Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Kalian sungguh-sungguh akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian
sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya
mereka masuk ke lubang dhabb[1], niscaya kalian akan masuk pula ke
dalamnya. Kami tanyakan: “Wahai Rasulullah, apakah mereka yang dimaksud
itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau berkata: “Siapa lagi kalau bukan
mereka?”
Hadits yang mulia di atas diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam
Shahih-nya, kitab Ahaditsul Anbiya, bab Ma Dzukira ‘an Bani Israil (no.
3456) dan Kitab Al-I‘tisham bil Kitab was Sunnah, bab Qaulin Nabi
“Latattabi‘unna sanana man kana qablakum” (no. 7320) dan Al-Imam Muslim
dalam Shahih-nya, Kitab Al-‘Ilmi (no. 2669) dan diberi judul bab oleh
Al-Imam An-Nawawi dalam kitab syarahnya terhadap Shahih Muslim, bab
Ittiba‘u Sananil Yahudi wan Nashara.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda yang senada
dengan hadits di atas dalam hadits yang dibawakan oleh Abu Hurairah
radhiallahu 'anhu:
“Tidak akan tegak hari kiamat sampai umatku mengambil jalan hidup umat
sebelumnya sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Maka
ditanyakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, seperti Persia dan
Romawi?”[2] Beliau menjawab: “Siapa lagi dari manusia kalau bukan
mereka?” (HR. Al-Bukhari no. 7319)
Pengabaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam dua hadits yang
mulia di atas merupakan tanda dan bukti tentang kebenaran nubuwwah
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta merupakan mukjizat beliau
yang dzahir karena telah tampak dan telah terjadi apa yang beliau
beritakan tersebut. (Syarah Shahih Muslim, 16/219, Kitabut Tauhid, hal.
26, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab)
Terlebih khusus lagi bila kita menyaksikan keadaan kaum muslimin di
zaman kita ini, kebiasaan menyerupai dan meniru orang Barat yang
notabene mereka itu adalah orang-orang kafir dari kalangan Yahudi dan
Nashrani, merupakan fenomena yang biasa namun menyakitkan dan
menyedihkan. Sehingga dengan budaya penjajah ini, kalangan muda maupun
orang-orang tua dari kaum muslimin seakan merasa minder dan rendah
derajatnya bila tidak sama dengan gaya hidup, model dan budaya
orang-orang kafir (peradaban kuffar). Sebaliknya, mereka merasa bangga
dan sangat percaya diri bila mana mereka dapat “tampil sama” atau paling
tidak sekedar mirip dengan orang-orang kafir.
Budaya “yang penting dari Barat” dan “asal sama dengan Barat” ini telah
mencengkeram kehidupan kaum muslimin dari kalangan orang-orang
metropolitan, merambah sampai ke pedesaan dan pedusunan yang terpencil
bagaikan sebuah revolusi peradaban yang telah disiapkan oleh orang-orang
kafir sehingga semua yang datang dari Barat mereka anggap baik dan
diterima dengan penuh ketundukan. Ibaratnya mereka berkata sami’na wa
atha’na (kami mendengar dan kami taat), baik itu cara berpakaian, cara
bergaul, cara makan, cara berbicara, gaya hidup dan sebagainya.
Budaya-budaya impor yang diobral orang-orang Barat lewat media massa
baik di televisi yang merupakan da’i yang paling berhasil di sisi mereka
ataupun lewat ekspos kehidupan artis-artis mereka yang laku keras
diterima oleh kaum muslimin yang maghrur (tertipu) dan buta mata hatinya
dari semua lapisan. Jangankan mereka yang dikatakan bodoh terhadap
agamanya, orang yang dianggap tahu agama pun ikut jadi korban.
Berkata Sufyan Ibnu ‘Uyainah rahimahullah dan yang lainnya dari kalangan salaf:
“Sungguh orang yang rusak dari kalangan ulama kita, karena
penyerupaannya dengan Yahudi. Dan orang yang rusak dari kalangan ahli
ibadah kita, karena penyerupaannya dengan Nashrani.” (Iqtidha’
Ash-Shirathil Mustaqim, hal. 23-23)
Gelombang badai yang besar ini menghantam segala apa yang ada di
hadapannya dan membawa korban yang besar. Wallahu Al-Musta‘an wa
ilallahi Al-Musytaka (Hanya kepada Allah kita meminta tolong dan
mengadu).
Sungguh benar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menyatakan
umat beliau akan meniru dan menyerupai umat terdahulu, sejengkal demi
sejengkal, sehasta demi sehasta. Karena saking ingin sama dan serupanya
dengan peradaban kafirin, bila diibaratkan umat terdahulu masuk ke
lubang dhabb yang sedemikian sempit maka umat ini pun akan masuk pula ke
dalamnya. Nas’alullah As-Salamah wal ‘Afiyah (hanya kepada Allah kita
memohon keselamatan).
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menyatakan:
“Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhususkan
penyebutan lubang dhabb karena lubangnya sangat sempit. Namun bersamaan
dengan itu umat beliau akan mengambil jejak umat terdahulu dan mengikuti
jalan mereka, walaupun seandainya mereka masuk ke lubang yang sesempit
itu niscaya umat ini akan tetap mengikutinya.” (Fathul Bari, 6/602)
Yang dimaksud dengan sejengkal, sehasta dan penyebutan lubang dhabb
dalam hadits ini adalah untuk menggambarkan betapa semangatnya umat ini
mencocoki umat terdahulu dalam penyelisihan dan maksiat, mencontoh
mereka dalam segala sesuatu yang dilarang dan dicela oleh syariat.
(Syarah Shahih Muslim, 16/219, Fathul Bari, 13/313)
Ibnu Baththal rahimahullah berkata:
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan bahwa umat beliau
akan mengikuti perkara-perkara baru (yang diada-adakan), bid’ah dan hawa
nafsu sebagaimana terjadi pada umat-umat sebelum mereka. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan hal ini dalam hadits
yang banyak bahwasanya di akhir zaman akan ada kejelekan. Dan hari
kiamat tidak akan datang kecuali pada sejelek-sejelek manusia dan agama
ini hanya tetap tegak di sisi orang-orang yang khusus.”[3] (Fathul Bari,
13/314)
Dalam hadits Abu Said Al-Khudri radhiallahu 'anhu, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut Yahudi dan Nashrani, sedangkan
dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam menyebut Persia dan Romawi. Karena memang Romawi identik
dengan Nashrani, sementara di kalangan bangsa Persia ada orang Yahudi.
Namun dimungkinkan pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memberikan jawaban sesuai dengan tempatnya, yakni dalam perkara yang
berkaitan dengan hukum di antara manusia dan politik kemasyarakatan,
umat ini akan mengikuti Persia dan Romawi. Sedangkan dalam perkara yang
berkaitan dengan agama yang pokok maupun yang cabangnya, umat ini akan
mencontoh Yahudi dan Nasrani. (Lihat Fathul Bari, 13/314)
Tercelanya Tasyabbuh Dan Keharusan Menyelisihi Kuffar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam nyatakan dalam sabda beliau:
“Kalian sungguh-sungguh akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian.”
Tidaklah dimaksudkan beliau memberikan pengesahan dan penetapan tentang
bolehnya hal tersebut, namun justru yang beliau inginkan adalah memberi
tahdzir (peringatan) dari mengikuti orang kafir dalam perkara kesesatan
dan penyimpangan. (Al-Qaulul Mufid, 1/202, I‘anatul Mustafid, 1/224)
Sehingga ketika para shahabat radhiallahu 'anhum yang baru masuk Islam
ketika Fathu Makkah ingin ber-tabarruk (mencari barakah) dengan pohon,
beliau mengingkari dengan keras dan menyatakan bahwa ucapan mereka
menyerupai dan persis dengan ucapan Bani Israil yang minta sesembahan
(ilaah) kepada Nabi Musa 'alaihissalam. Setelah itu beliau mengabarkan
bahwa umat beliau akan mengikuti jalannya umat terdahulu.
