Senin, 21 Februari 2011

Untuk Apa Menikah?

Oleh Mukti Amini



pernikahan

adalah simbiosis mutualisma

dua insan berbeda

tuk merenda bahagia

pernikahan

adalah sebuah bahtera

berlayar di samudera luas

menuju pulanu cinta-Nya

pernikahan

bukanlah impian bunga semusim

semata memuja romantisme dan keindahan

melupakan perjuangan

pernikahan

adalah sebuah terminal

melewati jalan panjang

menuju rumah keabadian

Puisi di atas aku tulis sehari setelah aku dikhitbah calon suami, 11
Oktober 1998, atau kurang sebulan dari pernikahan kami. Puisi yang lahir
dari kegelisahan dan kegamangan, akankah setelah menikah nanti aku akan
tetap isiqomah dalam jalan perjuangan yang sejak lama ditekuni? Atau
justru tergerus dengan kesibukan rumah tangga tiada henti seperti yang
kulihat pada beberapa ummahat di sekitarku, waktu itu?

Puisi yang kutulis untuk terus memotivasi diri, agar setelah menikah
pun semangat berjuang dan berdakwah tetap membara. Puisi itu kutulis di
halaman pertama buku Fauzil Azhim yang belum lama kubeli waktu itu, Kupinang Engkau dengan Hamdalah.
Semata agar aku teringat dan teringat terus akan makna asasi
pernikahan. Apalagi saat-saat menjelang pernikahan, masa yang rawan dan
sangat disukai syetan, mengelabui hati dari cara yang paling canggih
sampai amatiran. Huh!

Kini, setelah hampir 13 tahun berlalu, sungguh malu hati membaca
puisi sendiri. Kemana semangat menggelora untuk terus berdakwah itu,
kini? Rasanya waktu 24 jam lebih banyak untuk hal-hal rutinitas tiada
henti. Robotic. Meski itu juga diniatkan untuk dakwah. Tapi rasanya..
banyak target dakwah secara pribadi yang terlepas.

Bukan berarti aku menolak tugas utama sebagai istri dan ibu rumah
tangga. Justru itu hal lain dari dakwah juga, tarbiyah ‘ailiyah. Tapi,
apakah sudah merasa cukup puas asal anak2 dan suami sehat sejahtera tak
kurang suatu apa? Seperti kata salah seorang sahabat:

Jika kita mencukupkan diri untuk kebahagiaan dalam keluarga kita
saja, tanpa terpanggil untuk membantu orang2 lain di sekitar mencapai
bahagianya dunia akherat (atau berdakwah), maka tunggulah! Suatu hari
nanti, keluarga kita yang akan digerogoti oleh orang2 yang tidak tahu
bagaimana caranya dia mencapai bahagia.Mungkin suami kita yang akan
digoda oleh perempuan2 yang tak tahu bagaimana menjaga cinta, atau anak3
perempuan kita yg ternoda oleh laki2 yang tidak tahu menjaga
martabatnya...

Lalu, saat membaca kutipan Syaikh Hasan Al Bana, dalam Hadits Tsulasa, halaman 629…

“Kehidupan rumah tangga adalah ‘hayatul amal’. Ia diwarnai oleh
beban-beban dan kewajiban. Landasan kehidupan rumah tangga bukan semata
kesenangan dan romantika, melainkan tolong- menolong dalam memikul beban
kehidupan dan beban dakwah…”

Kembali aku malu hati.

Maka, Alhamdulillah aku diberikan suami yang penuh pengertian dan
mampu saling bersinergi. Meski tentu belum ideal, tapi setidaknya kami
berusaha. Meski dulu awalnya tak cinta, mengapa mesti resah? Bukankah Love is Verb,
kata Stephen Covey? Cinta itu kata kerja aktif yang bisa diupayakan.
Yang penting standar minimal sebagai seorang calon suami (dan istri)
terpenuhi. Bukankah jika dia beriman dan berakhlaq baik, maka itulah
modal utamanya?

Ketika engkau mencintaiku, engkau menghormatiku.

Dan ketika engkau tak mencintaiku, engkau tidak mendzalimiku.

(Dr. Ramdhan Hafidz)

Justru kurasa, yang peru ditekankan dalam agenda ta'aruf, selain
masalah kepribadian dan tanggung jawab maliyah berikut serialnya, adalah
prototipe seperti apa yang dicita-citakan nanti pasca menikah. Mau
dibawa ke mana keluarga ini sesungguhnya?

(Bagi yang belum nikah, ingat2 ya, itu tuh salah satu agenda taarufnya..)

Dan, saatnya cita-cita tetap berdakwah setelah menikah itu
diejawantahkan dan dibuktikan! Memang tak mudah. Sering kali
tersandung-sandung dan menguras sair mata.

Awalnya jelas tambal sulam,
karena menyatukan ritme 2 orang yang sama sekali berbeda dalam
pembiasaan sekian puluh tahun, tentu saja butuh usaha extra dibarengi
hati legawa.

Mencoba dan terus mencoba. Berkomunikasi dan bersinergi,
saling membaca hati, saling mengingatkan, tak marah saat dikritisi.
Sebisanya. Prinsipnya asal sama2 paham bahwa tujuannya sama2 mulia.

Hmm, jadi ingat juga ucapan salah seorang sahabat, “Jangan
bayangkan kalau menikah dengan ikhwah itu terus jadi serba indah dalam
beribadah. Bisa Qiyamul lail berjamaah setiap waktu, bisa saling
menyimak hafalan Quran…. Halah, boro2 dah! Kalau tidak ada azzam yang
kuat, haduuuh, subuh pun bisa sama2 kesiangan bangun!"

Jadi, memang quwwatul azam yang diperlukan. Semoga dengan
quwwatul azam salah satu pasangan, jika yang lainnya sedang lemah akan
segera terkuatkan. Syukur2 kalau quwwatul azamnya sama2 kuat. Itu yang
diharapkan.

Dilanjutkan dengan ibda’ binafsika, mulai dari dirimu sendiri. Tak berhenti sekedar wacana, tapi terwujud dalam amal nyata yang akan ditiru pasangannya.

Maka, sungguh Alhamdulillah, saat tak lama kemudian, aku merasa
begitu didukung dalam tiap gerak langkahku, sekaligus mendapatkan contoh
yang baik dari seorang qawwam. Suami yang bersedia mengantar kemana pun
aku pergi selagi bisa dan ada waktu. Suami yang tidak canggung bermain
dengan anak2 saat dengan terpaksa kutinggalkan mereka sementara waktu
untuk mengisi kajian atau rapat organisasi. Suami yang jarang bicara,
tapi memberi banyak contoh dalam perilaku sehari-hari. Aku yang ingin
rehat barang sebentar, melihat dia tilawah jadi ikut tergerak tilawah.
Aku yang kadang ingin mengungkapkan emosi dengan nada agak tinggi,
melihatnya senyum2 jadi gak sampai hati.

(jazakallahu ya maas, telah menjadi Qawwam dan membimbingku)

Ya! Tak cukup mencita-citakan terbentuknya keluarga yang samara,
sakinah mawaddah wa rahmah, Tetapi, DASAMARA. Keluarga DA-kwah yang
samara. Dakwahnya dulu diperjuangkan, maka samara itu yang akan
mengikuti sebagai imbalannya. Bismillah. Mari melangkah :)

~Pondok Cabe, Retropeksi Menjelang Berkurangnya Usia Esok Hari, 16 Pebruari 2011

sumber : eramuslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar