Sabtu, 26 Januari 2013

Tajuk Rencana (Menghadirkan Tuhan)


Selamat siang siang sahabat, assalamu'alaykum warahmatullah, hmm... lagi-lagi mau berbagi sesuatu. Eits... Ini kembali menghadirkan sebuah artikel yang kemudian saya kembangkan bersama ide/pemikiran tentang bagaimana menyampaikan sesuatu. Yapz, saya hanya membuka kerangka berpikir sahabat tentang tulisan di salah satu koran yang memang 'menarik' untuk kita pahami secara kontekstual maupun realita yang ada. Dan... ini adalah fakta yang terjadi, dimana kita, dan mungkin juga saya, belum bisa banyak belajar darinya.

Kita awali dengan lafadz basmallah... Bismillahirrahmanirrahim


Menghadirkan Tuhan

“Kita, kata Wallace, berusaha mencari pengganti kegalauan tersebut dengan mencari hiburan, kecanduan, kompetisi untuk untuk mencapai tujuan-tujuan pengganti.”

Menyusul tragedi penembakan di sekolah dan kampus di Amerika Serikat beberapa waktu lalu, senator dan mantan gubernuer Arkansas, Mike Huckabee menyatakan kejadian ini merupakan konsekuensi dari upaya sistematis menghapus Tuhan dari sekolah. “Dan karena kita memerintahkan Tuhan keluar dari sekolah, dari masyarakat, dari militer, dan perbincangan publik, kita tidak perlu terlalu terkejut... ketika segala bentuk kejahatan bisa terjadi dengan leluasa,” katanya.

Pendapat Huckabee termasuk sedikit aneh dalam konteks sistem sekuler yang dibangun di negara barat. Ada tesis menyebutkan bahwa pengalaman keber-agama-an Barat memang tidak terlalu kompatibel untuk menerima agama dalam sistem sosial, dan Tuhan sebagai tujuan utama. Dalam sistem seperti ini, seperti diakui Huckabee, Tuhan dan agama dipisahkan dari sistem kemasyarakatan, termasuk pendidikan.

Huckabee bukan orang pertama yang mengakui ketidakhadiran Tuhan dalam sistem sosial dan konsekuensi yang muncul. Dalam kutipan terkenalnya, Filsuf Jerman, Friedrich Wilhelm Nietszhe membuat metafora bahwa kita telah ‘membunuh’ Tuhan. Namun, setelah itu muncul kegalauan. “Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri...? pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan?” Tanya Nietszhe.

Eksistensi manusia yang meniadakan Tuhan dalam kehidupannya mengarah pada nihilisme, hidup yang tanpa tujuan untuk mengganti kekosongan. Sastrawan David Foster Wallace menyebut fenomena ini sebagai ‘stomach level sadness’ atau ‘kegalauan setingkat perut’. Kita, kata Wallace, berusaha mencari pengganti kegalauan tersebut dengan mencari hiburan, kecanduan, kompetisi untuk mencapai tujuan-tujuan pengganti. Tujuan pengganti tersebut sebenarnya hanya bersifat sementara-dan hanya selevel perut-hingga pada akhirnya hanya membuat kekosongan-kekosongan baru.

‘Mematikan’ Tuhan secara (tidak) sadar telah kita lakukan dengan menganggap agama adalah sesuatu yang hanya diperlukan untuk kebutuhan privat. Tidak meyakini bahwa Tuhan tidak pantas hadir dalam sistem kehidupan yang lebih besar dari kehidupan privat bisa berarti dua hal. Pertama, kita menilai Sang Pencipta memiliki kelemahan, atau, kedua, pemahaman kita sendiri yang terlalu dangkal untuk memahami kebesaran Sang Pencipta.

Kita sepakat untuk tidak menerima pilihan pertama. Namun pada pilihan kedua pun, konsekuensi akibat ‘ketiadaan’ Tuhan dalam kehidupan kita saat ini tetap sama. Segala bentuk kejahatan leluasa terjadi-yang paling terasa saat ini-antara lain korupsi merasuki di semua bidang, bahkan di instistusi pendidikan dan keagamaan. Kekosongan spiritual juga terasa dari begitu gempitanya panggung hiburan, kecanduan, dan kompetisi sebagai jawaban ‘stomach level sadness’.

Pada titik inilah, kita perlu menerima Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai momentum untuk menghadirkan kembali Tuhan dalam kehidupan kita. Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah merayakan kelahiran hingga akhir hayatnya. Baru 600 tahun kemudian, Maulid dirayakan. Pesannya jelas, bukan soal kelahiran-apalagi perdebatan soal waktu kelahiran- tetapi melahirkan kembali nilai-nilai yang kerasulan itu yang utama.

Kerasulan terakhir adalah upaya menghadirkan Sang Maha Pencipta Allah SWT, dalam kehidupan manusia. Alquran dan Sunnah yang disampaikan Nabi Muhammad SAW bukan sekadar gagasan dan renungan tetapi juga aksi, baik untuk kehidupan privat maupun sosial. Oleh karena itu, Allah SWT seharusnya dihadirkan kembali di dalam hati setiap individu dan tindakannya, dalam interksi sosial, dan sistem yang dibangun. Melalui Maulid Nabi Muhammad SAW, Islam seharusnya ‘dilahirkan’ kembali dari sekadar formalitas menjadi essensi yang mendasari kehidupan, privat maupun sosial. Maulid adalah momentum untuk menghadirkan kembali Allah SWT dalam dalam kehidupan kita.

*****
‘Menghadirkan Tuhan (Allah)’ setiap saat dan setiap waktu. Termaktub dalam Qur’an dan Hadist, dan bahkan film-film pun menunjukkan yang demikian hingga kehidupan sehari-hari kita. Coba sejenak kita bayangkan bagaimana ‘indahnya’ kehidupan zaman Rasul SAW, menyenangkan bukan? Setiap waktu kita disejukkan dengan untaian kalimat dan sikap nan lembut beliau, para sahabat dan juga lingkungan yang sangat mendukung nuansa kedamaian. Tanpa benci, dengki, hasad, kecuali yang ada pada diri orang munafik maupun mereka ‘yang cari aman’ dari golongan Yahudi. Orang-orang Nasrani merasakan kedamaian dan ketentraman, begitu pula Yahudi yang kini dengan para ‘Zionis’ terus merongrong bumi Palestina. Kehidupan nan tentram yang didambakan seluruh umat manusia dan diajarkan seluruh agama di bumi ini bukan? Semua manusia merasa selalu diawasi oleh Tuhan, dan bukankah seluruh kitab agama-agama dunia yang dianut mengajarkan demikian? Apalagi Al-Qur’an yang berkali-kali mengingatkan manusia (khususnya Muslim) agar senantiasa menjaga hubungan dengan Allah setiap waktu.


Perasaan selalu merasa diawasi oleh Allah, secara tidak langsung, memastikan bahwa diri ini memang senantiasa berhati-hati dalam segala jenis ucapan maupun tindakan. Itulah sebagian ajaran Islam yang mulia dan penuh rahmat ini. Sebagai muslim, terlebih saya, kekuatan inilah yang seringkali menghilang dari sebagian masyarakat dalam menjalani setiap episode kehidupan. Mengutip tajuk diatas, ‘Pertama, kita menilai Sang Pencipta memiliki kelemahan, atau, kedua, pemahaman kita sendiri yang terlalu dangkal untuk memahami kebesaran Sang Pencipta’, barangkali inilah alasan yang membuat kita melupakan bagaimana kehadiran-Nya setiap waktu. Seolah-olah Tuhan tak pernah tahu bahwasanya aktivitas lalai, korupsi, mencontek, menipu, mencuri, dan segala macam tindakan buruk lain hanya menjadi bumbu ‘pemanis’ kehidupan kita agar terus bertahan.

Atau mungkin, dalam segala macam permohonan yang kita ajukan (do’a), dan disaat yang sama-Allah-tidak mengabulkan permohonan kita yang dituturkan bersama linangan air mata meskipun ditambah dengan usaha. Adilkah Dia...? atau masih belum cukupkah usaha yang kita lakukan untuk menunjukkan bahwasanya kita layak untuk memperoleh apa yang diinginkan melalui usaha dan do’a...? kedua pertanyaan ini-bisa saja- semakin mengikis akidah yang telah kita tanam dan pelajari selama sekian waktu. Mengapa...? barangkali kita masih belum benar-benar mempelajari Islam serta Berislam secara kaffah, sehingga muncul keraguan serta dzan-dzan yang mengaburkan semangat menjalani kehidupan bersama kekuatan Allah Yang Maha Besar.

Barangkali benar-kata para pendaki-saat mereka ‘keranjingan’ hobi naik gunung atau mendaki, ‘Untuk melihat bagaimana kebesaran Tuhan, maka mendakilah ke tempat yang tinggi. Naiklah... bukan untuk mencari sensasi, tapi merasakan bagaimana kebesaran Ilahi’. Gunung itu memang tinggi menjulang, namun Tuhan jauh lebih daripada itu. Alam yang asri memang indah, dan Tuhan jauh lebih daripada itu. Itulah barangkali salah satu terapi terbaik menjernihkan akal dan pikiran kita-adalah dengan naik gunung-sambil merasakan kebesaran Illahi sembari merenungi kehidupan serta aktivitas yang pernah dijalani. Sekali lagi-bukan untuk mengejar sensasi-tapi untuk menajamkan pikiran kita tentang kekuasaan Illahi yang tak terbatas.

Itulah mengapa ajaran Islam itu begitu universal, menjangkau seluruh aspek kehidupan manusia, tanpa terkecuali. Membawa kedamaian, memberikan keselerasan, keseimbangan dan hal-hal indah lainnya. Bukankah mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim? Tapi... saya tidak berani melanjutkannya-barangkali sahabat pun sudah memahaminya-tentang bagaimana cara masyarakat kita memandang Islam. Setidaknya ada enam kelompok, setelah saya melakukan studi dan juga perbincangan sekaligus mendengarkan bagaimana Islam disampaikan. Pertama, Islam hanya mengajarkan sesuatu yang sifatnya ritual dan terkadang dibumbui perbuatan syirik yang tidak pernah disadari, kelompok ini pun yang satu kawan dengan mereka yang menganut sekulerisme. Kedua, yang memandang Islam adalah perjuangan struktural dan masif-menjangkau seluruh lapisan masyarakat-dikendalikan dalam bentuk ormas maupun kepartaian. Ketiga, yang menjalankan Islam dengan mengajak terhadap tujuan tertentu-terkadang membawa doktrin yang kuat-meskipun terkadang menimbulkan banyak perdebatan skala kecil hingga besar-munculnya kebencian-serta memandang yang lain hanyalah kelompok yang tak berarti meskipun menghasilkan banyak hal. Keempat, mereka yang memandang Islam sebagai aktivitas yang menyenangkan, ajaran yang lembut tapi juga tegas, berjamaah untuk mencapai tujuan bersama, menjaga yang telah tetap namun juga terbuka terhadap hal baru yang tidak bertentangan dengan Qur’an dan Sunnah. Kelima, mereka yang menutup diri dari berbagai hal yang telah diatur oleh kesepakatan jamaah-dengan kata lain memisahkan diri-meskipun tidak melakukan pertentangan dengan jamaah lain. Keenam, mereka yang seolah-olah paham dan mengerti bagaimana Islam dan juga hukum serta tata-caranya, tapi sebenarnya mereka yang menghancurkan nama Islam itu sendiri-satu sifat dengan Abdullah bin Ubay-yang kata-katanya manis tapi sejatinya meremukkan akidah melalui bagaimana Islam diterapkan maupun ketika ‘akidah’ itu diserang. Keenam hal-bagaimana Islam dipandang dan diajarkan-memang menjadi hal yang juga menimbulkan polemik yang hampir-hampir menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat muslim di Indonesia. Tapi seperti inilah kondisi masyarakat kita, terkadang melupakan bagaimana Allah senantiasa mengawasi setiap aktivitas yang dikerjakan pun juga dalam ruang lingkup tutur kata. Seolah-olah kita telah mengerjakan yang benar dan koridor Qur’an dan Sunnah, dengan membuat yang lain tersakiti, padahal Rasul telah mewanti-wanti umatnya agar menjaga lisan terhadap sesamanya. Terlebih mereka yang hanya ‘mengaku’ sebagai muslim tapi melakukan aktivitas yang jauh-jauh dari pribadi muslim. Sekulerisme setidaknya merasuki sebagian lapisan masyarakat, bahkan di kalangan akademisi menjadi hal yang cukup parah, padahal ilmu diajarkan dalam lingkungan itu. Islam yang hanya dianggap sebagai ritual-sehingga tak perlu melaksanakan ajaran yang tak sesuai dengan kondisi sekarang atau aturan yang disepakati-dan hampir-hampir dil saepas secara ‘paksa’ dalam aturan atau tata tertib yang diberlakukan. Na’udzubillah.

Dari keenam sampel, maka kelompok pertama dan keenamlah-yang luar biasa cukup banyak-mengisi persendian kehidupan masyarakat muslim di Indonesia. Afwan, satu langkah atau bahkan sekian langkah lebih dekat dengan ‘seolah-olah’ melupakan kehadiran Allah yang senantiasa mengawasi langkah kehidupan yang dijalani. Dan tanpa disadari-kita sendiri sering berinteraksi lagi bermuamalah-terkait dengan kehidupan pribadi maupun yang berhubungan langsung dengan umat atau masyarakat. Kita berada di tengah-tengah kondisi yang mengkhawatirkan, seolah dalam titik nadir, saat upaya-upaya perbaikan ummat hanya menjadi ‘seonggok’ ucapan yang ditanggapi dengan suudzan-tanpa adanya klarifikasi. Mereka yang menyampaikan kebenaran dalam konteks Qur’an dan Sunnah-dikatakan terlalu terburu-buru atau ‘anak kemarin sore’-diantara para ‘muka lama’ yang telah memberikan pengaruh bagi masyarakat. Ketulusan memberi dan juga semangat juang anak muda-aktivis muda-hanya menimbulkan kekhawatiran, baik karena pemahaman para penggerak maupun masyarakat yang diajak untuk memahami Islam secara lebih baik. Dan masih banyak lagi polemik yang hadir, disamping ‘rong-rongan’ hedonisme, sekulerisme dan isme-isme lain menarik ‘banyak minat’ generasi muda hingga mereka yang telah lama menikmati ‘asam-garam’ kehidupan di dunia. Dan sekali lagi... Tuhan dilupakan-dan bagaimana sebagian besar ‘penyakit’ dan aktivitas ini-menjangkit hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Sistem pendidikan, hukum, politik, sosial-masyarakat, kesehatan, sarana-prasarana, sampai hal-hal yang sifatnya keagamaan pun-seolah-olah ‘Tuhan’ (Allah) tidak pernah mengawasi-dan banyak yang semua dianggap benar atas dasar konsep ‘akal’ yang tidak utuh. Masya Allah.

Di tengah ‘kegalauan’ ummat saat ini, adakah kita berpikir? Adakah kita belajar? Adakah kita memahami? Dan adakah... adakah yang lainnya? Bukankah berabad-abad silam dan lamanya, Eropa menjadi gulita dan pengap karena doktrin agama yang begitu kuat-disaat yang sama-Islam begitu bercahaya gegap-gempita dengan kekuatan Illahi yang melingkupi ilmu pengetahuan, pemerintahan, kesejahteraan masyarakat. Kini Eropa dan sebagian besar negara maju lainnya menjadi terang-benderang, maju luar biasa, teknologi sedemikian canggihnya saat mereka melupakan ‘Tuhan’ dengan sekulerisme, liberarisme, dan isme yang lainnya. Disaat yang sama, negara-negara muslim, seolah-olah berlindung dibawah ‘ketiak’ mereka dengan suplai ekonomi, kecanggihan teknologi, sistem kesehatan. Pun juga, melupakan kehadiran Tuhan, dengan sekulerisme menjadi penyakit berbahaya yang menjangkit kehidupan masyarakat muslim. Laa haula walaa quwwata ilaa billaah.

Sekarang pilihan ada pada diri kita-termasuk saya-dengan berbagai polemik yang muncul karena meniadakan kehadiran Tuhan. Ucapan kita... sikap kita... padahal kenyataannya bahwa segala aktivitas kita terekam dengan jelas-dan bagaimana Malaikat Raqib dan Atid- tak pernah lalai dalam mencatat segala amal yang kita kerjakan dalam mengarungi samudera kehidupan. Dan Allah menjadi saksi atas segala perbuatan kita. Ingatlah Allah maka Dia pun akan mengingat kita, ingatlah Allah saat kau senang sama halnya ketika duka itu melanda,percayalah, dibalik kegagalan dan bahkan kesuksesan-ada Allah yang selalu mengawasi-dimana hikmah itu muncul daripadanya. Bahagia dan sedih kita pun, ada Allah yang selalu mengawasi, Dia Yang Maha Melihat segala perbuatan kita. Dan Allah-bersama hukum-hukum-Nya-yang termaktub dalam Qur’an dan Sunnah, selalu relevan dan tepat diterapkan dalam kehidupan manusia di muka bumi. Cepat... atau lambat... manusia akan menyadarinya-bahwa Tuhan (Allah)-selalu ada dan memberikan kenyamanan serta ketentraman dalam kehidupan umat manusia di muka bumi. Tinggal bagaimana kita... dengan menguatkan akidah... ya, dengan kekuatan itu kita menjalani kehidupan di dunia bersama nafas Islam. Seorang muslim dengan akidah yang lurus, ibadah yang benar, berakhlak yang mulia, mereka yang bisa bermanfaat bagi sesamanya, mereka yang memiliki penghasilan dengan cara yang benar dalam konteks Qur’an dan Sunnah, seorang pribadi muslim yang mampu memanfaatkan waktu secara bijak (tidak lalai/menyia-nyiakannya dengan hal-hal yang tiada guna), pribadi muslim yang berwawasan luas dalam keilmuan-belajar dan juga mengajarkan-yang berhubungan dengan Islam serta kemajuannya, pribadi-pribadi muslim yang mampu dan terus berusaha untuk mengekang hawa nafsunya, mereka yang tertata dalam segala macam urusan-mampu menyusun setiap jadwal/agenda-secara ihsan, dan juga pribadi muslim yang memiliki fisik yang kuat dalam melewati padatnya agenda harian yang dijalani (terjaga kesehatan fisiknya). Sepuluh ciri-yang juga merupakan kekuatan-dimana semakin mendekatnya jiwa-jiwa kita kepada Sang Pencipta (Allah) yang senantiasa mengawasi setiap aktivitas. Saatnya kita berusaha-dengan meluruskan niat-pun juga memastikan bahwa kita selalu diawasi oleh Allah, agar hati menjadi tenang bersama ridha-Nya. Aamiin.

Sekian, barangkali yang bisa saya sampaikan. Mangga-apabila ada yang salah atau tidak tepat dalam konteks Qur'an dan Sunnah-bisa diluruskan demi kebaikan bersama. Kita tutup dengan hamdallah... Alhamdulillah

Semoga Allah senantiasa memberikan kebaikan bagi kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar