Kamis, 17 November 2011

The Great Reza


Reza, sebutlah namanya demikian. Anak pertama dari lima bersaudara, dan menjadi satu-satunya anak laki-laki dalam keluarganya. Umurnya baru menginjak dua puluh tahun, dan sudah cukup mapan dengan pekerjaannya sebagai mandor kebun teh milik pamannya. Ia sengaja tidak memutuskan untuk melanjutkan sekolah atau kuliah demi membiayai sekolah keempat adik perempuannya yang ternyata tidak sepintar dirinya. Kehidupan kedua orang tuanya pun tidak terlalu baik, keduanya hanya menjadi petani sayuran di kebun warisan almarhum kakek. Kendati demikian, keduanya malah menjadi orang yang disegani masyarakat karena kebaikannya. Terlebih seorang Reza, pemuda yang kini hidup tenang dengan pekerjaannya. Tentang masa depannya berupa pernikahan pun tidak terlalu dipikirkan, bukan karena ia tidak mampu untuk membiayai kehidupan rumah tangganya kelak. Namun lebih dari itu, keempat adik perempuannya jauh lebih ia pikirkan daripada kehidupannya. Permintaan dari kedua orang tuanya pun tidak terlalu dihiraukan, dan lagi-lagi dengan alasan keempat adik perempuannya.
 “Aku ingin Rana, Syifa, Tiara dan Nining... jadi orang pinter! Itu sudah cukup...,” kalimat terakhir yang diucapkan kepada kedua orang tuanya delapan tahun yang lalu. Ya, dua bulan yang lalu hingga akhirnya kini ia terbaring lemah di rumah sakit. Sudah seminggu lamanya ia tidak siuman, pun bergantian Rana, Syifa, Tiara dan Nining menemani sang kakak. Keempatnya pun kini menjadi seorang mahasiswi perguruan tinggi negeri di Bandung, dan lagi-lagi karena pengorbanan tiada henti dari sang kakak yang menjadi mandor kebun teh. Keempatnya tidak lagi masuk rangking di bawah sepuluh besar, Rana lulus dengan predikat sebagai peringkat ketiga terbaik, dua tahun kemudian si kembar Syifa dan Tiara yang menjadi peringkat keempat dan kelima, dan terakhir Nining yang baru saja masuk kuliah, lulus sebagai yang terbaik.
Rana punya kelemahan di bidang matematika, namun Reza menyisihkan dua jam setiap hari untuk menemaninya belajar. Si kembar sulit belajar bahasa inggris, dan Reza pun meminta keduanya agar ikut les bersama teman-teman yang lainnya. Nining memang pelupa, tapi Reza selalu menemani setiap keluhan yang diungkapkan adik bungsunya ini. Dan seperti itulah kondisi keempat adiknya, yang kini menjadi mahasiswi. Rana kuliah di jurusan pendidikan matematika, Syifa di jurusan psikologi, Tiara di jurusan keperawatan dan Nining di jurusan farmasi.
 “Kak Reza... bangun... kakak kan sudah janji mau nemenin Rana wisuda bulan depan. Syifa dapet beasiswa ke Jerman lho kak... terus... proposal PKM Wirausaha Tiara lolos PIMNAS. Terakhir... Nining baru saja dikabarin dapet beasiswa. Kakak pasti bangga sama kita semua, sama halnya dengan kami. Tapi... kakak harus cepet bangun,” kata Rana sambil memegang lengan kanan kakaknya yang masih belum siuman.
Sebuah kejadian di pagi hari seminggu yang lalu, membuat tubuh Reza kini terbaring di rumah sakit. Secara tiba-tiba ia terjatuh di depan pintu sesaat setelah ia memakai separu bootnya untuk pergi ke kebun teh milik pamannya. Dokter memvonisnya terkena serangan jantung, padahal Reza selama ini sehat-sehat saja. Ternyata Tuhan punya rencana lain dalam kehidupannya. Kehidupan yang membawanya pada sebuah pesan, bahwa ‘Pengorbanan kita tidak akan sia-sia apabila dikerjakan dengan sepenuh hati, berkorban bukan berarti tidak memikirkan diri kita... namun lebih dari itu, pengorbanan itu adalah indah pada waktunya.
*****
             “Kakak berangkat dulu ya... assalamu’alaikum!”
            Reza segera menuju kebun teh milik pamannya, seperti biasa dengan pekerjaan sebagai mandor. Keempat adik perempuannya masik asyik menyantap sarapan yang disiapkan oleh ibu, dan sang ayah sudah pergi ke kebun sayuran seperti biasanya. Untuk pagi ini saja ibu tidak menemani beliau karena ada kegiatan dengan ibu-ibu PKK di kantor kepala desa jam delapan pagi nanti.
            Syifa tampak membuka-buka buku pelajarannya, semalam ia bersama Tiara ditemani kakaknya belajar. Pun juga dengan Rana dan Nining, keduanya tampak bahagia tadi malam karena sang kakak membawakan martabak manis sambil menemani mereka belajar. Ya, kegiatan sehari-hari Reza setiap malamnya adalah menemani keempat adik perempuannya belajar.
             “Bu... Rana duluan berangkatnya,” Rana segera menyiapkan tempat makan untuk membawa nasi dan lauk sebagai makan siang, pun juga dengan ketiga adik perempuannya. Mereka memang terbiasa membawa kotak atau tempat makan, sama seperti kebiasaan Reza kakaknya selama sekolah. Rana mulai mengeluarkan sepedanya, jarak sekolah yang cukup jauh membuatnya harus segera berangkat lebih pagi. Ia menitipkan sepedanya di warung mang Tatang yang ada di perempatan jalan sebelum akhirnya naik kendaraan umum. Sama halnya dengan si kembar Syifa dan Tiara, dan Nining sendiri hanya berjalan kaki. Rana duduk di bangku kelas 1 SMA, Syifa dan Tiara duduk di kelas 2 SMP dan terakhir Nining masih kelas 6 SD.
            Perlahan dan pasti, waktu demi waktu yang dilalui Reza bersama keempat adik perempuannya semakin membuatnya merasakan kenyamanan. Mereka menjadi semakin mudah memahami pelajaran, bukan karena Reza sebagai pembimbing atau guru belajar selama di rumah. Selama menemani keempat adiknya belajar, ia tidak terlalu mengajari banyak hal. Sudah cukup banyak pula mata pelajaran yang ia lupa karena kesibukan dengan pekerjaan. Meminum segelas teh atau secangkir kopi, ditambah dengan beberapa buku bacaan yang ia pinjam di perpustakaan desa menjadi benda yang menemani waktunya bersama keempat adik perempuannya selama belajar di waktu malam.
            Reza sudah tiba di kebun teh milik pamannya, dan seperti biasanya ia menuju gedung pengolahan daun teh yang menjadi gedung terbesar di kawasan kompleks pengolahan teh milik pamannya.
             “Reza...,”
            Sebuah panggilan dari pamannya sejenak menghentikan langkah kakinya, ia segera menuju sumber suara sambil memberikan senyuman hangat untuk sang paman.
             “Paman Teguh...,” kata Reza sambil mencium lengan kanan pamannya.
             “Reza... Reza... kamu memang mandor paling rajin disini. Jam setengah delapan sudah mulai mengontrol pekerjaan karyawan bagian kerja malam.”
            Reza kembali tersenyum, “Supaya mereka semangat kerjanya paman... kan waktu malam harusnya digunakan untuk istirahat...?! terlebih juga... sudah cukup lama Reza tidak ngobrol bareng mereka karena harus menemani keempat adik perempuan saya belajar di rumah.”
             “Wah... wah... wah... kamu memang orang hebat Za, lebih banyak memikirkan orang lain... itu adalah ciri-ciri orang hebat. Dan... kamu adalah salah satu diantara jutaan orang hebat,”
             “Paman terlalu berlebihan...,”
            Pamannya menepuk bahu kanan Reza sambil tersenyum, beliau pun segera berlalu dari hadapan Reza dan menuju kantor tempat beliau merekap semua data yang ada di kebun teh. Beberapa karyawan yang bertugas di kebun sudah selesai memetik daun teh yang selanjutnya akan dibawa dengan truk, sebelum akhirnya disimpan di tempat pengolahan. Waktu untuk memetik daun teh dibagi menjadi dua, yakni pagi hari antara jam 5 sampai jam delapan pagi. Kemudian waktu sore hari, antara jam empat sampai enam sore. Dan pastinya, Reza selalu berada diantara para pemetik daun teh di dua waktu tersebut. Meskipun pekerjaan yang sebenarnya harus dilakukan olehnya adalah mengawasi bagian pengolahan di gedung C-1 dan D-2. Gedung C merupakan tempat penyimpanan awal daun teh yang sudah dipetik, dengan 2 gedung dimana C-1 adalah gedung penyimpanan daun teh di pagi hari dan C-2 adalah tempat penyimpanan daun teh yang dipetik di waktu sore hari. Sementara gedung D adalah tempat pengolahan, dibagi menjadi 3 yakni D-1 sebagai tempat pengolahan daun teh, D-2 yang menjadi tempat pengemasan, pengatur suhu dan kualitas daun teh yang sudah diolah sebelum akhirnya masuk gedung D-3 yang merupakan tempat penyimpanan teh yang siap dipasarkan.
            Reza bekerja dengan baik, bahkan sangat baik. Sebagai pengawas karyawan, ia terus memperhatikan setiap pekerjaan dan juga kondisi karyawan yang bekerja di perkebunan teh milik pamannya. Suatu hari ia pernah melihat seorang karyawan yang tampak lemas, dan memang orang tersebut sedang sakit serta memaksakan diri untuk bekerja agar memperoleh upah harian untuk biaya makan sehari-hari. Reza pun segera memulangkan orang tersebut, dengan memberikan upah dan juga tambahan waktu  istirahat serta uang untuk berobat tentunya agar orang tersebut kembali bekerja dalam kondisi tubuh yang prima. Kalaulah ada pekerja kebun atau karyawan gedung yang bekerja kurang baik karena ada masalah dengan keluarga atau bahkan rekan kerja, ia mencoba untuk mengkomunikasikan dan menyelesaikan masalah tersebut dengan jalan dialog. Tak ayal sang paman pun bangga dan semakin semangat untuk menjaga kualitas hasil kerja dan kondisi karyawan beliau yang akan menambah omset laba dari perkebunan yang dimiliki beliau.
             “Reza... Reza... kalau saja semua orang seperti kamu kerjanya...,” kata pamannya berandai-andai.
*****
            Sudah genap 28 tahun kini usia Reza, sudah semakin mapan pula pekerjaannya di kebun teh atau lebih tepatnya perkebunan yang dimiliki oleh pamannya. Sang ayah pun ternyata sudah menghadap Sang Khalik di usianya yang ke 25 tahun, berikut sebuah pesan dengan isi yang sama selama delapan kali ia bertambah usia.
            Kapan kamu nikah Za... umurmu sudah bertambah... punya pekerjaan yang mapan... adik-adikmu juga sudah tidak perlu dibiayai sekolahnya karena dapat beasiswa... kamu... sudah tidak punya alasan lagi buat menunda waktu menikah. Ayah serahkan pilihan gadis manapun yang kamu mau untuk dinikahi... ayah... sama ibu... sudah kangen mau menimang cucu... cucu dari seorang Reza...,
            Jawaban Reza tetaplah sama, ‘Aku pasti menikah kok... ayah... ibu... tapi belum saatnya... suatu saat nanti, Insya Allah...
            Entah apa yang ada dipikiran dan hati Reza setiap kali ia memperoleh pertanyaan seputar pernikahan, karena baginya masih belum banyak yang diberikan bagi keluarganya. Kesedihan dan penyesalan karena tidak bisa memenuhi permintaan sang ayah yang kini telah tiada, menjadi bayangan yang cukup kuat menerawang setiap kali ia terbangun di pagi hari. Dan entah apa yang kembali ia pikirkan, karena baginya keempat adik perempuannya pun juga sang ibu kini harus ia rawat dengan penuh cinta serta kasih sayang. Terlebih ibunya kini sudah tidak mampu lagi bekerja di kebun sayuran karena sering sakit-sakitan semenjak sang ayah tiada. Kendati keempat adik perempuannya sudah tidak perlu biaya sekolah, namun tetap untuk kebutuhan sehari-hari dirinyalah yang menanggung semuanya.
            Rana, Syifa dan Tiara kini sudah kuliah tanpa biaya, kemudian Nining pun menyusul setahun yang lalu. Dan kini keempat adiknya menjadi bukti bahwa kesungguhan serta kerja keras yang ia lakukan selama ini membuahkan hasil. Rana sudah bersiap diri untuk menghadapi sidang sarjana, dan sebentar lagi ia akan menjadi seorang guru sesuai dengan cita-citanya. Syifa semakin rajin mengikuti berbagai lomba dan kejuaraan antar mahasiswa, dan gelar juara demi juara ia raih. Tiara pun tak kalah dengan program wirausaha yang ia kerjakan bersama teman-teman sefakultasnya. Dan praktis hanya Nining saja yang masih dibiayai oleh Reza, karena ketiga adik perempuannya sudah mampu mandiri dalam membiayai kuliah serta biaya hidup meskipun terkadang Reza masih memberikan uang tambahan yang bisa digunakan mereka untuk hal yang tidak terduga.
            Reza yang sekarang tetaplah Reza yang dahulu, tetap sama rajinnya, ulet, tekun, perhatian dan menjadi sosok yang dibanggakan. Namun lagi-lagi ia masih merasa banyak sekali hal yang belum ia kerjakan, masih belum cukup baginya untuk membuat sang ibu dan keempat adiknya bangga. Ia masih tetap bekerja lebih lama, teliti lebih mendalam serta perhatiannya kepada seluruh karyawan yang ada dibawah komandonya. Kini ia pun menjadi manager bagian pemasaran, dan tentu dengan gaji yang jauh lebih besar daripada ketika dirinya masih menjadi seorang mandor. Ia hanya mengambil sedikit saja bagian untuknya, sisanya ia berikan untuk memberikan biaya kuliah serta hidup keempat adiknya pun juga diberikan kepada sang ibu untuk makan serta berobat ke dokter ketika kondisi beliau semakin parah. Tak lupa ia sisihkan untuk menolong karyawan yang mengalami kesulitan, apakah karena hutang, kekurangan biaya untuk berobat dan lain sebagainya.
            Dan seperti itulah Reza, tidak banyak berubah kendati kekayaannya semakin bertambah seiring kenaikan pangkat dan gajinya. Namun ia tetaplah seperti Reza yang biasanya. Sosok rendah hati, baik hati serta memperhatikan kondisi sekelilingnya dan ringan tangan untuk membentu menyelesaikan kesulitan yang dialami oleh orang lain. Ia dermakan seluruh kehidupannya untuk memberikan manfaat bagi orang lain, karena baginya orang lain adalah pihak yang selama ini membuatnya merasakan kebahagiaan dalam kebersamaan.
             “Reza... makan dulu,” kata ibunya.
             “Iya bu... sebentar...,”
            Reza segera menuju ruang makan untuk menyantap menu makan malam yang sudah disiapkan oleh ibunya. Waktu kerjanya agak sedikit berkurang karena ia harus menjaga ibunya yang kini tinggal sendirian di rumah, dan hal tersebut sudah dimaklumi oleh pamannya. Terlebih beliau sendiri yang meminta agar Reza tidak terlalu banyak melakukan pekerjaan yang bukan menjadi pekerjaannya meskipun ia menyukai pekerjaan tersebut.
             “Bu... Reza istirahat dulu ya... pagi-pagi sekali Reza harus ada di kantor karena mau ketemu calon rekan kerja yang mau menanamkan modal untuk pembuatan gedung pengolahan minuman kemasan.”
             “Wah... bagus itu Za... berarti... kualitas teh yang ada di perkebunan pamanmu memang sangat bagus.” Kata ibunya menimpali.
             “Do’akan saja supaya besok ada kesepakatan...,”
            Reza tersenyum manis untuk ibunya, ia pun segera menuju kamar dan terlelap. Bayangan putih mulai muncul menemani tidurnya malam ini, seakan hendak menyampaikan sesuatu padanya yang sudah cukup lelah bekerja dengan baik pada hari ini.
*****
            Reza sudah bersiap untuk kembali bekerja setengah hari karena seperti biasanya ia harus menjaga sang ibu yang masih sakit. Bukan sepatu boot lagi yang digunakannya, melainkan sepatu kulit warna hitam. Ia pun tidak lagi berjalan kaki untuk menuju areal perkebunan milik pamannya, sebuah sepeda motor kini menemani perjalanannya menuju kesana.
             “Za... nanti jangan lupa ngambil obat yang dititipin dokter di Puskesmas ya, ibu lupa ngambil pas kemarin.”
             “Iya bu... Insya Allah,”
            Setelah mengucapkan salam Reza pun segera beranjak untuk memanaskan mesin sepeda motornya. Tiba-tiba ia merasakan sesak di ulu hati, ia pun terengah sambil menahan rasa sakit yang seakan menusuk jantungnya.
             “Masya Allah... ada apa ini ya Rabb,”
            Reza pun tersungkur sambil memegang dada kirinya, menitikkan air mata sambil beristigfar. Ibunya yang melihat kondisi sang putra tercinta tergeletak di atas tanah segera berteriak meminta tolong warga sekitar yang memang sudah bersiap menuju kebun atau tempat bekerja.
             “Ya Allah... Za... kenapa kamu nak?!” kata ibunya sambil menangis.
            Reza masih menahan rasa sakit yang dialami olehnya pagi ini, rasa sakit yang entah membuat kedua bola matanya mulai menatap sesosok bayangan putih yang tersenyum untuknya.
             “Ibu... cepat kita bawa ke Puskesmas!” kata salah seorang warga.
            Suasana ramai menyelimuti halaman rumah Reza, ditemani tangis sang ibu yang tak ingin kembali kehilangan serta beberapa warga laki-laki yang membawa tubuh lemah Reza menuju Puskesmas. Pagi ini pun menjadi pertanda awal baginya, yang entah Tuhan sedang merencanakan hal apa untuknya.
*****
            Rana terus menangis disamping kakaknya yang masih belum tersadar, ia terus menggenggam erat tangan kanan kakaknya yang entah akan tersadar kapan.
             “Kak Rana...,”
            Syifa, Tiara dan Nining mulai masuk kedalam ruangan, tak lupa ibu yang terus memandangi wajah sang putra yang tercinta.
             “Reza... kamu kenapa nak? Ibu masih belum siap kehilangan kamu...,”
             “Bu, sudahlah... Insya Allah kak Reza pasti sembuh,” kata Syifa yang mencoba menghibur ibu.
             “Tapi Syifa... penyakit yang diderita kakakmu itu parah... Tiara pasti cukup ngerti dengan penyakit yang dialami kakakmu.” Papar ibu.
            Tiara hanya mampu terdiam, ia kebingungan untuk membalas ucapan yang keluar dari mulut ibunya. Nining sendiri mulai mengusap kening Reza, dan selama ini dirinyalah yang selalu menemani ibu di rumah sakit. Bahkan laporan dokter mengenai penyakit yang dialami oleh kakaknya, ia dan ibulah yang pertama kali mengetahuinya.
            Jari-jari Reza mulai bergerak, ia pun mulai membuka kedua matanya secara perlahan. Namun masih tak kuasanya baginya membuka kedua mulutnya yang seakan terkunci.
             “Bu... ibu... kak Reza udah sadar,” kata Nining.
            Rana, Syifa, Tiara dan ibu akhirnya tersenyum manis, mereka yang berada di ruangan ini. Mereka merasakan kebahagiaan yang luar biasa atas hal yang Tuhan tunjukkan kepada mereka. Hanya saja bayangan putih itu kembali menghampiri Reza yang terdiam sambil mencoba tersenyum untuk ibu dan keempat adik perempuannya.
             “Kak... alhamdulillah kakak sudah siuman,” kata Rana.
             “Kakak kenapa... ini dimana?” Reza mulai bertanya sambil mengamati selang infus yang berkelit berikut peralatan medis yang ada di sekelilingnya.
             “Kamu di rumah sakit nak...,” kata ibunya.
             “Kenapa... kenapa bu... kenapa Syifa, Tiara, Nining dan Rana juga ada disini? Bukannya kalian itu seharusnya ada di kampus...?!”
            Ibu dan keempat adiknya terdiam, mereka tidak berani menyampaikan sesuatu terlebih penyakit yang kini dialami oleh Reza. Seisi ruangan ini membisu, kecuali sosok bayangan putih yang hendak menyampaikan sesuatu kepada Reza sambil tersenyum manis untuknya.
             “Kak... Rana minggu depan mau wisuda... Rana harap, kakak sembuh dan datang pas wisuda Rana. Terus... Syifa dapet beasiswa ke Jerman, Tiara... proposal PKMnya lolos Pimnas. Dan terakhir, Nining... baru saja dapet beasiswa untuk biaya kuliah sama bulanan sampai lulus. Alhamdulillah... didikan, arahan dan juga perhatian yang kakak berikan kepada kami membuahkan hasil yang luar biasa. Sekarang... kakak tidak usah pusing memikirkan biaya kuliah kami, Insya Allah... kita bisa hidup mandiri.” Kata Rana.
             “Sekarang... yang penting kakak cepet sembuh aja,” imbuh Syifa kemudian.
            Reza mulai tersenyum, ia pun mulai kembali berkata.
             “Rana, Tiara, Syifa, Nining... kakak bangga dengan kalian, tapi... tugas kakak masih belum selesai untuk terus menjaga kalian, ini adalah tugas kakak seumur hidup dan kakak akan tetap pegang janji ini meskipun kalian sudah jauh lebih baik, sudah bisa membiayai kuliah sendiri, dapet beasiswa dan lain sebagainya... tapi kakak tetaplah kakak kalian, kakak akan terus memiliki kewajiban untuk menjaga kalian. Bahkan sampai kalian berumah tangga pun, tanggung jawab kakak terhadap kalian tidak akan berakhir meskipun kalian punya suami yang menjaga kalian kelak. Kakak... hanya ingin hidup kakak jauh lebih berarti untuk semuanya, tidak hanya untuk kalian, untuk ibu... tapi untuk semuanya. Kakak memilih kerja di perkebunan milik paman pun untuk kalian dan juga semuanya, kakak... hanya ingin hidup kakak jauh lebih berarti meskipun kakak bukanlah orang yang ahli di bidang agama. Tidak seperti Rana, Tiara, Syifa dan Nining... kakak bangga dengan meningkatnya pemahaman kalian dalam bidang agama, disamping ilmu pengetahuan yang harus kalian pelajari.”
             “Kakak nggak boleh bilang gitu... kami tetap menganggap kakaklah orang paling hebat diantara kami,” kata Syifa.
             “Kak... dulu kakak pernah bilang bahwasanya Allah akan mengangkat orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat... itu adalah kalimat yang Allah terangkan dalam Al-Qur’an kak... dan kakak juga adalah orang yang punya pemahaman mengenai Islam yang baik juga. Islam mengajarkan kita untuk melaksanakan kewajiban dengan sepenuh hati, penuh keikhlasan, dan kakak... sudah melakukannya.” Timpal Rana.
            Tiara dan Nining mengangguk sambil tersenyum, begitu pula dengan ibu.
             “Kakak tidak pernah menyangka akan seperti ini... tapi, ya sudahlah...,”
            Bayangan putih itu mulai meghampiri Reza dan memegang ubun-ubunnya, dan gerakannya terhenti sesaat. Bayangan tersebut tersenyum sesaat, melihat keempat adik perempuan Reza dan juga ibunya.
             “Sepertinya... kakak harus pergi...,”
             “Reza... kamu nggak boleh ngomong kaya gitu,” kata ibunya.
             “Rana, Syifa, Tiara, Nining... tolong bimbing kakak... ibu... maafin Reza ya, sepertinya... Reza mau bertemu dengan ayah sebentar lagi,”
             “Reza... kamu ngomong apa sih?”
            Keempat adik perempuannya menangis, mereka tidak siap apabila harus kehilangan sosok kakak yang selama ini menjadi pelita dalam kehidupan mereka.
             “Rana...,” kata Reza.
             “Iya kak... hiks... asyhaduallailahaillah wa asyhaduanna muhammadarrasulullah...,” kata Rana sambil memegang lengan kanan kakaknya.
            Reza perlahan mengucapkan kalimat yang sama seperti diucapkan oleh Rana. Bayangan putih itu kembali melakukan tugasnya, memegang ubun-ubun Reza sambil tersenyum. Kalimat terakhir yang diucapkan oleh Reza menjadi pertanda bahwa bayangan putih itu selesai menunaikan tugasnya, mengantarkan ruh Reza menuju tempat peristirahatan. Suara isak tangis ibu dan keempat adiknya menemani jenazah Reza yang kini terbaring di atas tempat tidur Rumah Sakit. Sang ibu pun akhirnya terjatuh pingsan, tak kuasa menahan kesedihan ditinggalkan seorang putra yang selama ini membuat beliau bangga dan tersenyum dalam rasa sakit yang diderita serta kehilangan sosok ayah.





SINOPSIS
            Cerita yang saya ambil adalah dari kisah salah seorang sahabat terdekat Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash –Shiddiq ra. Sosok yang menemani beliau dalam perjalanan menerima wahyu dari Allah, hijrah, peperangan, dakwah, dan lain sebagainya. Suatu ketika beliau berbincang dengan Rasulullah,
             “Wahai Rasulullah, aku akan mendermakan seluruh hartaku untuk Allah dan Rasul-Nya...,”
             “Wahai Abu Bakar... apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?” tanya Rasul.
             “Aku hanya meninggalkan Qur’an dan Sunnahmu...,” jawab Abu Bakar tegas.
            Itulah kisah inspirasi dari sosok Abu Bakar yang mendermakan seluruh hartanya di jalan Allah, seluruh peperangan ia biayai dari hartanya, ia merdekakan budak yang dianiaya oleh kaum kafir Quraisy hanya karena beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah sosok Abu Bakar yang lebih memikirkan Islam, kemenangannya, dakwah di jalan-Nya bersama Rasulullah SAW daripada dirinya serta keluarganya. Sosok yang setia menemani Rasulullah SAW kemanapun beliau pergi. Abu Bakar adalah muslim pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan demi imannya itu pula beliau lebih banyak berkorban demi Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar