Rabu, 07 Januari 2015

PESAN DARI HUJAN

“Ayah... hujan yah... berhenti dulu!!!”
Setengah berlari aku terus melihat sosok tegar dan kuat. Berhenti dan kembali berlari kecil. Ayah. Beliau terus mengayunkan kedua lengannya, mengadukan ujung cangkul dengan tanah subur sembari menerima tetesan air langit yang semakin lama semakin cepat terjun ke bumi. Ayah memang seperti itu, tak banyak berubah sejak pensiun dari Angkatan Darat. Dan juga sejak kedua kakakku berkelana dengan ilmu serta titipan do’a darinya. Ibu memang telah berpulang sejak kami kecil, dan ayah setia menemani kami bertiga sampai saat ini.
“Ayah...!”
Ayah menyapu dahinya yang semakin mengerut, “Iya nak... sebentar...,” seuntai senyum terarah lembut padaku. Ah, sungguh, ini menjadi hal paling kami bertiga suka.
Air yang kumasak mulai menunjukkan tanda mendidih, kepulan asap dari kayu bakar yang kunyalakan setengah jam sebelumnya semakin banyak dan terhempas hembusan angin. Hujan semakin deras, perlahan dan terus menghujam ke seantero bumi sejauh mata memandang. Ayah berjalan tenang ke arahku sambil memanggul cangkul di bahu kanan dan juga memegang capingnya yang lusuh.
“Ayah jangan sering kehujanan... nanti sakit,” aku mengambil sebuah gelas dan mengambil bubuk kopi serta gula, “Ayah sudah semakin tua... biar Ade yang mengerjakan ladang ini.”
Ayah tersenyum manis dan menaruh cangkulnya dekat pilar bambu saung, “Nggak apa-apa nak... ayah memang sudah tua,”
Aku memberikan segelas kopi panas untuk ayah. Beliau mengusap pelan wajahnya yang basah dengan handuk. Aroma kopi yang masih mengepul membangkitkan keinginanku untuk juga menikmatinya bersama ayah, seperti hari-hari libur biasanya. Sabtu dan Minggu. Dua hari ini aku memanfaatkan waktu untuk selalu bersama ayah, termasuk sepulang sekolah karena Ayah baru akan pulang dari ladang menjelang waktu Ashar.
“Nak...,” Ayah meletakkan gelas berisi kopinya dan memandangku tenang.
“Iya Ayah...,”
“Kamu tahu...? Hujan itu adalah anugerah bagi semesta... hujan adalah tanda cinta dari langit kepada makhluk di bumi.”
Aku mengernyitkan dahi, menghirup aroma nikmatnya kopi panas sembari memperhatikan wajah Ayah. Beliau tersenyum manis atas kepolosanku. Dan anugerah dari langit itu semakin deras menghujam ke bumi tanpa ampun, diiringi gemuruh genderang langit yang berpadu cahaya di ufuk Barat.
Ayah memandangku tenang, lebih teduh dari biasanya. “Kau tahu nak... hujan adalah tanda cinta dari semesta untuk kita. Seperti hujan... cinta adalah ketulusan untuk memberi. Cinta adalah energi luar biasa untuk memberikan seluruh yang ada bersama ketulusan.”
Ayah memegang kedua bahuku pelan, meremasnya sembari melayangkan senyuman. “Sebagaimana cinta... maka ia adalah kekuatan untuk memberi. Ibumu pernah mengatakan hal ini kepada Ayah,” Ayah menyapu pelan bulir air mata hangat yang mengalir, “Ibarat hujan yang memberikan keteduhan, hujan yang membawa kesuburan bagi tanaman kita dan semuanya. Darinya... tumbuh berbagai macam tanaman yang bisa dimanfaatkan. Darinya... kita belajar tentang cinta yang tak terbatas. Cinta adalah energi untuk berbagi kepada semuanya. Hujan tidak pandang bulu... tanah... batu... hewan... tumbuhan.... dan bahkan manusia beroleh manfaatnya.”
“Tapi Ayah...,” aku sedikit menunduk hingga beradu pandang dengan Ayah kembali, “Bukankah hujan yang banyak pun membawa bencana... banjir...?!”
Ayah menarik nafas agak panjang, “Ya... nak... sebagaimana cinta. Jika ia terlalu besar dan tidak diarahkan kepada yang benar maka ia hanya membawa petaka dalam kehidupan. Cinta bisa menghancurkan keharmonisan hubungan antar manusia dengan manusia... serta manusia dengan alam. Jika cinta itu bermakna memberi... maka ia tidak akan mengambil terlalu banyak dari bukti cinta yang alam berikan.”
Ayah mengalihkan pandangan ke ufuk Barat yang mulai berhenti bergemuruh, “Jika kita memiliki cinta yang besar... maka bagilah ia kepada semesta... berikan pada setiap manusia... sempurnakan dengan kebaikan yang ada pada cinta. Karena cinta yang besar pun bisa menghancurkan. Nak...,” Ayah kembali memandangku, “Pastikan... hanya cinta kepada Sang Maha Menciptakan cinta yang lebih besar dari segalanya. Karena cinta kepada dunia hanya akan menghancurkan hidup kita... cinta dunia yang akan menghancurkan hubungan sesama manusia.”
Aku mengangguk. Ayah selalu begitu, tenang dan meneduhkan. Untaian kalimat hikmahnya ibarat Luqman yang tengah menasehati anaknya. Seakan menemukan sosok ayah sejati yang selalu menjaga anak-anaknya untuk terus dalam kebaikan. Ayah memang seperti itu. Tidak ada yang berubah sejak Ibu kembali kehadirat-Nya. Kami mencintaimu Ayah dan akan mengikuti semua nasihat-nasihat kebaikanmu. Segalanya terpatri dalam hati.
*****
Sudah lebih dua tahun lamanya aku tak bertemu Ayah. Terpisah jarak dan waktu, meski sesekali suara beliau begitu hangat menyapa telinga. Dan hujan masih membasahi bumi, seiring bergulirnya waktu. Hari-hari terus berganti dan hujan terus membasahi bumi. Segala waktu yang terlewati selalu menjadi pelajaran yang berarti.
Pesan Ayah tentang hujan terus terjaga. Ya, cinta memang energi untuk memberi. Aku paham, ketika memberi bukanlah yang ada pada kita habis. Namun itu terus bertambah dan membuatku bersemangat untuk terus memberi dan berbagi. Ilmu dan cinta. Dua pesan yang Ayah berikan saat aku hendak melanjutkan kuliah ke luar kota.
‘Hujan adalah rahmat-Nya bagi semesta...,’
Aku memandang jendela yang mengembun, tangan kananku memegang foto berbingkai. Aku dan Ayah bersama kedua kakakku. Ya, dua tahun sudah aku berpisah karena tugas luar pulau. Jauh dari Ayah menjadi hal yang tersulit. Tidak banyak lagi kalimat hikmah yang beliau sampaikan untukku dan juga kami bertiga. Tapi pesan Ayah tak pernah kulupa dan kehadiran si kecil Wahyu serta bidadari hati, Rena, adalah tanda cinta Sang Maha Menciptakan cinta untukku.
Dua jam sudah langit kelabu. Mengisi seluruh pandanganku, lamunanku serta waktu istirahatku. Aku selalu menunggu saat-saat seperti ini. Menikmati hujan dari balik jendela.
“Mas...?”
Aku berpaling ke arah suara lembut yang menyapaku, “Iya sayang...,”
Rena memerah. Ya, kata ‘sayang’ menjadi kata yang selalu membuatnya menunduk. Aku bertemu dengannya setelah lulus dan kami memutuskan untuk berumah tangga. Dan Ayah, orang yang sudah mendukungku pertama kali untuk berumah tangga. Berbagi cinta.
“Ada telepon dari Mas Arya. Tadi nelpon kamu nggak diangkat...,”
Aku bergegas mendekati sang bidadari, melayangkan senyuman termanis yang barangkali sudah cukup bosan ia terima. Memandang cinta sang bidadari menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku. Bidadari yang menjaga diri dan terus menjalankan ajaran agama.
“Handphoneku mati...,” aku meraih ponsel di tangan kanan istriku, “Nanti malam kita makan di luar ya...?”
Rena mengernyitkan dahinya, “Sama Wahyu...?”
Aku mengangguk. Rena duduk tenang di atas tempat tidur dan mulai membuka beberapa halaman buku.
“Assalamu’alaykum... iya mas Arya...,”
“Wa’alaykum salam... Ade... Ayah...?”
Aku berdiri tegang setelah kata ‘Ayah’ terucap. Mas Arya memang sedang libur dari kantor dan tinggal bersama Ayah. Sekaligus menjaga beliau yang sedang sakit beberapa hari ini.
“Ada apa mas...? kenapa Ayah...?”
Arya meremas-remas rambutnya, air matanya mulai meleleh. “A... aaa.... aaa... yah... meninggal!”
            ‘Innalillaahi wainna ilaihi raaji’uun...,’
“Mas... Arya...?”
‘Prak...!’
*****
Sunyi berpadu dengan sedu-sedan. Kumpulan tanah yang beberapa diantaranya dihiasi ilalang menjadi pemandangan beraroma kelabu. Ayah. Sosok tenang dan penuh hikmah itu kini sudah tenang. Tidur berdampingan bersama ibu. Makam Ayah dan Ibu berdampingan, dan kami hanya mampu menahan isak tangis. Si kecil Wahyu mengusap makam Ayah pelan, mengisyaratkan salam kehilangan.
“Ayah sudah pergi mas...,” aku menutup seluruh wajahku dengan telapak tangan.
Arya memegang bahu kananku dan Rama meremas bahu kiriku. Kelabu masih menghiasi langit semesta, tak hanya hati kami bertiga. Wajah Arya dan Rama sangat mirip Ayah dan aku mewarisi wajah Ibu. Bagi bertiga kehilangan dua sosok penuh hikmah dan juga cinta, seakan langit pun hendak menangis dari tanda-tanda gemuruhnya yang mulai tertabuh.
Arya terduduk, memandang wajah sayuku. “De... ingat-ingat pesan Ayah untuk kita semua,”
“Bersyukur kita dilahirkan oleh kedua orang tua yang mengajari kita tentang cinta,” Rama memandang teduh dua batu nisan di depannya, “Seperti hujan yang akan turun... cinta adalah energi atau kekuatan untuk memberi secara tulus,”
Aku mengangguk, tak terasa air mata pu mengalir. Cepat kuusap agar tak jatuh ke bumi. Biarlah hujan yang kelak menjadi peneduh serta pembawa kebaikan bagi semesta. Tanda cinta-Nya yang tak bertepi, tanda rahmat-Nya yang seharusnya membuat manusia semakin bersyukur. Ayah telah pergi menyusul Ibu, namun hujan akan terus turun dan membasahi bumi.
               ‘Hujan akan terus memberikan tanda cinta bagi semesta.’

PULANGLAH KALIAN!!!

           Ah, rasanya ingin bertukar peran dengan mereka. Dengung kebisingan bantaran kali Ciliwung hanya mampu mencekik gila kami berdua.
‘Tak-tok... tak-tok... tak-tok...,’
‘Fuih... hmm...,’
Kau tahu, kami sebenarnya membenci pekerjaan berkuman ini. Bukan karena terpaksa, bukan pula karena tidak ada lagi pekerjaan. Kami dipecat. Hingga akhirnya kumpulan botol bekas air mineral mampu menghidupi kami yang mampu tinggal di bangunan super sederhana. Ruangan 3 x 4 meter. Huh, kami tak bisa pulang ke rumah. Bukan karena malu, karena tak berani menjadi maling agar bisa sampai ke Sijunjung yang jauh di mata.
Orang-orang di sekitar kami selalu tertawa. Entah sedang menertawakan nasib kami, ataukah tawa mereka hanya sekedar melepas penat kehidupan gila ‘para penjilat’ di gedung mewah sana. Jakarta semakin bobrok saja dari tahun ke tahun. Tak ada peubahan yang dijanjikan. Hanya omong kosong. Rasanya kami puas apabila melihat mereka terjun bebas ke neraka meskipun kami sendiri tak tahu apakah bergabung dengan mereka atau tidaknya nanti.
‘Ngung... ngung... nguuuuung...’
‘Ceplak... teplok... ceplak... teplak!!!’
Bisa-bisa darah kami yang kurus-kering ini habis disedot oleh mereka. Sementara lingkaran hijau tipis itu semakin membuat dada kami sesak. Fuh... tampaknya kami perlu berganti ke lotion anti nyamuk saja agar baunya ikut nimbrung menemani kegelapan dingin ini.
Tapi kami berdua beruntung. Setidaknya mampu bertahan selama lima tahun sebagai pengumpul botol bekas, kardus bekas, dan bekas-bekas lainnya, kecuali bekas manusia. Hiiyyy... pekerjaan ini meskipun tidak menguntungkan namun masih membuat kami sebagai penabung. Dan pada akhirnya celoteh-celoteh bandar yang selalu menakar hasil sehari-hari kami selalu menggiring telinga tipis kami ke alam kenestapaan hidup.
Orang tua yang menjadi bandar sekaligus pemimpin kami punya nasib yang sama. Meskipun lebih beruntung. Berteman para preman dan juga kedua putra jeniusnya berhasil menggiring ratusan PHK pabrik yang selalu mengepulkan asap hitam dan terkadang putih di posisi matahari terbit sana.
‘Huh... kalau saja aku menjadi petani. Pasti kulamar Ratih dan punya dua anak hari ini.’
‘Aku ingin pulang... aku ingin pulang,’
Ya, kalimat-kalimat penyesalan, ini dan itu terus menggerogoti malam bagi Akbar dan Fauzan. Bagaimana tidak...? tawaran kerja tujuh tahun yang lalu setelah lulus SMA membuat keduanya buta akan kemampuan sesungguhnya. Gelar sarjana pertanian yang bisa saja diembat sirna begitu saja. Si ‘banci’ itu berhasil mengotori masa depan keduanya. Perawakan tegap Akbar tetap saja menyimpan kedunguan. Kecerdasan Fauzan apalagi. Pundi-pundi uang dari pabrik di belahan matahari terbit sana memakan habis kejernihan otaknya. Nasib.
“Ah... makin lama kupikir tentang banci itu, kurapan juga aku nantinya.”
“Zan... mau kau sebut si Padlun itu banci... tetap saja tak mampu membuat kita pulang ke Sijunjung. Aku rindu amak dan adik-adik... apalagi pusaran ayah,”
Akbar tertunduk, “Hmm... tidurlah cepat-cepat, besok kita akan bertemu kembali pak tua Sitompul itu.”
“Ya... berdo’a dulu kita,”
“Tuhan... tak perlu kau buat aku kaya, tapi buatlah kami berdua bisa pulang ke gadang...,”
“Ah kau... masih sempat pula bercanda sama Tuhan,”
Hahaha...,
Sarung dengan motif garis-garis warna putih berhasil membuat Akbar terlelap. Kedua telapak tangan Fauzan masih belum mampu mengusir nyamuk-nyamuk genit dari kulit sawo matangnya. Malam ini indah. Ya, seindah aliran Sungai Ciliwung dengan sampah-sampahnya.
*****
“Akbar... Fauzan... nih!”
Tangan kanan orang tua bernama Sitompul itu memberikan segepok lembaran ribuan serta puluhan ribu untuk dibagikan kepada barisan prajurit setia di depannya. Ya, setiap pukul empat sore sudah menjadi kebiasaannya menagih hasil alam prajuritnya dari tumpukan barang usang ataupun gunungan sampah agar diolah menjadi barang jadi oleh kedua anaknya yang cerdas. Bergelar sarjanakah keduanya....? ya, setidaknya mampu untuk menciptakan kreasi dengan memakai nama palsu sesuai dengan KTP setelah mampu melunakkan sang pembuat dengan amplop warna coklat.
“Kau sepertinya bosan Zan, benar...?”
“Adalah pak... aku sudah lima tahun sejak kau bawa kesini. Dan tak mungkin jadi orang kaya. Aku ingin pulang...,”
‘Puk... puk... puk...,’
“Ah kau ini Zan... masih pula memikirkan yang semalam,” geleng-geleng kepala pula akhirnya si Akbar, sambil memperhatikan kedua tangan Fauzan yang menggeser-geser uang bergambar pattimura.
Pak Sitompul hanya mampu tersenyum sampai akhirnya berhasil membagikan ‘sedekah’ hasil keringat kepada para prajuritnya yang sudah bekerja keras dengan ikhlas.
“Sudah puluhan orang aku usir atau pulangkan dari tempat yang aku sebut benteng ini,” tangan kanan pak Sitompul meraih secangkir kopi, “Hmm... apa keputusan kau sudah bulat?”
Fauzan hanya mampu mengangguk, Akbar tak mau kalah dengan teman satu kontrakan kumuhnya.
“Pabrik di letak matahari terbit sana adalah surga sekaligus neraka dunia buatku,” kembali meraih secangkir kopi panas dan meneguknya tiga kali. Fauzan dan Akbar duduk tenang di atas kursi plastik berwarna hijau.
“Setidaknya selama sepuluh tahun setelah perceraian aku pasti jatuh miskin. Tapi... begitulah Tuhan membuatku miskin tetapi senang dengan tinggal bersama kalian disini.”
Secangkir kopi itu pun habis, pak Sitompul menatap dalam-dalam kedua prajuritnya.
“Tiga pantangan lelaki semua kulanggar... harta... tahta... wanita...,” memandang ke arah tumpukan kardus bekas yang dicatat oleh kedua anaknya, “segala jerih payah untuk membangun pabrik itu musnah begitu saja karena ketiganya. Tiga puluh tahun itu membuatku tersadar. Ya, aku pun membawa kedua anakku yang berhasil kuhindarkan dari tabi’at nista inu mereka.”
“Kelainan seksual,” setengah berbisik, memandang tumpukan kardus di sudut Timur, “Aku tertipu kawanku sendiri sehingga mereka mengudetaku dari pabrik... pabrik itu hanya mampu kutatap dari kejauhan. Aku pun tertipu oleh jabatan walikota yang berhasil kuraih dari segepok uang melalui partai. Dan terakhir... aku mendapati istriku tengah bermain mesra di atas ranjang dengan perempuan berambut panjang. Ah... kalau kuingat apa yang terjadi waktu itu rasanya aku mau muntah. Tak puas rasanya dia dengan servisku yang telah membuatnya dua kali bunting.
‘Bug...!!!’
Telapak tangan pak Sitompul tak mampu menahan emosi jiwa. Akbar dan Fauzan hanya mampu menatap dalam-dalam sang atasan. Dia pulalah yang akhirnya berhasil membawa keduanya berada disini untuk bertahan hidup. Dan ajaib, seluruh orang yang boleh dikatakan pemulung disini adalah para PHK dari pabrik di belahan matahari terbit sana. Pabrik yang seenaknya membuang limbah dan dibiarkan oleh pemerintah setempat karena segepok uang. Sungai Ciliwung tak ubahnya racun mematikan yang tidak hanya menghadiahi banjir di musim penghujan.
Pak Sitompul menatap tajam kedua prajuritnya, sesaat beliau tersenyum.
“Dari Sijunjung kah kalian?”
Akbar dan Fauzan mengangguk pelan.
“Bawalah ini, besok... kau kosongkan kamar 3 x 4 itu. Kemarin baru saja kudapat dua orang pengganti.” Sebuah amplop berwarna coklat menghampiri kedua prajurit yang masih memanggul keranjang coklat berkuman itu.
“Ini...,”
“Sudahlah... pulanglah kalian sana dan jadi orang yang benar!”
“Siap komandan!!!” kaki keduanya berlalu. Sementara sang komandan tua, pak Sitompul hanya mampu menahan tangis bahagianya.
*****
          Bus HZN berwarna biru muda itu berhasil membawa kedua prajurit pulang. Awan tersenyum setelah sebelumnya patahan dan liukan jalan bukit mencoba menahan rasa ingin tertawa. Perjalanan tiga hari dua malam itu sedikit membuat ambeien Akbar kambuh. Ya, ini adalah perjalanan kedua setelah tujuh tahun yang lalu. Jakarta telah berlalu, lima tahun bersama pak Sitompul yang membekas indah.
‘Bruk... bruk...!!!’
‘Ah...!!!’
Tas keduanya tak mampu menahan gravitasi. Keramaian kaki-kaki di Pasar Sijunjung menghiasi mata keduanya yang telah ditinggalkan selama tujuh tahun. Kedua telapak tangan mereka bersiap membentuk TOA, menarik nafas sejenak untuk memekikkan teriakan dari suara dada.
            “Sijunjung... kami datang!!!”

BAYANG SEMU

Tidak ada rasa dalam jiwa kala suka menerkam
Bukan karena cinta, melainkan nafsu itu seakan menelan kedalam jiwa penuh makna
Hati memang selalu merasa, namun Tuhan selalu memberi kesempatan untuk membersihkannya
Rasa itu memang tiada berperi, namun Tuhan selalu memberi rasa untuk semakin dekat dengan-Nya
Masa itu memang berlalu, namun Tuhan akan terus menguji hamba-Nya
Tiada hari yang dilalui tanpa ujian dari-Nya, namun dengan itu... kita bisa menjadi kuat
Tuhan memberi kita kesempatan merasakan luka...
Disaat yang lain Tuhan memberikan makna berupa rasa suka dan bahagia...
Namun tiada bagi arti seorang mukmin yang dilanda cinta
Aktivitasnya adalah upaya semakin dekat dengan-Nya...
Jatuh cinta membuatnya semakin mencintai-Nya...
Balur rindu pun semakin mendekatkan diri dalam mihrab guna bersua dengan-Nya...
Bayang semu terkadang mengubah kedalaman hati dan jiwa yang tenang
Tapi Tuhan selalu punya jawab-Nya
Terkadang bayang semu melantunkan nada syahdu penuh cinta
Namun Tuhan kan selalu ada untuk menjaganya
Cinta itu suci, maka haram bagi hamba-Nya mengotori rahmat-Nya
Cinta itu sebening embun
Dan haram bagi mukmin mencampurnya dengan air susu meskipun manis itu kan terasa baginya
Cinta ia menyembuhkan
Maka haram bagi hati-hati mukmin menjumpainya dalam kesesatan
Cinta itu menguatkan
Maka tak pernah seorang mukmin melemahkannya dengan sentuhan yang diharamkan
Cinta itu menusuk dalam bayang semu
Maka haram bagi anak manusia terus menerawang dalam lintasan pikirannya
Biarkan cinta itu hadir apa adanya, biarkan ia melewati lintasan hatimu atas rahmat-Nya
Bila ia hadir... sambutlah dengan iman
Bila ia menjauh... lambaikan taqwa serta tawakkal
Bila ia menyapa... berikan sedikit tempat saja dalam hatimu

Karena... bagian Tuhanmu jauh lebih besar dari cintamu pada makhluk-Nya

TANDA HATI

Aku menyapanya dalam diam, sementara diriku pun entah ada di belahan bumi sebelah mana
Aku berjalan dalam tanya, menyeringai setiap helaan nafas yang membawa tanda tanya
Aku terdiam kembali dalam langkah senja, mentari pun tertawa dalam samar-samar
Lamat-lamat kekuatan hati pun menurun dalam raga
Jiwa ini terlalu kuat dalam terjangan badai angin
Badan ini terlalu rapuh melewati jalanan semak yang membawa duri
Tertatih dalam tanya, terlamun dalam suka yang terlampau hampa
                Aku terlalu lama dalam sepi, terbawa suka dalam tanya
                Kembali menyapa tanya lewat hembusan angin
                Aku kembali berjalan dalam terik siang, menikmati kesejukan rembulan di dalam hati
                Aku membawa jiwanya terbang, menerangi setiap hari dalam cinta atas-Nya
Aku menerima jiwanya terbang, menerawang angkasa yang selalu membawa keindahan senja
Aku mencintai cinta yang diam, membiarkan angin itu menyajikan suka dalam keindahan tanda tanya
Meskipun aku terlalu lama dalam suka, renungan hati ini terlalu senja membawa tanda tanya
Aku tak tahu akan hadirnya yang indah, aku tak tahu Tuhan berkehendak apa tentang aku dengannya
Ya... aku hanya ingin menyapanya dalam diam, tak perlu tahu akan hadirku yang terlalu jauh dalam indahnya hidup di belantara
Melewati masa-masa yang cukup sulit memang indah
Terlalu kuat raga ini menahan pilu, meskipun rasa rindu itu menyeruak dalam dada
Aku mengantarkan jiwanya yang terkadang melayang, meskipun aku tak tahu ia akan terbang kemana
Aku hanya lelaki pilihan Tuhan yang tak tahu akan membawanya kemana, meskipun surga itu adalah tempat yang Dia janjikan untuk kita berdua
Aku hanya ingin membawa kedalam ilmu, aku hanya ingin mencintainya dalam kepahaman dan saling pengertian...
Aku hanya ingin bersamanya dalam iman, meskipun ragaku terlalu sering jauh darinya
Aku hanya ingin terus menyapa hatinya, meskipun jiwa ini sering terbang melayang dalam sepertiga malam-Nya yang begitu indah
Aku hanya ingin bersama dengan dalam cinta Tuhan yang tak berperi... hanya itu...