Reza,
sebutlah namanya demikian. Anak pertama dari lima bersaudara, dan menjadi
satu-satunya anak laki-laki dalam keluarganya. Umurnya baru menginjak dua puluh
tahun, dan sudah cukup mapan dengan pekerjaannya sebagai mandor kebun teh milik
pamannya. Ia sengaja tidak memutuskan untuk melanjutkan sekolah atau kuliah
demi membiayai sekolah keempat adik perempuannya yang ternyata tidak sepintar
dirinya. Kehidupan kedua orang tuanya pun tidak terlalu baik, keduanya hanya
menjadi petani sayuran di kebun warisan almarhum kakek. Kendati demikian,
keduanya malah menjadi orang yang disegani masyarakat karena kebaikannya.
Terlebih seorang Reza, pemuda yang kini hidup tenang dengan pekerjaannya.
Tentang masa depannya berupa pernikahan pun tidak terlalu dipikirkan, bukan
karena ia tidak mampu untuk membiayai kehidupan rumah tangganya kelak. Namun
lebih dari itu, keempat adik perempuannya jauh lebih ia pikirkan daripada
kehidupannya. Permintaan dari kedua orang tuanya pun tidak terlalu dihiraukan,
dan lagi-lagi dengan alasan keempat adik perempuannya.
“Aku ingin Rana, Syifa, Tiara dan Nining...
jadi orang pinter! Itu sudah cukup...,” kalimat terakhir yang diucapkan kepada
kedua orang tuanya delapan tahun yang lalu. Ya, dua bulan yang lalu hingga
akhirnya kini ia terbaring lemah di rumah sakit. Sudah seminggu lamanya ia
tidak siuman, pun bergantian Rana, Syifa, Tiara dan Nining menemani sang kakak.
Keempatnya pun kini menjadi seorang mahasiswi perguruan tinggi negeri di
Bandung, dan lagi-lagi karena pengorbanan tiada henti dari sang kakak yang
menjadi mandor kebun teh. Keempatnya tidak lagi masuk rangking di bawah sepuluh
besar, Rana lulus dengan predikat sebagai peringkat ketiga terbaik, dua tahun
kemudian si kembar Syifa dan Tiara yang menjadi peringkat keempat dan kelima,
dan terakhir Nining yang baru saja masuk kuliah, lulus sebagai yang terbaik.
Rana
punya kelemahan di bidang matematika, namun Reza menyisihkan dua jam setiap
hari untuk menemaninya belajar. Si kembar sulit belajar bahasa inggris, dan
Reza pun meminta keduanya agar ikut les bersama teman-teman yang lainnya.
Nining memang pelupa, tapi Reza selalu menemani setiap keluhan yang diungkapkan
adik bungsunya ini. Dan seperti itulah kondisi keempat adiknya, yang kini
menjadi mahasiswi. Rana kuliah di jurusan pendidikan matematika, Syifa di
jurusan psikologi, Tiara di jurusan keperawatan dan Nining di jurusan farmasi.
“Kak Reza... bangun... kakak kan sudah janji
mau nemenin Rana wisuda bulan depan. Syifa dapet beasiswa ke Jerman lho kak...
terus... proposal PKM Wirausaha Tiara lolos PIMNAS. Terakhir... Nining baru
saja dikabarin dapet beasiswa. Kakak pasti bangga sama kita semua, sama halnya
dengan kami. Tapi... kakak harus cepet bangun,” kata Rana sambil memegang
lengan kanan kakaknya yang masih belum siuman.
Sebuah
kejadian di pagi hari seminggu yang lalu, membuat tubuh Reza kini terbaring di
rumah sakit. Secara tiba-tiba ia terjatuh di depan pintu sesaat setelah ia
memakai separu bootnya untuk pergi ke kebun teh milik pamannya. Dokter memvonisnya
terkena serangan jantung, padahal Reza selama ini sehat-sehat saja. Ternyata
Tuhan punya rencana lain dalam kehidupannya. Kehidupan yang membawanya pada
sebuah pesan, bahwa ‘Pengorbanan kita
tidak akan sia-sia apabila dikerjakan dengan sepenuh hati, berkorban bukan
berarti tidak memikirkan diri kita... namun lebih dari itu, pengorbanan itu
adalah indah pada waktunya.’
*****
“Kakak berangkat dulu ya... assalamu’alaikum!”
Reza segera menuju kebun teh milik
pamannya, seperti biasa dengan pekerjaan sebagai mandor. Keempat adik
perempuannya masik asyik menyantap sarapan yang disiapkan oleh ibu, dan sang
ayah sudah pergi ke kebun sayuran seperti biasanya. Untuk pagi ini saja ibu
tidak menemani beliau karena ada kegiatan dengan ibu-ibu PKK di kantor kepala
desa jam delapan pagi nanti.
Syifa tampak membuka-buka buku
pelajarannya, semalam ia bersama Tiara ditemani kakaknya belajar. Pun juga
dengan Rana dan Nining, keduanya tampak bahagia tadi malam karena sang kakak
membawakan martabak manis sambil menemani mereka belajar. Ya, kegiatan
sehari-hari Reza setiap malamnya adalah menemani keempat adik perempuannya
belajar.
“Bu... Rana duluan berangkatnya,” Rana segera
menyiapkan tempat makan untuk membawa nasi dan lauk sebagai makan siang, pun
juga dengan ketiga adik perempuannya. Mereka memang terbiasa membawa kotak atau
tempat makan, sama seperti kebiasaan Reza kakaknya selama sekolah. Rana mulai
mengeluarkan sepedanya, jarak sekolah yang cukup jauh membuatnya harus segera
berangkat lebih pagi. Ia menitipkan sepedanya di warung mang Tatang yang ada di
perempatan jalan sebelum akhirnya naik kendaraan umum. Sama halnya dengan si
kembar Syifa dan Tiara, dan Nining sendiri hanya berjalan kaki. Rana duduk di
bangku kelas 1 SMA, Syifa dan Tiara duduk di kelas 2 SMP dan terakhir Nining
masih kelas 6 SD.
Perlahan dan pasti, waktu demi waktu
yang dilalui Reza bersama keempat adik perempuannya semakin membuatnya
merasakan kenyamanan. Mereka menjadi semakin mudah memahami pelajaran, bukan
karena Reza sebagai pembimbing atau guru belajar selama di rumah. Selama
menemani keempat adiknya belajar, ia tidak terlalu mengajari banyak hal. Sudah
cukup banyak pula mata pelajaran yang ia lupa karena kesibukan dengan
pekerjaan. Meminum segelas teh atau secangkir kopi, ditambah dengan beberapa
buku bacaan yang ia pinjam di perpustakaan desa menjadi benda yang menemani
waktunya bersama keempat adik perempuannya selama belajar di waktu malam.
Reza sudah tiba di kebun teh milik
pamannya, dan seperti biasanya ia menuju gedung pengolahan daun teh yang
menjadi gedung terbesar di kawasan kompleks pengolahan teh milik pamannya.
“Reza...,”
Sebuah panggilan dari pamannya
sejenak menghentikan langkah kakinya, ia segera menuju sumber suara sambil
memberikan senyuman hangat untuk sang paman.
“Paman Teguh...,” kata Reza sambil mencium
lengan kanan pamannya.
“Reza... Reza... kamu memang mandor paling
rajin disini. Jam setengah delapan sudah mulai mengontrol pekerjaan karyawan
bagian kerja malam.”
Reza kembali tersenyum, “Supaya
mereka semangat kerjanya paman... kan waktu malam harusnya digunakan untuk
istirahat...?! terlebih juga... sudah cukup lama Reza tidak ngobrol bareng
mereka karena harus menemani keempat adik perempuan saya belajar di rumah.”
“Wah... wah... wah... kamu memang orang hebat
Za, lebih banyak memikirkan orang lain... itu adalah ciri-ciri orang hebat.
Dan... kamu adalah salah satu diantara jutaan orang hebat,”
“Paman terlalu berlebihan...,”
Pamannya menepuk bahu kanan Reza
sambil tersenyum, beliau pun segera berlalu dari hadapan Reza dan menuju kantor
tempat beliau merekap semua data yang ada di kebun teh.
Beberapa karyawan yang bertugas di kebun sudah selesai memetik daun teh yang
selanjutnya akan dibawa dengan truk, sebelum akhirnya disimpan di tempat
pengolahan. Waktu untuk memetik daun teh dibagi menjadi dua, yakni pagi hari
antara jam 5 sampai jam delapan pagi. Kemudian waktu sore hari, antara jam
empat sampai enam sore. Dan pastinya, Reza selalu berada diantara para pemetik
daun teh di dua waktu tersebut. Meskipun pekerjaan yang sebenarnya harus
dilakukan olehnya adalah mengawasi bagian pengolahan di gedung C-1 dan D-2.
Gedung C merupakan tempat penyimpanan awal daun teh yang sudah dipetik, dengan
2 gedung dimana C-1 adalah gedung penyimpanan daun teh di pagi hari dan C-2
adalah tempat penyimpanan daun teh yang dipetik di waktu sore hari. Sementara
gedung D adalah tempat pengolahan, dibagi menjadi 3 yakni D-1 sebagai tempat
pengolahan daun teh, D-2 yang menjadi tempat pengemasan, pengatur suhu dan
kualitas daun teh yang sudah diolah sebelum akhirnya masuk gedung D-3 yang
merupakan tempat penyimpanan teh yang siap dipasarkan.
Reza bekerja dengan baik, bahkan
sangat baik. Sebagai pengawas karyawan, ia terus memperhatikan setiap pekerjaan
dan juga kondisi karyawan yang bekerja di perkebunan teh milik pamannya. Suatu
hari ia pernah melihat seorang karyawan yang tampak lemas, dan memang orang
tersebut sedang sakit serta memaksakan diri untuk bekerja agar memperoleh upah
harian untuk biaya makan sehari-hari. Reza pun segera memulangkan orang
tersebut, dengan memberikan upah dan juga tambahan waktu istirahat serta uang untuk berobat tentunya
agar orang tersebut kembali bekerja dalam kondisi tubuh yang prima. Kalaulah
ada pekerja kebun atau karyawan gedung yang bekerja kurang baik karena ada
masalah dengan keluarga atau bahkan rekan kerja, ia mencoba untuk
mengkomunikasikan dan menyelesaikan masalah tersebut dengan jalan dialog. Tak
ayal sang paman pun bangga dan semakin semangat untuk menjaga kualitas hasil
kerja dan kondisi karyawan beliau yang akan menambah omset laba dari perkebunan
yang dimiliki beliau.
“Reza... Reza... kalau saja semua orang
seperti kamu kerjanya...,” kata pamannya berandai-andai.
*****
Sudah genap 28 tahun kini usia Reza,
sudah semakin mapan pula pekerjaannya di kebun teh atau lebih tepatnya
perkebunan yang dimiliki oleh pamannya. Sang ayah pun ternyata sudah menghadap
Sang Khalik di usianya yang ke 25 tahun, berikut sebuah pesan dengan isi yang
sama selama delapan kali ia bertambah usia.
‘Kapan
kamu nikah Za... umurmu sudah bertambah... punya pekerjaan yang mapan...
adik-adikmu juga sudah tidak perlu dibiayai sekolahnya karena dapat beasiswa...
kamu... sudah tidak punya alasan lagi buat menunda waktu menikah. Ayah serahkan
pilihan gadis manapun yang kamu mau untuk dinikahi... ayah... sama ibu... sudah
kangen mau menimang cucu... cucu dari seorang Reza...,’
Jawaban Reza tetaplah sama, ‘Aku pasti menikah kok... ayah... ibu... tapi
belum saatnya... suatu saat nanti, Insya Allah...’
Entah apa yang ada dipikiran dan
hati Reza setiap kali ia memperoleh pertanyaan seputar pernikahan, karena
baginya masih belum banyak yang diberikan bagi keluarganya. Kesedihan dan
penyesalan karena tidak bisa memenuhi permintaan sang ayah yang kini telah
tiada, menjadi bayangan yang cukup kuat menerawang setiap kali ia terbangun di
pagi hari. Dan entah apa yang kembali ia pikirkan, karena baginya keempat adik
perempuannya pun juga sang ibu kini harus ia rawat dengan penuh cinta serta
kasih sayang. Terlebih ibunya kini sudah tidak mampu lagi bekerja di kebun
sayuran karena sering sakit-sakitan semenjak sang ayah tiada. Kendati keempat
adik perempuannya sudah tidak perlu biaya sekolah, namun tetap untuk kebutuhan
sehari-hari dirinyalah yang menanggung semuanya.
Rana, Syifa dan Tiara kini sudah
kuliah tanpa biaya, kemudian Nining pun menyusul setahun yang lalu. Dan kini
keempat adiknya menjadi bukti bahwa kesungguhan serta kerja keras yang ia
lakukan selama ini membuahkan hasil. Rana sudah bersiap diri untuk menghadapi
sidang sarjana, dan sebentar lagi ia akan menjadi seorang guru sesuai dengan
cita-citanya. Syifa semakin rajin mengikuti berbagai lomba dan kejuaraan antar
mahasiswa, dan gelar juara demi juara ia raih. Tiara pun tak kalah dengan
program wirausaha yang ia kerjakan bersama teman-teman sefakultasnya. Dan
praktis hanya Nining saja yang masih dibiayai oleh Reza, karena ketiga adik
perempuannya sudah mampu mandiri dalam membiayai kuliah serta biaya hidup
meskipun terkadang Reza masih memberikan uang tambahan yang bisa digunakan
mereka untuk hal yang tidak terduga.
Reza yang sekarang tetaplah Reza
yang dahulu, tetap sama rajinnya, ulet, tekun, perhatian dan menjadi sosok yang
dibanggakan. Namun lagi-lagi ia masih merasa banyak sekali hal yang belum ia
kerjakan, masih belum cukup baginya untuk membuat sang ibu dan keempat adiknya
bangga. Ia masih tetap bekerja lebih lama, teliti lebih mendalam serta
perhatiannya kepada seluruh karyawan yang ada dibawah komandonya. Kini ia pun
menjadi manager bagian pemasaran, dan tentu dengan gaji yang jauh lebih besar
daripada ketika dirinya masih menjadi seorang mandor. Ia hanya mengambil
sedikit saja bagian untuknya, sisanya ia berikan untuk memberikan biaya kuliah
serta hidup keempat adiknya pun juga diberikan kepada sang ibu untuk makan
serta berobat ke dokter ketika kondisi beliau semakin parah. Tak lupa ia
sisihkan untuk menolong karyawan yang mengalami kesulitan, apakah karena
hutang, kekurangan biaya untuk berobat dan lain sebagainya.
Dan seperti itulah Reza, tidak
banyak berubah kendati kekayaannya semakin bertambah seiring kenaikan pangkat
dan gajinya. Namun ia tetaplah seperti Reza yang biasanya. Sosok rendah hati,
baik hati serta memperhatikan kondisi sekelilingnya dan ringan tangan untuk
membentu menyelesaikan kesulitan yang dialami oleh orang lain. Ia dermakan
seluruh kehidupannya untuk memberikan manfaat bagi orang lain, karena baginya
orang lain adalah pihak yang selama ini membuatnya merasakan kebahagiaan dalam
kebersamaan.
“Reza... makan dulu,” kata ibunya.
“Iya bu... sebentar...,”
Reza segera menuju ruang makan untuk
menyantap menu makan malam yang sudah disiapkan oleh ibunya. Waktu kerjanya
agak sedikit berkurang karena ia harus menjaga ibunya yang kini tinggal
sendirian di rumah, dan hal tersebut sudah dimaklumi oleh pamannya. Terlebih
beliau sendiri yang meminta agar Reza tidak terlalu banyak melakukan pekerjaan
yang bukan menjadi pekerjaannya meskipun ia menyukai pekerjaan tersebut.
“Bu... Reza istirahat dulu ya... pagi-pagi
sekali Reza harus ada di kantor karena mau ketemu calon rekan kerja yang mau
menanamkan modal untuk pembuatan gedung pengolahan minuman kemasan.”
“Wah... bagus itu Za... berarti... kualitas
teh yang ada di perkebunan pamanmu memang sangat bagus.” Kata ibunya menimpali.
“Do’akan saja supaya besok ada
kesepakatan...,”
Reza tersenyum manis untuk ibunya,
ia pun segera menuju kamar dan terlelap. Bayangan putih mulai muncul menemani
tidurnya malam ini, seakan hendak menyampaikan sesuatu padanya yang sudah cukup
lelah bekerja dengan baik pada hari ini.
*****
Reza sudah bersiap untuk kembali bekerja
setengah hari karena seperti biasanya ia harus menjaga sang ibu yang masih
sakit. Bukan sepatu boot lagi yang digunakannya, melainkan sepatu kulit warna
hitam. Ia pun tidak lagi berjalan kaki untuk menuju areal perkebunan milik
pamannya, sebuah sepeda motor kini menemani perjalanannya menuju kesana.
“Za... nanti jangan lupa ngambil obat yang
dititipin dokter di Puskesmas ya, ibu lupa ngambil pas kemarin.”
“Iya bu... Insya Allah,”
Setelah mengucapkan salam Reza pun
segera beranjak untuk memanaskan mesin sepeda motornya. Tiba-tiba ia merasakan
sesak di ulu hati, ia pun terengah sambil menahan rasa sakit yang seakan
menusuk jantungnya.
“Masya Allah... ada apa ini ya Rabb,”
Reza pun tersungkur sambil memegang
dada kirinya, menitikkan air mata sambil beristigfar. Ibunya yang melihat
kondisi sang putra tercinta tergeletak di atas tanah segera berteriak meminta
tolong warga sekitar yang memang sudah bersiap menuju kebun atau tempat
bekerja.
“Ya Allah... Za... kenapa kamu nak?!” kata
ibunya sambil menangis.
Reza masih menahan rasa sakit yang
dialami olehnya pagi ini, rasa sakit yang entah membuat kedua bola matanya
mulai menatap sesosok bayangan putih yang tersenyum untuknya.
“Ibu... cepat kita bawa ke Puskesmas!” kata
salah seorang warga.
Suasana ramai menyelimuti halaman
rumah Reza, ditemani tangis sang ibu yang tak ingin kembali kehilangan serta
beberapa warga laki-laki yang membawa tubuh lemah Reza menuju Puskesmas. Pagi
ini pun menjadi pertanda awal baginya, yang entah Tuhan sedang merencanakan hal
apa untuknya.
*****
Rana terus menangis disamping
kakaknya yang masih belum tersadar, ia terus menggenggam erat tangan kanan
kakaknya yang entah akan tersadar kapan.
“Kak Rana...,”
Syifa, Tiara dan Nining mulai masuk
kedalam ruangan, tak lupa ibu yang terus memandangi wajah sang putra yang
tercinta.
“Reza... kamu kenapa nak? Ibu masih belum siap
kehilangan kamu...,”
“Bu, sudahlah... Insya Allah kak Reza pasti
sembuh,” kata Syifa yang mencoba menghibur ibu.
“Tapi Syifa... penyakit yang diderita kakakmu
itu parah... Tiara pasti cukup ngerti dengan penyakit yang dialami kakakmu.”
Papar ibu.
Tiara hanya mampu terdiam, ia
kebingungan untuk membalas ucapan yang keluar dari mulut ibunya. Nining sendiri
mulai mengusap kening Reza, dan selama ini dirinyalah yang selalu menemani ibu
di rumah sakit. Bahkan laporan dokter mengenai penyakit yang dialami oleh
kakaknya, ia dan ibulah yang pertama kali mengetahuinya.
Jari-jari Reza mulai bergerak, ia
pun mulai membuka kedua matanya secara perlahan. Namun masih tak kuasanya
baginya membuka kedua mulutnya yang seakan terkunci.
“Bu... ibu... kak Reza udah sadar,” kata
Nining.
Rana, Syifa, Tiara dan ibu akhirnya
tersenyum manis, mereka yang berada di ruangan ini. Mereka merasakan
kebahagiaan yang luar biasa atas hal yang Tuhan tunjukkan kepada mereka. Hanya
saja bayangan putih itu kembali menghampiri Reza yang terdiam sambil mencoba
tersenyum untuk ibu dan keempat adik perempuannya.
“Kak... alhamdulillah kakak sudah siuman,”
kata Rana.
“Kakak kenapa... ini dimana?” Reza mulai
bertanya sambil mengamati selang infus yang berkelit berikut peralatan medis
yang ada di sekelilingnya.
“Kamu di rumah sakit nak...,” kata ibunya.
“Kenapa... kenapa bu... kenapa Syifa, Tiara,
Nining dan Rana juga ada disini? Bukannya kalian itu seharusnya ada di
kampus...?!”
Ibu dan keempat adiknya terdiam,
mereka tidak berani menyampaikan sesuatu terlebih penyakit yang kini dialami
oleh Reza. Seisi ruangan ini membisu, kecuali sosok bayangan putih yang hendak
menyampaikan sesuatu kepada Reza sambil tersenyum manis untuknya.
“Kak... Rana minggu depan mau wisuda... Rana
harap, kakak sembuh dan datang pas wisuda Rana. Terus... Syifa dapet beasiswa
ke Jerman, Tiara... proposal PKMnya lolos Pimnas. Dan terakhir, Nining... baru
saja dapet beasiswa untuk biaya kuliah sama bulanan sampai lulus.
Alhamdulillah... didikan, arahan dan juga perhatian yang kakak berikan kepada
kami membuahkan hasil yang luar biasa. Sekarang... kakak tidak usah pusing
memikirkan biaya kuliah kami, Insya Allah... kita bisa hidup mandiri.” Kata
Rana.
“Sekarang... yang penting kakak cepet sembuh
aja,” imbuh Syifa kemudian.
Reza mulai tersenyum, ia pun mulai
kembali berkata.
“Rana, Tiara, Syifa, Nining... kakak bangga
dengan kalian, tapi... tugas kakak masih belum selesai untuk terus menjaga
kalian, ini adalah tugas kakak seumur hidup dan kakak akan tetap pegang janji
ini meskipun kalian sudah jauh lebih baik, sudah bisa membiayai kuliah sendiri,
dapet beasiswa dan lain sebagainya... tapi kakak tetaplah kakak kalian, kakak
akan terus memiliki kewajiban untuk menjaga kalian. Bahkan sampai kalian
berumah tangga pun, tanggung jawab kakak terhadap kalian tidak akan berakhir
meskipun kalian punya suami yang menjaga kalian kelak. Kakak... hanya ingin
hidup kakak jauh lebih berarti untuk semuanya, tidak hanya untuk kalian, untuk
ibu... tapi untuk semuanya. Kakak memilih kerja di perkebunan milik paman pun
untuk kalian dan juga semuanya, kakak... hanya ingin hidup kakak jauh lebih
berarti meskipun kakak bukanlah orang yang ahli di bidang agama. Tidak seperti
Rana, Tiara, Syifa dan Nining... kakak bangga dengan meningkatnya pemahaman
kalian dalam bidang agama, disamping ilmu pengetahuan yang harus kalian
pelajari.”
“Kakak nggak boleh bilang gitu... kami tetap
menganggap kakaklah orang paling hebat diantara kami,” kata Syifa.
“Kak... dulu kakak pernah bilang bahwasanya
Allah akan mengangkat orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat... itu
adalah kalimat yang Allah terangkan dalam Al-Qur’an kak... dan kakak juga
adalah orang yang punya pemahaman mengenai Islam yang baik juga. Islam
mengajarkan kita untuk melaksanakan kewajiban dengan sepenuh hati, penuh
keikhlasan, dan kakak... sudah melakukannya.” Timpal Rana.
Tiara dan Nining mengangguk sambil
tersenyum, begitu pula dengan ibu.
“Kakak tidak pernah menyangka akan seperti
ini... tapi, ya sudahlah...,”
Bayangan putih itu mulai meghampiri
Reza dan memegang ubun-ubunnya, dan gerakannya terhenti sesaat. Bayangan
tersebut tersenyum sesaat, melihat keempat adik perempuan Reza dan juga ibunya.
“Sepertinya... kakak harus pergi...,”
“Reza... kamu nggak boleh ngomong kaya gitu,”
kata ibunya.
“Rana, Syifa, Tiara, Nining... tolong bimbing
kakak... ibu... maafin Reza ya, sepertinya... Reza mau bertemu dengan ayah
sebentar lagi,”
“Reza... kamu ngomong apa sih?”
Keempat adik perempuannya menangis,
mereka tidak siap apabila harus kehilangan sosok kakak yang selama ini menjadi
pelita dalam kehidupan mereka.
“Rana...,” kata Reza.
“Iya kak... hiks... asyhaduallailahaillah wa asyhaduanna muhammadarrasulullah...,” kata
Rana sambil memegang lengan kanan kakaknya.
Reza perlahan mengucapkan kalimat yang
sama seperti diucapkan oleh Rana. Bayangan putih itu kembali melakukan
tugasnya, memegang ubun-ubun Reza sambil tersenyum. Kalimat terakhir yang
diucapkan oleh Reza menjadi pertanda bahwa bayangan putih itu selesai
menunaikan tugasnya, mengantarkan ruh Reza menuju tempat peristirahatan. Suara
isak tangis ibu dan keempat adiknya menemani jenazah Reza yang kini terbaring
di atas tempat tidur Rumah Sakit. Sang ibu pun akhirnya terjatuh pingsan, tak
kuasa menahan kesedihan ditinggalkan seorang putra yang selama ini membuat
beliau bangga dan tersenyum dalam rasa sakit yang diderita serta kehilangan
sosok ayah.
SINOPSIS
Cerita yang saya ambil adalah dari
kisah salah seorang sahabat terdekat Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash –Shiddiq ra.
Sosok yang menemani beliau dalam perjalanan menerima wahyu dari Allah, hijrah,
peperangan, dakwah, dan lain sebagainya. Suatu ketika beliau berbincang dengan
Rasulullah,
“Wahai Rasulullah, aku akan mendermakan
seluruh hartaku untuk Allah dan Rasul-Nya...,”
“Wahai Abu Bakar... apa yang engkau tinggalkan
untuk keluargamu?” tanya Rasul.
“Aku hanya meninggalkan Qur’an dan
Sunnahmu...,” jawab Abu Bakar tegas.
Itulah kisah inspirasi dari sosok
Abu Bakar yang mendermakan seluruh hartanya di jalan Allah, seluruh peperangan
ia biayai dari hartanya, ia merdekakan budak yang dianiaya oleh kaum kafir
Quraisy hanya karena beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah sosok Abu Bakar
yang lebih memikirkan Islam, kemenangannya, dakwah di jalan-Nya bersama
Rasulullah SAW daripada dirinya serta keluarganya. Sosok yang setia menemani
Rasulullah SAW kemanapun beliau pergi. Abu Bakar adalah muslim pertama yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan demi imannya itu pula beliau lebih
banyak berkorban demi Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar