), dan disaat yang sama-Allah-tidak
mengabulkan permohonan kita yang dituturkan bersama linangan air mata meskipun
ditambah dengan usaha. Adilkah Dia...? atau masih belum cukupkah usaha yang
kita lakukan untuk menunjukkan bahwasanya kita layak untuk memperoleh apa yang
diinginkan melalui usaha dan do’a...? kedua pertanyaan ini-bisa saja- semakin
mengikis akidah yang telah kita tanam dan pelajari selama sekian waktu.
Mengapa...? barangkali kita masih belum benar-benar mempelajari Islam serta
Berislam secara kaffah, sehingga
muncul keraguan serta dzan-dzan yang
mengaburkan semangat menjalani kehidupan bersama kekuatan Allah Yang Maha Besar.
Barangkali benar-kata para
pendaki-saat mereka ‘keranjingan’ hobi naik gunung atau mendaki, ‘Untuk melihat
bagaimana kebesaran Tuhan, maka mendakilah ke tempat yang tinggi. Naiklah...
bukan untuk mencari sensasi, tapi merasakan bagaimana kebesaran Ilahi’. Gunung
itu memang tinggi menjulang, namun Tuhan jauh lebih daripada itu. Alam yang
asri memang indah, dan Tuhan jauh lebih daripada itu. Itulah barangkali salah
satu terapi terbaik menjernihkan akal dan pikiran kita-adalah dengan naik
gunung-sambil merasakan kebesaran Illahi sembari merenungi kehidupan serta
aktivitas yang pernah dijalani. Sekali lagi-bukan untuk mengejar sensasi-tapi
untuk menajamkan pikiran kita tentang kekuasaan Illahi yang tak terbatas.
Itulah mengapa ajaran Islam itu
begitu universal, menjangkau seluruh aspek kehidupan manusia, tanpa terkecuali.
Membawa kedamaian, memberikan keselerasan, keseimbangan dan hal-hal indah
lainnya. Bukankah mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim? Tapi... saya
tidak berani melanjutkannya-barangkali sahabat pun sudah memahaminya-tentang
bagaimana cara masyarakat kita memandang Islam. Setidaknya ada enam kelompok,
setelah saya melakukan studi dan juga perbincangan sekaligus mendengarkan
bagaimana Islam disampaikan. Pertama, Islam hanya mengajarkan sesuatu
yang sifatnya ritual dan terkadang dibumbui perbuatan syirik yang tidak pernah
disadari, kelompok ini pun yang satu kawan dengan mereka yang menganut sekulerisme. Kedua, yang memandang
Islam adalah perjuangan struktural dan masif-menjangkau seluruh lapisan
masyarakat-dikendalikan dalam bentuk ormas maupun kepartaian. Ketiga,
yang menjalankan Islam dengan mengajak terhadap tujuan tertentu-terkadang
membawa doktrin yang kuat-meskipun terkadang menimbulkan banyak perdebatan
skala kecil hingga besar-munculnya kebencian-serta memandang yang lain hanyalah
kelompok yang tak berarti meskipun menghasilkan banyak hal. Keempat,
mereka yang memandang Islam sebagai aktivitas yang menyenangkan, ajaran yang
lembut tapi juga tegas, berjamaah untuk mencapai tujuan bersama, menjaga yang
telah tetap namun juga terbuka terhadap hal baru yang tidak bertentangan dengan
Qur’an dan Sunnah. Kelima, mereka yang menutup diri dari berbagai hal yang telah
diatur oleh kesepakatan jamaah-dengan kata lain memisahkan diri-meskipun tidak
melakukan pertentangan dengan jamaah lain. Keenam, mereka yang seolah-olah
paham dan mengerti bagaimana Islam dan juga hukum serta tata-caranya, tapi
sebenarnya mereka yang menghancurkan nama Islam itu sendiri-satu sifat dengan
Abdullah bin Ubay-yang kata-katanya manis tapi sejatinya meremukkan akidah
melalui bagaimana Islam diterapkan maupun ketika ‘akidah’ itu diserang. Keenam
hal-bagaimana Islam dipandang dan diajarkan-memang menjadi hal yang juga
menimbulkan polemik yang hampir-hampir menghancurkan tatanan kehidupan
masyarakat muslim di Indonesia. Tapi seperti inilah kondisi masyarakat kita,
terkadang melupakan bagaimana Allah senantiasa mengawasi setiap aktivitas yang
dikerjakan pun juga dalam ruang lingkup tutur kata. Seolah-olah kita telah
mengerjakan yang benar dan koridor Qur’an dan Sunnah, dengan membuat yang lain
tersakiti, padahal Rasul telah mewanti-wanti umatnya agar menjaga lisan
terhadap sesamanya. Terlebih mereka yang hanya ‘mengaku’ sebagai muslim tapi
melakukan aktivitas yang jauh-jauh dari pribadi muslim. Sekulerisme setidaknya
merasuki sebagian lapisan masyarakat, bahkan di kalangan akademisi menjadi hal
yang cukup parah, padahal ilmu diajarkan dalam lingkungan itu. Islam yang hanya
dianggap sebagai ritual-sehingga tak perlu melaksanakan ajaran yang tak sesuai
dengan kondisi sekarang atau aturan yang disepakati-dan hampir-hampir dil saepas
secara ‘paksa’ dalam aturan atau tata tertib yang diberlakukan. Na’udzubillah.
Dari keenam sampel, maka kelompok
pertama dan keenamlah-yang luar biasa cukup banyak-mengisi persendian kehidupan
masyarakat muslim di Indonesia. Afwan, satu langkah atau bahkan sekian langkah
lebih dekat dengan ‘seolah-olah’ melupakan kehadiran Allah yang senantiasa
mengawasi langkah kehidupan yang dijalani. Dan tanpa disadari-kita sendiri
sering berinteraksi lagi bermuamalah-terkait dengan kehidupan pribadi maupun
yang berhubungan langsung dengan umat atau masyarakat. Kita berada di
tengah-tengah kondisi yang mengkhawatirkan, seolah dalam titik nadir, saat
upaya-upaya perbaikan ummat hanya menjadi ‘seonggok’ ucapan yang ditanggapi
dengan suudzan-tanpa adanya
klarifikasi. Mereka yang menyampaikan kebenaran dalam konteks Qur’an dan
Sunnah-dikatakan terlalu terburu-buru atau ‘anak kemarin sore’-diantara para
‘muka lama’ yang telah memberikan pengaruh bagi masyarakat. Ketulusan memberi
dan juga semangat juang anak muda-aktivis muda-hanya menimbulkan kekhawatiran,
baik karena pemahaman para penggerak maupun masyarakat yang diajak untuk
memahami Islam secara lebih baik. Dan masih banyak lagi polemik yang hadir,
disamping ‘rong-rongan’ hedonisme, sekulerisme dan isme-isme lain menarik
‘banyak minat’ generasi muda hingga mereka yang telah lama menikmati
‘asam-garam’ kehidupan di dunia. Dan sekali lagi... Tuhan dilupakan-dan
bagaimana sebagian besar ‘penyakit’ dan aktivitas ini-menjangkit hampir seluruh
lapisan masyarakat Indonesia. Sistem pendidikan, hukum, politik,
sosial-masyarakat, kesehatan, sarana-prasarana, sampai hal-hal yang sifatnya
keagamaan pun-seolah-olah ‘Tuhan’ (Allah) tidak pernah mengawasi-dan banyak
yang semua dianggap benar atas dasar konsep ‘akal’ yang tidak utuh. Masya Allah.
Di tengah ‘kegalauan’ ummat saat
ini, adakah kita berpikir? Adakah kita belajar? Adakah kita memahami? Dan
adakah... adakah yang lainnya? Bukankah berabad-abad silam dan lamanya, Eropa
menjadi gulita dan pengap karena doktrin agama yang begitu kuat-disaat yang
sama-Islam begitu bercahaya gegap-gempita dengan kekuatan Illahi yang
melingkupi ilmu pengetahuan, pemerintahan, kesejahteraan masyarakat. Kini Eropa
dan sebagian besar negara maju lainnya menjadi terang-benderang, maju luar
biasa, teknologi sedemikian canggihnya saat mereka melupakan ‘Tuhan’ dengan sekulerisme, liberarisme, dan isme yang lainnya. Disaat yang sama, negara-negara
muslim, seolah-olah berlindung dibawah ‘ketiak’ mereka dengan suplai ekonomi,
kecanggihan teknologi, sistem kesehatan. Pun juga, melupakan kehadiran Tuhan,
dengan sekulerisme menjadi penyakit berbahaya yang menjangkit kehidupan
masyarakat muslim. Laa haula walaa
quwwata ilaa billaah.
Sekarang pilihan ada pada diri
kita-termasuk saya-dengan berbagai polemik yang muncul karena meniadakan kehadiran
Tuhan. Ucapan kita... sikap kita... padahal kenyataannya bahwa segala aktivitas
kita terekam dengan jelas-dan bagaimana Malaikat Raqib dan Atid- tak pernah
lalai dalam mencatat segala amal yang kita kerjakan dalam mengarungi samudera
kehidupan. Dan Allah menjadi saksi atas segala perbuatan kita. Ingatlah Allah
maka Dia pun akan mengingat kita, ingatlah Allah saat kau senang sama halnya
ketika duka itu melanda,percayalah, dibalik kegagalan dan bahkan kesuksesan-ada
Allah yang selalu mengawasi-dimana hikmah itu muncul daripadanya. Bahagia dan
sedih kita pun, ada Allah yang selalu mengawasi, Dia Yang Maha Melihat segala
perbuatan kita. Dan Allah-bersama hukum-hukum-Nya-yang termaktub dalam Qur’an
dan Sunnah, selalu relevan dan tepat diterapkan dalam kehidupan manusia di muka
bumi. Cepat... atau lambat... manusia akan menyadarinya-bahwa Tuhan
(Allah)-selalu ada dan memberikan kenyamanan serta ketentraman dalam kehidupan
umat manusia di muka bumi. Tinggal bagaimana kita... dengan menguatkan
akidah... ya, dengan kekuatan itu kita menjalani kehidupan di dunia bersama
nafas Islam. Seorang muslim dengan akidah yang lurus, ibadah yang benar, berakhlak
yang mulia, mereka yang bisa bermanfaat bagi sesamanya, mereka yang memiliki
penghasilan dengan cara yang benar dalam konteks Qur’an dan Sunnah, seorang
pribadi muslim yang mampu memanfaatkan waktu secara bijak (tidak
lalai/menyia-nyiakannya dengan hal-hal yang tiada guna), pribadi muslim yang
berwawasan luas dalam keilmuan-belajar dan juga mengajarkan-yang berhubungan
dengan Islam serta kemajuannya, pribadi-pribadi muslim yang mampu dan terus
berusaha untuk mengekang hawa nafsunya, mereka yang tertata dalam segala macam
urusan-mampu menyusun setiap jadwal/agenda-secara ihsan, dan juga pribadi
muslim yang memiliki fisik yang kuat dalam melewati padatnya agenda harian yang
dijalani (terjaga kesehatan fisiknya). Sepuluh ciri-yang juga merupakan kekuatan-dimana
semakin mendekatnya jiwa-jiwa kita kepada Sang Pencipta (Allah) yang senantiasa
mengawasi setiap aktivitas. Saatnya kita berusaha-dengan meluruskan niat-pun
juga memastikan bahwa kita selalu diawasi oleh Allah, agar hati menjadi tenang
bersama ridha-Nya. Aamiin.
Sekian, barangkali yang bisa saya sampaikan. Mangga-apabila ada yang salah atau tidak tepat dalam konteks Qur'an dan Sunnah-bisa diluruskan demi kebaikan bersama. Kita tutup dengan hamdallah... Alhamdulillah
Semoga Allah senantiasa memberikan kebaikan bagi kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar