Selasa, 07 Januari 2014

Futur... Salah Siapa?

Assalamu'alaykum warahmatullah...

Selamat sore sahabat, semoga aktivitas yang telah dan masih dilakukan mendapat ridha dari Allah SWT. Salam hangat dari bumi Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Semoga Allah senantiasa menjaga nikmat iman dan islam dalam hati serta kesehatan sahabat sekalian, aamiin.

Afwan, judul mungkin kontroversi... tapi ini barangkali kenyataan yang jarang dipahami serta dijadikan bahan evaluasi. Futur Fii Sabilillaah bukan lagi menjadi fenomena biasa, meski ia pasti terjadi dalam kehidupan aktivis dakwah, pegiat 'Jalan Kenabian' yang semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan serta kebaikan dalam segenap kontinuitasnya.Dakwah bukan jalan yang mudah, dan energi yang dibutuhkan sangatlah besar. Bertahan jauh lebih melelahkan daripada menyerang, sebagaimana dalam permainan sepakbola maupun di medan perang. Bertahan di 'Jalan Dakwah' adalah benar suatu KEHARUSAN individunya, tapi kadang kita melupakan satu hal. UKHUWAH...

Futur sangat banyak sekali penyebabnya, yang kesemuanya itu ada pada diri aktivis dakwah. Bisa pula terjadi akibat dari sistem dari Lembaga Dakwah yang diikuti, pola kaderisasi dan yang lainnya. Lengkapnya bisa dibaca dalam buku "Yang Berguguran di Jalan Dakwah - Fathi Yakan". Allah memilih diantara ribuan kader dakwah untuk terus bertahan dalam ujian. Dan boleh jadi... ujian berupa tekanan jauh lebih menguatkan serta merekatkan ukhuwah daripada kemenangan ataupun keberhasilan menancapkan taring-taring kekuatan Illahi.

Faalhamahaa fujuuraha wataqwaahaa... surat As-Syams ayat ke-8 pun bisa menjadi suatu tantangan bagi para kader, tak hanya yang didakwahi atau masyarakat muslim pada umumnya (ammah). Adakalanya seseorang mengalami titik jenuh, kesulitan beradaptasi, miskomunikasi hingga mispersepsi... serta sederet permasalahan yang menimpa dalam perjalanan dakwah. Dan kesemuanya itu berawal dari niat, maka menjaga kebersihan dari awalnya kelak akan menjaga seorang individu muslim tetap berada dalam jalan dakwah. Seberat apapun tantangannya, ketiadaan kawan, kelemahan kemampuan memahami masalah serta lingkungan takkan mengendurkan semangat baginya untuk bertahan. Allah tiada menyalahi janji-Nya terhadap orang-orang yang beriman.

Ada kalanya seorang aktivis lalai dalam ibadah sunnah atau bahkan wajibnya, namun Allah masih terus menjaganya. dan ada pula diantara mereka yang mundur secara perlahan... teratur... seakan tiada lagi tempat untuk berbagi dan memahami tabi'at Jalan Dakwah.UKHUWAH... seringkali menjadi hal yang terlewatkan untuk diaplikasikan, kadang ia hanya menjadi bumbu dan irama dalam canda-canda yang hangat atau bahkan berlebihan. Kadang pula ia hanya menjadi riak-riak ketika agenda-agenda dakwah itu menguras keringat, ataupun hanya sekedar ucapan 'Barakallahu fii umuriik' ketika salah seorang diantara mereka berulang tahun... dan bisa pula yang lainnya.

Atau barangkali kita lalai dan melupakan hal paling kecil... bertanya kabar... bukankah sekarang media semakin canggih untuk sekedar 'bertanya kabar'? Ataupun kita masih bisa bertatap muka dengan beberapa aplikasi online ataupun hanya sekedar chatting...? Sangat mudah menurut hemat saya untuk terus merekatkan ukhuwah... apalagi kader dakwah adalah sudah menjadi suatu keharusan. WAJIB.

Kadang kita lalai pada sahabat kita yang mengalami 'qadaya', dan kadang pula vonis itu begitu mudah terucap... bukankah Allah memberikan masalah dan juga jalan keluarnya...??? Lantas sudah sampai dimana pemahaman kita selama ini terhadap sahabat sesama pejuang dakwah... bukankah mereka yang selama ini paling dekat dengan kita selain keluarga? Lantas apakah ketika terjadi kesalahan pada individu kita langsung main vonis...? Kemana konsep tabayun dan taakhi yang selama ini mengisi ruang HALAQAH...??? Kemanakah semua itu...?

Barangkali Allah sedang menguji kita dengan seorang aktivis yang bermasalah... bisa karena amanah, malasnya ikut dalam agenda dakwah, interaksi berlebihan antara ikhwan-akhwat, dan bisa jadi yang lainnya. Jika mereka memang manusia yang salah, tentunya kita pun berkaca diri... bukankah selama ini kita pun kadang melakukan kesalahan...? Justru dengan kejadian itu membuat kita semakin mudah untuk berbagi bagaimana cara menyelesaikan masalah terhadap mereka yang dilanda QADAYA. Bukankah demikian...? Lantas ketika saya bertanya dalam hati... konsep dan konteks UKHUWAH itu seperti apa...? Ketika sudah memperoleh jawaban yang mencoba mengaplikasikan ternyata seringkali berbenturan dengan realita serta ketidak-mampuan untuk saling memahami. Dan ketika AL-FAHMU meredup dalam gerak langkah, haruskah menjadi pribadi yang saling menyalahkan...???

Semoga menjadi pembelajaran bersama... dari seseorang yang sudah terlalu jauh dari Lingkungan Terbina dalam jangka waktu lama. Karena Allah tiada menyalahi janji-Nya terhadap hamba-Nya yang beriman serta istiqomah di jalan-Nya.

Air Mata di Jalan Dakwah - Resensi



Judul : Air Mata di Jalan Dakwah
Penulis : Umar Hidayat
Penerbit : Darul Uswah (Kelompok Penerbit Pro-U Media)
Tahun Terbit : 2012 (Cet. I)
Tempat Terbit : Yogyakarta
Tebal : 498 Halaman
 
POKOK-POKOK ISI BUKU :
Buku ini terbagi kedalam tiga pokok bahasan (episode). Pertama adalah ‘Kesedihan yang Menaklukkan’, tentang air mata yang berurai kala kesedihan melanda, tantangan dalam hidup mendera. Dalam pembahasannya disajikan pula bagaimana sejarah kehidupan masa lalu yang tertuang dalam Qur’an serta Sirah Nabi saw dan sahabat beliau, serta generasi muslim selanjutnya yang menggugah. Episode kedua tentang ‘Memburu Air Mata Kebahagiaan’, karena air mata pun tak hanya berurai atas kelamnya kondisi hati. Tangis bahagia memberikan energi serta rasa syukur atas segala nikmat dan tantangan yang berhasil dijalani. Seharu air mata Khalid bin Walid kala menaklukkan Syam meski posisi panglima yang telah lama diembannya berpindah atas perintah sang Khalifah, Umar bin Khattab. Episode ketiga mengenai ‘Sejelas Keabadian yang Tertunda’, karena suatu saat air mata pun menitik, membuncah atas segala sesuatu yang terlewat. Penulis mengajak pembaca memaknai setiap episode kehidupan, yang kelak barangkali air mata pun menitik perlahan. Dan begitulah tabiat ‘Jalan Dakwah’, bukan jalan yang mulus dan mudah. Ada tantangan, kadang ada siksaan fisik maupun bathin, ketiadaan kawan tempat berbagi, namun Allah selalu menunjukkan kuasa-Nya lewat bait-bait ayat suci agar diambil hikmahnya.
Sejelas air mata yang menitik, Allah memberikan dalam hidup berupa rasa bahagia serta duka. Jalan dakwah menjadikan hidup mukmin penuh makna, kaya akan pembelajaran serta limpahan pahala serta surga yang telah menanti. Kala air mata mengungkap pesan mendalam sarat makna. Kesejatiannya mampu menggugah, mengubah dan menghiasi kehidupan yang penuh sahaja dan kebahagiaan.  Firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 82, “Tertawalah sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.
Kualitas kerelaan penghambaan diri seseorang dengan Allah akan sangat mempengaruhi kerelaan seseorang kepada Allah. Kerelaan kepada Allah tidak lain cara seseorang menghayati atas segala ketetapan Allah kepadanya dan ia merasa tenang dengan ketetapan tersebut. Tekad yang kuat dan bulat yang akan mencetak jiwa yang siap mengarungi perjuangan yang panjang, memberikan daya tahan atas waktu dan jarak yang harus ditempuh seseorang dalam mencapai harapan dan citanya. Sebagaimana cita-cita para pengemban jalan dakwah, surga-Nya yang indah dan mengalir dibawahnya sungai-sungai, maka air mata kadang memberikan kekuatan serta mengekspresikan rasa syukur atas segala ketetapan yang Allah berikan. Para pengemban jalan dakwah harus siap dan rela bila dalam setiap episode kehidupannya penuh dengan linangan air mata, kebahagiaan karena dakwah yang tersebar atau duka akibat ujian yang Dia berikan. Sebagai tantangan keikhlasan serta pelajaran paling berharga sehingga Rahmat Allah menjadikan seorang muslim layak menjadi penghuni surga-Nya.
KEUNGGULAN ISI BUKU :
Bahasa yang disajikan mudah dicerna, mengalir, ibarat membaca sebuah cerita karena disuguhi pula kisah tentang yang pernah terjadi di masa lampau. Pelajaran berharga atas bergulirnya waktu yang telah lalu. Fokus pembahasan tiap bab serta sub-babnya relevan dan terkait dengan kondisi kekinian serta kedisinian. Kisah yang berulang dan kembali menorehkan berbagai sisi kehidupan para pengemban dakwah.
KELEMAHAN ISI BUKU :
Ada beberapa pembahasan yang kurang pas antara materi atau tema yang disajikan dengan contoh, terutama pada episode ketiga. Di beberapa bagian masih ada kesalahan cetak, perlu dilakukan kembali editing agar penyajian dalam buku ini semakin menarik. Terkait kisah Abdullah bin Ummi Maktum serta Khalid bin Walid barangkali perlu referensi yang mendalam, ada hal yang menurut hemat saya berbeda dengan yang pernah dibaca pada buku shirah para sahabat. Wallahualam. Dan terakhir, untuk kutipan mungkin lebih baik disajikan sumbernya di bagian belakang agar pembaca fokus terhadap materi yang disajikan.
SARAN-SARAN TERHADAP BUKU INI :
Cover buku barangkali perlu diganti, dengan memunculkan gambar dua akhwat padahal yang disajikan bukan khusus untuk kalangan mereka (ikhwan dan akhwat). Dengan memasukkan kalimat ‘kunci’ (text box) memang bagus, tapi cukup diawal atau di akhir (atau keduanya) sehingga pembaca menghayati isi dari tulisan. Ketika terjadi klimaks, sementara text box muncul, bisa membuyarkan makna yang hendak diambil.
MANFAAT ISI BUKU :
Sangat cocok dan bagus dibaca para aktivis dakwah, pengemban jalan nabi saw. Sejenak mereguk oase pembelajaran berharga karena para pengemban dakwah pasti berurai pula air matanya, tentang keteguhan dan harapan, tentang ujian serta cita-cita. Membaca buku ini seakan memberikan energi positif atas segala gerak dakwah dan langkah Rabbani yang diusung.

Sabtu, 04 Januari 2014

A Cup of Tarapuccino (Secangkir Cinta, Rindu dan Harapan) – Resensi



Judul : A Cup of Tarapuccino (Secangkir Cinta, Rindu dan Harapan)
Pengarang : Riawani Elyta dan Rika Yulia Sari
Penerbit : Indivia
Tebal : 304 Halaman

Satu lagi novel dengan genre cinta, tapi BCB (Bukan Cinta Biasa). Duo Hawa ini berkolaborasi menghasilkan sebuah karya yang tidak hanya menuangkan nada cinta, tapi juga sebuah harapan, tantangan serta permainan yang terjadi di salah satu sudut pulau perbatasan. Batam. Jika menilik judul, bisa jadi kita akan menangkap aroma “Romantika” pada umumnya, tapi setelah membaca secara keseluruhan akan nampak nuansa pembeda yang menjadikan setiap alur dan settingnya menarik.
Tara dan Raffi masih dalam ruang lingkup satu keluarga, namun permintaan sang bunda sesaat sebelum wafat sungguh terlampau menikam ulu hati. Tak mungkin dua hati dalam satu keluarga yang saling melindungi serta menjaga terikat dalam nuansa pernikahan. Alasan hubungan dekat serta masalah pembagian warisan bisa jadi alasan terkonyol yang pernah diberikan. Raffi hanya memegang satu janji untuk terus menjaga Tara apa pun yang terjadi, sembari memendam sebuah getaran yang tak asing bagi pemuda seusianya.
Keduanya berkolaborasi dalam usaha bakery, Bread Time, sebuah franchise yang menyediakan aneka hidangan roti, minuman serta makanan yang tak hanya dinikmati kalangan menengah ke atas. Mereka yang berprofesi sebagai kuli pun bisa menikmati sajiannya. Namun bayang-bayang kekhawatiran akan kehalalan bahan baku yang diberikan langganan pemasok menghantui keduanya setelah kiriman beberapa e-mail saat usaha keduanya berkembang. Termasuk dua tindakan percobaan membuat nama buruk Bread Time semakin membuat keduanya waspada.
Hazel, bukan nama sebenarnya, bergabung dengan Bread Time. Ada sejarah terkelam yang harus dilewati sebelumnya dan tak mudah untuk lepas dari bayang-bayang Bos Bo Bo Ho serta lingkungan “dermaga tikus” yang menjadi tempatnya menyambung hidup. Mantan aktivis kampus yang kehilangan nuansa ukhuwah serta tekanan finansial, ia dikucilkan tanpa ada yang mau memahami kondisi serta hidupnya. Belum lagi gunungan hutang sang ayah ‘tiri’ yang membawanya dari balik jeruji besi, menjauhkannya dari sang bunda ‘asli’. Tiga orang adik yang menyayanginya tak pernah mengetahui seperti apa usaha serta bisnis yang dijalani. Ia dan ketiganya saling menyayangi. Dan nama Allah yang perlahan memudar itu kembali muncul, bangkit dari peraduan kalbu serta memberanikan diri setalah lama mengumpat dalam sanubari. Ia selalu merasakan getaran-Nya, namun seperti inilah kenyataan hidup. Terlalu pahit. Sulit untuk menghilang dari dunia hitam.
Bukan novel cinta biasa yang menyuguhkan romantika, karena cinta adalah bumbu yang menyegarkan suasana serta ketegangan yang tengah terjadi dalam kehidupan. Hazel menemukan sebuah getaran saat ada di Bread Time, suatu gerak dan denyut yang dulu pernah muncul. Bergetar pelan dan terus mengalami peningkatan adrenalin. Sang peach yang dulu tak pernah ditemuinya, dengan harapan mau menjadi pendamping hidup. Dan warna itu seakan jelas dimatanya, sejelas sinar mentari yang menerobos kabut di pegunungan kala pagi. Sang peach yang jua merasakan sebuah getaran lain dalam hidupnya. Baru kali ini ia merasakan kehadiran rasa itu, yang tak pernah terbayangkan dalam kebersamaannya dengan Raffi.
Dunia ‘dekat’ perbatasan yang menyimpan banyak pil pahit pun memunculkan taringnya. Diantara pilihan terburuk, maka Hazel memilih untuk meneruskan ‘tujuan terakhir’ yang ia harap mampu membuatnya terlepas dan bebas. Dan Raffi menangkap sinyal yang lain pada diri Tara, seakan melodi ‘cemburu’ itu membayangi setiap detik langkah kebersamaannya. Akankah ketiganya mampu menguatkan langkah hati?

Kamis, 02 Januari 2014

Pembeda Kita dengan Pejuang Rabbani



Cukuplah dengan satu kata yang membedakan Sang pejuang dengan kita saat ini dan disini. Ia adalah sifat rabbaniyah. Rabbaniyah berarti berhubungan kepada Rabb dan manusia yang berpredikat rabbani bila ia berhubungan dengan Allah sebagai satu-satunya Rabb.
 
“Dan tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (Ali Imran [3] : 79)

Dengan sifat rabbaniyah ini seorang Muslim tidak ada pilihan lain kecuali ia menjawab sami’na wa atha’na atas syariat Islam. Konsekuensi lain dari sifat rabbaniyah ini adalah taqarrub illallah menjadi tuntutan bagi Muslim. Lebih dari itu, seorang Muslim bahkan harus bersegera untuk berkomitmen melaksanakan semua perintah syara’ sebagai suatu ibadah.

Seperti para salafus shaleh, suatu generasi terbaik sepanjang zaman. Generasi ideal yang digambarkan sebagai generasi pilihan Allah, tampil dengan julukan “Layaknya rahib-rahib di malam hari dan penunggang kuda di siang hari.” Ketika malam tiba, mereka berdiri di mihrab, hingga larut dalam kekhusyukan shalat, larut tersedu oleh dzikir yang panjang. Namun begitu fajar menyingsing dan hari beranjak siang, gaung jihad menggema menyeru para mujahidin, niscaya kita lihat mereka segera melompat ke atas punggung-punggung kudanya sembari meneriakkan syia-syiar kebenaran dengan lantang sehingga menembus segenap penjuru dunia.

Inilah generasi rabbani, sebagaimana yang dimaksud firman Allah dalam Ali Imran ayat 79. Menurut Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Jami’ al-Bayaan fii Ta’wil Qur’an mengatakan bahwa dalam surat tersebut, makna rabbani adalah seseorang yang memenuhi beberapa kualifikasi:

Pertama, fakih. Seorang yang fakih adalah orang memiliki keilmuan dan wawasan yang luas, terutama pemahaman tentang agama (yufaqihu fi ad-diin). Ia mudah memahaminya dan memahamkan kepada orang lain. Ia memiliki kemampuan memahami kondisi dan lingkungan sekitarnya, dan mampu memberi solusi yang tepat sebagai aplikasi keagamaannya. Ia layaknya seorang dokter yang dengan jeli melihat pasiennya hingga menemukan sumber penyakitnya, merumuskan resep yang tepat dan sekaligus dapat memberikan fatwa yang tepat, efektif dan efisien. Meminjam istilah ustadz Salim A. Fillah, “Seorang yang rabbani mencoba untuk melihat apa yang ada di balik sesuatu, mendengarkan yang tak terucapkan, dan menilai dari berbagai sisi yang tak selalu linear.”

Kedua, alim. Inilah karakter seorang rabbani yang dituntut untuk memiliki ilmu dan wawasan yang luas, semangat belajar yang tak pernah surut. Ia senantiasa ditarbiyah oleh Rabbnya dengan perantaraan pena. Tuntutan keilmuan dibutuhkan sebagai panduan dalam melakukan amal perbuatan. Dalam dataran praktek di lapangan, wawasan akan memberikan asupan dan informasi akan efektif-efisien tidaknya apa yang sedang dan akan dilaksanakan.

Ketiga, paham politik (bashir bi as-siyasah). Seorang yang rabbani, memiliki kedalaman pandangan tentang politik. Politik Islam adalah seni mengelola urusan publik agar manusia merasa indah beribadah dan mampu menjadikan setiap aktivitas mereka sebagai ibadah. Dia mampu mengelola sebuah kebjakan yang membuat orang kaya merasa terjamin hartanya dan gembira menunaikan kewajibannya. Kebijakan itu membuat orang miskin merasa tenteram sekaligus bersemangat dalam etos kerjanya.

Keempat, melek manajemen (as-shahirah bi at-tadbir). Seorang yang rabbani juga memiliki kedalaman pandangan dalam hal manajemen. Dia tahu bagaimana menempatkan sumber daya pada posisi yang tepat sesuai dengan ahlinya. Didasari hal inilah, Rasulullah tak pernah mengangkat Umar ra., menjadi komandan satuan pasukan besar bukan karena beliau tidak mampu. Tapi model seperti Umar akan mementingkan mencari kematian (syahadah) daripada kemenangan pasukan yang dipimpinnya. Berbeda dengan profil Khalid bin Walid ra. Saat dipecat dari kedudukannya sebagai panglima ia berujar, “Kini aku bebas mencari kematian. Kemarin ketika menjadi panglima, tentu kupikirkan pasukanku. Kini aku berpikir tentang diriku sendiri, dan aku merindukan surga.” Kalau bukan karena dia panglima, Khalid mungkin tak perlu mematahkan sampai 13 bilah pedang dalam Perang Mu’tah.

Kelima, al-qiyam bi as-su-unir ra ‘iyah lil maslahati ad-dunyaa wa ad-diin. Poin ini adalah implementasi dari poin ketiga dan keempat. Kata kuncinya adalah kepedulian pada kepentingan publik. Seorang yang rabbani memiliki peran dalam menegakkan kepentingan masyarakat banyak dalam kerangka kebaikan dunia dan agama. Ada advokasi, penyantunan, pelayanan, peningkatan kesejahteraan dan ada kebijakan yang membuka peluang-peluang kebaikan. Itulah orang-orang rabbani.

Air mata di jalan dakwah, jelaslah yang membedakan antara kita dengan sang pejuang itu. Mereka kalau toh harus menangis bukan lantaran kegenitan dan kecengengan mereka. Tetapi, lantaran muhasabah atas apa yang semestinya mereka lakukan merasa belum sepenuhnya dilakukan. Mereka menangis dalam himpitan perasaan khauf dan raja’ kepada Allah. Mereka menangis lantaran ilmu yang dimilikinya belum banyak diambil manfaatnya bagi orang lain. Mereka menangis lantaran takut kesetiaan imannya tergadaikan dengan urusan dunia. Mereka menangis lantaran takut merosotnya tekad yang kuat dalam dada. Lantaran itu semua mereka layak menjadi generasi rabbani yang pantas mengemban amanah khalifah di muka bumi.
Air mata di jalan dakwah, ada tanya yang tersisa, bagaimana dengan Anda? Seorang pejuang sejati takkan mengalirkan air matanya tanpa makna.

Dinukil dari buku “Air Mata di Jalan Dakwah”, Umar Hidayat.

Buku adalah gudang ilmu, membaca adalah kuncinya. Ketiadaan dana untuk membeli sebuah buku bukan halangan untuk membaca, karena ruang perpustakaan dan rak-rak sahabat muslim kita sudah terlalu penuh oleh ‘debu’ dan kesepian. Jauhnya kita dari toko buku bukan pula halangan untuk mencari ilmu dari membaca, karena kita memiliki segala upaya untuk mendapatkan dengan cucuran keringat serta air mata. Kemanakah segala waktu kita...? muslim beribadah berdasarkan Ilmu, bukan teka-teki ataupun taklid buta. Barangkali dengan membaca kita bisa semakin dekat dengan “Generasi Rabbani”, sebagaimana ayat pertama yang turun... “IQRA...!!!”