Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Kalian sungguh-sungguh akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian
sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya
mereka masuk ke lubang dhabb[1], niscaya kalian akan masuk pula ke
dalamnya. Kami tanyakan: “Wahai Rasulullah, apakah mereka yang dimaksud
itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau berkata: “Siapa lagi kalau bukan
mereka?”
Hadits yang mulia di atas diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam
Shahih-nya, kitab Ahaditsul Anbiya, bab Ma Dzukira ‘an Bani Israil (no.
3456) dan Kitab Al-I‘tisham bil Kitab was Sunnah, bab Qaulin Nabi
“Latattabi‘unna sanana man kana qablakum” (no. 7320) dan Al-Imam Muslim
dalam Shahih-nya, Kitab Al-‘Ilmi (no. 2669) dan diberi judul bab oleh
Al-Imam An-Nawawi dalam kitab syarahnya terhadap Shahih Muslim, bab
Ittiba‘u Sananil Yahudi wan Nashara.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda yang senada
dengan hadits di atas dalam hadits yang dibawakan oleh Abu Hurairah
radhiallahu 'anhu:
“Tidak akan tegak hari kiamat sampai umatku mengambil jalan hidup umat
sebelumnya sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Maka
ditanyakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, seperti Persia dan
Romawi?”[2] Beliau menjawab: “Siapa lagi dari manusia kalau bukan
mereka?” (HR. Al-Bukhari no. 7319)
Pengabaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam dua hadits yang
mulia di atas merupakan tanda dan bukti tentang kebenaran nubuwwah
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta merupakan mukjizat beliau
yang dzahir karena telah tampak dan telah terjadi apa yang beliau
beritakan tersebut. (Syarah Shahih Muslim, 16/219, Kitabut Tauhid, hal.
26, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab)
Terlebih khusus lagi bila kita menyaksikan keadaan kaum muslimin di
zaman kita ini, kebiasaan menyerupai dan meniru orang Barat yang
notabene mereka itu adalah orang-orang kafir dari kalangan Yahudi dan
Nashrani, merupakan fenomena yang biasa namun menyakitkan dan
menyedihkan. Sehingga dengan budaya penjajah ini, kalangan muda maupun
orang-orang tua dari kaum muslimin seakan merasa minder dan rendah
derajatnya bila tidak sama dengan gaya hidup, model dan budaya
orang-orang kafir (peradaban kuffar). Sebaliknya, mereka merasa bangga
dan sangat percaya diri bila mana mereka dapat “tampil sama” atau paling
tidak sekedar mirip dengan orang-orang kafir.
Budaya “yang penting dari Barat” dan “asal sama dengan Barat” ini telah
mencengkeram kehidupan kaum muslimin dari kalangan orang-orang
metropolitan, merambah sampai ke pedesaan dan pedusunan yang terpencil
bagaikan sebuah revolusi peradaban yang telah disiapkan oleh orang-orang
kafir sehingga semua yang datang dari Barat mereka anggap baik dan
diterima dengan penuh ketundukan. Ibaratnya mereka berkata sami’na wa
atha’na (kami mendengar dan kami taat), baik itu cara berpakaian, cara
bergaul, cara makan, cara berbicara, gaya hidup dan sebagainya.
Budaya-budaya impor yang diobral orang-orang Barat lewat media massa
baik di televisi yang merupakan da’i yang paling berhasil di sisi mereka
ataupun lewat ekspos kehidupan artis-artis mereka yang laku keras
diterima oleh kaum muslimin yang maghrur (tertipu) dan buta mata hatinya
dari semua lapisan. Jangankan mereka yang dikatakan bodoh terhadap
agamanya, orang yang dianggap tahu agama pun ikut jadi korban.
Berkata Sufyan Ibnu ‘Uyainah rahimahullah dan yang lainnya dari kalangan salaf:
“Sungguh orang yang rusak dari kalangan ulama kita, karena
penyerupaannya dengan Yahudi. Dan orang yang rusak dari kalangan ahli
ibadah kita, karena penyerupaannya dengan Nashrani.” (Iqtidha’
Ash-Shirathil Mustaqim, hal. 23-23)
Gelombang badai yang besar ini menghantam segala apa yang ada di
hadapannya dan membawa korban yang besar. Wallahu Al-Musta‘an wa
ilallahi Al-Musytaka (Hanya kepada Allah kita meminta tolong dan
mengadu).
