Kamis, 19 Januari 2012

Hikmah Didahulukan Pendengaran daripada Penglihatan Di Dalam Al-Qur'an

            Manusia ketika hilang matanya, maka hilanglah segalanya, hidup dalam kegelapan sepanjang waktu, tidak bisa melihat apa-apa... Akan tetapi kalau manusia kehilangan pendengarannya, maka dia masih bisa melihat. Pada saat itu, musibah yang ia derita lebih ringan daripada ia kehilangan mata.
Akan tetapi Allah ta'alaa ketika menyebutkan kata "pendengaran" dalam Al-Qur'an selalu didahulukan daripada penglihatan. Sungguh, ini merupakan satu mu'jizat Al-Qur'an yang mulia. Allah telah mengutamakan dan mendahulukan pendengaran daripada penglihatan. Sebab, pendengaran adalah organ manusia yang pertama kali bekerja ketika di dunia, juga merupakan organ yang pertama kali siap bekerja pada saat akhirat terjadi. Maka pendengaran tidak pernah tidur sama sekali.
Sesunguhnya pendengaran adalah organ tubuh manusia yang pertama kali bekerja ketika seorang manusia lahir di dunia. Maka, seorang bayi ketika saat pertama kali lahir, ia bisa mendengar, berbeda dengan kedua mata. Maka, seolah Allah ta'alaa ingin mengatakan kepada kita, "Sesungguhnya pendengaran adalah organ yang pertama kali mempengaruhi organ lain bekerja, maka apabila engkau datang disamping bayi tersebut beberapa saat lalu terdengar bunyi kemudian, maka ia kaget dan menangis. Akan tetapi jika engkau dekatkan kedua tanganmu ke depan mata bayi yang baru lahir, maka bayi itu tidak bergerak sama sekali (tidak merespon), tidak merasa ada bahaya yang mengancam. Ini yang pertama.
Kemudian, apabila manusia tidur, maka semua organ tubuhnya istirahat, kecuali pendengarannya. Jika engkau ingin bangun dari tidurmu, dan engkau letakkan tanganmu di dekat matamu, maka mata tersebut tidak akan merasakannya. Akan tetapi jika ada suara berisik di dekat telingamu, maka anda akan terbangun seketika. Ini yang kedua.
Adapun yang ketiga, telinga adalah penghubung antara manusia dengan dunia luar. Allah ta'alaa ketika ingin menjadikan ashhabul kahfi tidur selama 309 tahun, Allah berfirman:

“Maka Kami tutup telinga-telinga mereka selama bertahun-tahun (selama 309 tahun, lihat pada ayat 25 berikutnya -pent)” (Q.S. Al-Kahfi: 11)

Dari sini, ketika telinga tutup sehingga tidak bisa mendengar, maka orang akan tertidur selama beratus-ratus tahun tanpa ada gangguan. Hal ini karena gerakan-gerakan manusia pada siang hari menghalangi manusia dari tidur pulas, dan tenangnya manusia (tanpa ada aktivitas) pada malam hari menyebabkan bisa tidur pulas, dan telinga tetap tidak tidur dan tidak lalai sedikitpun.
Dan di sini ada satu hal yang perlu kami garis bawahi, yaitu sesungguhnya Allah berfirman dalam surat Fushshilat:

“Dan kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian yang dilakukan oleh pendengaranmu, mata-mata kalian, dan kulit-kulit kalian terhadap kalian sendiri, bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian kerjakan.”(Q.S. Fushshilat: 22)

Kenapa kalimat "pendengaran" dalam ayat tersebut berbentuk tunggal (mufrad) dan kalimat "penglihatan" dan "kulit" dalam bentuk jamak? Padahal, bisa saja Allah mengatakannya:

Pendengaran-pendengaran kalian, penglihatan-penglihatan kalian, dan kulit-kulit kalian.”

Dan memang konteks ayatnya adalah pendengaran dan penglihatan (bentuk tunggal) atau pendengaran-pendengaran dan penglihatan-penglihatan (bentuk jamak). Akan tetapi Allah ta'alaa dalam ayat di atas -yang demikian rinci dan jelas- ingin mengungkapkan kepada kita tentang keterperincian Al-Qur'an yang mulia. Maka mata adalah indera yang bisa diatur sekehendak manusia, saya bisa melihat dan bisa tidak melihat, saya bisa memejamkan mata bila saya tidak ingin melihat sesuatu, memalingkan wajahku ke arah lain, atau pun mengalihkan pandanganku ke yang lain yang ingin saya lihat. Akan tetapi telinga tidak memiliki kemampuan itu, ingin mendengar atau tidak ingin mendengar, maka anda tetap mendengarnya. Misalnya, anda dalam sebuah ruangan yang di sana ada 10 orang yang saling berbicara, maka anda akan mendengar semua suara mereka, baik anda ingin mendengarnya atau tidak; anda bisa memalingkan pandangan anda, maka anda akan melihat siapa saja yang ingin anda lihat dan anda tidak bisa melihat orang yang tidak ingin anda lihat. Akan tetapi, anda tidak mampu mendengarkan apa yang ingin anda dengar perkataannya dan tidak juga mampu untuk tidak mendengar orang yang tidak ingin anda dengar. Paling-paling anda hanya bisa seolah-olah tidak tahu atau seolah-olah tidak mendengar suara yang tidak ingin anda dengar, akan tetapi pada hakikatnya semua suara tersebut sampai ke telinga anda, mau atau pun tidak.
Jadi, mata memiliki kemampuan untuk memilih; anda bisa melihat yang itu atau memalingkan pandangan mata dari hal itu, saya pun demikian, dan orang lain pun demikian, sedangkan pendengaran; setiap kita mendengar apa saja yang berbunyi, diinginkan atau pun tidak. Dari hal ini, maka setiap mata berbeda-beda pada yang dilihatnya, akan tetapi pendengaran mendengar hal yang sama. Setiap kita memiliki mata, ia melihat apa saja yang ia mau lihat; akan tetapi kita tidak mampu memilih hal yang mau kita dengarkan, kita mendengarkan apa saja yang berbunyi, suka atau tidak suka, sehingga pantas Allah ta'alaa menyebutkan kalimat "pandangan" dalam bentuk jamak, dan kalimat "pendengaran" dalam bentuk tunggal, meskipun kalimat pendengaran didahulukan daripada kalimat penglihatan. Maka pendengaran tidak pernah tidur atau pun istirahat. Dan organ tubuh yang tidak pernah tidur maka lebih tinggi (didahulukan) daripada makhluk atau organ yang bisa tidur atau istirahat. Maka telinga tidak tidur selama-lamanya sejak awal kelahirannya, ia bisa berfungsi sejak detik pertama lahirnya kehidupan yang pada saat organ-organ lainnya baru bisa berfungsi setelah beberapa saat atau beberapa hari, bahkan sebagian setelah beberapa tahun kemudian, atau pun 10 tahun lebih.
Dan telinga tidak pernah tidur, ketika engkau sedang tidur maka semua organ tubuhmu tidur atau istirahat, kecuali telinga. Jika terdengar suara disampingmu maka spontan engkau akan terbangun. Akan tetapi, jika fungsi telinga terhenti, maka hiruk-pikuk aktivitas manusia di siang hari dan semua bunyi yang ada tidak akan membangunkan tidur kita, sebab alat pendengarannya (penerima bunyi) yaitu telinga tidak bisa menerima sinyal ini. Dan telinga pulalah yang merupakan alat pendengar panggilan penyeru pada hari qiamat kelak ketika terompet dibunyikan.
Dan mata membutuhkan cahaya untuk bisa melihat, sedangkan telinga tidak memerlukan hal lain. Maka, jika dunia dalam keadaan gelap, maka mata tidak bisa melihat, walaupun mata anda tidak rusak. Akan tetapi telinga bisa mendengar apapun, baik siang maupun malam; dalam gelap maupun terang benderang. Maka telinga tidak pernah tidur dan tiak pernah berhenti berfungsi.

“Aku Melamarmu Kepala Pelayan Restoranku…”


Sudah jam lima pagi, dan seperti biasa Ratih telah terjaga untuk melaksanakan shalat subuh bersama kedua teman sekontrakannya, Gita dan Tika. Mereka bertiga bekerja di tempat yang sama, yakni sebuah restoran yang kental dengan nuansa sunda atau parahyangan. Ratih adalah yang paling tua diantara yang lainnya, dan yang belum pernah merasakan jatuh cinta sejak lulus dari SMA. Dan kisah cinta yang dulu adalah dimana ia harus membuangnya jauh-jauh, serta harus segera dilupakan untuk masa depan yang lebih baik.
Disini ia sudah dianggap seperti kakak sendiri bagi Gita dan juga Tika, terlebih setelah ia memutuskan untuk masuk kuliah di salah satu universitas swasta, sosok Ratih seperti seorang guru yang membimbing murid-muridnya. Kendati waktunya terbagi dengan kuliah, Ratih tidak terlalu pusing untuk mengatur jadwal kerja karena ia sendiri bukan bekerja sebagai koki, sebagai seorang kepala pelayan ia mungkin lebih banyak mengatur jadwal karyawan tetap dan juga freelance. Tapi bukan berarti pekerjaannya ringan, karena beberapa kali ia harus memindahkan jadwal kerja pelayan tetap, terlebih ketika ada tamu penting yang memesan tempat di restoran tempat ia bekerja.
Hanya saja sampai saat ini ia masih belum mengetahui pemilik sebenarnya dari restoran ini. Setahun yang lalu ia bertemu dengan seseorang yang menurut kabar adalah sang pemilik restoran, tapi orang itu hanya berkata bahwa ia adalah adik dari sang pemilik restoran yang hendak melihat langsung kondisi restoran milik kakaknya.
Gita bekerja sebagai recepcionist, sementara Tika sendiri adalah pelayan, keduanya bekerja cukup baik sehingga manajer restoran, Ibu Retno, bangga memiliki pegawai seperti mereka. Terlebih terhadap Ratih yang sudah memasukkan keduanya untuk bekerja disini.
Setelah bersiap untuk berangkat, ketiganya mulai keluar dari rumah kontrakan satu per satu, setelah memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat. Ratih sendiri mungkin tidak langsung menuju restoran karena harus masuk kuliah sampai jam dua belas siang, dan Gita sudah dijemput oleh sang pacar Yudha yang kini sudah duduk santai diatas sepeda motornya. Ia datang bersama Randi yang biasa mengantar Tika, dan sempat terdengar desas-desus bahwa keduanya tengah menjalin asmara.
 “Hati-hati ya…!” kata Ratih.
 “Iya mbak Ratih… mau kuliah dulu?” tanya Randi.
Ratih hanya mengangguk perlahan sambil tersenyum. Ia pun akhirnya berlalu dari keempatnya untuk segera naik kendaraan umum menuju kampus.
 “Mbak Ratih itu sudah punya pacar belum?” tanya Yudha kepada Gita.
 “Belum… kayaknya kalo mbak Ratih sih nggak pacaran lagi, langsung nikah…!” jawab Gita.
 “Hus…!!! Pagi-pagi udah ngomongin orang…,” sela Tika.
Mereka pun akhirnya beranjak untuk menuju restoran tempat Gita dan Tika berkerja, Yudha dan Randi memacu perlahan sepeda motornya sambil melewati beberapa kendaraan roda empat yang mulai terjebak kemacetan. Dan seperti biasa perjalanan menuju restoran atau kampus pun ditemani oleh kemacetan lalu lintas, baik yang hendak bekerja maupun kaum pelajar.
*****
Ratih duduk tenang sambil mendengarkan penjelasan dosen pengajar, ia beberapa kali membalas pesan yang masuk. Dan kali ini ada laporan bahwa nanti sore akan ada kumpul penting bersama para petinggi restoran, dan ternyata sang pemilik asli restoran tempat ia bekerja akan tiba tiga hari lagi untuk melihat langsung kondisi restorannya.
 ‘Haduh… akhirnya datang juga,’ kata Ratih dalam hati.
Setelah kuliah Ratih segera menuju restoran tempat ia bekerja yang tidak cukup jauh, dan itulah alasan mengapa ia memilih untuk kuliah sambil bekerja. Seseorang berjalan cepat menghampirinya,
 “Ratih…,”sapa orang itu.
Ratih memandanginya perlahan sambil tersenyum kecil, “Angga… ada apa ya?!”
 “Hmm… mau ke restoran tempat kamu kerja kan? Mau aku antar…?!”
 “Boleh…,” Ratih memberikan senyuman hangat untuknya.
Angga sendiri adalah orang yang baru ia kenal setahun yang lalu, memiliki kepribadian yang cukup baik dan berasal dari keluarga yang cukup kaya. Hal ini terlihat dari kendaraan yang ia bawa ke kampus, yang terkadang ia membawa sepeda motor atau mobil. Keduanya memang berbeda jurusan, kalau Ratih mengambil D3 manajemen bisnis dan Angga sendiri kini sudah melangkah ke jenjang S2 mengambil Magister Ekonomi.
Keduanya tidak sengaja bertemu ketika Ratih hendak pulang menuju kontrakannya ketika hujan lebat, waktu itu Angga adalah tamu yang datang ke restoran tempat ia bekerja.
 “Mbak mau pulang…?! Saya antar mau nggak?”
 “Nggak usah mas… saya bisa naik kendaraan umum,”
 “Lagi hujan… nggak baik, nanti kalau kamu sakit jadi nggak bisa kerja untuk beberapa hari di restoran ini…,”
Ratih pun akhirnya menerima ajakan orang yang belum ia kenal, perlahan ia masuk kedalam mobil yang dibawa orang itu. Dan akhirnya keduanya saling memperkenalkan diri, sambil berbincang-bincang mengenai pekerjaan dan kehidupan masing masing-masing selama perjalanan menuju kontrakan Ratih.
 “Mbak kerja sudah berapa lama?”
 “Mmm… baru satu tahun, dan sekarang juga baru diangkat sebagai kepala pelayan sama Bu Retno… manajer restoran tempat saya bekerja tadi. Mas sendiri sekarang kerja dimana?!” tanya Ratih malu-malu.
 “Oh… saya sedang melanjutkan kuliah S2, kebetulan saya juga punya sebuah restoran di daerah sini…,”
Angga terus memperhatikan Ratih yang kali ini asyik dengan lamunannya,
 “Ratih…?!” kata Angga sambil memandang wajah Ratih seksama.
 “Eh..? iya maaf… aku ngelamun ya…?”
 “Iya mbak… gimana sih…??? Mau kerja kok ngelamun…,”
 “Itu… pemilik restoran tempat aku kerja mau datang besok lusa untuk melihat kondisi restorannya. Aku jadi penasaran kayak gimana ya orangnya?!
Angga pun akhirnya segera mengajak Ratih untuk segera beranjak dari tempat ini, Ratih sendiri mengikuti langkah Angga dari belakang. Sesekali ia kembali melamun, dan kali ini Angga pun terus memperhatikan tingkah temannya sambil mencoba menahan rasa ingin tertawa. Dan sepertinya ada sesuatu yang ia sembunyikan dari Ratih.
 ‘Nanti juga ada waktunya kamu mengetahui hal yang sebenarnya… Ratih… Ratih…,
Angga memacu sepeda motornya perlahan, melewati jalan raya yang selalu padat oleh kendaraan bermotor.
*****
 “Baiklah… besok lusa pemilik restoran ini akan tiba, beliau memang tidak meminta apa-apa ketika tiba disini… tapi, saya harap kalian menunjukkan kerja terbaik ketika beliau memantau restorannya. Saya harap juga kalian menjaga kesehatan supaya tidak sakit ketika melihat sang pemilik restoran ini untuk yang pertama kali…,”
Setelah mendengarkan arahan dari bu Retno, Ratih segera kembali untuk bekerja. Ia berjalan perlahan menghampiri Gita dan juga Tika yang tengah bersiap untuk pulang.
 “Mbak Ratih… yang tadi nganter siapa hayo…?!” sindiri Tika.
 “Yang mana…?”
 “Ih… mbak Ratih sok jaim deh! Itu tuh… yang tadi siang nganter sambil bawa sepeda motor,” kata Tika kembali.
 “Cuma temen kampus kok…,”
 “Hayo… temen apa temen?!” sela Gita.
 “Ya ampun… temen kok, udah… kalian berdua pulang aja, dan jangan lupa masak buat makan malam. Mbak Insya Allah pulangnya jam sembilan…,”
 “Iya… iya…,” kata Gita sambil berlalu untuk segera pulang bersama Tika.
Ratih kembali masuk ke dalam restoran, menuju ruangan tempat ia bekerja untuk merapihkan beberapa dokumen dan juga data yang diminta oleh Bu Retno mengenai seluruh karyawan yang bekerja di restoran ini. Ia mulai mengambil air minum dan akhirnya duduk diatas kursi, satu per satu lembaran kertas yang menumpuk di mejanya mulai dirapihkan. Tak lama kemudian ia kembali memantau kerja para pelayan, dan juga masuk ke dapur untuk mempersiapkan beberapa bahan untuk dimasak dan disajikan kepada sang pemilik restoran ketika datang besok lusa.
Ya Allah… semoga nanti baik-baik saja,
*****
Sebuah mobil melaju perlahan ke restoran tempat Ratih bekerja, sebuah mobil yang tidak asing lagi di mata Ratih. Tiga orang keluar dari mobil, yang satu adalah adik pemilik restoran ini bersama seorang perempuan yang kemungkinan adalah istrinya dan yang satu lagi adalah Angga, teman satu kampus Ratih.
 ‘Jadi… pemilik restorannya yang mana ya?!’ kata Ratih dalam hati, ia kembali melanjutkan pekerjaannya.
Bu Retno menghampiri ketiganya sambil mempersilahkan untuk segera masuk dan meminta beberapa pelayan untuk mempersiapkan minuman segar untuk dinikmati oleh ketiga tamu spesial yang datang.
 “Indra… jadi kapan rencana kalian berdua menikah?” tanya Bu Retno, yang tidak lain adalah tante dari Angga dan juga Indra. Beliau dipercaya ayah keduanya untuk membantu mengelola restoran ini.
 “Menunggu kak Angga sudah sih tante, nggak tahu nih… ditanyain terus sama ayah tapi jawabannya nanti atau Insya Allah terus…,”
 “Sabar… aku Insya Allah sudah punya calon yang tepat,”
Ratih menghampiri keempatnya perlahan bersama dua orang pelayan yang membawa minuman serta makanan, ia pun segera beranjak untuk kembali bekerja, tapi Bu Retno memintanya untuk bergabung.
 “Nah… ini dia karyawan terbaik di restoran ini,” kata Bu Retno sambil memegang bahu Ratih yang kini mulai menunduk.
 “Jadi… kamu ya karyawan terbaik disini? Aku nggak nyangka…,”
 “Maksud kakak…?!” tanya Indra.
 “Ya ini… Ratih… temen sekampus dan juga kepala pelayan restoran ini,”
Bu Retno cukup terkejut mendengarkan pernyataan Angga, sesaat kemudian ia tersenyum untuk Ratih.
 “Ratih… jadi, Angga adalah pemilik restoran ini, yang disebelahnya adalah Indra… orang yang tahun kemarin datang kesini, bersama calon istrinya Yuni. Jadi sekalian saja saya kenalkan kamu sama mereka sebelum pertemuan nanti bersama karyawan yang lainnya…,”
 “Ha…?!” Ratih mulai menutup mulutnya, sungguh sangat terkejut ia mendengarkan perkataan yang keluar dari mulut Bu Retno. Jadi selama ini Angga sudah menyembunyikan sesuatu darinya, serta membuatnya agak sedikit malu setelah mengetahui hal yang sebenarnya.
Angga mengajak Ratih untuk berjalan menuju taman di depan restoran, ia terus memandangi teman kampusnya yang terus menunduk.
 “Kamu bohongin aku Angga…,”
 “Ya kalo ketahuan dulu… kan nggak surprise?!”
 “Ya tapi… nggak gitu juga…,”
Angga tersenyum kecil, ia mulai memegang kedua bahu Ratih sambil menatapnya cukup tajam. Denyut jantung Ratih pun mulai semakin kencang, ia tak mampu melakukan sesuatu untuk menenangkan hatinya. Angga mulai melepaskan kedua tangannya yang memegang bahu Ratih beberapa saat yang lalu,
 “Ratih… aku cuma mau ngasih sesuatu,” kata Angga sambil mengeluarkan sebuah kotak berisi cincin.
 “Aku ingin melamar kamu secara resmi melalui kedua orang tuamu…,”
 “Kamu mau sama kepala pelayan restoran yang kamu punya…?!”
 “Kan kalau kamu sudah jadi istri aku jadi bukan kepala pelayan lagi…?!”
 “Ih…!!!” Ratih mencubit cukup keras lengan kanan Angga.
 “Aduh…!!!”
Ratih mulai berlari kecil, ia pun kembali menoleh ke arah Angga yang menahan rasa sakit cubitannya.
 “Kalau kamu serius… coba kejar aku!” kata Ratih sambil tersenyum, ia kembali berlari menuju sebuah kolam di depan restoran ini. Angga pun segera mengejarnya dengan penuh gembira, ia pun akhirnya menemukan sang bidarari yang selama ini ia cari untuk mengisi kehidupannya. Terlebih bagi Ratih, ini mungkin adalah sebuah mimpi yang cukup luar biasa dan mungkin hanya sekali saja yang menjadi kenyataan.

Buat Yang Mau Menikah

Pernikahan artinya menjalin kecintaan dan kerjasama, mendahulukan kepentingan orang lain dan pengorbanan, ketentraman dan mawaddah, hubungan rohani yang mulia dan keterikatan jasad yang disyari'atkan.
Pernikahan artinya rumah yang tiangnya adalah Adam dan Hawwa, dan dari keduanya terbentuk keluarga-keluarga dan keturunan-keturunan, lalu rumah-rumah, lalu komunitas, lalu muncul berbagai bangsa dan negara. Dalam hal ini, Allah subhanahu wata'ala berfirman, artinya, "Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah." (al-Furqan:54).

Mushaharah yaitu hubungan kekeluargaan yang disebabkan oleh ikatan perkawinan, seperti menantu, mertua, ipar, dan sebagainya.
Pernikahan adalah benteng yang dapat menekan kejalangan nafsu seksual seseorang, mendorong keinginan syahwatnya, menjaga kemaluan dan kehormatannya serta menghalanginya dari keterjerumusan ke dalam lubang-lubang maksiat dan sarang-sarang perbuatan keji.
Kita melihat bagaimana al-Qur'an membangkitkan pada diri masing-masing pasangan suami-istri suatu perasaan bahwa masing-masing mereka saling membutuhkan satu sama lain dan saling menyempurnakan kekurangan.

Sesungguhnya wanita adalah ranting dari laki-laki dan laki-laki adalah akar bagi wanita. Karena itu, akar selalu membutuhkan ranting dan ranting selalu membutuhkan akar." Mengenai hal ini, Allah subhanahu wata'ala berfirman, artinya, "Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya." (al-A'raf:189).
Yang dimaksud dengan diri yang satu adalah Adam dan yang dimaksud istrinya adalah Hawwa. Karena itu, pernikahan menurut Islam bukan hanya sekedar menjaga keutuhan jenis manusia saja, tetapi lebih dari itu adalah menjalankan perintah Allah subhanahu wata'ala sebagaimana dalam firman-Nya, artinya, "Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi."(an-Nisa`:3)
Di bawah naungan ajaran Islam, kedua pasangan suami istri menjalani hidup mereka dalam kesenyawaan dan kesatuan dalam segala hal; kesatuan perasaan, kesatuan hati dan dorongan, kesatuan cita-cita dan tujuan akhir hidup dan lain-lain.
Di antara keagungan al-Qur'an dan kesempurnaannya, kita melihat semua makna tersebut, baik yang sempat terhitung atau pun tidak, tercermin pada satu ayat al-Qur'an, yaitu: "Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." (al-Baqarah:18)
Makna Sakinah, Mawaddah dan Rahmah
Al-Qur'an telah menggambarkan hubungan insting dan perasaan di antara kedua pasangan suami-istri sebagai salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah dan nikmat yang tidak terhingga dari-Nya. Allah subhanahu wata'ala berfirman, artinya, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (ar-Rum:21)

Kecenderungan dan rasa tentram suami kepada istri dan kelengketan istri dengan suaminya merupakan hal yang bersifat fitrah dan sesuai dengan instingnya. Ayat ini merupakan pondasi kehidupan yang diliputi suasana perasaan yang demikian sejuk. Isteri ibarat tempat suami bernaung, setelah perjuangannya seharian demi mendapatkan sesuap nasi, dan mencari penghiburnya setelah dihinggapi rasa letih dan penat. Dan, pada putaran akhirnya, semua keletihannya itu ditumpahkan ke tempat bernaung ini. Ya, kepada sang istri yang harus menerimanya dengan penuh rasa suka, wajah yang ceria dan senyum. Ketika itulah, sang suami mendapatkan darinya telinga yang mendengar dengan baik, hati yang welas asih dan tutur kata yang lembut.

Profil wanita shalihah ditegaskan melalui tujuan ia diciptakan, yaitu menjadi ketentraman bagi laki-laki dengan semua makna yang tercakup dalam kata "Ketentraman (sakinah) itu. Dan, agar suatu ketentraman dikatakan layak, maka ia (wanita) harus memiliki beberapa kriteria, di antara yang terpenting; Pemiliknya merasa suka bila melihat padanya; Mampu menjaga keluarga dan hartanya; Tidak membiarkan orang yang menentang nya tinggal bersamanya.

Terkait dengan surat ar-Rûm, ayat 21 di atas, ada beberapa renungan:
Renungan Pertama
Abu al-Hasan al-Mawardy berkata mengenai makna, "Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang." (ar-Rum:21). Di dalam ayat ini terdapat empat pendapat: Pertama, bahwa arti Mawaddah (rasa kasih) adalah al-Mahabbah (kecintaan) sedangkan arti Rahmah (rasa sayang) adalah asy-Syafaqah (rasa kasihan). Ke-dua, bahwa arti Mawaddah adalah al-Jimâ' (hubungan badan) dan Rahmah adalah al-Walad (anak). Ke-tiga, bahwa arti Mawaddah adalah mencintai orang besar (yang lebih tua) dan Rahmah adalah welas asih terhadap anak kecil (yang lebih muda). Ke-empat, bahwa arti keduanya adalah saling berkasih sayang di antara pasangan suami-isteri. (al-Mawardy: an-Nukat Wa al-'Uyûn)

Ibn Katsir berkata, "Di antara tanda kebesaran-Nya yang menunjukkan keagungan dan kesempurnaan kekuasaan-Nya, Dia menciptakan wanita yang menjadi pasangan kamu berasal dari jenis kamu sendiri sehingga kamu cenderung dan tenteram kepadanya. Andaikata Dia menjadikan semua Bani Adam (manusia) itu laki-laki dan menjadikan wanita dari jenis lain selain mereka, seperti bila berasal dari bangsa jin atau hewan, maka tentu tidak akan terjadi kesatuan hati di antara mereka dan pasangan (istri) mereka, bahkan sebaliknya membuat lari, bila pasangan tersebut berasal dari lain jenis. Kemudian, di antara kesempurnaan rahmat-Nya kepada Bani Adam, Dia menjadikan pasangan mereka dari jenis mereka sendiri dan menjadikan di antara sesama mereka rasa kasih (mawaddah), yakni cinta dan rasa sayang (rahmah), rasa kasihan. Sebab, bisa jadi seorang laki-laki mengikat wanita karena rasa cinta atau kasih terhadapnya hingga mendapat kan keturunan darinya atau ia (si wanita) butuh kepadanya dalam hal nafkah atau agar terjadi kedekatan hati di antara keduanya, dan lain sebagainya" (Tafsir Ibn Katsir)
Renungan ke Dua
Mari kita renungi sejenak firman-Nya, "dari jenismu sendiri." Istri adalah manusia yang mulia di mana terjadi persamaan jenis antara dirinya dan suami, sedangkan laki-laki memiliki tingkatan Qiwâmah (kepempimpinan) atas wanita (baca: al-Baqarah:228).
Kepemimpinan suami bukan artinya bertindak otoriter dengan membungkam pendapat orang lain (istri,red). Kepemimpinannya itu ibarat rambu lalu lintas yang mengatur perjalanan tetapi tidak untuk memberhentikannya. Karena itu, kepemimpinan laki-laki tidak berarti menghilangkan peran wanita dalam berpendapat dan bantuannya di dalam membina keluarga.
Renungan ke Tiga
Rasa aman, ketenteraman dan kemantapan dapat membawa keselamatan bagi anak-anak dari setiap hal yang mengancam eksistensi mereka dan membuat mereka menyimpang serta jauh dari jalan yang lurus, sebab mereka tumbuh di dalam suatu 'lembaga' yang bersih, tidak terdapat kecurangan maupun campur tangan, di dalamnya telah jelas hak-hak dan arah kehidupan, masing-masing individu melakukan kewajiban nya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya."
Kepemimpinan sudah ditentukan dan masing-masing individu sudah rela terhadap yang lainnya dengan tidak melakukan hal yang melampaui batas. Inilah makna firman-Nya dalam surat an-Nisâ`, ayat 34.
Renungan ke Empat
Masing-masing pasangan suami-isteri harus saling menghormati pendapat yang lainnya. Harus ada diskusi yang didasari oleh rasa kasih sayang tetapi sebaiknya tidak terlalu panjang dan sampai pada taraf berdebat. Sebaiknya pula salah satu mengalah terhadap pendapat yang lain apalagi bila tampak kekuatan salah satu pendapat, sebab diskusi obyektif yang diasah dengan tetesan embun rasa kasih dan cinta akan mengalahkan semua bencana demi menjaga kehidupan rumah tangga yang bahagia.
Renungan ke Lima
Rasa kasih dan sayang yang tertanam sebagai fitrah Allah subhanahu wata'ala di antara pasangan suami-isteri akan bertambah seiring dengan bertambahnya kebaikan pada keduanya. Sebaliknya, akan berkurang seiring menurunnya kebaikan pada keduanya sebab secara alamiah, jiwa mencintai orang yang memperlaku kanya dengan lembut dan selalu berbuat kebaikan untuknya. Nah, apalagi bila orang itu adalah suami atau isteri yang di antara keduanya terdapat rasa kasih dari Allah subhanahu wata'ala, tentu rasa kasih itu akan semakin bertambah dan menguat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Dunia itu adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangannya adalah wanita shalihah."
Renungan ke Enam
Kesan terbaik yang didapat dari rumah tangga Nabawi adalah terjaganya hak dalam hubungan suami-isteri baik semasa hidup maupun setelah mati. Hal ini dapat terlihat dari ucapan istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tercinta, 'Aisyah radhiyallahu 'anha yang begitu cemburu terhadap Khadijah radhiyallahu 'anha, istri pertama beliau padahal ia sudah wafat dan belum pernah dilihatnya. Hal itu semata karena beliau sering mengingat kebaikan dan jasanya.
Semoga Allah subhanahu wata'ala menjadikan rumah tangga kaum Muslimin rumah tangga yang selalu diliputi sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan hal ini bisa terealisasi, manakala kaum Muslimin kembali kepada ajaran Rasul mereka dan mencontoh kehidupan rumah tangga beliau.

Sumber: Tsulâtsiyyah al-Hayâh az-Zawjiyyah: as-Sakan, al-Mawaddah, ar-Rahmah karya Dr.Zaid bin Muhammad ar-Rummany. (Abu Hafshah)
Netter Al-Sofwa yang dimuliakan Allah Ta'ala, Menyampaikan Kebenaran adalah kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita saat ini untuk berdakwah adalah dengan menyampaikan buletin ini kepada saudara-saudara kita yang belum mengetahuinya. Semoga Allah Ta'ala Membalas 'Amal Ibadah Kita. Aamiin


Kecerdasan Iman

Assalaamu‘alaikum Wr. Wb.

Sahabat seiman..,
Semoga fitrah diri berpadu dengan dzikir bersatu dalam fikir melahirkan kecerdasan iman. Boleh jadi Riba terlihat menguntungkan, hukum warits seolah tak berkeadilan, dan Qishas terkesan kejam, namun tidak demikian bagi orang yang cerdas iman (ulil Albaab). Bagaimana Ia menatap hadirnya pagi, akankah sederet aktifitas yang terlihat membebani, ataukah segudang kekuatan yang terlahir tuk meraih kebaikan..?

Sahabat seiman..,
Pagi ini kesempatan kembali terbentang, adakah aktifitas yang menajamkan kecerdasan, raih dahulu mushaf Al Quran, jangan berhenti dulu lafazh dzikirmu.. mari bersama simak ayat berikut ini, artinya:
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Q.S. Al Baqoroh: 179).
Mampukah kita tangkap kehidupan di balik kematian?. itulah qishas salah satu solusi dalam Islam menyelesaikan konflik pembunuhan, dendam pembunuhan mampu diredam bahkan berujung pada ketaqwaan.. sungguh kita benar-benar membutuhkan kecerdasan iman..

Sahabat seiman..,
Kecerdasan imanlah yang mampu memahamkan diri mengapa harus ada kepahitan hidup, dan mengapa mesti ada ujiannya. kenapa mesti ada peraturan dan harus ada ketaatan. Mengapa harus ada perjuangan dan pengorbanan. Dan mengapa harus ada pahala dan siksaan, lalu semua itu membutuhkan kesabaran.

Sahabat seiman..,
Bagaimana kecerdasan iman kita hari ini..? bisa jadi ketumpulannya menyesatkan langkah kita. Maka deteksilah ada dimana pijakan amal kita?, sejauh itulah kecerdasan iman kita. Mari asah terus ketajamannya, selamat beraktifitas! (SaiBah)

daaruttauhid@yahoogroups.com

Sukuri Dulu Hidup Kita

Kemarin saat tengah mengurus perpanjangan passport di
Kantor Imigrasi, saya duduk bersebelahan dengan seorang wanita seusia saya.
Beberapa saat kemudian, kami terlibat dalam obrolan tentang berbagai Negara yang
pernah disinggahinya. “Saya sudah ke dua puluh lima Negara loh…” ujarnya. Saya
berdecak kagum mendengar berbagai pengalamannya sementara ia masih terus
bercerita satu Negara ke Negara lainnya. Beragam keunikan Negara-negara
digambarkannya, dari hal terindah sampai pengalaman buruk di beberapa Negara. Sempat
terbersit, “beruntung sekali hidupnya, bisa menyambangi berbagai Negara”

Setelah cukup lama bercerita, tiba-tiba ia bertanya, “Anda
sudah berapa Negara yang dikunjungi?” saya bilang, “hanya beberapa saja.”

“Lalu sekarang mau kemana?” tanyanya lagi.
“Umroh, insya Allah” jawab saya singkat.

“Nah itu dia mas... mas beruntung sekali. Dari semua Negara
yang pernah saya kunjungi, belum pernah sekalipun saya ke tanah suci. Saya iri
dengan mas…” kali ini ia sedikit terbata-bata. Matanya menyiratkan bahwa ia
ingin sekali ke tanah suci.

Beberapa bulan yang lalu, seorang rekan saya yang bekerja
di International Committee Red Cross (ICRC) hendak berangkat ke Thailand. Saya pun
berujar, “Beruntung sekali, ikut dong. Itu salah satu Negara yang ingin sekali
saya kunjungi loh…”. Lalu dengan enteng dia menanggapi, “Kamu lebih beruntung
sahabatku. Saya lebih iri dengan kamu yang sudah pernah ke Gaza, Palestina.
Semua orang bisa dengan mudah ke Thailand, tapi tidak semua orang bisa dengan
mudah ke tanah para Nabi, Palestina”. Kalimatnya menghentak kesadaran saya.

Setiap kali melihat orang berangkat ke kantor,
beraktifitas rutin dengan menampakkan kesibukannya, saya kadang berpikir, “beruntung
sekali orang-orang itu ya, punya pekerjaan rutin yang membuatnya terlihat lebih
aktif”. Namun sekali lagi yang tersadar dengan keberuntungan yang saya miliki
sendiri, saat orang-orang yang aktif bekerja sehari-hari itu malah berkata, “Enak
ya jadi orang seperti Anda, bisa lebih sering berada di tengah-tengah keluarga,
nggak kena macet setiap hari, nggak pusing oleh tekanan atasan atau ulah teman
sekerja. Anda memang tidak seperti saya, punya penghasilan tetap. Tapi Anda
tetap berpenghasilan kan? “ Saya tersenyum.

Saat silaturahim ke rumah saya beberapa waktu lalu,
seorang rekan saya bilang, “Enak ya tinggal di komplek, tenang, rumahnya rapi,
jalanannya bersih, ke Mall juga dekat. Nggak seperti di kampung tempat saya,
kalau hujan jalannya becek, rumahnya nggak beraturan, jauh kemana-mana …”

Giliran saya ke rumahnya, justru saya bilang, “ya enakan
disini, lebih asri, masih banyak pohon, dan yang paling penting suasana
kekeluargaan antar tetangga lebih terasa, lebih akrab, ramah dan bersahabat.
Jauh dari Mall lebih baik, karena kita dan anak-anak jadi nggak konsumtif. Yah
ada plus minusnya lah, yang penting kita sukuri saja, itu yang membuat kita
merasa betah dan nyaman  tinggal
dimanapun”.

Teman saya yang lain beda kasus, kali ini soal pasangan
hidup. Waktu main ke rumahnya sambil berbisik dia bilang, “isteri saya tuh
nggak ngikutin trend, nggak tahu informasi yang berkembang, komputer nggak
bisa. Saya lihat orang lain isterinya kelihatan cerdas, tahu teknologi dan
informasi, perkembangan politik pun paham…”

Sejenak kemudian isterinya datang membawa kopi dan kue.
Saya seruput kopinya dan cicipi kue buatannya. “Subhanallah, ini kopi dan
kuenya nikmat sekali…” Teman saya langsung komentar bangga, “kalau urusan bikin
kopi, bikin kue, masak segala jenis makanan, isteri saya jagonyaaaa …” Tak lama
kemudian kami makan bersama di rumahnya dan memang benar, masakan isterinya
super lezat dan nikmat, apalagi sambalnya, wuihh.

“nggak apa-apa nggak ngerti komputer, nggak paham politik
atau nggak ngikutin trend, tapi isteri jago masak begini orang lain belum tentu
punya bro …” Eh dia cuma nyengir tanda sepakat. Sobat, kadang kita iri dengan
kehidupan orang lain, padahal kita memiliki kehidupan yg patut disukuri.  (Gaw, Life-Sharer)
Bayu Gawtama

LifeSharer
SOL - School of Life

085219068581 - 087878771961

twitter:
@bayugawtama

@schoolof_life

MEWASPADAI DOSA-DOSA KECIL

Oleh
Majdi As-Sayyid Ibrahim

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ : قَالَ رَسُوْ لُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ : يَاعَائِشَةُ إِيَّاكَ وَمُحَقَّرَاتِ
الأعْمَالِ (وَفِى رِوَايَةِ : الذُنُوْبِ) فَإِنَّ لَهَا مِنَ اللَّهِ
طَالِبًا

“Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, ‘Wahai Aisyah, hindarilah olehmu amal-amal yang
remeh (dan dalam satu lafazh disebutkan dosa-dosa). Karena ada yang akan
menuntut dari Allah terhadap amal-amal itu” [1]

Wahai Ukhti Muslimah !
Ini merupakan wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummul
Mukminin, Aisyah. Ini merupakan wasiat yang amat berharga dan berbobot,
yaitu berupa peringatan tentang hal yang seringkali dilalaikan banyak
orang, yaitu dosa-dosa kecil. Setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat, Anas berkata, “Sungguh kamu sekalian sudah mengetahui berbagai amal
yang menurut pandangan itu lebih lembut dari sehelai rambut. Apabila kami
menyebutnya pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ‘al-mubiqat
(perbuatan durhaka)”. Artinya adalah hal-hal yang merusak menurut
Al-Bukhary.

Perhatikanlah wahai ukhi mukminah ! Kalau yang dikatakan Anas seperti itu
pada masa sahabat dan tabi’in, lalu bagaimana andaikata Anas melihat
kondisi orang-orang pada masa sekarang? Tentu seorang mukmin akan merasa
menyesal dan sedih menyaksikan para pemeluk Islam yang meremehkan hak-hak
Allah, dan tidak ada yang dia katakan kecuali ucapan : Alangkah menyesalnya
wahai hamba Allah.

Perhatikan Ummu Darda’ yang berkata, “Pada suatu hari Abu Darda masuk
(rumah) sambil marah-marah. Maka Ummu Darda bertanya, Ada apa engkau ini?”

Abu Darda menjawab, “Demi Allah, aku tidak melihat sedikit pun dari urusan
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallm di antara mereka, melainkan mereka
shalat semuanya” [2]

Lalu apa yang bakal diucapkan Abu Darda andaikata dia melihat kehidupan
orang-orang pada masa sekarang?

Wanita mukminah yang lurus dalam keimanannya tidak akan memandang
kedurhakaan yang terjadi didepannya, lalu dia berkata tanpa menaruh
perhatian, “itu hanya dosa kecil dan remeh”. Tetapi dia harus takut
terhadap siksa Allah, menangis karena takut terhadap penderitaan api neraka
dan merasa rugi andaikata dia terhalang untuk masuk surga.

Dulu, ada seorang zahid, Bilal bin Sa’d yang berkata, “Janganlah engkau
melihat kepada kecilnya kesalahan. Tetapi lihatlah siapa yang engkau
durhakai” [3]

Wanita mukminah yang lurus selalu merasa khawatir terhadap dirinya dan
takut kepada siksa Allah. Maka dari itu dia selalu berada dalam ketaatan
kepada Allah dan melaksanakan kebaikan.

Abu Ja’afr As-Sa’ih rahimahullah juga berkata, “Ada khabar yang sampai
kepada kami, bahwa seorang wanita ahli ibadah yang selalu aktif
melaksanakan shalat-shalat sunat, berkata kepada suaminya, “Celakalah
engkau, bangunlah! Sampai kapan engkau tidur saja? Sampai kapan engkau
selalu dalam keadaan lalai? Aku akan bersumpah demi engkau, janganlah
mencari penghidupan kecuali dengan cara halal. Aku akan bersumpah demi
engkau, janganlah masuk neraka hanya karena diriku. Cobalah berbuat baik
kepada ibumu, sambunglah tali persaudaraan, janganlah memutus mereka
sehingga Allah akan memutus dirimu”[4]

Begitulah yang dilakukan seorang wanita muslimah yang bertakwa dan
merupakan ahli ibadah. Dia menolong suaminya kepada kepentingan urusan
dunia dan akhirat.

Sedangkan pada zaman sekarang, kita melihat wanita-wanita muslimah tidak
memerhatikan dosa-dosa kecil, kecuali orang yang dirahmati Allah. Bahkan
akhirnya mereka berani mengerjakan dosa besar secara terang-terangan pada
siang hari, tidak takut kemarahan Yang Mahapenguasa. Tadinya mereka
meremehkan dosa. Dia tidak sadar bahwa bila seseorang sudah meremehkan
suatu dosa, maka Alllah akan memperbesar dosa itu. Sehingga tidak cukup
sampai di situ saja, sampai akhirnya dia terpuruk dalam dosa besar. Padahal
awal mulanya berangkat dari dosa kecil. Sungguh benar perkataan seorang
penyair.

“Segala kejadian berawal dari pandangan
kobaran api berasal dari keburukan yang kecil

Berapa banyak pandangan yang merusak sang pelaku
bagaikan rusaknya anak panah tanpa busur dan tali”

Maka wanita muslimah harus menjauhi dosa-dosa kecil, apalagi dosa-dosa
besar. Selagi mereka mau meninggalkan dosa besar, taubat dar dosa-dosa
kecil, beristighfar, menyesalinya dan mengakui bahwa meskipun kedurhakaan
itu kecil, toh itu merupakan hak Allah, Pencipta langit dan bumi, yang
memiliki keutamaan dalam segala sesuatu. Dengan adanya penyesalan dan
pengakuan ini, maka sesungguhnya Allah itu Maha luas maghfirah dan
rahmatNya, Dia pasti akan mengampuni. FirmanNya.

إِن تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ
سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُم مُّدْخَلًا كَرِيمًا

“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang
kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)” [An-Nisa : 31]

Allah juga berfirman.

وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا
غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ

“Dan, (bagi) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan
keji, dan apabila mereka marah mereka memberi ma’af” [Asy-Syura : 37]

الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ
ۚ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ

“(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain
dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Rabb-mu Mahaluas ampunanNya”
[An-Najm : 32]

Akhirnya sebelum meninggalkan wasiat yang sangat berharga ini, boleh jadi
engkau bertanya-tanya seraya berkata, “Bukankah dosa-dosa kecil itu
diampuni sebagaimana diampuninya kedurhakaan yang lain?

Kami tidak bisa mengatakan kecuali bahwa Allah itu sangat besar
maghfirahNya, Mahaluas rahmatNya, mengampuni siapapun yang dikehendakiNya.
Tetapi hendaklah engkau ketahui, andaikata dosa-dosa kecil itu berkumpul
pada diri seseorang, tentu ia akan membinasakannya dan memasukkannya ke
neraka. Kita berlindung kepada Allah dari hal itu.

Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengira seperti yang
engkau kira. Lalu beliau hendak menjelaskan kepada mereka bahayanya masalah
ini dan besarnya urusan ini. Maka beliau berkata seperti yang diriwayatkan
Sahl bin Sa’d Radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata :

“Jauhilah olehmu sekalin dosa-dosa kecil. Karena perumpamaan dosa-dosa
kecil itu laksana sekumpulan orang yang singgah di tengah lembah. Yang ini
datang sambil membawa dahan, dan yang ini datang sambil membawa dahan, yang
ini datang membawa dahan, lalu mereka memasak rotinya. Sesungguhnya
dosa-dosa kecil itu perbuatan durhaka" [5]

[Disalin dari kitab Al-Khamsuna Wasyiyyah Min Washaya Ar-Rasul Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam Lin Nisa, Edisi Indonesia Lima Puluh Wasiat Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Bagi Wanita, Pengarang Majdi As-Sayyid
Ibrahim, Penerjemah Kathur Suhardi, Terbitan Pustaka Al-Kautsar]
________
Footenote
[1]. Isnadnya Shahih, ditakhrij Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darimy, Ibnu Hibban
dan Al-Qaha’y dalam Musnadusy-Syihab.
Perkataan muhaqqarat, artinya hal-hal yang remeh. Muhaqqarat al-a’mal
artinya perbuatan yang dilakukan seseorang dan dia tidak terlalu
mempedulikannnya. Menurut Ibnu Bathal, apabila dosa-dosa yang kecil itu
semakin banyak, maka ia menjadi dosa besar apabila dikerjakan terus menerus.
[2]. Ditakhrij Al-Bukhary 8/128
[3]. Az-Zuhd, Ahmad hal. 460. Hilyatulk\ Auliya’, Abu Nu’aim 5/223
[4]. Disebutkan Ibnul Jauzy dalam Shifatush Shafwah 4/437
[5] Isnadnya Shahih, ditakhrij Ahmad, Ath-Thabrany dalam Al-Kabir dan
Ash-Shagir 2/49