Jumat, 26 Februari 2016

Hati Yang Terjaga

Ibnu Athaillah berkata, "Keadaan hati bagaikan atap rumah. Bila kau menyalakan api di dalam rumah, asapnya akan membumbung ke atap dan membuatnya hitam. Seperti itu pulalah api syahwat berkobar dalam tubuh, asap-asap dosa akan naik ke hati dan menghitamkannya."

Artinya, amal kebaikan akan melahirkan cahaya dalam hati, kekuatan pada tubuh, sinar pada wajah, kelapangan rezeki, serta kecintaan di hati makhluk. Sebaliknya, amal keburukan melahirkan kegelapan dalam hati, kelam pada wajah, kelemahan badan, merasa kekurangan dalam urusan rezeki, serta kebencian di hati makhluk.

Hal ini diperkuat sabda Nabi saw, "Jika seorang mukmin berbuat dosa, terdapat goresan hitam di hatinya. Jika bertobat, sadar, dan meminta ampunan, hatinya kembali bersih. Namun, jika dosanya bertambah maka bertambah pulalah goresan tersebut hingga mendominasi hati. Itulah hijab yang disebutkan oleh Allah, 'Sekali-kali tidak (demikian). Sebenarnya apa yang selalu merek kerjakan telah menutupi hati mereka' (Al-Muthaffifin : 14)." (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)

Diriwayatkan dari Hudzaifah ibn al-Yaman ra., bahwa Rasulullah saw bersabda, "Fitnah dan ujian menyerang hati seperti jalinan tikar yang terangkai seutas demi seutas. Ketika hati menerima fitnah, goresan hitam melekat padanya. Sedangkan ketika hati tidak menerimanya, akan tergores titik-titik putih. Dengan demikian, hati terbagi menjadi dua macam. Pertama, hati yang putih bersih laksana pualam bening yang tidak ternodai fitnah selama bumi dan langit terbentang. Kedua, kalbu yang hitam legam dan cekung bagaikan gayung tertungkup sehingga ia tidak mengenal yang makruf dan tidak mengingkari yang mungkar, kecuali apa-apa yang diserap oleh hawa nafsunya." (HR. Muslim)

Jadi, maksiat akan mengotori dan menghitamkan hati. Sebaliknya, mengingkari maksiat dan bertobat darinya akan membersihkan dan memutihkan hati. Hati seperti itulah yang dipenuhi keimanan, kecintaan kepada Allah, dan rasa takut kepada-Nya.

Mari berupaya menjaga hati, menatanya dengan kebaikan serta amal, membersihkannya dengan taubat serta syukur. Dan menjaganya dari apa-apa yang semakin mengeruhkannya setelah Allah bersihkan dengan ketaqwaan.

"Diadaptasi dari buku 'Mengaji Tahul 'Arus' karya Ibnu Athaillah"

Rabu, 24 Februari 2016

Setiap Perjalanan Adalah Pembelajaran

Sudah cukup banyak petualangan yang dilalui, pelajaran yang diambil. Maka sepatutnya, semakin banyak pula ilmu itu memberi dan kebermanfaatan dalam hidup.

Jiwa petualang tidak akan pernah hilang, bahkan setelah memutuskan untuk menjalin pertalian. Karena mereka yang terbiasa berbagi kisah, perjalanan dan bahkan keteladanan banyak belajar dari fenomena hidup, interaksi sosial, forum-forum dan juga jelajah alam.

Alam secara tidak langsung mengajari kita tentang hidup, tak melulu Kitab Suci yang selalu kita baca setiap harinya. Dan hati semakin terpaut pada harapan dan keniscayaan, bahwa mereka yang mendidik dirinya dengan cara yang baik lagi bijak akan menjadi pribadi yang kuat, Insya Allah.

Pada akhirnya, kita akan menjadi generasi pembelajar. Ya, karena kehidupan yang masih dijalani dan kesempatan dari-Nya adalah agar menjadi pembelajaran berharga serta bekal di kehidupan yang abadi.

"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran." (Al-Ashr 1-3)

Maka apabila hati ini sudah peka, maka ia akan mudah menerima. Jika jiwa hidup, maka semakin banyak pelajaran yang bisa diambil. InsyaAllah. Sudah sekian banyak waktu dilalui, semoga kebermanfaatan dan ilmu itu semakin bertambah. Dan teruslah berdo'a serta yakinilah bahwa Dia Yang Maha Pemberi akan terus membimbing kita lewat kedekatan hubungan dengan-Nya.

Teruslah memohon ampun, petunjuk, rahmat dan kasih sayang-Nya serta keluasan (kelapangan hati) agar semakin bertambah ilmu serta kebermanfaatannya bagi kehidupan.

Bandung, 25 Februari 2016 (16 Jumadil Awal 1437 H) 07:21 WIB.

Senin, 22 Februari 2016

Hijab Hati

Hijab di hati hanya membuat lupa diri, kurang pandai bersyukur, mudah berprasangka buruk, bahkan kelalaian dalam beribadah serta beramal.

Hijab di hati bisa kita sendiri yang menciptakannya, bahkan tak menyadarinya. Karena ia bisa menjadi perkara halus dalam tubuh seorang mukmin sekalipun.

Hijab di hati karena kurangnya istighfar, lupa memohon ampun atas kesalahan kita kepada Allah. Padahal Nabi saw yang kesalahan masa lalu dan yang akan datang saja sudah diampuni, beliau saw tetap beristighfar.

Hijab di hati bisa jadi karena kita sudah terbiasa menganggap remeh atau bahkan rendah orang lain. Padahal kita sudah beramal, beribadah... tak lupa kita berwudlu, bahkan menjalankan shalat, dan ditambah membaca Al-Qur'an. Tapi barangkali godaan syaithan jauh lebih dahsyat sehingga amal kita tak membuahkan keshalehan sosial.

Maka kunci untuk membuka hijab di hati kita adalah dengan perbanyak istighfar, agar Allah membantu untuk melembutkan hati kita. Karena beramal serta beribadah saja tidak cukup.

"Mengikuti Nabi saw tak cukup hanya dengan menjalankan ibadah-ibadah lahiriah. Namun, seperti itulah keadaan sebagian besar kaum muslim. Banyak diantara mereka yang mendirikan shalat, tetapi shalat mereka menjadi bencana. Alih-alih mendekatkan diri kepada Allah, shalat yang ditunaikannya justru semakin menjauhkan dirinya dari Allah." (Ibnu Atthailah)

Barangkali memang hati kita sedang kering. Ah, bukankah kita sudah berusaha melakukan ketaatan...? Lalu bagaimana dengan buah dari amal yang kita kerjakan...? Barangkali dari awal ada sesuatu yang salah dari niat kita.

Atau mungkin hati sudah terlalu terhijab. Atau barangkali diri kita sendiri yang belum menyadarinya.

"Hati bagaikan sebatang pohon yang disirami air ketaatan. Keadaan hati memengaruhi buah yang dihasilkan anggota tubuh. Buah dari mata adalah perhatian untuk mengambil pelajaran. Buah dari telinga adalah perhatian terhadap Al-Qur'an. Buah dari lidah adalah dzikir. Kedua tangan dan kaki membuahkan amal-amal kebajikan. Sementara, bila hati dalam keadaan kering, buah-buahnya pun akan rontok dan manfaatnya hilang. Karena itu, ketika hatimu kering, siramilah dengan memperbanyak dzikir." (Ibnu Atthailah)

Siramilah hati kita dengan dzikir agar ia semakin lembut, jauh lebih teduh dan terasa nikmat setelah menjalankan ibadah. Karena keadaan hati kita akan menjadi cerminan bagaimana jasad itu sendiri.

#muhasabah