Sungguh benar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menyatakan
umat beliau akan meniru dan menyerupai umat terdahulu, sejengkal demi
sejengkal, sehasta demi sehasta. Karena saking ingin sama dan serupanya
dengan peradaban kafirin, bila diibaratkan umat terdahulu masuk ke
lubang dhabb yang sedemikian sempit maka umat ini pun akan masuk pula ke
dalamnya. Nas’alullah As-Salamah wal ‘Afiyah (hanya kepada Allah kita
memohon keselamatan).
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menyatakan:
“Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhususkan
penyebutan lubang dhabb karena lubangnya sangat sempit. Namun bersamaan
dengan itu umat beliau akan mengambil jejak umat terdahulu dan mengikuti
jalan mereka, walaupun seandainya mereka masuk ke lubang yang sesempit
itu niscaya umat ini akan tetap mengikutinya.” (Fathul Bari, 6/602)
Yang dimaksud dengan sejengkal, sehasta dan penyebutan lubang dhabb
dalam hadits ini adalah untuk menggambarkan betapa semangatnya umat ini
mencocoki umat terdahulu dalam penyelisihan dan maksiat, mencontoh
mereka dalam segala sesuatu yang dilarang dan dicela oleh syariat.
(Syarah Shahih Muslim, 16/219, Fathul Bari, 13/313)
Ibnu Baththal rahimahullah berkata:
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan bahwa umat beliau
akan mengikuti perkara-perkara baru (yang diada-adakan), bid’ah dan hawa
nafsu sebagaimana terjadi pada umat-umat sebelum mereka. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan hal ini dalam hadits
yang banyak bahwasanya di akhir zaman akan ada kejelekan. Dan hari
kiamat tidak akan datang kecuali pada sejelek-sejelek manusia dan agama
ini hanya tetap tegak di sisi orang-orang yang khusus.”[3] (Fathul Bari,
13/314)
Dalam hadits Abu Said Al-Khudri radhiallahu 'anhu, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut Yahudi dan Nashrani, sedangkan
dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam menyebut Persia dan Romawi. Karena memang Romawi identik
dengan Nashrani, sementara di kalangan bangsa Persia ada orang Yahudi.
Namun dimungkinkan pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memberikan jawaban sesuai dengan tempatnya, yakni dalam perkara yang
berkaitan dengan hukum di antara manusia dan politik kemasyarakatan,
umat ini akan mengikuti Persia dan Romawi. Sedangkan dalam perkara yang
berkaitan dengan agama yang pokok maupun yang cabangnya, umat ini akan
mencontoh Yahudi dan Nasrani. (Lihat Fathul Bari, 13/314)
Tercelanya Tasyabbuh Dan Keharusan Menyelisihi Kuffar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam nyatakan dalam sabda beliau:
“Kalian sungguh-sungguh akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian.”
Tidaklah dimaksudkan beliau memberikan pengesahan dan penetapan tentang
bolehnya hal tersebut, namun justru yang beliau inginkan adalah memberi
tahdzir (peringatan) dari mengikuti orang kafir dalam perkara kesesatan
dan penyimpangan. (Al-Qaulul Mufid, 1/202, I‘anatul Mustafid, 1/224)
Sehingga ketika para shahabat radhiallahu 'anhum yang baru masuk Islam
ketika Fathu Makkah ingin ber-tabarruk (mencari barakah) dengan pohon,
beliau mengingkari dengan keras dan menyatakan bahwa ucapan mereka
menyerupai dan persis dengan ucapan Bani Israil yang minta sesembahan
(ilaah) kepada Nabi Musa 'alaihissalam. Setelah itu beliau mengabarkan
bahwa umat beliau akan mengikuti jalannya umat terdahulu.
Abu Waqid Al-Laitsi radhiallahu 'anhu berkata:
Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menuju
Hunain sementara kami ketika itu baru saja meninggalkan kekufuran
-mereka baru berislam ketika Fathu Makkah-. Abu Waqid berkata setelah
itu: Lalu kami melewati sebuah pohon, kami pun berkata: “Wahai
Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath[4] sebagaimana mereka
(orang-orang kafir musyrikin) memiliki Dzatu Anwath yang berupa sebuah
pohon, tempat mereka beri’tikaf (berdiam) di sekitarnya dan
menggantungkan senjata-senjata mereka pada pohon tersebut.” Mendengar
permintaan kami seperti itu, bersabdalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam:
“Allah Maha Besar![5] Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
sungguh kalian telah berucap sebagaimana ucapan Bani Israil kepada Musa:
(“Buatkanlah untuk kami ilaah sebagaimana mereka memiliki ilaah-ilaah.
Musa pun berkata: “Sesungguhnya kalian ini adalah orang-orang yang
bodoh.”)[6] Sungguh-sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang
sebelum kalian.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya, 5/218, At-Tirmidzi, 6/343,
Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, no. 76, berkata Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullah dalam Zhilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah: “Isnadnya
hasan.”)
Dalam kisah di atas jelas sekali bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam menyatakan demikian dalam rangka peringatan dan pengingkaran
beliau bila umat beliau mengikuti umat terdahulu. Asy-Syaikh Sulaiman
bin Abdillah rahimahullah berkata: “Di sini ada larangan dari perbuatan
tasyabbuh dengan orang-orang jahiliyyah dari kalangan ahlul kitab dan
musyrikin.” (Taisir Al-’Azizil Hamid, hal. 143)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“(Hadits) ini merupakan pengabaran tentang akan terjadinya perkara
tersebut dan celaan bagi orang yang melakukannya. Hal ini seperti
pengabaran beliau tentang apa yang akan dilakukan manusia menjelang
datangnya hari kiamat sebagai tanda-tanda kiamat dan perbuatan-perbuatan
mereka nantinya berupa perkara-perkara yang diharamkan. Dengan demikian
diketahui, penyerupaan (tasyabbuh) umat ini dengan Yahudi dan Nashrani
serta Persia dan Romawi termasuk perkara yang dicela oleh Allah dan
Rasul-Nya.” (Iqtidha’ Ash-Shirathil Mustaqim, hal. 77)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda sebagai peringatan dari menyerupai suatu kaum:
“Siapa yang tasyabbuh (menyerupai) suatu kaum maka ia termasuk dari kaum
tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 3012, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullah dalam Hijabul Mar’ah hal. 104 dan Al-Irwa no. 1269)
Al-Qari rahimahullah berkata:
“Siapa yang menyerupai orang-orang kafir semisal dalam berpakaian dan
selainnya. Atau ia menyerupai orang-orang fasik, atau orang-orang fajir
(jahat) atau dengan pengikut tashawwuf atau menyerupai orang-orang yang
berbuat kebaikan (maka ia termasuk mereka) yakni dalam dosa ataupun
dalam kebaikan.” (‘Aunul Ma’bud, 11/51)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata:
“Apa yang menimpa sebagian kaum muslimin berupa perkara-perkara yang
jelek lagi mengerikan, mayoritas terjadi dikarenakan tasyabbuh dengan
kuffar. Semisal kesyirikan yang terjadi di Makkah, awalnya disebabkan
karena tasyabbuh dengan kuffar.” (I’anatul Mustafid, 1/220)
Merupakan sifat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengubah
kemungkaran apabila beliau melihatnya dan menyerukan kepada yang ma‘ruf
dan menganjurkannya apabila beliau mengetahuinya. Sehingga ketika ada
perkara mungkar baik itu maksiat, kesyirikan ataupun kekufuran, beliau
pasti mengingkarinya. Dan di antara pengingkaran itu adalah, beliau
paling tidak suka bila ada satu perkara yang dilakukan oleh kaum
muslimin menyepakati atau menyerupai orang-orang kafir. Hal tersebut
salah satunya bisa kita lihat dalam peristiwa disyariatkannya adzan.
Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma berkata:
“Kaum muslimin ketika telah menetap di Madinah, mereka berkumpul dan
memperkirakan datangnya waktu shalat dan ketika itu belum ada seruan
untuk shalat (belum ada adzan). Maka suatu hari mereka membicarakan hal
tersebut. Sebagian mereka berkata: “Ambillah lonceng (dibunyikan sebagai
tanda seruan untuk shalat) seperti loncengnya Nashrani.” Yang lain
berkata: “Gunakan terompet seperti terompetnya Yahudi.” ‘Umar berkata:
“Apakah tidak sebaiknya kalian mengutus seseorang untuk memanggil
manusia agar berkumpul untuk shalat?” Rasulullah bersabda: “Wahai Bilal,
bangkitlah, serukan adzan untuk shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 604 dan
Muslim no. 277)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyukai terompet Yahudi yang
ditiup dengan mulut dan lonceng Nashrani yang dipukul dengan tangan,
karena meniup terompet dan membunyikan lonceng itu merupakan perbuatan
orang Yahudi dan Nashrani. Hal ini menunjukkan larangan beliau dari
seluruh perkara yang merupakan kebiasaan Yahudi dan Nashrani. (Iqtidha
Ash-Shirathil Mustaqim, hal. 189)
Faidah
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata:
“Adapun dalam perkara-perkara yang mubah maka tidak bermasalah
mengambilnya (dari selain muslimin). Sehingga kita boleh mengambil
pengetahuan-pengetahuan yang bermanfaat dari musyrikin. Demikian juga
barang-barang dagangan dan persenjataan. Perkara-perkara ini sebetulnya
asalnya untuk kita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah yang Dia
keluarkan untuk hamba-hamba-Nya dan (siapakah yang mengharamkan) yang
baik-baik dari rizki? Katakanlah: Perhiasan dan yang baik-baik dari
rizki ini diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan
dunia dan khusus bagi mereka nantinya pada hari kiamat.” (Al-A’raf: 32)
Perkara-perkara yang bermanfaat asalnya diperuntukkan bagi kaum
muslimin. Akan tetapi tatkala kaum muslimin bermalas-malasan,
musuh-musuh mereka pun mengambil bagiannya. Dengan begitu tidak ada
penghalang bagi kaum muslimin untuk mengambil perkara-perkara yang
bermanfaat tersebut, dan ini bukanlah termasuk tasyabbuh. Karena yang
dinamakan tasyabbuh hanyalah mengikuti mereka dalam perkara-perkara yang
tidak ada faidahnya dan tidak ada nilainya, atau mengikuti mereka dalam
perkara-perkara yang termasuk dalam ibadah, aqidah, dan agama.”
(I‘anatul Mustafid, 1/224)
Kekokohan Islam
Islam bagaikan mercusuar yang menerangi dan memberi petunjuk kepada
kapal-kapal di tengah samudera di malam yang kelam dan pekat sehingga
kapal-kapal tersebut bisa terarahkan dan terbimbing di dalam
pelayarannya. Kapal yang mau mengambil penerangan dan petunjuknya, akan
selamat berlayar di tengah lautan. Namun bagi yang enggan akan
memperoleh hasil kebinasaannya.
Walaupun dengan keberadaannya di tengah samudera, mercusuar tidak luput
dari hantaman badai dan gelombang samudera yang begitu keras dan
dasyhat, namun ia tetap kokoh berdiri untuk memberikan cahayanya untuk
kemanfaatan. Demikian juga gambaran Islam, walaupun ia terus dihantam
badai dan gelombang yang dahsyat dari musuh-musuhnya dengan segala makar
yang ditujukan untuk meruntuhkannya, namun ia tetap kokoh berdiri
dengan sinarnya yang tetap menerangi. Hal ini tentunya karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala lah yang menyempurnakan cahaya Islam tersebut.
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka namun
Allah terus menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir itu
benci (tidak menyukainya).” (Ash-Shaff: 8)
Sungguh, siapa yang mengambil petunjuk Islam maka ia akan selamat.
Sebaliknya, siapa yang meninggalkan dan tidak memperhatikan Islam, maka
ia akan celaka dan binasa. Dan tentunya mengambil petunjuk Islam itu
haruslah secara keseluruhan, tidak hanya mengambil sebagian lalu
sebagian yang lainnya ditinggalkan. Yang demikian ini juga tidak akan
menyelamatkan, oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan:
“Masukkanlah kalian ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan).” (Al-Baqarah: 202)
Islam pun tetap akan berdiri kokoh selamanya hingga akhir zaman, tidak
akan runtuh dengan perjalanan waktu, yang demikian ini karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala yang memberikan jaminan terhadap penjagaannya yang
sejalan dengan penjagaan Allah terhadap kitab suci agama ini (Al Qur’an)
sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz Dzikra dan Kami pula yang akan menjaganya” (Al-Hijr: 9)
Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan jaminan terhadapnya
dengan mendatangkan dan memilih penjaga-penjaga agama-Nya dari kalangan
hamba-hamba-Nya yang shalihin yang selalu membela agama-Nya, sebagaimana
Dia Yang Maha Suci berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, siapa yang murtad dari agamanya di
antara kalian, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia
cintai dan mereka pun mencintai-Nya. Mereka itu merendahkan diri dan
lemah lembut terhadap kaum mukminin dan bersikap keras terhadap
orang-orang kafir. Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut celaan
si pencela.” (Al-Maidah: 54)
Demikian pula Rasul-Nya yang mulia Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan dalam sabdanya:
“Akan terus menerus ada sekelompok dari umatku yang mendzahirkan al haq,
tidak bermudharat bagi mereka orang yang menyelisihi mereka hingga
datang perkara Allah tabaraka wa ta’ala sementara mereka dalam keadaan
demikian.” (HR. Al-Bukhari no.7459 dan Muslim no. 1920)
Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullah berkata:
“Thaifah (kelompok) yang ditolong ini dikatakan oleh Al-Imam Al-Bukhari
bahwasanya mereka adalah ahlul ilmi. Sementara Al-Imam Ahmad menyatakan:
“Bila mereka itu bukan ahlul hadits maka aku tidak tahu lagi siapa yang
dimaksud dengan mereka.” Hadits ini walaupun tidak secara lafadz
menunjukkan terhadap perkataan Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Ahmad,
namun sesungguhnya Ahlul Hadits-lah yang seharusnya dimasukkan paling
awal dalam thaifah ini karena kekokohan mereka di atas Al-Haq,
pengabdian mereka dan pembelaan mereka terhadap Islam. Semoga Allah
membalas mereka dengan kebaikan yang banyak atas apa yang mereka
sumbangkan terhadap Islam dan muslimin.” (Al-Jami‘us Shahih, 1/11)
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata:
“Yang diinginkan Al-Imam Ahmad (dengan thaifah ini) adalah Ahlus Sunnah
wal Jamaah dan orang yang meyakini madzhab ahlul hadits.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Dimungkinkan kelompok ini tersebar di berbagai kalangan kaum muslimin.
Sehingga ada di antara mereka orang-orang pemberani yang berperang (di
jalan Allah), ada fuqaha (ahli fiqih/ orang yang faqih), ada muhadditsun
(ahlul hadits), ada orang-orang yang zuhud, ada orang-orang yang
memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar dan dari
kalangan orang-orang yang berbuat kebaikan yang lainnya. Dan tidak
mesti mereka berkumpul (di suatu tempat/ negeri), bahkan yang terjadi,
mereka terkadang terpencar dan tersebar di berbagai penjuru bumi. Hadits
ini merupakan mukjizat yang jelas (dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam) karena thaifah yang bersifat seperti ini terus-menerus ada,
alhamdulillah, sejak zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai
sekarang. Dan terus menerus mereka ada sampai datang perkara Allah yang
disebutkan dalam hadits.” (Syarah Shahih Muslim, 13/67).
Mudah-mudahan Allah menjadikan kita dari kalangan mereka. Taqabbal da’wana ya Mujibas sailin. Wallahu ta‘ala a’lam bish-shawab.
Catatan kaki:
[1] Dhabb adalah hewan melata yang hidup di padang pasir, serupa dengan biawak.
[2] Persia dengan raja mereka Kisra, dan Romawi dengan raja mereka
Qaishar, merupakan dua bangsa yang terkenal (adi daya) di waktu itu. Dua
negeri ini merupakan kerajaan terbesar di muka bumi, paling banyak
penduduknya dan paling luas wilayahnya. (Fathul Bari, 13/313)
[3] Mereka inilah yang dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
“Akan terus menerus ada sekelompok dari umatku yang mendzahirkan al-haq,
tidak bermudharat bagi mereka orang yang menyelisihi mereka hingga
datang perkara Allah tabaraka wa ta‘ala, sementara mereka dalam keadaan
demikian.” (HR. Al-Bukhari no.7459 dan Muslim no.1920)-pen.
[4] Mereka ingin menggantungkan senjata-senjata mereka pada pohon
tersebut karena mengharapkan barakah dari pohon tersebut. (Al-Qaulul
Mufid, 1/201)
[5] Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir karena menganggap
besar permintaan tersebut dan merasa heran, bukan bertakbir karena
senang. Beliau heran, bagaimana bisa mereka mengatakan ucapan seperti
itu dalam keadaan mereka beriman bahwasanya tiada sesembahan yang berhak
disembah kecuali Allah saja. (Al-Qaulul Mufid, 1/201)
[6] Surat Al-A‘raf ayat 138
Sumber: http://asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar