Minggu, 04 Mei 2014

Seputar Tuduhan Wahabi

Bismillahirrahmanirrahim.

Awalnya mungkin saya pribadi belum terlalu paham mengingat tidak pernah membaca referensi terkait ini, dan yang ada hanyalah opini penjatuhan tanpa disertai suatu pemaparan yg obyektif. Membaca buku karya Syaikh Idahram (Belakangan malah diketahui nama aslinya adalah 'Marhadi'). Ini linknya ---> http://arrisalah-institute.blogspot.com/2012/03/siapakah-syaikh-idahram-itu.html

Ada sesuatu yang tersimpan dan masih tanda tanya, sehingga memutuskan untuk mulai mencari data dan fakta bersama sumber daya yang ada, meski terbatas urusan link atau website serta beberapa buku dan diskusi bersama sahabat ataupun bertanya kepada ustadz. Sesuatu yang miss bisa menjadi bumerang bagi mereka yg hanya percaya pada satu sumber tanpa menelaah lebih jauh. Oleh sebab itu setelah membaca link ini ---> http://abiubaidah.com/studi-kritis-atas-buku-sejarah-berdarah-sekte-salafi-wahabi.html/ semakin terbuka celah dan kalimat bahwa "Kebohongan yang diucapkan berulang bisa menjadi sebuah kebenaran." Wallahualam.

Jika kita mau obyektif, maka alangkah baiknya kita mempelajari beliau yang tertuduh (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) serta klaim Wahabi, adakah si Syaikh menyatakan demikian? Maka saat membaca buku karya Rahmat Abdullah (Syekh Siti Jenar, Pemutarbalikkan sejarah, perjalanan hidup dan ajarannya) kemudian sinkronisasi dengan link studi kritis terkait Wahabi, saya mulai mengambil suatu hipotesis, "Bahwasanya ada unsur tipu daya serta Ghzawul Fikri yang menyerang Umat Islam dengan jalan melancarkan tuduhan tanpa disertai pemahaman yang menyeluruh."

Saya pribadi bukanlah yang banyak belajar mengenai Wahabi, apalagi mengikuti pandangan sang Syaikh, namun apabila ada suatu unsur 'kebohongan publik' yang benar2 batil bisa menjadi aura pemecah-belah persatuan ummat hingga semakin tajam dan tersudutlah opini yang pada akhirnya dibenarkan itu. Sekali lagi, ada sesuatu yang miss atau hilang dalam ajaran Sang Syaikh yang semoga Allah memberi rahmat atasnya.

Disini saya coba memaparkan dua tuduhan yang pernah dilontarkan kepada beliau (Dari buku Rahmat Abdullah hal 222-228),

"Toleransi Sunni itu kemudian berubah menjadi gerakan syari'ah dan politik radikal dalam Wahabisme yang lahir dari gagasan Muhammad bin Abdul Wahhab (1703 - 1792 M). Hal ini sesuai dengan metode Wahabisme dalam memahami sumber ajaran Islam seperti Mazhab Hanbali yang harfiah dan tekstual serta menentang keras penggunaan akal (Fyzee, 1959, hal. 37)."

"Radikalisme Wahhabi dapat dilihat antara lain dari pandangannya bahwa menyembah selain Tuhan adalah  musyrik dan halal dibunuh. Meminta pertolongan Syaikh, Wali, kekuatan gaib berarti kekufuran, termasuk menjadikan Nabi Muhammad saw, syaikh, ataupun malaikat sebagai wasilah (mediator, perantara) dalam berdo'a dan berhubungan dengan Tuhan (Nasution, Pembaharuan, 1988 hal. 24-25)."

Demikianlah tuduhan mereka terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan istilah radikalisme berikut ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karenanya, perlu diketahui autobiografi singkat siapakah sesungguhnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan secara obyektif dan terlepas dari berbagai tuduhan miring terhadapnya.

Beliau adalah Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin Musyir bin Umar, dari bani Tamim. Beliau dilahirkan di kota Uyainah, Nejed, pada tahun 1115 H. Beliau telah hafal Al-Qur'an sebelum berusia 10 tahun dan ini adalah kelebihan yang Allah anugerahkan atas beliau terhadap kalam-Nya.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab belajar fikih Mazhab Hanbali kepada ayahnya sehingga memiliki wawasan fikih yang luas. Oleh sebab itu, ayahnya yang termasuk ulama besar, sangat mengagumi kekuatan hafalannya. Beliau banyak membaca kitab tafsir dan hadist, serta bersungguh-sungguh mencari ilmu, siang dan malam.

"Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikkan maka Alloh akan memberi kepahaman dalam agama." (HR. Buchori (1/164), Muslim (13/67) Al Imaroh, At Tirmidzi (10/114) dari Ibnu Abas, At Tirmidzi berkata hadist hasan shohih.

Beliau menghafal matan-matan ilmiah dalam berbagai bidang ilmu. Beliau mengadakan perjalanan ke Madinah dan belajar dari para ulamanya, diantaranya Syaikh Abdullah bin Ibrahim Asy-Syamari, putranya yang termasyhur Ibrahim Asy-Syamari penulis kitab Al-'Adzbul Faidh fi Syrhi Alfiyatil Faraidh. Kedua ulama ini mengenalkan beliau kepada seorang ahli hadist yang termasyhur, Muhammad Hayah As-Sindi, lantas beliau belajar ilmu hadist dan rijalul hadist kepadanya, serta mendapatkan ijazah darinya untuk mengajarkan kitab-kitab induk.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dikaruniai Allah pemahaman yang tajam dan kecerdasan yang luar biasa. Beliau tekun membaca, mengkaji dan menulis. Banyak ilmu yang melekat dalam pikiran beliau selama membaca dan mengkaji. Beliau tidak bosan menulis, bahkan banyak menyalin tulisan-tulisan Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim. Beberapa manuskrip berharga masih tersimpan di museum. Beliau berdakwah kepada tauhid yang merupakan hak Allah atas hamba-Nya, mengingkari kemungkaran dan menyerang para penyembah berhala, para pelaku bid'ah khurafat dan takhayul. Beliau didukung oleh Amir Muhammad bin Su'ud hingga darinya berdirilah negara Saudi yang pertama.

Diantara karya beliau yang sangat berharga adalah "Kitabut Tauhid" yang telah banyak tersebar ke seluruh dunia, "Kasyfusy Syubuhat" berisi tentang bantahan terhadap para penyembah berhala kesyirikan. Uhsuluts Tsalasah (Tiga Pokok Landasan) yang berisi tentang kewajiban setiap muslim untuk mengenal Allah, Islam dan Nabi Muhammad saw. Oleh karena besarnya peran beliau dalam menyebarkan risalah Tauhid inilah menjadikan banyak para ulama memberikan pujian, diantaranya Syaikh Ali Ath-Thanthawi yang mencantumkan nama beliau dalam kitab Silsilah 'an A'lam At Tarikh (Silsilah Tokoh-Tokoh Bersejarah). Banyak diantara para ulama yang menyebutnya sebagai Mujaddid (pembaru) Islam.

Meskipun demikian, tidak luput pula beliau dari tuduhan dan serangan para penentang Tauhid dengan sebutan gerakan Wahhabi oleh orang-orang Inggris yang ketika itu risalah Tauhid beliau tersebar ke India yang merupakan negara jajahan Inggris. Tidak lain tuduhan tersebut adalah untuk menjatuhkan nama beliau agar kaum muslimin bercera-berai dan antipati terhadap dakwah beliau. Karena musuh-musuh Islam mengetahui betapa besar pengaruh dakwah beliau ini, di Dunia Islam melalui orang-orang yang berangkat haji ke Mekkah dan menerima dakwah beliau, maka mereka berusaha menjulukinya dengan istilah Radikalisme Wahhabi.

Adapun ajaran beliau tentang menyembah selain Tuhan adalah musyrik dan halal dibunuh maka sesungguhnya ajaran ini bukanlah berasal dari beliau, bahkan ajaran ini adalah ajaran Allah dan Rasul-Nya yang telah ada sebelum Allah menciptakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Allah berfirman,

"Katakanlah ; 'Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya." (Al Jin : 20)

"Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, 'Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian Aku." (al Anbiya : 25)

Dari Mu'adz bin Jabal bahwa pernah suatu ketika beliau berada dibelakang Rasulullah saw diatas keledai bernama 'Ufair. Rasulullah saw bertanya, "Wahai Mu'adz, tahukah engkau hak Allah atas hamba-Nya dan hak para hamba atas-Nya?" Mu'adz menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Rasulullah saw bersabda, "Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka menyembah Allah saja dan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya dan hak para hamba atas Allah adalah Dia tidak akan mengadzab siapa saja yang tidak berbuat syirik kepada-Nya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Inilah diantara yang didakwahkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yaitu dakwah kepada Tauhid dan menentang para pelaku syirik sebagaimana para Nabi dan Rasul; tidaklah mereka diutus kecuali untuk dakwah kepada Tauhid ini. Dakwah Tauhid inilah pokok-pokok yang mendasar dalam Islam, yang dengannya jin dan manusia diciptakan, langit dan bumi ditegakkan,para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan.

Dengan Tauhid ini pula Allah membedakan antara yang hak dengan yang bathil, antara Mukmin dan Muslim dengan Musyrik dan Kafir. Dengan ini pula Rasulullah saw diutus untuk memerangi manusia hingga mereka bertauhid sebagaimana dalam sabda beliau, "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Illah (yang berhak disembah) kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Apabila mereka melakukan demikian, terpeliharalah dariku darah dan hartanya." (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra.,)

Adapun tentang meminta pertolongan Syaikh, Wali, Kekuatan Gaib berarti kekufuran, demikian pula menjadikan Nabi Muhammad saw, Syaikh ataupun Malaikat sebagai wasilah (mediator, perantara) dalam berdo'a dan berhubungan dengan Allah adalah kekufuran, maka sesungguhnya ini adalah ajaran yang hak. Suatu ajaran yang telah Allah turunkan kepada Rasul-Nya dan telah sampaikan pula kepad manusia jauh sebelum Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab diciptakan.

Bagaimana tidak kafir orang yang menjadikan Syaikh, Wali, kekuatan gaib sebagai tempat memohon pertolongan, sedangkan Allah berfirman,

"Hanya Engkaulah yang Kami sembah dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan." (Al Fathihah : 5)

"Katakanlah (Wahai Muhammad), 'Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman." (Al A'raf : 188)

Demikian pula Rasulullah saw memohon dihilangkan kesulitan (istighasah) hanya kepada Allah ketika beliau diliputi kesedihan dengan do'anya, "Wahai Dzat Yang Mahahidup Kekal dan Yang Terus-menerus mengurus Makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu aku beristighasah." (Hadist hasan diriwayatkan oleh Tirmidzi) Beliau juga mengajarkan agar meminta dan memohon pertolongan hanya kepada Allah dalam sabdanya, "Apabila engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah; dan apabila engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah!" (HR. Tirmidzi, hasan shahih)

Syaikh Abdul Qadir Jaelani rahimahullah dalam kitabnya Al Fath Ar Rabbani berkata, "Mintalah kepada Allah, dan jangan meminta kepada selain-Nya! Mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan memohon pertolongan kepada selain-Nya! Celakalah kamu, dimana kamu akan letakkan mukamu (dihadapan Allah di akhirat kelak) jika kamu berani menentang Allah di dunia ini. Kamu palingkan wajahmu dari-Nya, meminta pertolongan kepada makhluk-Nya dan menyekutukan-Nya. Engkau keluhkan segala hajatmu dan engkau pasrahkan segala nasibmu kepada makhluk-Nya itu. Singkirkanlah perantara-perantara yang menghubungkan dirimu dengan Allah! Karena ketergantunganmu kepada perantara-perantara itu adalah suatu kedunguan. Tidak ada kerajaan, kekuasaan dan kemuliaan kecuali semua itu adalah milik Allah! Jadilah kamu orang yang selalu bersama Allah tanpa dengan makhluk (maksudnya, bersama Allah dengan selalu berdo'a kepada-Nya tanpa perantara salah seorangpun diantara makhluk-makhluk-Nya)." [Al Firqah An Najiyah, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu]

Diantara kerancuan pemahaman orang-orang yang memohon kepada Allah dengan perantara Nabi, Syaikh, Wali, orang-orang shaleh atau malaikat adalah alasan mereka yang tidak benar, "Kami adalah orang-orang yang terlalu banyak dosa sehingga tidak layak bagi kami memohon pertolongan Allah dalam keadaan demikian, maka kami menjadikan mereka perantara sebagai perantara kami dengan Allah, ini tidak lain karena keshalehan, kedudukan yang tinggi dan kedekatan para Wali kami dengan Allah." Maka belumkah datang kepada mereka firman Allah,

"Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya, sesungguhnya adzab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti." (Al Isra : 57)

Ayat ini adalah bantahan terhadap kaum musyrikin yang menyeru (menjadikan mediator/perantara/tawasul) kepada orang-orang shaleh dalam do'a mereka dan sekaligus ayat ini menjelaskan bahwa perbuatan mereka adalah syirik besar. [Kitabut Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab]

Maka sudah menjadi suatu studi atau kajian yang obyektif serta menghilang sekat atau hijab bernama Taqlid serta kejumudan dalam berpikir serta mengikuti suatu pandangan ulama hingga ijtihad mereka akan Dienul Islam.

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu anhuma, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu (syar’i) dengan sekali cabut dari hati manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ‘ulama. Kalau Allah tidak lagi menyisakan seorang ‘ulama pun, maka manusia akan menjadikan pemimpin-pemimpin yang bodoh. Kemudian para pemimpin bodoh tersebut akan ditanya dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan." (Diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari nomor hadits: 100, 7307, dan imam Muslim nomor hadits: 2673).

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata: “Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu, sebelum ilmu tersebut dihilangkan. Hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya para ‘ulama. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti kedudukannya para ‘ulama, karena mereka melihat begitu besarnya kemuliaan para ‘ulama. Sungguh tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam keadaan sudah berilmu. Ilmu itu tidak lain didapat dengan cara belajar.”

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata: “Barangsiapa yang meremehkan para ulama, lenyaplah akhiratnya.”

Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan orang-orang yang memiliki lisan yang jujur di kalangan umat ini, yang dengannya mereka disanjung dan dihormati di tengah masyarakat, merekalah para ulama pembawa hidayah, kesalahan mereka sangat sedikit dibandingkan kebenaran yang mereka sampaikan.”

Selanjutnya wajib bagi kita untuk menjaga lisan, tidak menjelek-jelekkan atau bahkan menghina para ulama karena mereka berbeda dengan imam atau ulama yang kita ikuti. Mereka telah berijtihad sesuai dengan kemampuan akal serta membaca peta kondisi masyarakat muslim saat itu (kondisi kekinian dan keterdisinian). Tentang Wahhabi masih banyak tanda tanya serta pelurusan seputar ajarannya, ada sesuatu yang missed (menurut hemat saya) baik dari sisi sejarah serta ajaran yang tersebar hingga saat ini. Dan rata-rata yang kurang sepakat bahkan menghujat hingga tebar fitnah adalah juga yang belum pernah baca kitab-kitab beliau. Wallahu'alam. 
Saya pribadi hanya bersikap obyektif, menelusuri berdasarkan data yang terkumpul dan dipelajari meski ajaran beliau belum diikuti atau baru sampai sebagian. Dan meski berbeda, tetap beliau adalah seorang ulama yang mestinya kita hormati.