Abu Waqid Al-Laitsi radhiallahu 'anhu berkata:
Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menuju
Hunain sementara kami ketika itu baru saja meninggalkan kekufuran
-mereka baru berislam ketika Fathu Makkah-. Abu Waqid berkata setelah
itu: Lalu kami melewati sebuah pohon, kami pun berkata: “Wahai
Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath[4] sebagaimana mereka
(orang-orang kafir musyrikin) memiliki Dzatu Anwath yang berupa sebuah
pohon, tempat mereka beri’tikaf (berdiam) di sekitarnya dan
menggantungkan senjata-senjata mereka pada pohon tersebut.” Mendengar
permintaan kami seperti itu, bersabdalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam:
“Allah Maha Besar![5] Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
sungguh kalian telah berucap sebagaimana ucapan Bani Israil kepada Musa:
(“Buatkanlah untuk kami ilaah sebagaimana mereka memiliki ilaah-ilaah.
Musa pun berkata: “Sesungguhnya kalian ini adalah orang-orang yang
bodoh.”)[6] Sungguh-sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang
sebelum kalian.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya, 5/218, At-Tirmidzi, 6/343,
Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, no. 76, berkata Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullah dalam Zhilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah: “Isnadnya
hasan.”)
Dalam kisah di atas jelas sekali bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam menyatakan demikian dalam rangka peringatan dan pengingkaran
beliau bila umat beliau mengikuti umat terdahulu. Asy-Syaikh Sulaiman
bin Abdillah rahimahullah berkata: “Di sini ada larangan dari perbuatan
tasyabbuh dengan orang-orang jahiliyyah dari kalangan ahlul kitab dan
musyrikin.” (Taisir Al-’Azizil Hamid, hal. 143)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“(Hadits) ini merupakan pengabaran tentang akan terjadinya perkara
tersebut dan celaan bagi orang yang melakukannya. Hal ini seperti
pengabaran beliau tentang apa yang akan dilakukan manusia menjelang
datangnya hari kiamat sebagai tanda-tanda kiamat dan perbuatan-perbuatan
mereka nantinya berupa perkara-perkara yang diharamkan. Dengan demikian
diketahui, penyerupaan (tasyabbuh) umat ini dengan Yahudi dan Nashrani
serta Persia dan Romawi termasuk perkara yang dicela oleh Allah dan
Rasul-Nya.” (Iqtidha’ Ash-Shirathil Mustaqim, hal. 77)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda sebagai peringatan dari menyerupai suatu kaum:
“Siapa yang tasyabbuh (menyerupai) suatu kaum maka ia termasuk dari kaum
tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 3012, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullah dalam Hijabul Mar’ah hal. 104 dan Al-Irwa no. 1269)
Al-Qari rahimahullah berkata:
“Siapa yang menyerupai orang-orang kafir semisal dalam berpakaian dan
selainnya. Atau ia menyerupai orang-orang fasik, atau orang-orang fajir
(jahat) atau dengan pengikut tashawwuf atau menyerupai orang-orang yang
berbuat kebaikan (maka ia termasuk mereka) yakni dalam dosa ataupun
dalam kebaikan.” (‘Aunul Ma’bud, 11/51)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata:
“Apa yang menimpa sebagian kaum muslimin berupa perkara-perkara yang
jelek lagi mengerikan, mayoritas terjadi dikarenakan tasyabbuh dengan
kuffar. Semisal kesyirikan yang terjadi di Makkah, awalnya disebabkan
karena tasyabbuh dengan kuffar.” (I’anatul Mustafid, 1/220)
Merupakan sifat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengubah
kemungkaran apabila beliau melihatnya dan menyerukan kepada yang ma‘ruf
dan menganjurkannya apabila beliau mengetahuinya. Sehingga ketika ada
perkara mungkar baik itu maksiat, kesyirikan ataupun kekufuran, beliau
pasti mengingkarinya. Dan di antara pengingkaran itu adalah, beliau
paling tidak suka bila ada satu perkara yang dilakukan oleh kaum
muslimin menyepakati atau menyerupai orang-orang kafir. Hal tersebut
salah satunya bisa kita lihat dalam peristiwa disyariatkannya adzan.
Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma berkata:
“Kaum muslimin ketika telah menetap di Madinah, mereka berkumpul dan
memperkirakan datangnya waktu shalat dan ketika itu belum ada seruan
untuk shalat (belum ada adzan). Maka suatu hari mereka membicarakan hal
tersebut. Sebagian mereka berkata: “Ambillah lonceng (dibunyikan sebagai
tanda seruan untuk shalat) seperti loncengnya Nashrani.” Yang lain
berkata: “Gunakan terompet seperti terompetnya Yahudi.” ‘Umar berkata:
“Apakah tidak sebaiknya kalian mengutus seseorang untuk memanggil
manusia agar berkumpul untuk shalat?” Rasulullah bersabda: “Wahai Bilal,
bangkitlah, serukan adzan untuk shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 604 dan
Muslim no. 277)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyukai terompet Yahudi yang
ditiup dengan mulut dan lonceng Nashrani yang dipukul dengan tangan,
karena meniup terompet dan membunyikan lonceng itu merupakan perbuatan
orang Yahudi dan Nashrani. Hal ini menunjukkan larangan beliau dari
seluruh perkara yang merupakan kebiasaan Yahudi dan Nashrani. (Iqtidha
Ash-Shirathil Mustaqim, hal. 189)
Faidah
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata:
“Adapun dalam perkara-perkara yang mubah maka tidak bermasalah
mengambilnya (dari selain muslimin). Sehingga kita boleh mengambil
pengetahuan-pengetahuan yang bermanfaat dari musyrikin. Demikian juga
barang-barang dagangan dan persenjataan. Perkara-perkara ini sebetulnya
asalnya untuk kita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah yang Dia
keluarkan untuk hamba-hamba-Nya dan (siapakah yang mengharamkan) yang
baik-baik dari rizki? Katakanlah: Perhiasan dan yang baik-baik dari
rizki ini diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan
dunia dan khusus bagi mereka nantinya pada hari kiamat.” (Al-A’raf: 32)
Perkara-perkara yang bermanfaat asalnya diperuntukkan bagi kaum
muslimin. Akan tetapi tatkala kaum muslimin bermalas-malasan,
musuh-musuh mereka pun mengambil bagiannya. Dengan begitu tidak ada
penghalang bagi kaum muslimin untuk mengambil perkara-perkara yang
bermanfaat tersebut, dan ini bukanlah termasuk tasyabbuh. Karena yang
dinamakan tasyabbuh hanyalah mengikuti mereka dalam perkara-perkara yang
tidak ada faidahnya dan tidak ada nilainya, atau mengikuti mereka dalam
perkara-perkara yang termasuk dalam ibadah, aqidah, dan agama.”
(I‘anatul Mustafid, 1/224)
Kekokohan Islam
Islam bagaikan mercusuar yang menerangi dan memberi petunjuk kepada
kapal-kapal di tengah samudera di malam yang kelam dan pekat sehingga
kapal-kapal tersebut bisa terarahkan dan terbimbing di dalam
pelayarannya. Kapal yang mau mengambil penerangan dan petunjuknya, akan
selamat berlayar di tengah lautan. Namun bagi yang enggan akan
memperoleh hasil kebinasaannya.
Walaupun dengan keberadaannya di tengah samudera, mercusuar tidak luput
dari hantaman badai dan gelombang samudera yang begitu keras dan
dasyhat, namun ia tetap kokoh berdiri untuk memberikan cahayanya untuk
kemanfaatan. Demikian juga gambaran Islam, walaupun ia terus dihantam
badai dan gelombang yang dahsyat dari musuh-musuhnya dengan segala makar
yang ditujukan untuk meruntuhkannya, namun ia tetap kokoh berdiri
dengan sinarnya yang tetap menerangi. Hal ini tentunya karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala lah yang menyempurnakan cahaya Islam tersebut.
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka namun
Allah terus menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir itu
benci (tidak menyukainya).” (Ash-Shaff: 8)
Sungguh, siapa yang mengambil petunjuk Islam maka ia akan selamat.
Sebaliknya, siapa yang meninggalkan dan tidak memperhatikan Islam, maka
ia akan celaka dan binasa. Dan tentunya mengambil petunjuk Islam itu
haruslah secara keseluruhan, tidak hanya mengambil sebagian lalu
sebagian yang lainnya ditinggalkan. Yang demikian ini juga tidak akan
menyelamatkan, oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan:
“Masukkanlah kalian ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan).” (Al-Baqarah: 202)
Islam pun tetap akan berdiri kokoh selamanya hingga akhir zaman, tidak
akan runtuh dengan perjalanan waktu, yang demikian ini karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala yang memberikan jaminan terhadap penjagaannya yang
sejalan dengan penjagaan Allah terhadap kitab suci agama ini (Al Qur’an)
sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz Dzikra dan Kami pula yang akan menjaganya” (Al-Hijr: 9)
Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan jaminan terhadapnya
dengan mendatangkan dan memilih penjaga-penjaga agama-Nya dari kalangan
hamba-hamba-Nya yang shalihin yang selalu membela agama-Nya, sebagaimana
Dia Yang Maha Suci berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, siapa yang murtad dari agamanya di
antara kalian, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia
cintai dan mereka pun mencintai-Nya. Mereka itu merendahkan diri dan
lemah lembut terhadap kaum mukminin dan bersikap keras terhadap
orang-orang kafir. Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut celaan
si pencela.” (Al-Maidah: 54)
Demikian pula Rasul-Nya yang mulia Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan dalam sabdanya:
“Akan terus menerus ada sekelompok dari umatku yang mendzahirkan al haq,
tidak bermudharat bagi mereka orang yang menyelisihi mereka hingga
datang perkara Allah tabaraka wa ta’ala sementara mereka dalam keadaan
demikian.” (HR. Al-Bukhari no.7459 dan Muslim no. 1920)
Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullah berkata:
“Thaifah (kelompok) yang ditolong ini dikatakan oleh Al-Imam Al-Bukhari
bahwasanya mereka adalah ahlul ilmi. Sementara Al-Imam Ahmad menyatakan:
“Bila mereka itu bukan ahlul hadits maka aku tidak tahu lagi siapa yang
dimaksud dengan mereka.” Hadits ini walaupun tidak secara lafadz
menunjukkan terhadap perkataan Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Ahmad,
namun sesungguhnya Ahlul Hadits-lah yang seharusnya dimasukkan paling
awal dalam thaifah ini karena kekokohan mereka di atas Al-Haq,
pengabdian mereka dan pembelaan mereka terhadap Islam. Semoga Allah
membalas mereka dengan kebaikan yang banyak atas apa yang mereka
sumbangkan terhadap Islam dan muslimin.” (Al-Jami‘us Shahih, 1/11)
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata:
“Yang diinginkan Al-Imam Ahmad (dengan thaifah ini) adalah Ahlus Sunnah
wal Jamaah dan orang yang meyakini madzhab ahlul hadits.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Dimungkinkan kelompok ini tersebar di berbagai kalangan kaum muslimin.
Sehingga ada di antara mereka orang-orang pemberani yang berperang (di
jalan Allah), ada fuqaha (ahli fiqih/ orang yang faqih), ada muhadditsun
(ahlul hadits), ada orang-orang yang zuhud, ada orang-orang yang
memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar dan dari
kalangan orang-orang yang berbuat kebaikan yang lainnya. Dan tidak
mesti mereka berkumpul (di suatu tempat/ negeri), bahkan yang terjadi,
mereka terkadang terpencar dan tersebar di berbagai penjuru bumi. Hadits
ini merupakan mukjizat yang jelas (dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam) karena thaifah yang bersifat seperti ini terus-menerus ada,
alhamdulillah, sejak zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai
sekarang. Dan terus menerus mereka ada sampai datang perkara Allah yang
disebutkan dalam hadits.” (Syarah Shahih Muslim, 13/67).
Mudah-mudahan Allah menjadikan kita dari kalangan mereka. Taqabbal da’wana ya Mujibas sailin. Wallahu ta‘ala a’lam bish-shawab.
Catatan kaki:
[1] Dhabb adalah hewan melata yang hidup di padang pasir, serupa dengan biawak.
[2] Persia dengan raja mereka Kisra, dan Romawi dengan raja mereka
Qaishar, merupakan dua bangsa yang terkenal (adi daya) di waktu itu. Dua
negeri ini merupakan kerajaan terbesar di muka bumi, paling banyak
penduduknya dan paling luas wilayahnya. (Fathul Bari, 13/313)
[3] Mereka inilah yang dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
“Akan terus menerus ada sekelompok dari umatku yang mendzahirkan al-haq,
tidak bermudharat bagi mereka orang yang menyelisihi mereka hingga
datang perkara Allah tabaraka wa ta‘ala, sementara mereka dalam keadaan
demikian.” (HR. Al-Bukhari no.7459 dan Muslim no.1920)-pen.
[4] Mereka ingin menggantungkan senjata-senjata mereka pada pohon
tersebut karena mengharapkan barakah dari pohon tersebut. (Al-Qaulul
Mufid, 1/201)
[5] Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir karena menganggap
besar permintaan tersebut dan merasa heran, bukan bertakbir karena
senang. Beliau heran, bagaimana bisa mereka mengatakan ucapan seperti
itu dalam keadaan mereka beriman bahwasanya tiada sesembahan yang berhak
disembah kecuali Allah saja. (Al-Qaulul Mufid, 1/201)
[6] Surat Al-A‘raf ayat 138
Sumber: http://asysyariah.com
Senin, 28 Mei 2012
Alam Semesta di Bawah Kekuasaan Allah
Aisyah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, pernahkah engkau
mengalami hari yang lebih pedih dari hari Perang Uhud?” Rasulullah
menjawab, “Aku sering mendapatkan (gangguan) dari kaummu. Yang paling
menyakitkan adalah peristiwa Hari Aqabah, saat aku mengajak Ibnu Abdi
Yalil bin Abdu Kulal masuk Islam namun ia tidak menyambut ajakan yang
kuinginkan. Aku pun beranjak pergi dengan hati yang sedih. Tidaklah aku
tersadar melainkan setelah tiba di Qarnu Tsa’alib[1]. Aku tengadahkan
kepalaku ke langit, tiba-tiba tampak segumpal awan menaungiku. Aku
angkat kepalaku, ternyata Jibril berada di sana dan berseru kepadaku.
Jibril berkata, ‘Sungguh Allah telah mendengar ucapan kaummu dan jawaban
mereka terhadapmu. Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung
kepadamu agar engkau memerintahnya sesuai dengan kehendakmu terhadap
mereka (orang-orang kafir).’ Malaikat gunung kemudian berseru kepadaku
serta mengucapkan salam, lalu berkata, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu.
Aku adalah malaikat gunung yang telah diutus oleh Rabbmu kepadamu agar
engkau memerintahkan kepadaku sesuai dengan perintahmu. (Wahai
Muhammad,) apa yang engkau inginkan? Jika engkau menghendaki, aku akan
menimpakan dua gunung itu kepada mereka[2]’.” Rasulullah lalu menjawab,
“Tidak. Aku justru berharap agar Allah mengeluarkan dari keturunan
mereka orang-orang yang akan menyembah Allah saja dan tidak
menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun.”
Abu Dzar al-Ghifari berkata : Suatu hari Nabi bersabda, “Tahukah kalian ke mana matahari pergi?” Para
sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya matahari ini berjalan hingga berada di bawah ‘Arsy, lalu
ia tersungkur sujud kepada Allah. Dia terus dalam keadaan sujud hingga
dikatakan kepadanya, ‘Naiklah engkau, kembalilah dari mana engkau
datang!’ Matahari pun kembali, sehingga di waktu pagi dia terbit lagi
dari tempat terbitnya. Kemudian ia berjalan hingga berakhir pada tempat
menetapnya di bawah ‘Arsy, lalu bersujud dan tetap dalam keadaan
demikian, sampai dikatakan kepadanya, ‘Naiklah, kembalilah dari mana
engkau datang!’ Matahari pun kembali, sehingga di waktu pagi muncul dari
tempat terbitnya. Kemudian ia berjalan lagi tanpa sedikit pun manusia
menyadarinya, hingga berakhir pada tempat menetapnya itu di bawah ‘Arsy,
lalu dikatakan kepadanya, ‘Naiklah, dan terbitlah engkau dari barat!’
Keesokan harinya, matahari terbit dari sebelah barat.
Rasulullah melanjutkan, “Tahukah
kalian, kapan itu terjadi? Itu terjadi di hari (yang difirmankan oleh
Allah) : ‘Tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum
beriman sebelum itu, atau ia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa
imannya’.” (al-An’am: 158)
Takhrij Hadits Aisyah dan Abu Dzar
Hadits Aisyah muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam ash-Shahih, “Kitab Bad’il Khalq” (3/1180 no. 3059), dan “Kitab at-Tauhid bab firman Allah” no. 6954.
Diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim dalam ash-Shahih, “Kitabul Jihad was Siyar” (3/1420 no. 1795).
Keduanya meriwayatkan hadits Aisyah melalui jalan Abdullah bin Wahb bin Muslim al-Qurasyi, dari Yunus, dari Ibnu Syihab, dari Urwah bin az-Zubair, dari Aisyah. Lafadz di atas adalah lafadz Muslim.
Adapun hadits Abu Dzar diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, “Kitab Bad’il Khalqi” no. 3199, juga beliau keluarkan di beberapa tempat dalam ash-Shahih, no. 4802, 4803, 7424, 7433.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim dalam Shahih-nya “Kitab al-Iman” (1/138 no.159) dan lafadz di atas adalah lafadz Muslim.
At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits ini dalam as-Sunan, “Kitabul Fitan” no. 2186 dan “Kitab Tafsir Al-Qur’an” no. 3227. Beliau berkata, “Ini adalah hadits yang hasan sahih.”
Abu Dawud juga meriwayatkannya dalam as-Sunan “Kitab al-Huruf wal Qira’at” no. 4002 dengan kisah yang berbeda, yaitu Rasulullah bertanya kepada Abu Dzar di saat beliau memboncengkannya di atas keledai.
Semua meriwayatkan hadits Abu Dzar melalui jalan Ibrahim bin Yazid bin Syarik Abu Asma’ al-Kufi, dari ayahnya Yazid bin Syarik bin Thariq at-Taimi al-Kufi, dari Abu Dzar al-Ghifari Jundub bin Junadah.
Semua perawinya tsiqah (tepercaya sekaligus kuat hafalannya), hanya saja Ibrahim seorang mudallis[3]. Akan tetapi, sebagian sanad hadits menunjukkan bahwa Ibrahim mendengar langsung dari ayahnya.
Dalam sebagian riwayat Muslim, Abu Dzar berkata,
Aku masuk masjid sementara Rasulullah duduk. Ketika matahari terbenam beliau bersabda, “Wahai Abu Dzar, tahukah engkau ke manakah matahari pergi?” Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui.” Beliau berkata, “Sesungguhnya ia pergi meminta izin untuk sujud, lalu diizinkan, seolah-olah dikatakan kepadanya, ‘Kembalilah engkau dari tempat kedatanganmu.’ Terbitlah matahari dari tempat tenggelamnya’.”
Takhrij Hadits Aisyah dan Abu Dzar
Hadits Aisyah muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam ash-Shahih, “Kitab Bad’il Khalq” (3/1180 no. 3059), dan “Kitab at-Tauhid bab firman Allah” no. 6954.
Diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim dalam ash-Shahih, “Kitabul Jihad was Siyar” (3/1420 no. 1795).
Keduanya meriwayatkan hadits Aisyah melalui jalan Abdullah bin Wahb bin Muslim al-Qurasyi, dari Yunus, dari Ibnu Syihab, dari Urwah bin az-Zubair, dari Aisyah. Lafadz di atas adalah lafadz Muslim.
Adapun hadits Abu Dzar diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, “Kitab Bad’il Khalqi” no. 3199, juga beliau keluarkan di beberapa tempat dalam ash-Shahih, no. 4802, 4803, 7424, 7433.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim dalam Shahih-nya “Kitab al-Iman” (1/138 no.159) dan lafadz di atas adalah lafadz Muslim.
At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits ini dalam as-Sunan, “Kitabul Fitan” no. 2186 dan “Kitab Tafsir Al-Qur’an” no. 3227. Beliau berkata, “Ini adalah hadits yang hasan sahih.”
Abu Dawud juga meriwayatkannya dalam as-Sunan “Kitab al-Huruf wal Qira’at” no. 4002 dengan kisah yang berbeda, yaitu Rasulullah bertanya kepada Abu Dzar di saat beliau memboncengkannya di atas keledai.
Semua meriwayatkan hadits Abu Dzar melalui jalan Ibrahim bin Yazid bin Syarik Abu Asma’ al-Kufi, dari ayahnya Yazid bin Syarik bin Thariq at-Taimi al-Kufi, dari Abu Dzar al-Ghifari Jundub bin Junadah.
Semua perawinya tsiqah (tepercaya sekaligus kuat hafalannya), hanya saja Ibrahim seorang mudallis[3]. Akan tetapi, sebagian sanad hadits menunjukkan bahwa Ibrahim mendengar langsung dari ayahnya.
Dalam sebagian riwayat Muslim, Abu Dzar berkata,
Aku masuk masjid sementara Rasulullah duduk. Ketika matahari terbenam beliau bersabda, “Wahai Abu Dzar, tahukah engkau ke manakah matahari pergi?” Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui.” Beliau berkata, “Sesungguhnya ia pergi meminta izin untuk sujud, lalu diizinkan, seolah-olah dikatakan kepadanya, ‘Kembalilah engkau dari tempat kedatanganmu.’ Terbitlah matahari dari tempat tenggelamnya’.”
Perdebatan Seputar Hadits Abu Dzar
Penulis Tafsir al-Manar (Muhammad Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh) memberikan komentar terhadap hadits Abu Dzar tentang berjalannya matahari dan sujudnya kepada Allah di bawah ‘Arsy dengan komentar yang menyelisihi al-haq (kebenaran). Ia mengatakan bahwa matan (teks) hadits ini membingungkan. Di samping itu, menurutnya ada kelemahan dalam sanadnya.
Ia berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim melalui jalan dari Ibrahim bin Yazid bin Syarik at-Taimi dari Abu Dzar.”[4] Meskipun Ibrahim seorang yang tsiqah sebagaimana penilaian ahlul hadits, namun ia perawi yang mudallis.
Al-Imam Ahmad (wafat 241H) berkata, “Ia tidak berjumpa dengan Abu Dzar.”
Ad-Daruquthni (385 H) berkata, “Ia tidak mendengar dari Hafshah tidak pula dari Aisyah, bahkan ia tidak mendapati zaman keduanya.”
Ali bin al-Madini (234 H) berkata, “Ia tidak mendengar hadits dari Ibnu Umar, demikian pula dari Ibnu Abbas….”
(Dalam hadits ini, Ibrahim meriwayatkan dari Abu Dzar, yang dikatakan oleh al-Imam Ahmad bahwa Ibrahim tidak menjumpainya. Artinya, Ibrahim meriwayatkan dengan perantara, yang boleh jadi adalah orang yang tidak tsiqah, –pen.). Lihat Tafsir al-Manar (8/211—212).
Apa Jawabnya?
Terhadap hadits Abu Dzar tentang sujudnya matahari, demikian pula hadits Aisyah tentang malaikat penjaga gunung dan hadits-hadits tentang urusan gaib yang semisal, bisa saja seseorang seenaknya berkomentar, “Hadits ini memang sahih sanadnya, tapi teksnya janggal. Susah bagi akal untuk mencernanya!”
Oleh sebagian kalangan, kalimat ini dianggap sah-sah saja, padahal kalimat ini sungguh merupakan ungkapan yang luar biasa berbisa. Dengan kalimat ini, hadits-hadits yang sahih diabaikan dan diingkari, walaupun disepakati kesahihannya oleh al-Bukhari dan Muslim.
Kita katakan kepada mereka, “Wahai para pemuja akal, apakah setiap hal yang tidak masuk akal berarti itu dusta dan mustahil? Kalau kaidah ini kalian terapkan dalam menyikapi hadits-hadits Rasul, sungguh kalian akan menyimpang sejauh-jauhnya. Ingatkah kalian saat Rasulullah kembali dari perjalanan Isra’? Tidak genap satu malam Rasulullah telah melintasi sahara dari Makkah ke Baitul Maqdis, yang seharusnya ditempuh dua bulan perjalanan kala itu. Bahkan, Rasulullah telah menembus tujuh lapis langit dan kembali lagi ke Makkah.
Berita besar ini disampaikan kepada penduduk Makkah sehingga terjadilah apa yang terjadi. Mereka bertepuk tangan, berjingkrak-jingkrak menertawakan berita Rasul dan mengejeknya. Mereka anggap semua itu mustahil. Adapun Abu Bakr justru bertambah kokoh keimanannya, tidak sedikit pun bergeser dari iman hingga beliau beroleh gelar ash-Shiddiq.
Sejenak pena berhenti menanti jawaban para pengagum akal. Apakah mereka hendak mengikuti jalan musyrikin Quraisy dalam menyikapi berita Rasul, atau jalan Abu Bakr ash-Shiddiq dan kaum mukminin? Sepertinya terlalu lama kita menanti jawaban mereka. Semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua.
Menyangkut kritikan terhadap sanad al-Bukhari dan Muslim, kita katakan, “Penulis tafsir al-Manar seharusnya dengan teliti melihat kembali apa yang dibacanya, agar tidak terjatuh kepada kesalahan yang sangat fatal. Apalagi dilanjutkan dengan perkataannya, ‘Apabila hadits yang dikeluarkan al-Bukhari dan Muslim saja ada yang memiliki illat (cacat) seperti ini, bagaimana halnya dengan hadits yang tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim serta penulis kitab-kitab as-Sunan?’.” (Tafsir al-Manar)
Sanad hadits Abu Dzar yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim adalah Ibrahim bin Yazid at-Taimi, dari ayahnya Yazid bin Syarik at-Taimi, dari Abu Dzar. Sanad ini muttashil (bersambung) dengan rawi-rawi yang tsiqah. Keadaan Ibrahim sebagai seorang mudallis tidak membahayakan karena dalam sebagian sanad Muslim tampak bahwa Ibrahim mendengar dari ayahnya. Dengan demikian, tidak ada ‘illat dalam hadits Abu Dzar seperti tuduhan penulis Tafsir al-Manar. Walhamdulillah.
Penulis Tafsir al-Manar (Muhammad Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh) memberikan komentar terhadap hadits Abu Dzar tentang berjalannya matahari dan sujudnya kepada Allah di bawah ‘Arsy dengan komentar yang menyelisihi al-haq (kebenaran). Ia mengatakan bahwa matan (teks) hadits ini membingungkan. Di samping itu, menurutnya ada kelemahan dalam sanadnya.
Ia berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim melalui jalan dari Ibrahim bin Yazid bin Syarik at-Taimi dari Abu Dzar.”[4] Meskipun Ibrahim seorang yang tsiqah sebagaimana penilaian ahlul hadits, namun ia perawi yang mudallis.
Al-Imam Ahmad (wafat 241H) berkata, “Ia tidak berjumpa dengan Abu Dzar.”
Ad-Daruquthni (385 H) berkata, “Ia tidak mendengar dari Hafshah tidak pula dari Aisyah, bahkan ia tidak mendapati zaman keduanya.”
Ali bin al-Madini (234 H) berkata, “Ia tidak mendengar hadits dari Ibnu Umar, demikian pula dari Ibnu Abbas….”
(Dalam hadits ini, Ibrahim meriwayatkan dari Abu Dzar, yang dikatakan oleh al-Imam Ahmad bahwa Ibrahim tidak menjumpainya. Artinya, Ibrahim meriwayatkan dengan perantara, yang boleh jadi adalah orang yang tidak tsiqah, –pen.). Lihat Tafsir al-Manar (8/211—212).
Apa Jawabnya?
Terhadap hadits Abu Dzar tentang sujudnya matahari, demikian pula hadits Aisyah tentang malaikat penjaga gunung dan hadits-hadits tentang urusan gaib yang semisal, bisa saja seseorang seenaknya berkomentar, “Hadits ini memang sahih sanadnya, tapi teksnya janggal. Susah bagi akal untuk mencernanya!”
Oleh sebagian kalangan, kalimat ini dianggap sah-sah saja, padahal kalimat ini sungguh merupakan ungkapan yang luar biasa berbisa. Dengan kalimat ini, hadits-hadits yang sahih diabaikan dan diingkari, walaupun disepakati kesahihannya oleh al-Bukhari dan Muslim.
Kita katakan kepada mereka, “Wahai para pemuja akal, apakah setiap hal yang tidak masuk akal berarti itu dusta dan mustahil? Kalau kaidah ini kalian terapkan dalam menyikapi hadits-hadits Rasul, sungguh kalian akan menyimpang sejauh-jauhnya. Ingatkah kalian saat Rasulullah kembali dari perjalanan Isra’? Tidak genap satu malam Rasulullah telah melintasi sahara dari Makkah ke Baitul Maqdis, yang seharusnya ditempuh dua bulan perjalanan kala itu. Bahkan, Rasulullah telah menembus tujuh lapis langit dan kembali lagi ke Makkah.
Berita besar ini disampaikan kepada penduduk Makkah sehingga terjadilah apa yang terjadi. Mereka bertepuk tangan, berjingkrak-jingkrak menertawakan berita Rasul dan mengejeknya. Mereka anggap semua itu mustahil. Adapun Abu Bakr justru bertambah kokoh keimanannya, tidak sedikit pun bergeser dari iman hingga beliau beroleh gelar ash-Shiddiq.
Sejenak pena berhenti menanti jawaban para pengagum akal. Apakah mereka hendak mengikuti jalan musyrikin Quraisy dalam menyikapi berita Rasul, atau jalan Abu Bakr ash-Shiddiq dan kaum mukminin? Sepertinya terlalu lama kita menanti jawaban mereka. Semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua.
Menyangkut kritikan terhadap sanad al-Bukhari dan Muslim, kita katakan, “Penulis tafsir al-Manar seharusnya dengan teliti melihat kembali apa yang dibacanya, agar tidak terjatuh kepada kesalahan yang sangat fatal. Apalagi dilanjutkan dengan perkataannya, ‘Apabila hadits yang dikeluarkan al-Bukhari dan Muslim saja ada yang memiliki illat (cacat) seperti ini, bagaimana halnya dengan hadits yang tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim serta penulis kitab-kitab as-Sunan?’.” (Tafsir al-Manar)
Sanad hadits Abu Dzar yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim adalah Ibrahim bin Yazid at-Taimi, dari ayahnya Yazid bin Syarik at-Taimi, dari Abu Dzar. Sanad ini muttashil (bersambung) dengan rawi-rawi yang tsiqah. Keadaan Ibrahim sebagai seorang mudallis tidak membahayakan karena dalam sebagian sanad Muslim tampak bahwa Ibrahim mendengar dari ayahnya. Dengan demikian, tidak ada ‘illat dalam hadits Abu Dzar seperti tuduhan penulis Tafsir al-Manar. Walhamdulillah.
Mengimani Berita-Berita Gaib dari Rasulullah
Alam semesta yang demikian besar menyimpan berjuta rahasia yang tidak mungkin disingkap oleh akal manusia. Hanya berita-berita gaib para rasul Allah yang mampu menembus rahasia itu, tentu saja dengan wahyu dari Allah. Allah berfirman:
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.” (al-An’am: 75)
“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya. Maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (al-Jin: 26—27)
Seorang yang jujur dalam persaksian imannya niscaya selalu tunduk di hadapan sabda-sabda Rasulullah, baik berupa berita, perintah, maupun larangan. Ia akan selalu beribadah kepada Allah dengan tuntunan beliau dan tidak beribadah dengan kebid’ahan. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam sanubarinya atau rasa berat hati terhadap keputusan Rasulullah yang sesungguhnya adalah wahyu dari Allah yang mutlak kebenarannya.
Di hadapan hadits Aisyah dan Abu Dzar, seseorang diuji, apakah ia beriman atau mengingkari berita-berita Rasulullah? Seorang yang beriman tentu akan mengambil semua yang datang dari Rasulullah.
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (al-Hasyr: 7)
Berbeda halnya dengan orang-orang yang menyimpan keraguan, berita-berita Rasulullah akan mereka singkirkan atau sepelekan. Lebih-lebih jika kabar Rasulullah tersebut menyelisihi hawa nafsunya, berbeda dengan kepentingannya, berseberangan dengan adat istiadatnya, atau berbeda dengan hasil penelitian dan olah pikir manusia. Di situlah akan semakin tampak siapa yang lebih mengutamakan hawa nafsunya daripada keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sebelum berlarut, marilah kita kembali pada dua hadits yang mengawali pembahasan kita. Dalam hadits Aisyah, Rasulullah mengabarkan bahwa di antara malaikat-malaikat Allah ada yang ditugaskan sebagai penjaga gunung. Mereka adalah makhluk Allah yang sangat kuat. Dengan izin Allah mereka mampu membalikkan gunung dan menimpakannya kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Semua itu dengan perintah Allah dan tidak lepas dari pengaturan-Nya.
Perhatikan kedatangan malaikat gunung kepada Rasulullah. Ia berkata kepada Rasul bahwa Allah memerintahkannya untuk mendengar perintah Rasulullah. Jika beliau berkehendak, dua gunung akan dia timpakan kepada kaum musyrikin. Malaikat tersebut tidak serta-merta datang kepada Rasul tanpa perintah Allah, atau tiba-tiba mengangkat gunung dan menimpakannya kepada manusia yang ingkar tanpa perintah dari-Nya. Sungguh, mereka adalah makhluk yang taat dan tidak sedikit pun bermaksiat kepada Allah.
“(Mereka malaikat-malaikat Allah) tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)
Subhanallah, gunung-gunung yang menjulang, Engkau tetapkan para penjaganya dari kalangan malaikat-malaikat-Mu yang senantiasa menanti perintah-Mu. Hadits Aisyah menyingkap sebuah rahasia dari berjuta rahasia alam semesta.
Adapun hadits Abu Dzar al-Ghifari mengabarkan berita gaib lain dari keajaiban alam. Beliau mengabarkan bahwa matahari yang berada di atas kita tidaklah diam. Ia terus berjalan, menuju satu tempat di bawah Arsy untuk bersujud kepada-Nya, menanti perintah serta izin-Nya untuk terbit dan tenggelam dari tempat biasanya ia terbit dan tenggelam.
Hingga datang satu masa di akhir zaman nanti, Allah, Rabbul ‘Alamin, tidak lagi mengizinkannya untuk terbit dari timur. Dia akan memerintahkannya terbit dari sebelah barat, tempat tenggelamnya. Itulah sebagian tanda Rabb yang dimaksud dalam firman Allah:
Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), kedatangan Rabbmu, atau kedatangan sebagian tanda-tanda Rabbmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabbmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, “Tunggulah olehmu, sesungguhnya kami pun menunggu (pula).” (al-An’am: 158)
Saat itulah, tidak akan bermanfaat iman seseorang yang baru beriman. Demikian pula, seorang yang baru bertaubat tidak diterima taubatnya, sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk memberikan ampunan bagi mereka yang berdosa di siang hari dan Dia membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk mengampuni mereka yang berdosa di malam hari, hingga terbit matahari dari tempat tenggelamnya.”[5]
Hadits Abu Dzar tegas menunjukkan batilnya perkataan bahwa matahari diam tidak berjalan. Teori manusia mengatakan matahari sebagai pusat tata surya itu diam, hanya berputar pada porosnya. Kekuatan daya tarik gravitasi yang dimilikinya mampu menarik sekian banyak planet termasuk bumi untuk mengitari dirinya. Adapun ia sendiri diam, tidak berjalan.
Saudaraku, anggapan bahwa matahari diam, tidak berjalan, dan hanya perputar pada porosnya, adalah teori manusia. Adapun seorang mukmin akan berkata sesuai dengan firman Allah dan sabda Rasul-Nya bahwa matahari berjalan menuju tempat di bawah ‘Arsy. Ia tidak diam di tempatnya, sebagaimana hal ini tampak dari pertanyaan Rasulullah kepada para sahabatnya:
“Tahukah kalian, ke mana matahari ini pergi?”
Wahai Rabb kami, itu berita Rasul-Mu. Kami beriman dan tidak ada sedikit pun keraguan di hati kami.
“Wahai Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan, dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan-Mu).” (Ali Imran: 53)
Gunung, Matahari, dan Seluruh Alam di Bawah Kekuasaan serta Pengaturan Allah
Matahari berjalan secara teratur dengan perintah Allah. Dia berfirman:
“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Yasin: 38)
Gunung-gunung yang kokoh juga berada dalam perintah dan pengawasan Allah. Allah menetapkan para penjaga dari kalangan malaikat-Nya untuk menjalankan semua ketetapan dan perintah tersebut.
Demikian pula lautan serta segala apa yang di langit dan di bumi, mereka semua adalah makhluk Allah yang berada di bawah pengawasan dan pengaturan-Nya.
“Allah lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya, dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (al-Jatsiyah: 12—13)
Bumi tempat kita berpijak dan langit yang mengatapi kita, keduanya taat dan tunduk kepada Allah. Dia berfirman:
Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepada langit dan kepada bumi, “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan suka hati.” (Fushshilat: 10—11)
Alam semesta yang demikian besar menyimpan berjuta rahasia yang tidak mungkin disingkap oleh akal manusia. Hanya berita-berita gaib para rasul Allah yang mampu menembus rahasia itu, tentu saja dengan wahyu dari Allah. Allah berfirman:
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.” (al-An’am: 75)
“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya. Maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (al-Jin: 26—27)
Seorang yang jujur dalam persaksian imannya niscaya selalu tunduk di hadapan sabda-sabda Rasulullah, baik berupa berita, perintah, maupun larangan. Ia akan selalu beribadah kepada Allah dengan tuntunan beliau dan tidak beribadah dengan kebid’ahan. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam sanubarinya atau rasa berat hati terhadap keputusan Rasulullah yang sesungguhnya adalah wahyu dari Allah yang mutlak kebenarannya.
Di hadapan hadits Aisyah dan Abu Dzar, seseorang diuji, apakah ia beriman atau mengingkari berita-berita Rasulullah? Seorang yang beriman tentu akan mengambil semua yang datang dari Rasulullah.
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (al-Hasyr: 7)
Berbeda halnya dengan orang-orang yang menyimpan keraguan, berita-berita Rasulullah akan mereka singkirkan atau sepelekan. Lebih-lebih jika kabar Rasulullah tersebut menyelisihi hawa nafsunya, berbeda dengan kepentingannya, berseberangan dengan adat istiadatnya, atau berbeda dengan hasil penelitian dan olah pikir manusia. Di situlah akan semakin tampak siapa yang lebih mengutamakan hawa nafsunya daripada keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sebelum berlarut, marilah kita kembali pada dua hadits yang mengawali pembahasan kita. Dalam hadits Aisyah, Rasulullah mengabarkan bahwa di antara malaikat-malaikat Allah ada yang ditugaskan sebagai penjaga gunung. Mereka adalah makhluk Allah yang sangat kuat. Dengan izin Allah mereka mampu membalikkan gunung dan menimpakannya kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Semua itu dengan perintah Allah dan tidak lepas dari pengaturan-Nya.
Perhatikan kedatangan malaikat gunung kepada Rasulullah. Ia berkata kepada Rasul bahwa Allah memerintahkannya untuk mendengar perintah Rasulullah. Jika beliau berkehendak, dua gunung akan dia timpakan kepada kaum musyrikin. Malaikat tersebut tidak serta-merta datang kepada Rasul tanpa perintah Allah, atau tiba-tiba mengangkat gunung dan menimpakannya kepada manusia yang ingkar tanpa perintah dari-Nya. Sungguh, mereka adalah makhluk yang taat dan tidak sedikit pun bermaksiat kepada Allah.
“(Mereka malaikat-malaikat Allah) tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)
Subhanallah, gunung-gunung yang menjulang, Engkau tetapkan para penjaganya dari kalangan malaikat-malaikat-Mu yang senantiasa menanti perintah-Mu. Hadits Aisyah menyingkap sebuah rahasia dari berjuta rahasia alam semesta.
Adapun hadits Abu Dzar al-Ghifari mengabarkan berita gaib lain dari keajaiban alam. Beliau mengabarkan bahwa matahari yang berada di atas kita tidaklah diam. Ia terus berjalan, menuju satu tempat di bawah Arsy untuk bersujud kepada-Nya, menanti perintah serta izin-Nya untuk terbit dan tenggelam dari tempat biasanya ia terbit dan tenggelam.
Hingga datang satu masa di akhir zaman nanti, Allah, Rabbul ‘Alamin, tidak lagi mengizinkannya untuk terbit dari timur. Dia akan memerintahkannya terbit dari sebelah barat, tempat tenggelamnya. Itulah sebagian tanda Rabb yang dimaksud dalam firman Allah:
Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), kedatangan Rabbmu, atau kedatangan sebagian tanda-tanda Rabbmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabbmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, “Tunggulah olehmu, sesungguhnya kami pun menunggu (pula).” (al-An’am: 158)
Saat itulah, tidak akan bermanfaat iman seseorang yang baru beriman. Demikian pula, seorang yang baru bertaubat tidak diterima taubatnya, sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk memberikan ampunan bagi mereka yang berdosa di siang hari dan Dia membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk mengampuni mereka yang berdosa di malam hari, hingga terbit matahari dari tempat tenggelamnya.”[5]
Hadits Abu Dzar tegas menunjukkan batilnya perkataan bahwa matahari diam tidak berjalan. Teori manusia mengatakan matahari sebagai pusat tata surya itu diam, hanya berputar pada porosnya. Kekuatan daya tarik gravitasi yang dimilikinya mampu menarik sekian banyak planet termasuk bumi untuk mengitari dirinya. Adapun ia sendiri diam, tidak berjalan.
Saudaraku, anggapan bahwa matahari diam, tidak berjalan, dan hanya perputar pada porosnya, adalah teori manusia. Adapun seorang mukmin akan berkata sesuai dengan firman Allah dan sabda Rasul-Nya bahwa matahari berjalan menuju tempat di bawah ‘Arsy. Ia tidak diam di tempatnya, sebagaimana hal ini tampak dari pertanyaan Rasulullah kepada para sahabatnya:
“Tahukah kalian, ke mana matahari ini pergi?”
Wahai Rabb kami, itu berita Rasul-Mu. Kami beriman dan tidak ada sedikit pun keraguan di hati kami.
“Wahai Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan, dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan-Mu).” (Ali Imran: 53)
Gunung, Matahari, dan Seluruh Alam di Bawah Kekuasaan serta Pengaturan Allah
Matahari berjalan secara teratur dengan perintah Allah. Dia berfirman:
“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Yasin: 38)
Gunung-gunung yang kokoh juga berada dalam perintah dan pengawasan Allah. Allah menetapkan para penjaga dari kalangan malaikat-Nya untuk menjalankan semua ketetapan dan perintah tersebut.
Demikian pula lautan serta segala apa yang di langit dan di bumi, mereka semua adalah makhluk Allah yang berada di bawah pengawasan dan pengaturan-Nya.
“Allah lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya, dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (al-Jatsiyah: 12—13)
Bumi tempat kita berpijak dan langit yang mengatapi kita, keduanya taat dan tunduk kepada Allah. Dia berfirman:
Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepada langit dan kepada bumi, “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan suka hati.” (Fushshilat: 10—11)
Gemuruhnya guntur juga tidak lepas dari perintah Allah.
Sekelompok Yahudi datang kepada Nabi, mereka bertanya, “Wahai Abul Qasim, kabarkan kepada kami tentang guntur, apa itu?” Nabi berkata, “Ada salah satu malaikat Allah yang diberi tanggung jawab atas awan. Ia membawa cemeti dari api yang dengannya ia menggiring awan ke arah yang dikehendaki oleh Allah.” Yahudi berkata, “Suara yang kita dengar, apakah itu?” Nabi berkata, “Itu hardikan malaikat saat menggiring awan menuju tempat yang Dia perintahkan.” (al-Hadits)[6]
Sekelompok Yahudi datang kepada Nabi, mereka bertanya, “Wahai Abul Qasim, kabarkan kepada kami tentang guntur, apa itu?” Nabi berkata, “Ada salah satu malaikat Allah yang diberi tanggung jawab atas awan. Ia membawa cemeti dari api yang dengannya ia menggiring awan ke arah yang dikehendaki oleh Allah.” Yahudi berkata, “Suara yang kita dengar, apakah itu?” Nabi berkata, “Itu hardikan malaikat saat menggiring awan menuju tempat yang Dia perintahkan.” (al-Hadits)[6]
Musibah Bukan Sekadar Fenomena Alam
Belum lepas dari ingatan kita berbagai musibah yang menimpa manusia di negeri ini: gempa bumi, tsunami, dan letusan berikut awan panas “wedus gembel” Merapi.
Hal yang tidak boleh lepas dari sanubari adalah keyakinan bahwa musibah itu tidak terjadi begitu saja tanpa perintah Allah. Merapi tidak serta-merta meletus tanpa perintah. Lempengan bumi pun tidak begitu saja bergerak tanpa kehendak Sang Pencipta. Demikian pula, air laut tidak begitu saja meluap menenggelamkan manusia tanpa perintah Allah, Rabbul ‘Alamin.
Alam semesta adalah makhluk Allah yang diatur dan diperintah. Allah yang memerintahkan air bah menenggelamkan kaum Nuh. Dia pula yang memerintahkan malaikat membalik bumi tempat kaum Luth tinggal. Dia juga yang memerintahkan Laut Merah memusnahkan Fir’aun beserta bala tentaranya. Inilah hakikat yang tidak boleh terlupakan dalam akidah seorang muslim.
Hendaknya manusia juga menyadari bahwa kerusakan tersebut sesungguhnya buah dari kezaliman manusia. Allah tidak zalim. Akan tetapi, manusialah yang menzalimi diri-diri mereka. Allah menimpakan semua itu agar manusia menyadari bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang lemah. Hamba yang harus segera kembali kepada Allah, bertaubat dari dosa dan kesalahannya. Demikian juga, agar mereka mengerti bahwa hanya Allah lah, Dzat yang berhak diibadahi.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)
Sejenak kita buka sejarah kaum Nuh. Saat Allah menghendaki kebinasaan atas kaum durhaka, tidak ada satu pun usaha yang bermanfaat walaupun seseorang pergi ke atas gunung yang tinggi.
Dan Nuh berkata, “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.” Sesungguhnya Rabbku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedangkan anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menjagaku dari air bah!” Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah, selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya. Jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (Hud: 41—43)
Belum lepas dari ingatan kita berbagai musibah yang menimpa manusia di negeri ini: gempa bumi, tsunami, dan letusan berikut awan panas “wedus gembel” Merapi.
Hal yang tidak boleh lepas dari sanubari adalah keyakinan bahwa musibah itu tidak terjadi begitu saja tanpa perintah Allah. Merapi tidak serta-merta meletus tanpa perintah. Lempengan bumi pun tidak begitu saja bergerak tanpa kehendak Sang Pencipta. Demikian pula, air laut tidak begitu saja meluap menenggelamkan manusia tanpa perintah Allah, Rabbul ‘Alamin.
Alam semesta adalah makhluk Allah yang diatur dan diperintah. Allah yang memerintahkan air bah menenggelamkan kaum Nuh. Dia pula yang memerintahkan malaikat membalik bumi tempat kaum Luth tinggal. Dia juga yang memerintahkan Laut Merah memusnahkan Fir’aun beserta bala tentaranya. Inilah hakikat yang tidak boleh terlupakan dalam akidah seorang muslim.
Hendaknya manusia juga menyadari bahwa kerusakan tersebut sesungguhnya buah dari kezaliman manusia. Allah tidak zalim. Akan tetapi, manusialah yang menzalimi diri-diri mereka. Allah menimpakan semua itu agar manusia menyadari bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang lemah. Hamba yang harus segera kembali kepada Allah, bertaubat dari dosa dan kesalahannya. Demikian juga, agar mereka mengerti bahwa hanya Allah lah, Dzat yang berhak diibadahi.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)
Sejenak kita buka sejarah kaum Nuh. Saat Allah menghendaki kebinasaan atas kaum durhaka, tidak ada satu pun usaha yang bermanfaat walaupun seseorang pergi ke atas gunung yang tinggi.
Dan Nuh berkata, “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.” Sesungguhnya Rabbku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedangkan anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menjagaku dari air bah!” Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah, selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya. Jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (Hud: 41—43)
Dialah yang Berhak Diibadahi
Jika alam semesta ini di bawah pengaturan Allah, semua tunduk kepada Allah, lantas pantaskah sesuatu selain Allah yang diibadahi? Tentu jawabannya tidak.
Dalam ayat-ayat Al-Qur’an, manusia sering diingatkan bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang mengatur alam semesta, menciptakan, dan memberi rezeki, agar mereka menyadari bahwa hanya Allah sajalah yang berhak untuk diibadahi. Tidak pantas manusia menyekutukan Allah dengan para makhluk-Nya ketika beribadah. Allah berfirman:
“Wahai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 21—22)
Dalam Al-Qur’an, Allah sering menampakkan kebatilan peribadatan kepada selain Allah dengan mengingatkan manusia bahwa sesembahan selain Allah adalah makhluk yang diatur, bukan yang mengatur; makhluk yang diciptakan dan tidak menciptakan. Makhluk yang demikian lemah dan fakir, apakah pantas diibadahi?
Katakanlah, “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai ilah/sesembahan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu andil pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.” (Saba’: 22)
Saat bencana menimpa, seharusnya manusia segera kembali kepada Allah, bertobat kepada-Nya, dan mentauhidkan-Nya, tidak justru semakin bergantung kepada selain Allah. Dengan ketakwaan, Allah akan menjadikan sebuah negeri sebagai negeri yang diberkahi oleh Allah. Jangan seperti negeri-negeri yang ingkar, yang membanggakan kecerdasan otaknya untuk menghadapi musibah. Alam bukan di tangan manusia tetapi di tangan Allah. Dialah yang memerintah, Dia pula yang memutuskan.
Belum lepas dari ingatan kita gempa bumi yang menimpa Kota Kobe (Jepang) di tahun 90-an. Tidak ada yang memungkiri kemajuan Jepang dalam teknologi. Mata dunia terbelalak dengan kehebatan Jepang dalam teknologi. Kobe sejatinya sudah dipersiapkan sebagai kota antigempa. Semua konstruksi bangunan disiapkan dengan canggih untuk menghadapi gempa hingga lebih dari 8 Skala Richter (8 SR). Tetapi itu hanya angan manusia belaka. Di hadapan kekuasaan Allah, tidak satu makhluk pun yang bisa menengadahkan kepalanya untuk sombong dan berbangga. Gempa dengan skala “hanya” lima koma sekian SR merayapi Kota Kobe. Dalam hitungan detik, tidak ada satu bangunan pun selamat. Gedung pencakar langit, jembatan layang, dan seluruh bangunan yang ada harus luluh lantak tertelan gempa.
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah selain orang-orang yang merugi.” (al-A’raf: 96—99)
Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami dan lindungilah kami dari akibat perbuatan jelek diri kami!
Amin, ya Rabbal ‘Alamin.
Catatan Kaki:
[1] Qarnu ats-Tsa’alib adalah Qarnu al-Manazil, miqat bagi penduduk Najd untuk melakukan ibadah haji atau umrah. Jaraknya sekitar 94 km dari Makkah, saat ini dikenal dengan nama as-Sailul Kabir.
[2] Dua gunung yang dimaksud adalah gunung Abu Qubais dan gunung yang di hadapannya.
[3] Mudallis adalah orang yang menampakkan hadits yang terputus sanadnya seakan-akan bersambung.
[4] Sanad yang benar adalah Ibrahim bin Yazid, dari ayahnya yakni Yazid, dari Abu Dzar al-Ghifari.
[5] HR. Muslim “Kitabut Taubah” bab “Qabulut Taubati minadz Dzunub wa in Takarrarat adz-Dzunub wat Taubah (Bab Diterimanya Taubat Walaupun Dosa dan Taubatnya Terulang)” (4/2113 no. 2759) dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari.
[6] HR. at-Tirmidzi (4/257 no. 5121) dari Abdullah bin Abbas. At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan sahih gharib.” Diriwayatkan pula oleh al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (1/274). Asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq beliau mengatakan, “Sanad hadits ini sahih.” Asy-Syaikh al-Albani mengatakan tentang hadits ini, “Paling rendahnya, hadits ini berderajat hasan.” Lihat takhrijnya dalam ash-Shahihah (4/491–493).
Sumber: http://asysyariah.com/
Jika alam semesta ini di bawah pengaturan Allah, semua tunduk kepada Allah, lantas pantaskah sesuatu selain Allah yang diibadahi? Tentu jawabannya tidak.
Dalam ayat-ayat Al-Qur’an, manusia sering diingatkan bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang mengatur alam semesta, menciptakan, dan memberi rezeki, agar mereka menyadari bahwa hanya Allah sajalah yang berhak untuk diibadahi. Tidak pantas manusia menyekutukan Allah dengan para makhluk-Nya ketika beribadah. Allah berfirman:
“Wahai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 21—22)
Dalam Al-Qur’an, Allah sering menampakkan kebatilan peribadatan kepada selain Allah dengan mengingatkan manusia bahwa sesembahan selain Allah adalah makhluk yang diatur, bukan yang mengatur; makhluk yang diciptakan dan tidak menciptakan. Makhluk yang demikian lemah dan fakir, apakah pantas diibadahi?
Katakanlah, “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai ilah/sesembahan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu andil pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.” (Saba’: 22)
Saat bencana menimpa, seharusnya manusia segera kembali kepada Allah, bertobat kepada-Nya, dan mentauhidkan-Nya, tidak justru semakin bergantung kepada selain Allah. Dengan ketakwaan, Allah akan menjadikan sebuah negeri sebagai negeri yang diberkahi oleh Allah. Jangan seperti negeri-negeri yang ingkar, yang membanggakan kecerdasan otaknya untuk menghadapi musibah. Alam bukan di tangan manusia tetapi di tangan Allah. Dialah yang memerintah, Dia pula yang memutuskan.
Belum lepas dari ingatan kita gempa bumi yang menimpa Kota Kobe (Jepang) di tahun 90-an. Tidak ada yang memungkiri kemajuan Jepang dalam teknologi. Mata dunia terbelalak dengan kehebatan Jepang dalam teknologi. Kobe sejatinya sudah dipersiapkan sebagai kota antigempa. Semua konstruksi bangunan disiapkan dengan canggih untuk menghadapi gempa hingga lebih dari 8 Skala Richter (8 SR). Tetapi itu hanya angan manusia belaka. Di hadapan kekuasaan Allah, tidak satu makhluk pun yang bisa menengadahkan kepalanya untuk sombong dan berbangga. Gempa dengan skala “hanya” lima koma sekian SR merayapi Kota Kobe. Dalam hitungan detik, tidak ada satu bangunan pun selamat. Gedung pencakar langit, jembatan layang, dan seluruh bangunan yang ada harus luluh lantak tertelan gempa.
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah selain orang-orang yang merugi.” (al-A’raf: 96—99)
Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami dan lindungilah kami dari akibat perbuatan jelek diri kami!
Amin, ya Rabbal ‘Alamin.
Catatan Kaki:
[1] Qarnu ats-Tsa’alib adalah Qarnu al-Manazil, miqat bagi penduduk Najd untuk melakukan ibadah haji atau umrah. Jaraknya sekitar 94 km dari Makkah, saat ini dikenal dengan nama as-Sailul Kabir.
[2] Dua gunung yang dimaksud adalah gunung Abu Qubais dan gunung yang di hadapannya.
[3] Mudallis adalah orang yang menampakkan hadits yang terputus sanadnya seakan-akan bersambung.
[4] Sanad yang benar adalah Ibrahim bin Yazid, dari ayahnya yakni Yazid, dari Abu Dzar al-Ghifari.
[5] HR. Muslim “Kitabut Taubah” bab “Qabulut Taubati minadz Dzunub wa in Takarrarat adz-Dzunub wat Taubah (Bab Diterimanya Taubat Walaupun Dosa dan Taubatnya Terulang)” (4/2113 no. 2759) dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari.
[6] HR. at-Tirmidzi (4/257 no. 5121) dari Abdullah bin Abbas. At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan sahih gharib.” Diriwayatkan pula oleh al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (1/274). Asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq beliau mengatakan, “Sanad hadits ini sahih.” Asy-Syaikh al-Albani mengatakan tentang hadits ini, “Paling rendahnya, hadits ini berderajat hasan.” Lihat takhrijnya dalam ash-Shahihah (4/491–493).
Sumber: http://asysyariah.com/
Langganan:
Postingan (Atom)