Minggu, 19 Februari 2012

Catatan Perjalanan Tarbiyah 2


Seri Materi Ruhul Istijabah, bersama Irwan Setiawan, alumni FISIP Unpad, ketua umum FKDF periode 2005

How quick we greet Him. It’s about our responsibility from anything outside, 
what we must do, the prays we must.

Ash-Shaff ayat 4, ‘seorang mukmin bagaikan barisan yang kokoh dan teratur (barisan orang-orang yang berperang)’.

Ruhul Istijabah : Keajaiban dari Allah SWT, tidak mudah mengeluh tidak mudah mengumbar penderitaan kepada orang lain, dan diiringi dengan keimanan yang mantap kepada Allah SWT.

Bergerak optimal, bekerja maksimal, semakin memperluas pemahaman, semakin tahu untuk berjalan bersama dalam bangunan dakwah yang membangun. Tarbiyah adalah membangun kesadaran kepada pribadi muslim untuk bergerak memenuhi seruan dakwah, panggilan Allah. Kesadaran yang dibangun karena pemahaman untuk memperbaiki kondisi pribadi dan ummat. Pertanyakan pada diri kita mengenai kondisi Tarbiyah yang selama ini dilakukan, apakah membuat kita semakin sadar dalam setiap aktivitas dakwah adalah untuk Allah atau karena yang lainnya. Tarbiyah ini membentuk ‘Ruhul Istijabah’ pada diri muslim yang benar-benar memiliki kesadaran untuk memperbaiki kondisi diri dan ummat yang semakin mengalami ‘degradasi’. Bagaimana dengan kondisi kita saat panggilan Allah untuk shalat tiba? Ada pada shaff berapa saat kita shalat berjamaah? Bagaimana reaksi kita atas setiap panggilan dakwah, ta’limat, ta’lim, syuro, acara-acara jamaah, seruan qiyadah? Bagaimana reaksi kita atas setiap agenda dakwah yang berlangsung dan terus terjadi? Bagaimana respon kita untuk memenuhi perintah atau seruan yang qiyadah berikan kepada kita?

Ruhul Istijabah memerlukan proses, karena yang namanya kesadaran dibentuk atas dasar pemahaman berpikir bahwasanya ada yang harus dikerjakan, ada banyak hal yang harus diperbaiki, ada sekian banyak perbuatan yang dibenahi. Proses yang berawal dari kedekatan kita kepada Allah, yang kemudian Dia memberikan petunjuk atau jalan kepada kita untuk memberikan kontribusi amal dalam dakwah.

Semangat dakwah yang dibangun atas dasar pemahaman, ukhuwah atau semangat kebersamaan, penuh kesabaran untuk istiqamah dijalan-Nya.

Catatan Perjalanan Tarbiyah


Seri pertemuan di Masjid Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran, 18 Februari 2012. Bersama Pak Zuliandri, dosen Jurusan Kimia FMIPA Unpad.

        Al-Kahfi (18) jumlah ayat 110, ayat2 awal berkisah mengenai pemuda Ashabul Kahfi. Cerita kedua mengenai seorang mukmin yang miskin dengan seorang kafir yang kaya, terjadi dialog. Kisah ketiga mengenai perjalanan Nabi Musa as., bersama Nabi Khidr. Kisah keempat mengenai Nabi Zulkarnain, dakwah yang berhadapan dengan kedzaliman atas kepemimpinan beliau. Berawal dari keterasingan yang membuat dakwah bergerak secara sembunyi2 untuk menghindari kebinasaan, hingga Allah memberikan kemenangan/kekuasaan pada akhirnya.
    Kisah Zulkarnain, Allah mengukuhkan beliau di muka bumi untuk menyampaikan kebenaran Allah/dakwah. Kekuasaan yang tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan melalui proses/ikhtiar karena Allah SWT. 

Jalur professional pun bisa dimanfaatkan demi keberlangsungan dakwah, semakin menambah nilai-nilai Ilahiah di kalangan ilmuwan-professional.

         “Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya". Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, Maka diapun menempuh suatu jalan. Hingga apabila Dia telah sampai ketempat terbenam matahari, Dia melihat matahari terbenam[887] di dalam laut yang berlumpur hitam, dan Dia mendapati di situ segolongan umat[888]. Kami berkata: "Hai Dzulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan[889] terhadap mereka. Berkata Dzulkarnain: "Adapun orang yang aniaya, Maka Kami kelak akan mengazabnya, kemudian Dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami". (Q.S Al-Kahfi (18) : 83-88)

Zulkarnain attitude of power ( kokohnya kekuasaan Zulkarnain) “At-Tamkiin” :
  1. Undang2 yang adil, untuk yang dzalim maupun bagi mereka yang beriman kepada Allah.
  2. Manhaj Tarbawi yang jelas di tengan masyarakat
  3. Kepentingan/kepedulian terhadap ilmu2 selain ilmu agama, ilmu alam dan ilmi sosial dan lain     sebagainya, ilmu sebab-akibat.
Cabang Ilmu, kisah Nabiyullah Zulkarnain as. (mari mentadabburi Al-Kahfi 83-101):
  1. Ilmu Geografi dan Kebumian (Geologi), ilmu tata-letak, kewilayahan. Allah memberikan keberkahan dari Langit dan Bumi, sehingga kita memerlukan pemahaman di dalamnya.
  2. Transportasi (teknik sipil-planologi/tata kota, mesin), perpindahan lokasi dari yang satu dengan lokasi yang lainnya.
  3. Ilmu budaya-bahasa-ilmu sosial, dialog antara Nabi Zulkarnain dengan masyarakat yang tidak dimengerti bahasanya. Nabi Zulkarnain turun langsung untuk mengetahui permasalahan yang ada pada masyarakat.
  4. Ilmu tentang logam dan kimia, kisah perang dengan Ya’juj dan Ma’juj dengan membuat dinding pemisah yang melindungi masyarakatnya.

         Banyak sekali tugas yang harus dikerjakan untuk masyarakat, dan ranah ilmy punya peran untuk membangun kecerdasan intelektual pribadi muslim. Sarana penguatan ilmy banyak dan bisa dimanfaatkan untuk membentuk kecerdasan intelektual, pun juga memberikan motivasi kepada yang lainnya. Peningkatan kapasitas intelektual untuk mengokohkan dakwah Illahiah, sehingga diperlukan untuk menghadapi problematika atas permasalahan masyarakat. Pelajari kisah Zulkarnain (sebagai seorang Raja).

Question : permasalahan aturan ilmiah yang memang bertentangan dengan aturan Islami.

Answer : antara kondisi ideal dengan kondisi darurat, dan kondisi hukum Islam berlaku ketika kondisinya ideal. Contoh hukum potong tangan pada zaman Umar ra., terhadap seorang pencuri yang tidak dipotong tangan karena ia sedang kelaparan. Kondisi saat ini berada pada kondisi yang kurang ideal apabila hukum Islam berlaku, seperti seorang dokter akhwat/ikhwan yang harus menangani pasien ikhwan/akhwat dan harus bersentuhan tangan (kondisi emergency). Namun tetap diupayakan untuk mencari atau menemukan kondisi ideal, dan dakwah adalah saran untuk menuju kesana.

Wallahu'alam bisshawab

Sabtu, 18 Februari 2012

Futur, Sebab dan Terapinya


Oleh: Ust. Hasan Bishri, Lc. 


Bismillah wal hamdulillah, was sholatu was salamu ‘ala Rosulillah. Amma ba’du.



Muqoddimah
Allah berfirman, “Dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146).

Di surat lain menceritakan semangat para malikat, “Dan milik-Nya siapa yang di langit dan di bumi. Dan (malaikat-malaikat) yang di sisi-Nya, tidak angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak pula letih. Mereka bertasbih tidak henti-hentinya sepanjang malam dan siang.” (QS. al-Anbiya’: 19-20).



Definisi
Futur, secara bahasa mempunyai dua makna. Pertama yaitu terputus setelah bersambung, terdiam setalah bergerak terus. Kedua yaitu malas, lamban atau kendur setelah rajin bekerja. Futur secara istilah merupakan suatu penyakit yang dapat menimpa seseorang yang berjuang di jalan Allah. Futur yang paling ringan menyebabkan seseorang terhenti setelah terus-menerus melakukan ibadah. Ar-Râghib berkata, “Futûr ialah diam setelah giat, lunak setelah keras, dan lemah setelah kuat.

Futur, kata berasal dari bahasa Arab yang akar katanya adalah: Fataro – Yafturu – Futurun, yang artinya menjadi lemah dan menjadi lunak. Atau diam setelah giat dan lemah setelah semangat. Orang yang futur mengalami penurunan kuantitas dan kulaitas amal shalih/ ibadah. Atau ia mengalami kemerosotan atau kemalasan pada keimanan atau keislamannya. Atau orang yang mengendur sendi-sendi hatinya sehingga menyebabkan penurunan stamina ruhiyah yang dapat menjadikannya jauh dari kebaikan dan anjlok produktivitas amal shalihnya.

Dalam konteks amal dakwah, Futur adalah satu penyakit yang menimpa aktivis dakwah dalam bentuk rasa malas, menunda-nunda, berlambat-lambatan dan yang paling buruk ialah berhenti dari melakukan amal dakwah. Sedangkan sebelumnya ia adalah seorang yang aktif dan beriltizam (rajin).



Gejala Futur
Maka atas dasar inilah para ulama meletakkan beberapa tanda (alamat) yang dengannya dapat diketahui apakah seseorang itu terjangkiti penyakit futûr atau tidak. Ada banyak tandanya, namun tanda-tanda yang terpenting adalah sebagai berikut:

1. Bermalas-malasan dalam melaksanakan ibadah dan ketaatan; namun ini tidak bermakna meninggalkan ibadah-ibadah fardhu. Sebab jika ibadah fardhu ditinggal maka seseorang itu berstatus fâsik, ‘âshy (pelaku kemaksiatan), disamping itu dia telah menyerupai orang-orang munafik -sekalipun ia tidak termasuk dari mereka- dimana mereka disifati oleh Allah, “Dan mereka tidak mengerjakan shalat melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (QS. At-Taubah: 54).

2. Merasakan kekerasan dan kekasaran hati. Allah azza wa jalla berfirman, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadîd: 16).

3. Merasa tidak bertanggung jawab terhadap beban yang ada di pundaknya. Ia tidak mau memikul beban dakwah, cuek dengan kondisi ummat yang tengah tercabik-cabik, kehilangan jati diri, dan jauh dari Allah ta’ala.

4. Perhatian yang besar terhadap dunia, sibuk dengan urusan-urusan duniawi dengan jalan merusak kehidupan akhiratnya. Kesibukan telah menghalanginya untuk mempersiapkan diri bertemu dengan Allah ta’ala.

5. Banyak ngomong pada hal-hal yang tidak bermanfaat. Menyia-nyiakan waktu tanpa faidah. Majlis orang-orang taat diketahui dengan dzikrullah di dalamnya, majlis orang-orang maksiat diketahui dengan kemaksiatan-kemaksiatan di dalamnya. Sedang majlis orang-orang futur diketahui dengan banyaknya pembincangan tak berguna di dalamnya.

6. Meremehkan dosa-dosa kecil, padahal tidak ada dosa kecil jika dilakukan berkali-kali atau terus-terusan. 

7. Gemar menunda-nunda pekerjaan. Barangsiapa yang mentadabburi firman Allah berikut ini, maka ia akan memahami hakikat dari penundaan. “Janganlah kamu pergi berangkat (berperang) dalam panas terik ini.” Katakanlah, “Api neraka jahannam itu lebih panas(nya), jika mereka mengetahui.” (QS. At-Taubah: 81).


Senin, 13 Februari 2012

Ya Allah...!

By: Muhamad Agus Syafii

Malam begitu terlihat indah. Tiba-tiba terdengar suara petir menyambar. tanpa kita duga dan kita bayangkan membuat kita terhenyak. Hati menjerit, "Ya Allah.." Begitulah musibah, cobaan dan ujian hadir tanpa mengetuk terlebih dulu. Kehadirannya tanpa kita duga. Membuat hati hancur dan perih bagai teriris sembilu. Dalam kesendirian ditemani dengan kesedihan. Kesedihan adalah teman yang tidak pernah kita harapkan. Kemanapun kita pergi, dia selalu mengikuti kita. Menunggu dengan setia, menoreh luka. Dada terasa perih seperti teriris-iris. Pikiran tidak mampu lagi jernih. Apapun yang dirasakan, dilihat, didengar semuanya menusuk hati. Bila kita ditimpa kepedihan seolah dihadapan kita terhalang oleh batu yang besar. Kemanapun kita melihat yang nampak hanyalah batu tu. Tidak dapat dapat melangkah ke depan karena terhalang.  Walau kita berusaha untuk menyingkirkan, batu itu tetap tegak dan kokoh. Kita kemudian menyerah sehingga kita tidak dapat untuk bergerak
melangkah, tidak dapat menatap ke depan, tidak lagi bisa berpikir jernih dan kemudian putus asa.

Bila anda merasakan semikian maka anda memerlukan pertolongan. Hal itu tidak bisa dibiarkan begitu saja, Kepedihan tidak akan hilang dengan sendirinya. Kesedihan tidak akan hilang ditelan waktu jika anda menyimpan di dalam hati. Sikap anda tidak banyak membantu bila menyalahkan orang lain, berprasangka buruk, marah dan dendam. Kita diciptakan sebagai makhluk yang sempurna, kesan hebat, kuat, sanggup menyelesaikan segala masalah namun begitu tertimpa musibah dan cobaan kita baru tersadar bahwa kita lemah. Hati tergetar hebat, rapuh dalam kesedihan yang bisa menyebabkan menuju lembah kebinasaan.  Menangislah! Bila memang diperlukan untuk menangis. menangislah dihadapan Allah, keluarkan segala keluh kesah. Jangan ditahan dan disimpan dalam hati. Keluarkan semuanya bersama dengan air mata anda yang mengalir. Jika anda telah selesai menangis, menghapus air mata yang menetes dipipi. Ditengah sajadah membentang. Anda akan merasakan nikmatnya kesendirian dan
ketenangan hati tiada tara. Semua masalah dan beban anda telah mengalir keluar bersamaan dengan air mata sehingga yang ada hanyalah diri anda dan kasih sayang Allah.

'Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati. Padahal kamulah yang paling tinggi derajatnya, jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Ali Imran : 139).

Jumat, 10 Februari 2012

Seluruh perkara syariat telah ditetapkanNya dan Dia tidak lupa

Firman Allah ta'ala yang artinya, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu" (QS Al-Maaidah: [5] : 3)

Agama hanyalah bersumber dari Allah ta'ala.

Pokok agama atau disebut perkara syariat adalah perintahNya yang wajib dijalankan yang jika ditinggalkan berdosa dan laranganNya yang wajib dijauhi yang jika dilanggar / dikerjakan berdosa.

Dari Ibnu `Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya." (Hadits riwayat Ath-Thabarani)

Perkara kewajiban, larangan dan pengharaman adalah hak Allah ta'ala menetapkannya dan Allah ta'ala tidak lupa.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia." (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)

Agama atau perkara syariat atau perkara yang diwajibkanNya, wajib dikerjakan dan wajib dijauhi meliputi kewajiban, larangan dan perngharaman telah sempurna atau telah selesai ditetapkanNya atau telah selesai disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla atau telah disampaikan seluruhnya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah bersabda, "Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu " (HR Ath Thabraani dalam Al Mu'jamul Kabiir no. 1647)
"mendekatkan dari surga" = perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa)
"menjauhkan dari neraka" = perkara larangan dan perkara pengharaman (dikerjakan berdosa)

Rasulullah mencontohkan meninggalkan sholat tarawih berjama'ah dalam beberapa malam agar kita tidak berkeyakinan bahwa sholat tarawih berjama'ah adalah sebuah kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa karena Allah ta'ala tidak menetapkan sholat tarawih berjamaah sebagai kewajiban di bulan Ramadhan. Yang diwajibkanNya adalah berpuasa di bulan Ramadhan.

Rasulullah bersabda "Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (shalat tarawih itu) akan diwajibkan atas kalian." ( HR Muslim 1270 )


Begitupula para Imam Mujtahid dalam beristinbat, menetapkan hukum perkara suatu ibadah kedalam hukum taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah) menghindari al-Maslahah al-Mursalah atau Al-Istislah atau kadang disamakan juga dengan al-Istihsan yakni "Menetapkan hukum suatu masalah yang tak ada nash-nya atau tidak ada ijma' terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata (yang oleh syara' (dalam Al Qur'an dan As Sunnah) tidak dijelaskan ataupun dilarang"

Menurut Imam Syafi'i cara-cara penetapan hukum seperti itu sekali-kali bukan dalil syar'i. Beliau menganggap orang yang menggunakannya sama dengan menetapkan syari'at berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan pendapat sendiri (akal pikiran sendiri) yang mungkin benar dan mungkin pula salah.

Ibnu Hazm termasuk salah seorang ulama yang menolak cara-cara penetapan hukum seperti itu Beliau menganggap bahwa cara penetapan seperti itu menganggap baik terhadap sesuatu atau kemashlahatan menurut hawa nafsunya (akal pikiran sendiri), dan itu bisa benar dan bisa pula salah, misalnya mengharamkan sesuatu tanpa dalil.

Menetapkan sebagai perkara larangan atau pengharaman yang dikerjakan/dilanggar berdosa atau sebagai perkara kewajiban yang ditinggalkan berdosa berdasarkan maslahah mursalah atau berdasarkan akibat baik dan buruk menurut akal pikiran manusia termasuk kedalam bid'ah dholalah karena yang mengetahui baik dan buruk bagi manusia hanyalah Allah Azza wa Jalla.

Oleh karenanya mereka yang mengada-ada perkara kewajiban, larangan maupun pengharaman adalah termasuk penyembahan kepada selain Allah.

Allah Azza wa Jalla berfirman, "Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah". (QS at-Taubah [9]:31 )

Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, "apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?"

Nabi menjawab, "tidak", "Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya"

Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda "mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka." (Riwayat Tarmizi)

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
"Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui." (QS al-A'raf: 32-33)

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas." (Qs. al-Mâ'idah [5]: 87).

"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung" [QS. An-Nahl : 116].

Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: "Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya." (Riwayat Muslim).

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Valentine...???

Assalamu'alaikum wr wb,
Kalau ada ummat Islam yang merayakan Hari Saint Valentine, kata Bang Rhoma: "Therlaaluuu...!!!"
Muslim kok merayakan Hari Pendeta Nasrani?
Kok merayakannya dengan pacarnya?
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud.)

Dengan merayakan Valentine bersama pacar yang bukan muhrimnya, itu sama dengan mendekati zina:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’ [17]: 32)

Jangankan berzinah, sekedar menyentuh atau berpegangan tangan dengan wanita yang bukan muhrimnya saja siksanya melebihi daripada ditusuk dengan jarum besi kepalanya:

“Seorang ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik ketimbang menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani, no. 16880, 16881)
Baca selengkapnya di:
http://media-islam.or.id/2011/02/14/merayakan-hari-saint-valentine-itu-haram
Wassalam

Rabu, 08 Februari 2012

Cara Mengatasi Kejenuhan

Profesi sebagai ibu rumah tangga adalah profesi yang sungguh mulia. Namun ada kalanya dalam menjalankan tugas yang mulia ini seorang ibu rumah tangga merasakan adanya satu kejenuhan. Apakah kiranya penyebab kejenuhan itu dan bagaimanakah cara untuk mengatasinya?
Seringkali sebagai seorang ibu rumah tangga kita merasa jenuh terhadap tugas sehari-hari. Tugas yang harus diselesaikan rasanya banyak sekali : mengurus anaklah, suami, rumah, dan lain-lain. Sementara sebagai anggota masyarakat pun kita dituntut untuk memberikan peran positif yang tak kurang menyibukkan Apalagi jika ada kegiatan di luar rumah yang cukup melelahkan, seperti bekerja, studi, kursus bahasa, dan kegiatan lain. Sampai di rumah badan terasa penat, inginnya istirahat, sementara sejumlah pekerjaan yang tertunda telah menunggu. Semua sama-sama menuntut uluran tangan dan perhatian kita. Kita rasanya telah berbuat banyak, mengurus anak, suami, rumah tangga, dan lain-lain, tetapi yang didapat seolah-olah hanya letih. Seolah-olah tak seorangpun yang tahu kelelahan kita. Pekerjaan masih menumpuk, ada lagi dan ada lagi. Seolah-olah tak kunjung selesai, dari bangun tidur hingga menjelang tidur lagi. Karenanya kondisi ini sering membuat seorang wanita
gampang tersinggung, suka cemberut, atau bahkan mudah marah.
Sebab-sebab kejenuhan
Bekerja dengan perasaan lelah dan jenuh sudah tentu mengakibatkan tak ada satupun pekerjaan yang dapat diselesaikan dengan baik. Semuanya serba tanggung, capek, sudah pasti rapih pun tidak. Tak jarang hal ini membuat seorang ibu rumah tangga terperosok mengumpat pekerjaan yang dianggapnya terlalu banyak.
• Benarkah pekerjaan
tersebut menjemukan?
• Benarkah upaya selama ini sudah maksimal dan mendapatkan hasil yang tak sesuai ?
• Benarkan anak dan suami banyak menuntut?
Hal ini tidak ada salahnya bila kita tela’ah dan kita koreksi kembali. Ibu rumah tangga tentu saja bukanlah malaikat. Banyak tugas dalam rumah yang dapat menjadikannya merasa jemu. Hanya malaikat yang tidak pernah mengalami degradasi semangat (dalam istilah bahasa arab: futur) dalam beribadah kepada Allah. Karena itu , jenuh merupakan hal yang wajar, hanya saja perlu diatasi dengan jalan yang sebaik-baiknya. Artinya, kejenuhan tidak mesti melahirkan sikap yang bertentangan dengan akhlak Islam.
Rasulullah saw. Bersabda : `”Bagi tiap-tiap amal itu ada masa-masa jemunya, dan pada tiap-tiap masa jemu itu ada peralihannya. Barang siapa yang peralihannya itu kepada sunahku, maka sesungguhnya ia telah memperoleh petunjuk, dan barang siapa yang peralihannya kepada selain sunnahku, maka sesungguhnya ia telah tersesat. (HR. Al Bazaar)
Beberapa unsur penyebab utama timbulnya kejenuhan dan kemalasan bagi seorang ibu rumah tangga antara lain :
1. Kurangnya motivasi bekerja karena Allah dan lemahnya pemahaman bahwa bekerja dalam rumah tangga merupakan ibadah kepada Allah yang bernilai tinggi.
Ketika motivasi kerja dalam rumah tangga bukan lagi mencari pahala disisi Allah, ketika itulah kemungkinan timbulnya kejenuhan menjadi besar. Motivasi lain yang mungkin timbul adalah, semata-mata mencari penghargaan dari suami, atau ingin mendapat pujian dari orang lain. Ketika tujuan-tujuan tersebut tidak didapat, maka kekecewaan yang timbul dapat mengakibatkan kejenuhan. Tetapi ketika Allah yang menjadi tujuan maka Allah tidak pernah menyia-nyiakan hambaNya. Kehidupan rumah tangga bagi seorang muslimah adalah bagian pengabdian tertingginya. Menyediakan keperluan suami, mengurus rumah
tangga, melahirkan dan mendidik anak-anak, kesemuanya merupakan pekerjaan yang mulia yang berpahala. Manakala semua ini kurang dipahami, timbullah kejemuan dan kemalasan.
2. Bersarangnya penyakit hati Jenuh sering disebabkan adanya penyakit hati pada seseorang. 
Sering atau cepat merasa kesal kepada anak, teman, tetangga dan orang-orang di sekitar merupakan fenomena penyakit hati yang wajib segera diobati. Penyakit hati yang menonjol misalnya iri atau dengki serta cinta dunia seperti ingin hidup enak, mudah mendapatkan fasilitas dan merasa tidak senang melihat kemudahan yang dimiliki oleh orang lain.
3. Komunikasi antara suami dan istri yang kurang lancar Salah satu faktor penunjang terjalinnya hubungan antara suami dan istri yang harmonis adalah komunikasi yang lancar.
Hal ini dapat terwujud ketika keterbukaan dan kelapangan dada dimiliki oleh masing-masing pribadi. Ganjalan-ganjalan dihati, ketidakpuasan atas sikap suami yang tidak tersampaikan akan menumpuk menjadi kekesalan dan perseteruan yang tidak berkesudahan. Karena itu pekerjaan rumah tangga akan dirasakan berat.
4. Keletihan setelah melakukan kegiatan di luar rumah 
Para ibu rumah tangga yang mempunyai kegiatan lain di luar rumah, kegiatannya diluar tentunya sangat berpengaruh bagi rumahtangganya. Bertambahnya pekerjaan ekstra diluar, bukan berarti berkurangnya pekerjaan di dalam rumah. Tidak dapat dipungkiri kodrat wanita kurang dapat menerima kondisi ini, sehingga mudah ia merasa kesal dan jenuh dengan semakin banyaknya pekerjaan.
Mengatasi kejenuhan 
Memahami sebab-sebab kejenuhan sudah merupakan setengah upaya mengatasinya. Dari sebab-sebab yangdiuraikan diatas tampaklah bahwa seorang muslimah insya Allah dapat mengatasi kejenuhan dalam rumahtangga dengan kiat-kiat berikut :
1. Niatkan pekerjaan rumahtangga karena Allah semata 
Pekerjaan yang dilakukan karena Allah tidak akan pernah menjemukan. Kita meyakini bahwa Allah-lah yang akan membalas perbuatan kita, bukan suami, anak-anak atau anggota keluarga yang lain. Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya amal itu sesuai dengan niat dan sesungguhnya setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya” (HR. Muslim)
2. Buanglah penyakit hati 
Penyakit hati dapat ditangkal dengan memperkuat benteng keimanan dan ketaqwaan dengan meningkatkan ibadah kepada Allah dengan memperbanyak sholat sunah, memperbanyak membaca Al Quran, dan mengingat kehidupan di dalam kubur dan di akhirat nanti. Sadarilah bahwa semua yang dimiliki ada batas dan pertanggungjawabannya, dan kekayaan jiwa adalah
lebih utama. Rasulullah saw. sendiri mengatakan,”Yang dinamakan kekayaan bukanlah banyaknya harta benda tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa (hati).”(HR. Abu Ya’la)
3. Rajinlah bekerja, tetapi berhematlah dalam mengeluarkan tenaga 
Pekerjaan rumahtanga, kendati merupakan kewajiban, haruslah dilakukan sesuai dengan kemampuan. Rasulullah saw. bersabda,”Bekerjalah kamu sesuai dengan kemampuanmu, karena sesungguhnya Allah tidak merasa bosan sehingga kamu sendiri yang merasa jenuh. Dan sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah ialah yang rutin meskipun hanya sedikit.”(HR. Bukhari Muslim) Setiap pekerjaan hendaknya dilakukan sesuai dengan kodrat manusia (yang butuh istirahat). Jangan memforsir diri, melainkan sempatkanlah beristirahat sesuai dengan kebutuhan.
Istirahat hendaknya dilakukan sesuai dengan sunah Rasulullah, seperti dengan membaca Al Qur’an, menghadiri pengajian, silaturahim kepada keluarga dan teman, membaca buku yang bermanfaat, tafakur alam dll.
4. Tumbuhkan dan tingkatkan kesadaran pada seluruh keluarga bahwa pekerjaan rumahtangga merupakan ibadah
Rumahtangga muslim merupakan miniatur masyarakat Islam yang didalamnya terdapat koordinasi kerja yang baik. Pekerjaan rumah tangga yang cukup banyak dapat dikerjakan bersama oleh seluruh anggota keluarga. Cara yang terbaik untuk melibatkan mereka adalah dengan memberi pengertian dengan hikmah. Dengan dukungan anggota keluarga yang lain kita akan bekerja dengan penuh kegembiraan.
5. Belajar dari pengalaman ibu-ibu yang lain 
Berteori saja tentu belum cukup. Seorang muslimah tentu tidak sama dengan seorang ibu muda yang tidak sama pula dengan seorang ibu yang telah mempunyai sejumlah putra dan putri. Menimba pelajaran dan pengalaman dari ibu-ibu yang sudah lebih berpengalaman merupakan satu tuntutan yang tidak dapat dihindarkan. Dengan mengefektifkan waktu silaturahmi, kita akan dapat belajar.
Misalnya kita melihat seorang ibu dengan beberapa anak mampu membereskan rumah, anak-anaknya dan keperluan suaminya tidak lebih dari jam 10 pagi. (Sarapan, membereskan rumah, memandikan anak, masak…). Sehingga kita patut bertanya pada diri sendiri, “Masya Allah, dia saja bisa, kenapa saya tidak ?”. Apabila kita bertemu dengan keluarga yang belum dapat mengatasi problem rumahtangganya, maka ambillah yang positifnya saja. Lupakan yang negatif.
Demikianlah, biasanya banyak perubahan besar yang terjadi setelah melihat bagaimana orang lain berbuat. Kita ingat akan tuntunan ilmu yang selama ini didapat, baik dari buku maupun ceramah-ceramah. Dan yang tak kalah pentingnya, lahirnya semangat baru untuk berbuat lebih banyak dan lebih baik.

sumber :http://sambilminumteh.blogspot.com/2012/01/mengatasi-rasa-jenuh-menjadi-ibu-rumah.html
 

Salam,
Yuli