Aisyah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, pernahkah engkau
mengalami hari yang lebih pedih dari hari Perang Uhud?” Rasulullah
menjawab, “Aku sering mendapatkan (gangguan) dari kaummu. Yang paling
menyakitkan adalah peristiwa Hari Aqabah, saat aku mengajak Ibnu Abdi
Yalil bin Abdu Kulal masuk Islam namun ia tidak menyambut ajakan yang
kuinginkan. Aku pun beranjak pergi dengan hati yang sedih. Tidaklah aku
tersadar melainkan setelah tiba di Qarnu Tsa’alib[1]. Aku tengadahkan
kepalaku ke langit, tiba-tiba tampak segumpal awan menaungiku. Aku
angkat kepalaku, ternyata Jibril berada di sana dan berseru kepadaku.
Jibril berkata, ‘Sungguh Allah telah mendengar ucapan kaummu dan jawaban
mereka terhadapmu. Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung
kepadamu agar engkau memerintahnya sesuai dengan kehendakmu terhadap
mereka (orang-orang kafir).’ Malaikat gunung kemudian berseru kepadaku
serta mengucapkan salam, lalu berkata, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu.
Aku adalah malaikat gunung yang telah diutus oleh Rabbmu kepadamu agar
engkau memerintahkan kepadaku sesuai dengan perintahmu. (Wahai
Muhammad,) apa yang engkau inginkan? Jika engkau menghendaki, aku akan
menimpakan dua gunung itu kepada mereka[2]’.” Rasulullah lalu menjawab,
“Tidak. Aku justru berharap agar Allah mengeluarkan dari keturunan
mereka orang-orang yang akan menyembah Allah saja dan tidak
menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun.”
Abu Dzar al-Ghifari berkata : Suatu hari Nabi bersabda, “Tahukah kalian ke mana matahari pergi?” Para
sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya matahari ini berjalan hingga berada di bawah ‘Arsy, lalu
ia tersungkur sujud kepada Allah. Dia terus dalam keadaan sujud hingga
dikatakan kepadanya, ‘Naiklah engkau, kembalilah dari mana engkau
datang!’ Matahari pun kembali, sehingga di waktu pagi dia terbit lagi
dari tempat terbitnya. Kemudian ia berjalan hingga berakhir pada tempat
menetapnya di bawah ‘Arsy, lalu bersujud dan tetap dalam keadaan
demikian, sampai dikatakan kepadanya, ‘Naiklah, kembalilah dari mana
engkau datang!’ Matahari pun kembali, sehingga di waktu pagi muncul dari
tempat terbitnya. Kemudian ia berjalan lagi tanpa sedikit pun manusia
menyadarinya, hingga berakhir pada tempat menetapnya itu di bawah ‘Arsy,
lalu dikatakan kepadanya, ‘Naiklah, dan terbitlah engkau dari barat!’
Keesokan harinya, matahari terbit dari sebelah barat.
Rasulullah melanjutkan, “Tahukah
kalian, kapan itu terjadi? Itu terjadi di hari (yang difirmankan oleh
Allah) : ‘Tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum
beriman sebelum itu, atau ia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa
imannya’.” (al-An’am: 158)
Takhrij Hadits Aisyah dan Abu Dzar
Hadits Aisyah muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam ash-Shahih, “Kitab Bad’il Khalq” (3/1180 no. 3059), dan “Kitab at-Tauhid bab firman Allah” no. 6954.
Diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim dalam ash-Shahih, “Kitabul Jihad was Siyar” (3/1420 no. 1795).
Keduanya meriwayatkan hadits Aisyah melalui jalan Abdullah bin Wahb bin Muslim al-Qurasyi, dari Yunus, dari Ibnu Syihab, dari Urwah bin az-Zubair, dari Aisyah. Lafadz di atas adalah lafadz Muslim.
Adapun hadits Abu Dzar diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, “Kitab Bad’il Khalqi” no. 3199, juga beliau keluarkan di beberapa tempat dalam ash-Shahih, no. 4802, 4803, 7424, 7433.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim dalam Shahih-nya “Kitab al-Iman” (1/138 no.159) dan lafadz di atas adalah lafadz Muslim.
At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits ini dalam as-Sunan, “Kitabul Fitan” no. 2186 dan “Kitab Tafsir Al-Qur’an” no. 3227. Beliau berkata, “Ini adalah hadits yang hasan sahih.”
Abu Dawud juga meriwayatkannya dalam as-Sunan “Kitab al-Huruf wal Qira’at” no. 4002 dengan kisah yang berbeda, yaitu Rasulullah bertanya kepada Abu Dzar di saat beliau memboncengkannya di atas keledai.
Semua meriwayatkan hadits Abu Dzar melalui jalan Ibrahim bin Yazid bin Syarik Abu Asma’ al-Kufi, dari ayahnya Yazid bin Syarik bin Thariq at-Taimi al-Kufi, dari Abu Dzar al-Ghifari Jundub bin Junadah.
Semua perawinya tsiqah (tepercaya sekaligus kuat hafalannya), hanya saja Ibrahim seorang mudallis[3]. Akan tetapi, sebagian sanad hadits menunjukkan bahwa Ibrahim mendengar langsung dari ayahnya.
Dalam sebagian riwayat Muslim, Abu Dzar berkata,
Aku masuk masjid sementara Rasulullah duduk. Ketika matahari terbenam beliau bersabda, “Wahai Abu Dzar, tahukah engkau ke manakah matahari pergi?” Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui.” Beliau berkata, “Sesungguhnya ia pergi meminta izin untuk sujud, lalu diizinkan, seolah-olah dikatakan kepadanya, ‘Kembalilah engkau dari tempat kedatanganmu.’ Terbitlah matahari dari tempat tenggelamnya’.”
Takhrij Hadits Aisyah dan Abu Dzar
Hadits Aisyah muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam ash-Shahih, “Kitab Bad’il Khalq” (3/1180 no. 3059), dan “Kitab at-Tauhid bab firman Allah” no. 6954.
Diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim dalam ash-Shahih, “Kitabul Jihad was Siyar” (3/1420 no. 1795).
Keduanya meriwayatkan hadits Aisyah melalui jalan Abdullah bin Wahb bin Muslim al-Qurasyi, dari Yunus, dari Ibnu Syihab, dari Urwah bin az-Zubair, dari Aisyah. Lafadz di atas adalah lafadz Muslim.
Adapun hadits Abu Dzar diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, “Kitab Bad’il Khalqi” no. 3199, juga beliau keluarkan di beberapa tempat dalam ash-Shahih, no. 4802, 4803, 7424, 7433.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim dalam Shahih-nya “Kitab al-Iman” (1/138 no.159) dan lafadz di atas adalah lafadz Muslim.
At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits ini dalam as-Sunan, “Kitabul Fitan” no. 2186 dan “Kitab Tafsir Al-Qur’an” no. 3227. Beliau berkata, “Ini adalah hadits yang hasan sahih.”
Abu Dawud juga meriwayatkannya dalam as-Sunan “Kitab al-Huruf wal Qira’at” no. 4002 dengan kisah yang berbeda, yaitu Rasulullah bertanya kepada Abu Dzar di saat beliau memboncengkannya di atas keledai.
Semua meriwayatkan hadits Abu Dzar melalui jalan Ibrahim bin Yazid bin Syarik Abu Asma’ al-Kufi, dari ayahnya Yazid bin Syarik bin Thariq at-Taimi al-Kufi, dari Abu Dzar al-Ghifari Jundub bin Junadah.
Semua perawinya tsiqah (tepercaya sekaligus kuat hafalannya), hanya saja Ibrahim seorang mudallis[3]. Akan tetapi, sebagian sanad hadits menunjukkan bahwa Ibrahim mendengar langsung dari ayahnya.
Dalam sebagian riwayat Muslim, Abu Dzar berkata,
Aku masuk masjid sementara Rasulullah duduk. Ketika matahari terbenam beliau bersabda, “Wahai Abu Dzar, tahukah engkau ke manakah matahari pergi?” Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui.” Beliau berkata, “Sesungguhnya ia pergi meminta izin untuk sujud, lalu diizinkan, seolah-olah dikatakan kepadanya, ‘Kembalilah engkau dari tempat kedatanganmu.’ Terbitlah matahari dari tempat tenggelamnya’.”
Perdebatan Seputar Hadits Abu Dzar
Penulis Tafsir al-Manar (Muhammad Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh) memberikan komentar terhadap hadits Abu Dzar tentang berjalannya matahari dan sujudnya kepada Allah di bawah ‘Arsy dengan komentar yang menyelisihi al-haq (kebenaran). Ia mengatakan bahwa matan (teks) hadits ini membingungkan. Di samping itu, menurutnya ada kelemahan dalam sanadnya.
Ia berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim melalui jalan dari Ibrahim bin Yazid bin Syarik at-Taimi dari Abu Dzar.”[4] Meskipun Ibrahim seorang yang tsiqah sebagaimana penilaian ahlul hadits, namun ia perawi yang mudallis.
Al-Imam Ahmad (wafat 241H) berkata, “Ia tidak berjumpa dengan Abu Dzar.”
Ad-Daruquthni (385 H) berkata, “Ia tidak mendengar dari Hafshah tidak pula dari Aisyah, bahkan ia tidak mendapati zaman keduanya.”
Ali bin al-Madini (234 H) berkata, “Ia tidak mendengar hadits dari Ibnu Umar, demikian pula dari Ibnu Abbas….”
(Dalam hadits ini, Ibrahim meriwayatkan dari Abu Dzar, yang dikatakan oleh al-Imam Ahmad bahwa Ibrahim tidak menjumpainya. Artinya, Ibrahim meriwayatkan dengan perantara, yang boleh jadi adalah orang yang tidak tsiqah, –pen.). Lihat Tafsir al-Manar (8/211—212).
Apa Jawabnya?
Terhadap hadits Abu Dzar tentang sujudnya matahari, demikian pula hadits Aisyah tentang malaikat penjaga gunung dan hadits-hadits tentang urusan gaib yang semisal, bisa saja seseorang seenaknya berkomentar, “Hadits ini memang sahih sanadnya, tapi teksnya janggal. Susah bagi akal untuk mencernanya!”
Oleh sebagian kalangan, kalimat ini dianggap sah-sah saja, padahal kalimat ini sungguh merupakan ungkapan yang luar biasa berbisa. Dengan kalimat ini, hadits-hadits yang sahih diabaikan dan diingkari, walaupun disepakati kesahihannya oleh al-Bukhari dan Muslim.
Kita katakan kepada mereka, “Wahai para pemuja akal, apakah setiap hal yang tidak masuk akal berarti itu dusta dan mustahil? Kalau kaidah ini kalian terapkan dalam menyikapi hadits-hadits Rasul, sungguh kalian akan menyimpang sejauh-jauhnya. Ingatkah kalian saat Rasulullah kembali dari perjalanan Isra’? Tidak genap satu malam Rasulullah telah melintasi sahara dari Makkah ke Baitul Maqdis, yang seharusnya ditempuh dua bulan perjalanan kala itu. Bahkan, Rasulullah telah menembus tujuh lapis langit dan kembali lagi ke Makkah.
Berita besar ini disampaikan kepada penduduk Makkah sehingga terjadilah apa yang terjadi. Mereka bertepuk tangan, berjingkrak-jingkrak menertawakan berita Rasul dan mengejeknya. Mereka anggap semua itu mustahil. Adapun Abu Bakr justru bertambah kokoh keimanannya, tidak sedikit pun bergeser dari iman hingga beliau beroleh gelar ash-Shiddiq.
Sejenak pena berhenti menanti jawaban para pengagum akal. Apakah mereka hendak mengikuti jalan musyrikin Quraisy dalam menyikapi berita Rasul, atau jalan Abu Bakr ash-Shiddiq dan kaum mukminin? Sepertinya terlalu lama kita menanti jawaban mereka. Semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua.
Menyangkut kritikan terhadap sanad al-Bukhari dan Muslim, kita katakan, “Penulis tafsir al-Manar seharusnya dengan teliti melihat kembali apa yang dibacanya, agar tidak terjatuh kepada kesalahan yang sangat fatal. Apalagi dilanjutkan dengan perkataannya, ‘Apabila hadits yang dikeluarkan al-Bukhari dan Muslim saja ada yang memiliki illat (cacat) seperti ini, bagaimana halnya dengan hadits yang tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim serta penulis kitab-kitab as-Sunan?’.” (Tafsir al-Manar)
Sanad hadits Abu Dzar yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim adalah Ibrahim bin Yazid at-Taimi, dari ayahnya Yazid bin Syarik at-Taimi, dari Abu Dzar. Sanad ini muttashil (bersambung) dengan rawi-rawi yang tsiqah. Keadaan Ibrahim sebagai seorang mudallis tidak membahayakan karena dalam sebagian sanad Muslim tampak bahwa Ibrahim mendengar dari ayahnya. Dengan demikian, tidak ada ‘illat dalam hadits Abu Dzar seperti tuduhan penulis Tafsir al-Manar. Walhamdulillah.
Penulis Tafsir al-Manar (Muhammad Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh) memberikan komentar terhadap hadits Abu Dzar tentang berjalannya matahari dan sujudnya kepada Allah di bawah ‘Arsy dengan komentar yang menyelisihi al-haq (kebenaran). Ia mengatakan bahwa matan (teks) hadits ini membingungkan. Di samping itu, menurutnya ada kelemahan dalam sanadnya.
Ia berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim melalui jalan dari Ibrahim bin Yazid bin Syarik at-Taimi dari Abu Dzar.”[4] Meskipun Ibrahim seorang yang tsiqah sebagaimana penilaian ahlul hadits, namun ia perawi yang mudallis.
Al-Imam Ahmad (wafat 241H) berkata, “Ia tidak berjumpa dengan Abu Dzar.”
Ad-Daruquthni (385 H) berkata, “Ia tidak mendengar dari Hafshah tidak pula dari Aisyah, bahkan ia tidak mendapati zaman keduanya.”
Ali bin al-Madini (234 H) berkata, “Ia tidak mendengar hadits dari Ibnu Umar, demikian pula dari Ibnu Abbas….”
(Dalam hadits ini, Ibrahim meriwayatkan dari Abu Dzar, yang dikatakan oleh al-Imam Ahmad bahwa Ibrahim tidak menjumpainya. Artinya, Ibrahim meriwayatkan dengan perantara, yang boleh jadi adalah orang yang tidak tsiqah, –pen.). Lihat Tafsir al-Manar (8/211—212).
Apa Jawabnya?
Terhadap hadits Abu Dzar tentang sujudnya matahari, demikian pula hadits Aisyah tentang malaikat penjaga gunung dan hadits-hadits tentang urusan gaib yang semisal, bisa saja seseorang seenaknya berkomentar, “Hadits ini memang sahih sanadnya, tapi teksnya janggal. Susah bagi akal untuk mencernanya!”
Oleh sebagian kalangan, kalimat ini dianggap sah-sah saja, padahal kalimat ini sungguh merupakan ungkapan yang luar biasa berbisa. Dengan kalimat ini, hadits-hadits yang sahih diabaikan dan diingkari, walaupun disepakati kesahihannya oleh al-Bukhari dan Muslim.
Kita katakan kepada mereka, “Wahai para pemuja akal, apakah setiap hal yang tidak masuk akal berarti itu dusta dan mustahil? Kalau kaidah ini kalian terapkan dalam menyikapi hadits-hadits Rasul, sungguh kalian akan menyimpang sejauh-jauhnya. Ingatkah kalian saat Rasulullah kembali dari perjalanan Isra’? Tidak genap satu malam Rasulullah telah melintasi sahara dari Makkah ke Baitul Maqdis, yang seharusnya ditempuh dua bulan perjalanan kala itu. Bahkan, Rasulullah telah menembus tujuh lapis langit dan kembali lagi ke Makkah.
Berita besar ini disampaikan kepada penduduk Makkah sehingga terjadilah apa yang terjadi. Mereka bertepuk tangan, berjingkrak-jingkrak menertawakan berita Rasul dan mengejeknya. Mereka anggap semua itu mustahil. Adapun Abu Bakr justru bertambah kokoh keimanannya, tidak sedikit pun bergeser dari iman hingga beliau beroleh gelar ash-Shiddiq.
Sejenak pena berhenti menanti jawaban para pengagum akal. Apakah mereka hendak mengikuti jalan musyrikin Quraisy dalam menyikapi berita Rasul, atau jalan Abu Bakr ash-Shiddiq dan kaum mukminin? Sepertinya terlalu lama kita menanti jawaban mereka. Semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua.
Menyangkut kritikan terhadap sanad al-Bukhari dan Muslim, kita katakan, “Penulis tafsir al-Manar seharusnya dengan teliti melihat kembali apa yang dibacanya, agar tidak terjatuh kepada kesalahan yang sangat fatal. Apalagi dilanjutkan dengan perkataannya, ‘Apabila hadits yang dikeluarkan al-Bukhari dan Muslim saja ada yang memiliki illat (cacat) seperti ini, bagaimana halnya dengan hadits yang tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim serta penulis kitab-kitab as-Sunan?’.” (Tafsir al-Manar)
Sanad hadits Abu Dzar yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim adalah Ibrahim bin Yazid at-Taimi, dari ayahnya Yazid bin Syarik at-Taimi, dari Abu Dzar. Sanad ini muttashil (bersambung) dengan rawi-rawi yang tsiqah. Keadaan Ibrahim sebagai seorang mudallis tidak membahayakan karena dalam sebagian sanad Muslim tampak bahwa Ibrahim mendengar dari ayahnya. Dengan demikian, tidak ada ‘illat dalam hadits Abu Dzar seperti tuduhan penulis Tafsir al-Manar. Walhamdulillah.
Mengimani Berita-Berita Gaib dari Rasulullah
Alam semesta yang demikian besar menyimpan berjuta rahasia yang tidak mungkin disingkap oleh akal manusia. Hanya berita-berita gaib para rasul Allah yang mampu menembus rahasia itu, tentu saja dengan wahyu dari Allah. Allah berfirman:
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.” (al-An’am: 75)
“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya. Maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (al-Jin: 26—27)
Seorang yang jujur dalam persaksian imannya niscaya selalu tunduk di hadapan sabda-sabda Rasulullah, baik berupa berita, perintah, maupun larangan. Ia akan selalu beribadah kepada Allah dengan tuntunan beliau dan tidak beribadah dengan kebid’ahan. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam sanubarinya atau rasa berat hati terhadap keputusan Rasulullah yang sesungguhnya adalah wahyu dari Allah yang mutlak kebenarannya.
Di hadapan hadits Aisyah dan Abu Dzar, seseorang diuji, apakah ia beriman atau mengingkari berita-berita Rasulullah? Seorang yang beriman tentu akan mengambil semua yang datang dari Rasulullah.
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (al-Hasyr: 7)
Berbeda halnya dengan orang-orang yang menyimpan keraguan, berita-berita Rasulullah akan mereka singkirkan atau sepelekan. Lebih-lebih jika kabar Rasulullah tersebut menyelisihi hawa nafsunya, berbeda dengan kepentingannya, berseberangan dengan adat istiadatnya, atau berbeda dengan hasil penelitian dan olah pikir manusia. Di situlah akan semakin tampak siapa yang lebih mengutamakan hawa nafsunya daripada keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sebelum berlarut, marilah kita kembali pada dua hadits yang mengawali pembahasan kita. Dalam hadits Aisyah, Rasulullah mengabarkan bahwa di antara malaikat-malaikat Allah ada yang ditugaskan sebagai penjaga gunung. Mereka adalah makhluk Allah yang sangat kuat. Dengan izin Allah mereka mampu membalikkan gunung dan menimpakannya kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Semua itu dengan perintah Allah dan tidak lepas dari pengaturan-Nya.
Perhatikan kedatangan malaikat gunung kepada Rasulullah. Ia berkata kepada Rasul bahwa Allah memerintahkannya untuk mendengar perintah Rasulullah. Jika beliau berkehendak, dua gunung akan dia timpakan kepada kaum musyrikin. Malaikat tersebut tidak serta-merta datang kepada Rasul tanpa perintah Allah, atau tiba-tiba mengangkat gunung dan menimpakannya kepada manusia yang ingkar tanpa perintah dari-Nya. Sungguh, mereka adalah makhluk yang taat dan tidak sedikit pun bermaksiat kepada Allah.
“(Mereka malaikat-malaikat Allah) tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)
Subhanallah, gunung-gunung yang menjulang, Engkau tetapkan para penjaganya dari kalangan malaikat-malaikat-Mu yang senantiasa menanti perintah-Mu. Hadits Aisyah menyingkap sebuah rahasia dari berjuta rahasia alam semesta.
Adapun hadits Abu Dzar al-Ghifari mengabarkan berita gaib lain dari keajaiban alam. Beliau mengabarkan bahwa matahari yang berada di atas kita tidaklah diam. Ia terus berjalan, menuju satu tempat di bawah Arsy untuk bersujud kepada-Nya, menanti perintah serta izin-Nya untuk terbit dan tenggelam dari tempat biasanya ia terbit dan tenggelam.
Hingga datang satu masa di akhir zaman nanti, Allah, Rabbul ‘Alamin, tidak lagi mengizinkannya untuk terbit dari timur. Dia akan memerintahkannya terbit dari sebelah barat, tempat tenggelamnya. Itulah sebagian tanda Rabb yang dimaksud dalam firman Allah:
Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), kedatangan Rabbmu, atau kedatangan sebagian tanda-tanda Rabbmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabbmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, “Tunggulah olehmu, sesungguhnya kami pun menunggu (pula).” (al-An’am: 158)
Saat itulah, tidak akan bermanfaat iman seseorang yang baru beriman. Demikian pula, seorang yang baru bertaubat tidak diterima taubatnya, sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk memberikan ampunan bagi mereka yang berdosa di siang hari dan Dia membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk mengampuni mereka yang berdosa di malam hari, hingga terbit matahari dari tempat tenggelamnya.”[5]
Hadits Abu Dzar tegas menunjukkan batilnya perkataan bahwa matahari diam tidak berjalan. Teori manusia mengatakan matahari sebagai pusat tata surya itu diam, hanya berputar pada porosnya. Kekuatan daya tarik gravitasi yang dimilikinya mampu menarik sekian banyak planet termasuk bumi untuk mengitari dirinya. Adapun ia sendiri diam, tidak berjalan.
Saudaraku, anggapan bahwa matahari diam, tidak berjalan, dan hanya perputar pada porosnya, adalah teori manusia. Adapun seorang mukmin akan berkata sesuai dengan firman Allah dan sabda Rasul-Nya bahwa matahari berjalan menuju tempat di bawah ‘Arsy. Ia tidak diam di tempatnya, sebagaimana hal ini tampak dari pertanyaan Rasulullah kepada para sahabatnya:
“Tahukah kalian, ke mana matahari ini pergi?”
Wahai Rabb kami, itu berita Rasul-Mu. Kami beriman dan tidak ada sedikit pun keraguan di hati kami.
“Wahai Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan, dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan-Mu).” (Ali Imran: 53)
Gunung, Matahari, dan Seluruh Alam di Bawah Kekuasaan serta Pengaturan Allah
Matahari berjalan secara teratur dengan perintah Allah. Dia berfirman:
“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Yasin: 38)
Gunung-gunung yang kokoh juga berada dalam perintah dan pengawasan Allah. Allah menetapkan para penjaga dari kalangan malaikat-Nya untuk menjalankan semua ketetapan dan perintah tersebut.
Demikian pula lautan serta segala apa yang di langit dan di bumi, mereka semua adalah makhluk Allah yang berada di bawah pengawasan dan pengaturan-Nya.
“Allah lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya, dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (al-Jatsiyah: 12—13)
Bumi tempat kita berpijak dan langit yang mengatapi kita, keduanya taat dan tunduk kepada Allah. Dia berfirman:
Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepada langit dan kepada bumi, “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan suka hati.” (Fushshilat: 10—11)
Alam semesta yang demikian besar menyimpan berjuta rahasia yang tidak mungkin disingkap oleh akal manusia. Hanya berita-berita gaib para rasul Allah yang mampu menembus rahasia itu, tentu saja dengan wahyu dari Allah. Allah berfirman:
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.” (al-An’am: 75)
“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya. Maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (al-Jin: 26—27)
Seorang yang jujur dalam persaksian imannya niscaya selalu tunduk di hadapan sabda-sabda Rasulullah, baik berupa berita, perintah, maupun larangan. Ia akan selalu beribadah kepada Allah dengan tuntunan beliau dan tidak beribadah dengan kebid’ahan. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam sanubarinya atau rasa berat hati terhadap keputusan Rasulullah yang sesungguhnya adalah wahyu dari Allah yang mutlak kebenarannya.
Di hadapan hadits Aisyah dan Abu Dzar, seseorang diuji, apakah ia beriman atau mengingkari berita-berita Rasulullah? Seorang yang beriman tentu akan mengambil semua yang datang dari Rasulullah.
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (al-Hasyr: 7)
Berbeda halnya dengan orang-orang yang menyimpan keraguan, berita-berita Rasulullah akan mereka singkirkan atau sepelekan. Lebih-lebih jika kabar Rasulullah tersebut menyelisihi hawa nafsunya, berbeda dengan kepentingannya, berseberangan dengan adat istiadatnya, atau berbeda dengan hasil penelitian dan olah pikir manusia. Di situlah akan semakin tampak siapa yang lebih mengutamakan hawa nafsunya daripada keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sebelum berlarut, marilah kita kembali pada dua hadits yang mengawali pembahasan kita. Dalam hadits Aisyah, Rasulullah mengabarkan bahwa di antara malaikat-malaikat Allah ada yang ditugaskan sebagai penjaga gunung. Mereka adalah makhluk Allah yang sangat kuat. Dengan izin Allah mereka mampu membalikkan gunung dan menimpakannya kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Semua itu dengan perintah Allah dan tidak lepas dari pengaturan-Nya.
Perhatikan kedatangan malaikat gunung kepada Rasulullah. Ia berkata kepada Rasul bahwa Allah memerintahkannya untuk mendengar perintah Rasulullah. Jika beliau berkehendak, dua gunung akan dia timpakan kepada kaum musyrikin. Malaikat tersebut tidak serta-merta datang kepada Rasul tanpa perintah Allah, atau tiba-tiba mengangkat gunung dan menimpakannya kepada manusia yang ingkar tanpa perintah dari-Nya. Sungguh, mereka adalah makhluk yang taat dan tidak sedikit pun bermaksiat kepada Allah.
“(Mereka malaikat-malaikat Allah) tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)
Subhanallah, gunung-gunung yang menjulang, Engkau tetapkan para penjaganya dari kalangan malaikat-malaikat-Mu yang senantiasa menanti perintah-Mu. Hadits Aisyah menyingkap sebuah rahasia dari berjuta rahasia alam semesta.
Adapun hadits Abu Dzar al-Ghifari mengabarkan berita gaib lain dari keajaiban alam. Beliau mengabarkan bahwa matahari yang berada di atas kita tidaklah diam. Ia terus berjalan, menuju satu tempat di bawah Arsy untuk bersujud kepada-Nya, menanti perintah serta izin-Nya untuk terbit dan tenggelam dari tempat biasanya ia terbit dan tenggelam.
Hingga datang satu masa di akhir zaman nanti, Allah, Rabbul ‘Alamin, tidak lagi mengizinkannya untuk terbit dari timur. Dia akan memerintahkannya terbit dari sebelah barat, tempat tenggelamnya. Itulah sebagian tanda Rabb yang dimaksud dalam firman Allah:
Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), kedatangan Rabbmu, atau kedatangan sebagian tanda-tanda Rabbmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabbmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, “Tunggulah olehmu, sesungguhnya kami pun menunggu (pula).” (al-An’am: 158)
Saat itulah, tidak akan bermanfaat iman seseorang yang baru beriman. Demikian pula, seorang yang baru bertaubat tidak diterima taubatnya, sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk memberikan ampunan bagi mereka yang berdosa di siang hari dan Dia membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk mengampuni mereka yang berdosa di malam hari, hingga terbit matahari dari tempat tenggelamnya.”[5]
Hadits Abu Dzar tegas menunjukkan batilnya perkataan bahwa matahari diam tidak berjalan. Teori manusia mengatakan matahari sebagai pusat tata surya itu diam, hanya berputar pada porosnya. Kekuatan daya tarik gravitasi yang dimilikinya mampu menarik sekian banyak planet termasuk bumi untuk mengitari dirinya. Adapun ia sendiri diam, tidak berjalan.
Saudaraku, anggapan bahwa matahari diam, tidak berjalan, dan hanya perputar pada porosnya, adalah teori manusia. Adapun seorang mukmin akan berkata sesuai dengan firman Allah dan sabda Rasul-Nya bahwa matahari berjalan menuju tempat di bawah ‘Arsy. Ia tidak diam di tempatnya, sebagaimana hal ini tampak dari pertanyaan Rasulullah kepada para sahabatnya:
“Tahukah kalian, ke mana matahari ini pergi?”
Wahai Rabb kami, itu berita Rasul-Mu. Kami beriman dan tidak ada sedikit pun keraguan di hati kami.
“Wahai Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan, dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan-Mu).” (Ali Imran: 53)
Gunung, Matahari, dan Seluruh Alam di Bawah Kekuasaan serta Pengaturan Allah
Matahari berjalan secara teratur dengan perintah Allah. Dia berfirman:
“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Yasin: 38)
Gunung-gunung yang kokoh juga berada dalam perintah dan pengawasan Allah. Allah menetapkan para penjaga dari kalangan malaikat-Nya untuk menjalankan semua ketetapan dan perintah tersebut.
Demikian pula lautan serta segala apa yang di langit dan di bumi, mereka semua adalah makhluk Allah yang berada di bawah pengawasan dan pengaturan-Nya.
“Allah lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya, dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (al-Jatsiyah: 12—13)
Bumi tempat kita berpijak dan langit yang mengatapi kita, keduanya taat dan tunduk kepada Allah. Dia berfirman:
Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepada langit dan kepada bumi, “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan suka hati.” (Fushshilat: 10—11)
Gemuruhnya guntur juga tidak lepas dari perintah Allah.
Sekelompok Yahudi datang kepada Nabi, mereka bertanya, “Wahai Abul Qasim, kabarkan kepada kami tentang guntur, apa itu?” Nabi berkata, “Ada salah satu malaikat Allah yang diberi tanggung jawab atas awan. Ia membawa cemeti dari api yang dengannya ia menggiring awan ke arah yang dikehendaki oleh Allah.” Yahudi berkata, “Suara yang kita dengar, apakah itu?” Nabi berkata, “Itu hardikan malaikat saat menggiring awan menuju tempat yang Dia perintahkan.” (al-Hadits)[6]
Sekelompok Yahudi datang kepada Nabi, mereka bertanya, “Wahai Abul Qasim, kabarkan kepada kami tentang guntur, apa itu?” Nabi berkata, “Ada salah satu malaikat Allah yang diberi tanggung jawab atas awan. Ia membawa cemeti dari api yang dengannya ia menggiring awan ke arah yang dikehendaki oleh Allah.” Yahudi berkata, “Suara yang kita dengar, apakah itu?” Nabi berkata, “Itu hardikan malaikat saat menggiring awan menuju tempat yang Dia perintahkan.” (al-Hadits)[6]
Musibah Bukan Sekadar Fenomena Alam
Belum lepas dari ingatan kita berbagai musibah yang menimpa manusia di negeri ini: gempa bumi, tsunami, dan letusan berikut awan panas “wedus gembel” Merapi.
Hal yang tidak boleh lepas dari sanubari adalah keyakinan bahwa musibah itu tidak terjadi begitu saja tanpa perintah Allah. Merapi tidak serta-merta meletus tanpa perintah. Lempengan bumi pun tidak begitu saja bergerak tanpa kehendak Sang Pencipta. Demikian pula, air laut tidak begitu saja meluap menenggelamkan manusia tanpa perintah Allah, Rabbul ‘Alamin.
Alam semesta adalah makhluk Allah yang diatur dan diperintah. Allah yang memerintahkan air bah menenggelamkan kaum Nuh. Dia pula yang memerintahkan malaikat membalik bumi tempat kaum Luth tinggal. Dia juga yang memerintahkan Laut Merah memusnahkan Fir’aun beserta bala tentaranya. Inilah hakikat yang tidak boleh terlupakan dalam akidah seorang muslim.
Hendaknya manusia juga menyadari bahwa kerusakan tersebut sesungguhnya buah dari kezaliman manusia. Allah tidak zalim. Akan tetapi, manusialah yang menzalimi diri-diri mereka. Allah menimpakan semua itu agar manusia menyadari bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang lemah. Hamba yang harus segera kembali kepada Allah, bertaubat dari dosa dan kesalahannya. Demikian juga, agar mereka mengerti bahwa hanya Allah lah, Dzat yang berhak diibadahi.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)
Sejenak kita buka sejarah kaum Nuh. Saat Allah menghendaki kebinasaan atas kaum durhaka, tidak ada satu pun usaha yang bermanfaat walaupun seseorang pergi ke atas gunung yang tinggi.
Dan Nuh berkata, “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.” Sesungguhnya Rabbku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedangkan anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menjagaku dari air bah!” Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah, selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya. Jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (Hud: 41—43)
Belum lepas dari ingatan kita berbagai musibah yang menimpa manusia di negeri ini: gempa bumi, tsunami, dan letusan berikut awan panas “wedus gembel” Merapi.
Hal yang tidak boleh lepas dari sanubari adalah keyakinan bahwa musibah itu tidak terjadi begitu saja tanpa perintah Allah. Merapi tidak serta-merta meletus tanpa perintah. Lempengan bumi pun tidak begitu saja bergerak tanpa kehendak Sang Pencipta. Demikian pula, air laut tidak begitu saja meluap menenggelamkan manusia tanpa perintah Allah, Rabbul ‘Alamin.
Alam semesta adalah makhluk Allah yang diatur dan diperintah. Allah yang memerintahkan air bah menenggelamkan kaum Nuh. Dia pula yang memerintahkan malaikat membalik bumi tempat kaum Luth tinggal. Dia juga yang memerintahkan Laut Merah memusnahkan Fir’aun beserta bala tentaranya. Inilah hakikat yang tidak boleh terlupakan dalam akidah seorang muslim.
Hendaknya manusia juga menyadari bahwa kerusakan tersebut sesungguhnya buah dari kezaliman manusia. Allah tidak zalim. Akan tetapi, manusialah yang menzalimi diri-diri mereka. Allah menimpakan semua itu agar manusia menyadari bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang lemah. Hamba yang harus segera kembali kepada Allah, bertaubat dari dosa dan kesalahannya. Demikian juga, agar mereka mengerti bahwa hanya Allah lah, Dzat yang berhak diibadahi.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)
Sejenak kita buka sejarah kaum Nuh. Saat Allah menghendaki kebinasaan atas kaum durhaka, tidak ada satu pun usaha yang bermanfaat walaupun seseorang pergi ke atas gunung yang tinggi.
Dan Nuh berkata, “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.” Sesungguhnya Rabbku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedangkan anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menjagaku dari air bah!” Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah, selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya. Jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (Hud: 41—43)
Dialah yang Berhak Diibadahi
Jika alam semesta ini di bawah pengaturan Allah, semua tunduk kepada Allah, lantas pantaskah sesuatu selain Allah yang diibadahi? Tentu jawabannya tidak.
Dalam ayat-ayat Al-Qur’an, manusia sering diingatkan bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang mengatur alam semesta, menciptakan, dan memberi rezeki, agar mereka menyadari bahwa hanya Allah sajalah yang berhak untuk diibadahi. Tidak pantas manusia menyekutukan Allah dengan para makhluk-Nya ketika beribadah. Allah berfirman:
“Wahai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 21—22)
Dalam Al-Qur’an, Allah sering menampakkan kebatilan peribadatan kepada selain Allah dengan mengingatkan manusia bahwa sesembahan selain Allah adalah makhluk yang diatur, bukan yang mengatur; makhluk yang diciptakan dan tidak menciptakan. Makhluk yang demikian lemah dan fakir, apakah pantas diibadahi?
Katakanlah, “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai ilah/sesembahan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu andil pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.” (Saba’: 22)
Saat bencana menimpa, seharusnya manusia segera kembali kepada Allah, bertobat kepada-Nya, dan mentauhidkan-Nya, tidak justru semakin bergantung kepada selain Allah. Dengan ketakwaan, Allah akan menjadikan sebuah negeri sebagai negeri yang diberkahi oleh Allah. Jangan seperti negeri-negeri yang ingkar, yang membanggakan kecerdasan otaknya untuk menghadapi musibah. Alam bukan di tangan manusia tetapi di tangan Allah. Dialah yang memerintah, Dia pula yang memutuskan.
Belum lepas dari ingatan kita gempa bumi yang menimpa Kota Kobe (Jepang) di tahun 90-an. Tidak ada yang memungkiri kemajuan Jepang dalam teknologi. Mata dunia terbelalak dengan kehebatan Jepang dalam teknologi. Kobe sejatinya sudah dipersiapkan sebagai kota antigempa. Semua konstruksi bangunan disiapkan dengan canggih untuk menghadapi gempa hingga lebih dari 8 Skala Richter (8 SR). Tetapi itu hanya angan manusia belaka. Di hadapan kekuasaan Allah, tidak satu makhluk pun yang bisa menengadahkan kepalanya untuk sombong dan berbangga. Gempa dengan skala “hanya” lima koma sekian SR merayapi Kota Kobe. Dalam hitungan detik, tidak ada satu bangunan pun selamat. Gedung pencakar langit, jembatan layang, dan seluruh bangunan yang ada harus luluh lantak tertelan gempa.
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah selain orang-orang yang merugi.” (al-A’raf: 96—99)
Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami dan lindungilah kami dari akibat perbuatan jelek diri kami!
Amin, ya Rabbal ‘Alamin.
Catatan Kaki:
[1] Qarnu ats-Tsa’alib adalah Qarnu al-Manazil, miqat bagi penduduk Najd untuk melakukan ibadah haji atau umrah. Jaraknya sekitar 94 km dari Makkah, saat ini dikenal dengan nama as-Sailul Kabir.
[2] Dua gunung yang dimaksud adalah gunung Abu Qubais dan gunung yang di hadapannya.
[3] Mudallis adalah orang yang menampakkan hadits yang terputus sanadnya seakan-akan bersambung.
[4] Sanad yang benar adalah Ibrahim bin Yazid, dari ayahnya yakni Yazid, dari Abu Dzar al-Ghifari.
[5] HR. Muslim “Kitabut Taubah” bab “Qabulut Taubati minadz Dzunub wa in Takarrarat adz-Dzunub wat Taubah (Bab Diterimanya Taubat Walaupun Dosa dan Taubatnya Terulang)” (4/2113 no. 2759) dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari.
[6] HR. at-Tirmidzi (4/257 no. 5121) dari Abdullah bin Abbas. At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan sahih gharib.” Diriwayatkan pula oleh al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (1/274). Asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq beliau mengatakan, “Sanad hadits ini sahih.” Asy-Syaikh al-Albani mengatakan tentang hadits ini, “Paling rendahnya, hadits ini berderajat hasan.” Lihat takhrijnya dalam ash-Shahihah (4/491–493).
Sumber: http://asysyariah.com/
Jika alam semesta ini di bawah pengaturan Allah, semua tunduk kepada Allah, lantas pantaskah sesuatu selain Allah yang diibadahi? Tentu jawabannya tidak.
Dalam ayat-ayat Al-Qur’an, manusia sering diingatkan bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang mengatur alam semesta, menciptakan, dan memberi rezeki, agar mereka menyadari bahwa hanya Allah sajalah yang berhak untuk diibadahi. Tidak pantas manusia menyekutukan Allah dengan para makhluk-Nya ketika beribadah. Allah berfirman:
“Wahai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 21—22)
Dalam Al-Qur’an, Allah sering menampakkan kebatilan peribadatan kepada selain Allah dengan mengingatkan manusia bahwa sesembahan selain Allah adalah makhluk yang diatur, bukan yang mengatur; makhluk yang diciptakan dan tidak menciptakan. Makhluk yang demikian lemah dan fakir, apakah pantas diibadahi?
Katakanlah, “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai ilah/sesembahan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu andil pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.” (Saba’: 22)
Saat bencana menimpa, seharusnya manusia segera kembali kepada Allah, bertobat kepada-Nya, dan mentauhidkan-Nya, tidak justru semakin bergantung kepada selain Allah. Dengan ketakwaan, Allah akan menjadikan sebuah negeri sebagai negeri yang diberkahi oleh Allah. Jangan seperti negeri-negeri yang ingkar, yang membanggakan kecerdasan otaknya untuk menghadapi musibah. Alam bukan di tangan manusia tetapi di tangan Allah. Dialah yang memerintah, Dia pula yang memutuskan.
Belum lepas dari ingatan kita gempa bumi yang menimpa Kota Kobe (Jepang) di tahun 90-an. Tidak ada yang memungkiri kemajuan Jepang dalam teknologi. Mata dunia terbelalak dengan kehebatan Jepang dalam teknologi. Kobe sejatinya sudah dipersiapkan sebagai kota antigempa. Semua konstruksi bangunan disiapkan dengan canggih untuk menghadapi gempa hingga lebih dari 8 Skala Richter (8 SR). Tetapi itu hanya angan manusia belaka. Di hadapan kekuasaan Allah, tidak satu makhluk pun yang bisa menengadahkan kepalanya untuk sombong dan berbangga. Gempa dengan skala “hanya” lima koma sekian SR merayapi Kota Kobe. Dalam hitungan detik, tidak ada satu bangunan pun selamat. Gedung pencakar langit, jembatan layang, dan seluruh bangunan yang ada harus luluh lantak tertelan gempa.
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah selain orang-orang yang merugi.” (al-A’raf: 96—99)
Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami dan lindungilah kami dari akibat perbuatan jelek diri kami!
Amin, ya Rabbal ‘Alamin.
Catatan Kaki:
[1] Qarnu ats-Tsa’alib adalah Qarnu al-Manazil, miqat bagi penduduk Najd untuk melakukan ibadah haji atau umrah. Jaraknya sekitar 94 km dari Makkah, saat ini dikenal dengan nama as-Sailul Kabir.
[2] Dua gunung yang dimaksud adalah gunung Abu Qubais dan gunung yang di hadapannya.
[3] Mudallis adalah orang yang menampakkan hadits yang terputus sanadnya seakan-akan bersambung.
[4] Sanad yang benar adalah Ibrahim bin Yazid, dari ayahnya yakni Yazid, dari Abu Dzar al-Ghifari.
[5] HR. Muslim “Kitabut Taubah” bab “Qabulut Taubati minadz Dzunub wa in Takarrarat adz-Dzunub wat Taubah (Bab Diterimanya Taubat Walaupun Dosa dan Taubatnya Terulang)” (4/2113 no. 2759) dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari.
[6] HR. at-Tirmidzi (4/257 no. 5121) dari Abdullah bin Abbas. At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan sahih gharib.” Diriwayatkan pula oleh al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (1/274). Asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq beliau mengatakan, “Sanad hadits ini sahih.” Asy-Syaikh al-Albani mengatakan tentang hadits ini, “Paling rendahnya, hadits ini berderajat hasan.” Lihat takhrijnya dalam ash-Shahihah (4/491–493).
Sumber: http://asysyariah.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar