Rabu, 28 November 2012

Your Positive Great Energy

Energi positif dirimu mengalir dalam banyak kesempatan, dalam banyak perbuatan. Mari kita selidik kalimat "Kesempatan tidak akan datang untuk kali kedua...," Hmm, kita bisa tertipu apabila belum memahami semantik ataupun energi positif yang bisa kita gali.

Bismillahirrahmanirrahim... Kesempatan dalam hidup hanya sekali, dan itu adalah kalimat yang tepat untuk membarengi kalimat "Kesempatan tidak akan datang untuk kali kedua". Kita bisa mengambil banyak energi positif dari banyak kegagalan ataupun saat melakukan satu diantara sekian pilihan. Ya, kesempatan sekali dalam hidup tidak boleh kita kotori hanya dengan ratapan kosong tanpa usaha maksimal. Betapa pun banyak kegagalan yang dirasakan, tetap kita tidak boleh menyia-nyiakan tebaran 'Energi Positif' yang bisa meledakkan hari-hari selanjutnya dalam hidupmu.

Membaca buku-buku biografi tokoh sebenarnya bisa membantu dirimu merubah paradigma berpikir "Kesempatan tidak akan datang untuk kali kedua...," menjadi "Kesempatan akan selalu datang berulang kali". Ya... BENAR SEKALI!!! Kesempatan dalam hidup akan terus ada dan hadir, itulah letak energi positif terbesar dalam hidup kita sehingga tidak terlalu risau dengan banyaknya kegagalan yang dialami. Banyaknya kegagalan dalam hidup saya justru membalikkan keadaan yang lebih baik menginjak usia 23 tahun, meskipun tidak lebih baik daripada teman sebaya yang bergaji jauh lebih banyak. Tapi ternyata saya lebih banyak mendengarkan kalimat2 semangat nan indah dari para buruh atau kuli angkut, pemikiran cerdas warga desa yang sering mati lampu, hingga mendegar derasnya aliran sungai sehingga bertindak lebih hati-hati serta meninggalkan kecerobohan. Kesempatan dalam hidup kita terlalu banyak kawan, TIDAK HANYA DUA KALI. Kita diberi akal nan cerdas untuk merubah kondisi kita menjadi lebih baik dari yang sebelumnya, mengupas tafsir surat Ar-Ra'd ayat 11 sekaligus La Yukallifullahu nafsan Illa wush'aha, Insya Allah semakin meledakkan luapan energi positif yang ada dalam diri kita.

Kita terlalu rapuh dalam memahami konsep akal sehingga kalimat "Kesempatan tidak akan datang untuk kali kedua...," menjadi bayang-bayang menakutkan setiap kali kita memilih, menghadapi tantangan, atau bahkan mengalami kegagalan. Kita terlalu 'MENUHANKAN' perasaan serta akal kita sehingga membuang jauh LEDAKAN ENERGI POSITIF yang barangkali menjadikanmu jauh lebih sukses dari mereka yang kali ini lebih sukses daripada dirimu. Saat ini gaji kawanmu mungkin lebih besar, namun bahagiakah ia? lebih dermawankah ia? bermasyarakatkah ia? bagaimana kondisi amalan yauminya? bagaimana pandangan masyarakat pedesaan terhadapnya? bagaimana telinga dan hatinya saat panggilan shalat menggema...??? adakah ia lebih baik dari seorang pekerja kebun yang digaji kurang dari satu juta, ia mampu menghafal 5 juz Al-Qur'an, shalat di awal waktu meskipun harus beralaskan rumput, berumah dengan bahan dominan kayu hutan...??? ADAKAH...???

Ataukah kita terlalu rapuh dengan kondisi nikmat dunia sehingga terlalu lemah dalam menghadapi kegagalan serta mengambil keputusan...? Kita terlampau kurang pede dengan kondisi diri, kita terlalu MENUHANKAN hawa nafsu yang hampir-hampir menjerumuskan kedalam lubang nista sepanjang zaman. Yakinlah... orang yang sebelumnya tidak bertato dan rajin ibadah kemudian bertato dan meninggalkan ibadah... masih punya banyak kesempatan untuk beramal meskipun ia masih bertato. Seorang ulama bisa terjerumus dalam pemujaan kepada akal atau bahkan jin dan ia masih memiliki kesempatan untuk tersadar dan meninggalkan budaya syirik atau bahkan semakin tenggelam dalam dunia 'hitam' yang ia anggap 'putih bersih'.

Yakinlah... kita mempunyai banyak kesempatan dari satu kesempatan hidup di dunia... kita punya banyak ledakan energi positif untuk dikembangkan... kita bisa jauh lebih tenang meskipun tidak lebih kaya, kita bisa jauh lebih cerdas meskipun IPK hanya mencapai angka 3. kita... memiliki banyak kesempatan untuk berkembang jadi 'BOS BESAR' meskipun saat ini menjadi kuli bangunan. KITA BISA... KITA PASTI BISA!!! apakah kita mendapatkannya di dunia... atau pun nanti kelak di akhirat... ingat kawan 'KESEMPATAN ITU TIDAK HANYA DATANG DUA KALI... TAPI BERKALI-KALI'. Gagal melamar akhwat A dapat kesempatan lamar yang B atau C atau D dan seterusnya, gagal masuk kantor A masih ada kesempatan masuk anak cabang kantor A, dan bisa jadi malah pindah ke kantor A karena kerja kita bagus. gagal masuk kampus favorit masih bisa masuk kampus 'ecek-ecek', siapa tahu... Allah memberikan kita kesempatan kuliah S2 di kampus yang dulu kita tuju atau bahkan beasiswa S2 luar negeri yg melebihi 'levelnya' daripada kampus pilihan kita, nah???

MASIHKAH KITA HANYA TERDIAM DENGAN KEADAAN YANG TERJADI PADA DIRI KITA...?! Bergeraklah... Raih Ledakan Energi Positif yang sudah Allah siapkan pada dirimu... :)

Senin, 26 November 2012

Jatinangor

Alhamdulillah aku berada di tempat ini, sungguh... kesunyian lebih banyak melanda kendati Rabbku tak pernah tertidur dan mengawasi gerak langkahku untuk memuji-Nya. Sungguh... aku merindukan Jatinangor dengan berbagai suasananya... aku merindukan ide-ide besar yang pernah terhubung dari balik percakapan maupun sapa mesra orang-orang yang tinggal ataupun singgah.

Jatinangor bukanlah sembarang kota, karena aku dibesarkan dengan berbagai fenomena di dalamnya. 5 tahun aku menempa ilmu di FTG Unpad dengan berbagai pengalaman suka maupun duka, namun... jauh lebih hebat ketika aku memandang Jatinangor sebagai kota yang 'melahirkan' kecerdasan otakku. 5 tahun bukanlah waktu sesaat untuk berbangga diri dengan gelar, aku masih perlu banyak belajar tentang Indonesia sehingga memilih untuk menetap disini, bersama Guru Spiritual yang selalu membimbing. Tawa... canda... bahagia... duka... nestapa... sudah terlalu banyak yang aku alami di kota ini.

Terlalu cepat apabila harus kutinggalkan, sehingga... aku bertekad untuk memboyong 'istri' agar tinggal bersamaku di kota ini, Insya Allah. Belum cukup hebat bagiku menepikan kebesaran kota ini... belum cukup banyak karya-karya yang dihasilkan, sehingga waktu kuhabiskan untuk menulis dan membaca. Aku sangat nyaman berada di kota ini dengan segala carut-marut serta keindahannya. Ah... terlalu sembrono apabila aku yang biasa-biasa saja banyak bicara tentang kota ini. Namun... aku akan terus menetap bersama kota ini. Di kota ini aku pun menemukan 'bidadari', dan...aku tak menyangka bersua dengan sosok baik itu dalam percakapan tidak resmi. Ia bukanlah bidadari biasa, melainkan kekuatan hati yang membawa rasa tenang akan berbagai tantangan serta ujian... hingga malapetaka itu kadang datang silih berganti menghiasi waktu. Ah... seakan kuterlena akan kehadirannya, bidadari itu... adalah ide-ide terindah yang pernah kudapatkan bersama malam di kota ini.

Bidadari itu... yang kutuliskan lewat bait pembuka dalam dwilogi novelku... Peri kecil yang senantiasa membuka keran pemikiran sehingga Sang Khaliq menjadi tempat peraduan dan pengaduanku setiap saat. Ah... hidup sendiri di kota ini memang melenakan, namun kelak... aku akan bertahta dalam iman bersama 'sang bidadari sebenarnya' di kota ini... Jatinangor yang Indah...

Sabtu, 24 November 2012

IKHTILATH

Pembicaraan seputar ikhtilath atau bercampur baur antara laki-laki dan perempuan dengan tanpa hijab/tabir penghalang sudah pernah kita singgung. Namun karena banyaknya penyimpangan kaum muslimin dalam perkara ini dan adanya sisi-sisi permasalahan yang belum tersentuh maka tak ada salahnya kita bicarakan dan kita ingatkan kembali.

Bukankah Rabbul Izzah telah berfirman:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)

Dan juga dalam rangka menasihati diri pribadi dan orang lain, karena agama ini adalah nasihat, seperti kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

“Agama itu adalah nasihat.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh[1] rahimahullahu menyatakan dalam Fatawa dan Rasa`ilnya (10/35-44) bahwa ikhtilath antara laki-laki dengan perempuan ada tiga keadaan:

Pertama: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki dari kalangan mahram mereka, maka ini jelas dibolehkan.

Kedua: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram) untuk tujuan yang rusak, maka hal ini jelas keharamannya.


Ketiga: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram) di tempat pengajaran ilmu, di toko/warung, kantor, rumah sakit, perayaan-perayaan dan semisalnya. Ikhtilath yang seperti ini terkadang disangka tidak akan mengantarkan kepada fitnah di antara lawan jenis, padahal hakikatnya justru sebaliknya. Sehingga bahaya ikhtilath semacam ini perlu diterangkan dengan membawakan dalil-dalil pelarangannya.


Dalil secara global, kita tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan laki-laki dalam keadaan punya kecenderungan yang kuat terhadap wanita. Demikian pula sebaliknya, wanita punya kecenderungan kepada lelaki. Bila terjadi ikhtilath tentunya akan menimbulkan dampak yang negatif dan mengantarkan kepada kejelekan. Karena, jiwa cenderung mengajak kepada kejelekan dan hawa nafsu itu dapat membutakan dan membuat tuli. Sementara setan mengajak kepada perbuatan keji dan mungkar.

Dalil secara rinci, kita tahu bahwa wanita merupakan tempat laki-laki menunaikan hasratnya. Penetap syariat pun menutup pintu-pintu yang mengantarkan keterkaitan dan keterpautan sepasang insan yang berlawanan jenis di luar jalan pernikahan yang syar’i. Hal ini tampak dari dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang akan kita bawakan di bawah ini.

1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

“Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya kepadanya dan dia menutup pintu-pintu seraya berkata, ‘Marilah ke sini.’ Yusuf berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.” (Yusuf: 23)

Ketika terjadi ikhtilath antara Nabi Yusuf ‘alaihissalam dengan istri Al-Aziz, pembesar Mesir di kala itu, tampaklah dari si wanita apa yang tadinya disembunyikannya. Ia meminta kepada Yusuf untuk menggaulinya. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi Yusuf dengan rahmat-Nya sehingga dia terjaga dari perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Yusuf: 34)

Demikian pula bila lelaki lain ikhtilath dengan wanita ajnabiyah. Masing-masingnya tentunya menginginkan apa yang dicondongi oleh hawa nafsunya. Berikutnya, dicurahkanlah segala upaya untuk mencapainya.

2. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan lelaki yang beriman untuk menundukkan pandangan dari melihat wanita yang bukan mahramnya, demikian pula sebaliknya seperti termaktub dalam firman-Nya:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)

Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin dan kaum mukminat untuk menundukkan pandangan mereka. Kita tahu dari kaidah yang ada, perintah terhadap sesuatu menunjukkan wajibnya sesuatu tersebut. Berarti menundukkan pandangan dari melihat yang haram itu hukumnya wajib. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa hal itu lebih bersih dan lebih suci bagi mereka. Penetap syariat tidak membolehkan lelaki memandang wanita yang bukan mahramnya terkecuali pandangan yang tidak disengaja. Itu pun, pandangan tanpa sengaja itu, tidak boleh disusul dengan pandangan berikutnya. Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata:

سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ نَظْرِ الْفُجَاءَةِ، فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja), maka beliau memerintahkan aku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5609)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, “Makna الْفُجَاءَةِ نَظْرِ adalah pandangan seorang lelaki kepada wanita ajnabiyah tanpa sengaja. Maka tidak ada dosa baginya pada awal pandangan tersebut, dan wajib baginya memalingkan pandangannya pada saat itu. Jika segera dipalingkannya, maka tidak ada dosa baginya. Namun bila ia terus memandangi si wanita, ia berdosa berdasarkan hadits ini. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Jarir untuk memalingkan pandangannya. Juga bersamaan dengan adanya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ

“Katakanlah (Ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata…’.” (An-Nur: 30) [Al-Minhaj, 14/364]

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menundukkan pandangan dari lawan jenis, karena melihat wanita yang haram untuk dilihat, adalah zina. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَة، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُُ، وَالنَّفُسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ

“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina[2], dia akan mendapatkannya, tidak bisa terhindarkan. Maka zinanya mata dengan memandang (yang haram), dan zinanya lisan dengan berbicara. Sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)

Dalam lafadz lain disebutkan:

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَى، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ

“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperoleh hal itu, tidak bisa terhindarkan. Kedua mata itu berzina dan zinanya dengan memandang (yang haram). Kedua telinga itu berzina dan zinanya dengan mendengarkan (yang haram). Lisan itu berzina dan zinanya dengan berbicara (yang diharamkan). Tangan itu berzina dan zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina dan zinanya dengan melangkah (kepada apa yang diharamkan). Sementara hati itu berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Muslim no. 2657)

Memandang wanita yang haram teranggap zina, karena seorang lelaki merasakan kenikmatan tatkala melihat keindahan si wanita. Hal ini akan menumbuhkan sebuah “rasa” di hati si lelaki, sehingga hatinya pun terpaut dan pada akhirnya mendorongnya untuk melakukan perbuatan keji dengan si wanita. Tentunya kita maklumi adanya saling pandang antara lawan jenis bisa terjadi karena adanya ikhtilath antara lawan jenis. Ikhtilath pun dilarang karena akan berujung kepada kejelekan.

3. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

“Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan di dalam dada.” (Ghafir: 19)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Ayat ini terkait dengan seorang lelaki yang duduk bersama suatu kaum. Lalu lewatlah seorang wanita. Ia pun mencuri pandang kepada si wanita.” Ibnu Abbas berkata pula, “Lelaki itu mencuri pandang kepada si wanita. Namun bila teman-temannya melihat dirinya, ia menundukkan pandangannya. Bila ia melihat mereka tidak memerhatikannya (lengah), ia pun memandang si wanita dengan sembunyi-sembunyi. Bila teman-temannya melihatnya lagi, ia kembali menundukkan pandangannya. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui keinginannya dirinya. Ia ingin andai dapat melihat aurat si wanita.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 15/198)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifatkan mata yang mencuri pandang kepada wanita yang tidak halal untuk dipandang sebagai mata yang khianat. Lalu bagaimana lagi dengan ikhtilath? Bila memandang saja dicap berkhianat sebagai suatu cap yang jelek, apalagi berbaur dan saling bersentuhan dengan wanita ajnabiyah.

4. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)

Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang suci lagi menjaga kehormatan diri untuk tetap tinggal di rumah mereka. Hukum ini berlaku umum untuk semua wanita yang beriman, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususan ayat ini hanya untuk para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka diperintah tetap tinggal di dalam rumah, kecuali bila ada kebutuhan darurat untuk keluar rumah. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa ikhtilath dengan lawan jenis sebagai perkara yang boleh dilakukan, sementara wanita diperintah untuk tidak keluar dari rumahnya?

Adapun dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan tidak dibolehkannya ikhtilath, di antaranya:

1. Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha istri Abu Humaid As-Sa’idi Al-Anshari radhiyallahu ‘anahu datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku senang shalat berjamaah bersamamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّيْنَ الصَّلاَةَ مَعِيْ، وَصَلاَتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسجدِ قَومِِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِي

“Sungguh aku tahu bahwa engkau senang shalat berjamaah bersamaku, akan tetapi shalatmu di kamar khususmu lebih baik daripada shalatmu di kamarmu. Dan shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu. Dan shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih utama bagimu daripada shalatmu di masjidku.” (HR. Ahmad 6/371. Al-Haitsami berkata, “Rijal hadits ini rijal shahih kecuali Abdullah bin Suwaid, ia di-tsiqah-kan oleh Ibnu Hibban.” Demikian pula yang dikatakan Al-Hafizh dalam At-Ta’jil. Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad, 18/424, cet. Darul Hadits, Al-Qahirah)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menyatakan, “Hadits seperti ini memberi pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama. Jika mereka (para wanita) berkata, ‘Aku ingin shalat di masjid agar dapat berjamaah.’ Maka aku katakan, ‘Sesungguhnya shalatmu di rumahmu lebih utama dan lebih baik.’ Hal itu karena seorang wanita akan terjauh dari ikhtilath dengan lelaki yang bukan mahramnya, sehingga akan menjauhkannya dari fitnah.” (Majmu’ah Durus Fatawa, 2/274)

Beliau rahimahullahu juga mengatakan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian sementara beliau berada di Madinah. Dan kita tahu shalat di Masjid Nabawi memiliki keutamaan dan nilai lebih. Akan tetapi karena shalat seorang wanita di rumahnya lebih tertutup baginya dan lebih jauh dari fitnah (godaan) maka hal itu lebih utama dan lebih baik.” (Al-Fatawa Al-Makkiyyah, hal. 26-27, sebagaimana dinukil dalam Al-Qaulul Mubin fi Ma’rifati ma Yuhammimul Mushallin, hal. 570)

2. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Sebaik-baik shaf (jamaah) lelaki adalah shaf yang awal dan sejelek-jelek shaf (jamaah) lelaki adalah yang akhirnya. Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir dan sejelek-jelek shaf wanita adalah yang paling awal.” (HR. Muslim no. 440)

Al-Imam Nawawi rahimahullahu berkata, “Adapun shaf-shaf lelaki maka secara umum selama-lamanya yang terbaik adalah shaf awal, dan selama-lamanya yang paling jelek adalah shaf akhir. Beda halnya dengan shaf wanita. Yang dimaukan dalam hadits ini adalah shaf wanita yang shalat bersama kaum lelaki. Adapun bila mereka (kaum wanita) shalat terpisah dari jamaah lelaki, tidak bersama dengan lelaki, maka shaf mereka sama dengan lelaki. Yakni, yang terbaik adalah shaf yang awal sementara yang paling jelek adalah shaf yang paling akhir. Yang dimaksud shaf yang jelek bagi lelaki dan wanita adalah yang paling sedikit pahalanya dan keutamaannya, serta paling jauh dari tuntunan syar’i. Sedangkan maksud shaf yang terbaik adalah sebaliknya. Shaf yang paling akhir bagi wanita yang hadir shalat berjamaah bersama lelaki memiliki keutamaan karena wanita yang berdiri dalam shaf tersebut akan jauh dari bercampur baur dengan lelaki dan melihat mereka. Di samping jauhnya
mereka dari berhubungan dengan kaum lelaki dan memikirkan mereka ketika melihat gerakan mereka, mendengar ucapannya, dan semisalnya. Shaf yang awal dianggap jelek bagi wanita karena alasan yang sebaliknya dari yang telah disebutkan.” (Syarh Shahih Muslim, 4/159-160)

Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu menyatakan, “Dalam hadits ini ada petunjuk bolehnya wanita berbaris dalam shaf-shaf. Dan zahir hadits ini menunjukkan sama saja baik shalat mereka itu bersama kaum lelaki atau bersama wanita lainnya. Alasan baiknya shaf akhir bagi wanita karena dalam keadaan demikian mereka jauh dari kaum lelaki, jauh dari melihat dan mendengar ucapan mereka. Namun alasan ini tidaklah terwujud kecuali bila mereka shalat bersama lelaki. Adapun bila mereka shalat dengan diimami seorang wanita maka shaf mereka sama dengan shaf lelaki, yang paling utama adalah shaf yang awal.” (Subulus Salam, 2/49)

Apabila penetap syariat menjaga jangan sampai campur baur dan keterpautan antara lelaki dan wanita terjadi pada tempat ibadah, padahal dalam shalat jelas terpisah antara shaf lelaki dengan shaf wanita dan umumnya mereka yang datang memang ingin menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, jauh dari keinginan untuk berbuat jelek, maka tentunya di tempat lain yang terjadi ikhtilath lebih utama lagi pelarangannya.

3. Zainab radhiyallahu ‘anha istri Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami:

إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيْبًا

“Apabila salah seorang dari kalian menghadiri shalat berjamaah di masjid maka jangan ia menyentuh (memakai) minyak wangi.” (HR. Muslim no. 996)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ

“Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari mendatangi masjid- masjid Allah. Akan tetapi hendaklah mereka keluar rumah dalam keadaan tidak memakai wangi-wangian.” (HR. Abu Dawud no. 565. Kata Al-Imam Al Albani rahimahullahu, “Hadits ini hasan shahih.”)

Ibnu Daqiqil Id rahimahullahu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para wanita keluar menuju masjid bila mereka memakai wangi-wangian atau dupa-dupaan, karena akan membuat fitnah bagi lelaki dengan aroma semerbak mereka, sehingga menggerakkan hati dan syahwat lelaki. Tentunya pelarangan memakai wangi-wangian bagi wanita selain keluar menuju ke masjid lebih utama lagi (keluar ke pasar, misalnya, pent.).”
Beliau mengatakan pula, “Termasuk dalam makna wangi-wangian adalah menampakkan perhiasan, pakaian yang bagus, suara gelang kaki, dan perhiasan.” (Al-Ikmal, 2/355)

Keluar rumah memakai wangi-wangian saja dilarang bagi wanita, apalagi bercampur baur dengan lelaki ajnabi.

4. Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anahuma menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا تَرَكْتُ فِتْنَةً بَعْدِيْ هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah aku meninggalkan fitnah (ujian) sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi lelaki daripada fitnah wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 6880)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas menyatakan wanita sebagai fitnah (ujian/ cobaan) bagi lelaki. Lalu apa persangkaan kita bila yang menjadi fitnah dan yang terfitnah berkumpul pada satu tempat?

5. Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَنَاظِرٌ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Sesungguhnya dunia ini manis lagi hijau, dan sungguh Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di atasnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena awal fitnah yang menimpa Bani Israil dari wanitanya.” (HR. Muslim no. 6883)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan lelaki untuk berhati-hati dari wanita. Lalu bagaimana perintah beliau ini dapat terealisir bila ikhtilath dianggap boleh? Bila demikian keadaannya maka jelaslah keharaman ikhtilath.

6. Abu Usaid Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita ketika beliau keluar dari masjid dan mendapati para lelaki bercampur baur dengan mereka di jalan:

اسْتَأْخِرْنَ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرْيْقَ، عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيْقِ.- فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْصُقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى أَنَّ ثَوْبَهَا يَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ

“Berjalanlah kalian di belakang (jangan mendahului laki-laki). Karena sungguh tidak ada bagi kalian hak untuk lewat di tengah-tengah jalan, tapi bagi kalian hanyalah (boleh lewat/berjalan di) tepi-tepi jalan.”

Maka ada wanita yang berjalan menempel/merapat ke dinding/tembok sampai-sampai pakaiannya melekat dengan tembok karena rapatnya dengan tembok tersebut. (HR. Abu Dawud no. 5272, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 856 dan Al-Misykat no. 4727)

Dalam hadits di atas jelas sekali larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ikhtilath di jalanan karena akan mengantarkan kepada fitnah. Pelarangan ini juga berlaku di tempat lain.

7. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menceritakan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا سَلَّمَ قَامَ النِّسَاءُ حِيْنَ يَقْضِي تَسْلِيْمَهُ، وَيَمْكُثُ هُوَ فِي مَقَامِهِ يَسِيْرًا قَبْلَ أَنْ يَقُوْمَ. قَالَ: نَرَى – وَاللهُ أَعْلَمُ- أَنَّ ذَلِكَ كَانَ لِكَيْ يَنْصَرِفَ النِّسَاءُ قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الرِّجاَلِ

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila telah mengucapkan salam sebagai akhir shalatnya, maka para wanita yang ikut hadir dalam shalat berjamaah bersama beliau segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka. Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap diam sebentar di tempatnya sebelum beliau bangkit.”

Perawi hadits ini berkata, “Kami memandang –wallahu a’lam– Rasulullah berbuat demikian agar para wanita telah pulang semuanya meninggalkan masjid sebelum ada seorang lelakipun yang mendapati/bertemu dengan mereka” (HR. Al-Bukhari no. 870)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghindarkan terjadinya ikhtilath antara lelaki dan wanita sepulangnya mereka dari menunaikan ibadah shalat di masjid. Ini jelas menunjukkan terlarangnya ikhtilath.

8. Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu berkata dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَـحِلُّ لَهُ

“Ditusuk kepala seorang lelaki dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya[3].” (HR. Ar-Ruyani dalam Musnadnya 2/227. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Hadits ini sanadnya jayyid.” Lihat Ash-Shahihah no. 226)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang laki-laki bersentuhan dengan wanita yang bukan mahramnya karena bersentuhan dengan lawan jenis memberi dampak yang jelek. Dan saling sentuh ini bisa terjadi karena adanya ikhtilath, maka pantas sekali bila ikhtilath itu dilarang karena akibat buruk yang ditimbulkannya.

Demikian beberapa dalil yang bisa dibawakan untuk menunjukkan terlarangnya ikhtilath.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Catatan kaki:

[1] Beliau adalah Abu Abdil Aziz Muhammad bin Ibrahim bin Abdil Lathif bin Abdurrahman bin Hasan bin Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhab, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka semua. Beliau lahir di Riyadh, 17 Muharram 1311 H. Tumbuh dalam bimbingan langsung dari sang ayah dan pamannya Abdullah bin Abdil Lathif, seorang yang sangat alim di zamannya. Hafal Al-Qur’an pada usia 11 tahun dan mengalami kebutaan pada usia 16 tahun, namun tidak mengurangi semangatnya untuk meraup ilmu dari ulama yang hidup di masa itu. Beliau adalah mufti kerajaan Saudi Arabia di zamannya. Dari pengajaran beliau, lahirlah para ulama besar seperti Asy-Syaikh Abdullah bin Humaid, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Abdullah Al-Qar’awi, dan selain mereka –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka semuanya–. Beliau wafat di bulan Ramadhan tahun 1389 H dengan mewariskan banyak karya dalam bentuk fatwa, rasa’il dan masa’il yang telah dicetak
berjilid-jilid tebalnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau dan menempatkannya di surga-Nya nan luas.

[2] Yakni zina itu tidak hanya apa yang diperbuat oleh kemaluan, bahkan memandang apa yang haram dipandang dan selainnya juga diistilahkan zina. (Fathul Bari, 11/28)

[3] Faedah: Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata setelah membawakan hadits ini, “Dalam hadits ini ada ancaman yang keras bagi lelaki yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Ini juga merupakan dalil haramnya berjabat tangan dengan wanita, karena berjabat tangan jelas tanpa ragu terjadi sentuhan. Kebanyakan kaum muslimin di masa ini telah ditimpa musibah, bahkan di antara mereka sebagiannya adalah ahlul ilmi. Seandainya ahlul ilmi ini mengingkari hal tersebut dengan hati mereka, niscaya sebagian perkaranya jadi mudah. Akan tetapi mereka menghalalkan berjabat tangan tersebut dengan beragam cara/jalan dan penakwilan.

Istiqamah Berdakwah

*Oleh: Ustaz M Arifin Ilham *


Kami mengenalnya sebagai seorang juru dakwah. Sering dia diminta untuk
memberi wejangan agama.

Namun, beberapa tahun terakhir ia meninggalkan gelanggang dakwah dan
bergabung dengan partai politik lalu masuk di parlemen.

Kesehariannya kini lebih sering menenteng *gadget*, seperti iPad dan HP di
tas mininya. Mungkin sebagai pengganti tasbih yang dulu biasa diputar
sambil berzikir.

Biasanya, sebelum azan, wajahnya selalu tampak basah oleh air wudhu dan
sudah bersiap di belakang mihrab. Kini, walau azan sudah berkumandang,
beliau terlihat masih sibuk menyalami relasi dan kolega politik.
Majelis-majelis ilmu dan mimbar-mimbar dakwah yang dulu membesarkan
namanya, kini terlihat hanya seperti hiasan.

Kita pasti mengelus dada. Sangat disayangkan jika akhirnya beliau
benar-benar meninggalkan harakah dakwah. Semoga saja, sahabat kita ini
kembali berjuang menegakkan kebenaran dan Islam.

Tulisan ini tentu bukan ajakan untuk meninggalkan gedung parlemen atau
melepas kursi kementerian. Tidak sama sekali. Ini hanya sekadar seruan
moral untuk istiqamah dalam dakwah.

Masih terekam dalam ingatan kami, ketika beliau berpamitan. “Semoga posisi
ini memudahkan langkah dakwah kita, narju bidu'aikum (mohon doa) ya ustaz,”
ucapnya.

Sejujurnya ingatan ini hanya menambah gerusan hati saja karena kenyataan
justru lebih tampak bukan sebagai batu loncatan dakwah yang memudahkan tapi
menjatuhkan.

Peran juru dakwah yang “berubah” ini pastinya bukan hanya pada diri beliau,
tapi telah membiak di negeri ini. Dulu kita mengenalnya sebagai ustaz, guru
agama, penceramah, dai, punya pondok pesantren, dan sebagainya. Akan tapi,
setelah masuk wilayah kekuasaan, peran itu berubah.

Kita sudah sering mendengar banyaknya pejabat yang masuk 'hotel prodeo'.
Tak hanya politisi, tapi juga sosok yang selama ini dikenal alim. Sering
juga kita dengar, ada banyak sekali pesantren tutup, karena para santrinya
tidak lagi terurus. Karena pengasuhnya jarang pulang dan tak sempat
mengajar. Majelis-majelis taklim berhenti, karena ustaz atau ustazahnya
sedang ke luar kota.

Atas keadaan inilah, rasanya penting melihat lagi risalah istiqamah dalam
dakwah. Tidak mengapa berganti “baju”. Dengan lebih “bergaya”, seharusnya
daya jelajah dakwah lebih kuat dan menghunjam.

Rasanya menjadi luar biasa jika manusia-manusia Muslim parlemen atau para
petinggi kekuasaan, sesaat sebelum terdengar suara azan, pimpinan sidang
meminta penghentian sidang untuk bersama melaksanakan shalat berjamaah.
Indahnya pemandangan itu.

Jika sudah demikian, benarlah keadaan mereka. Silakan rebut dunia, raih
kedudukan, tapi jangan tinggalkan umat dan akhirat. Jadikan kursi dan meja
sidang sebagai mushala. Jadikan persidangan dan lobi-lobi sebagai mimbar
dakwah.

Saudaraku, tetaplah bersahaja, apa adanya. Amalan kebaikan yang sebelumnya
hidup, hidupkan kembali. Sungguh, buah istiqamah itu akan menanti kita.
Orang yang istiqamah dalam dakwah sebenarnya sedang meniti jalan surga.

Mereka akan selalu dikawal dan dihibur para malaikat. Dan Allah beserta
para makhluk-Nya, akan turut membantu setiap urusan mereka, baik dunia
maupun akhirat. (QS Fushilat [41]: 30). *Wallahu a'lam.*
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/11/15/mdj9sc-istiqamah-berdakwah

Dirikan Shalat, Makmurkan Masjid: Rumus Muslim yang Selamat!



*MENJADI *seorang Muslim di abad modern memang tidak mudah. Apalagi jika
punya niat untuk benar-benar menjadi Muslim yang serius dan sungguh-sungguh
secara menyeluruh dalam sebua sikap dan tindakan (*kaffah*). Ada banyak
sekali tantangan, rintangan, dan hambatan yang menghadang. Namun demikian,
bagaimanapun situasi dan kondisinya, kita tetap harus berusaha menjadi
Muslim yang *kaffah.
*

Banyak tantangan nyata di era yang sering disebut *global village *ini,
khususnya yang datang dari dunia informasi. Bagaimana hari ini media massa
banyak yang salah dalam mengabarkan Islam dan umat Islam. Di sisi lain,
dengan berbagai macam produk film, sinetron, dan *talk-show *--entah
sengaja atau tidak—seolah menggiring kita yang menontonnya untuk cinta
dunia lupa akhirat!

Tidak cukup disitu, lewat isu terorisme, Islam dan umat Islam serasa
terus-menerut disudutkan. Seolah tidak rela melihat Islam tumbuh di negeri
ini (bahkan belahan dunia lain). Kelompok Kerohanian Islam (Rohis) di
sekolah-sekolah pun sempat dituduh sebagai sarang tumbuhnya terorisme.
Setelah beberapa tahun sebelumnya konspirasi buruk itu gagal meyakinkan
publik bahwa pesantren adalah sarang terorisme.

Meski demikian, sikap sejati orang Mukmin adalah harus tetap konsisten
dengan pilihan keyakinan kita. Pepatah mengatakan, “Biarkan anjing
menggonggong, kafilah tetap berlalu”.
Sikap seperti itulah yang semestinya kita miliki dalam menghadapi kaum yang
berusaha melakukan makar dari berbagai sisi, agar akidah dan keimanan kita
menjadi goyah, sehingga lunturlah komitmen kemusliman dan kemukminan kita.

*Teguhkan Iman*

Derasnya gelombang fitnah yang melanda kaum Muslimin saat ini ikut membuat
sekian banyak kebingungan di tengah umat dan bahkan terbawa oleh arus
fitnah tersebut.  Fitnah datang dalam bentun manusia, jin dan syetan.

Di era modern ini, fitnah bahkan datang dalam bentuk penyajian informasi,
kekuasaan dan kekuatan politik dan negara adidaya.

Banyak orang tergila-gila dengan dunia informasi dan media, tetapi,
pastikan, berita satu-satunya yang benar adalah khabar shodiq, yakni
Al-Qur’an yang datangnya dari Allah Subhanahu Wata’ala.

Jangan seperti kebanyakan orang saat ini, setiap hari sempat dan
bersemangat membaca koran, melihat debat di TV, namun tak pernah sekalipun
membaca Al-Qur’an.
Hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

*“Saya tinggalkan pada kalian dua perkara, yang kalian tidak akan sesat di
belakang keduanya, (yaitu) kitab Allah dan Sunnahku.” *(HR. Malik dan
Al-Hakim)

Gencarnya fitnah, dan nilai-nilai yang sengaja merusak kaum Muslim –sedikit
atau banyak—ikut mempengaruhi umat Islam.

Sekedar contoh; jika seorang Muslim yang semestinya melihat dunia sebagai
sarana menuju Allah Subhanahu Wata’ala, yang banyak justru menjadikannya
sebagai tujuan. Harta yang semestinya diinfakkan, malah ditahan dan
ditumpuk-tumpuk. Persaudaraan yang semestinya dijaga dan dikokohkan, malah
dihancurkan. Bahkan, semestinya beribadah kepada Allah, malah mengabdikan
diri pada kekuasaan. Fitnah dan informasi yang menyesatkan inilah yang
banyak menggelincirkan kaum Muslim.

Maka tidak heran, jika hari ini orang banyak yang sudah tidak begitu peduli
terhadap agama. Jika di dalam Al-Qur’an Allah memerintahkan kita untuk
mencari akhirat dengan tidak lupa dunia (QS/ 28 : 77), sekarang kondisinya
sudah berbalik. Orang sibuk mengejar dunia tapi lupa akhirat.

Di sinilah tugas kita sebagai Muslim mendapatkan momentumnya untuk semakin
dikuatkan, dikokohkan, dan dipatenkan, agar kita bisa mendapat ridha Allah
Subhanahu Wata’ala.

*“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara
orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang
kepadamu yang diyakini (ajal).” *(QS: Al Hijr [15]: 98, 99).

Artinya, kita harus terus-menerus mempertajam keimanan dan meneguhkannya.
Dan, tidak ada cara terbaik untuk melakukan hal tersebut selain dengan
menyempurnakan kesabaran dan kesungguhan dalam beribadah kepada Allah
Subhanahu Wata’ala.

*“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan
pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran)
mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu
dayakan.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan
orang-orang yang berbuat kebaikan.” *(QS: An-Nahl [16]: 127, 128).

*Hanya Tunduk kepada Allah
*

*“Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang- orang
munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakkallah
kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pelindung.”* (QS: Al-Ahzab [33]:
48).

Menurut Ibnu Katsir ayat di atas merupakan suatu peringatan penting agar
kita janggan mentaati (tunduk, takut, khawatir) orang-orang kafir dan
munafik. Kita hanya boleh mendengarkan apa ucapan-ucapan mereka tetapi
jangan pernah menghiraukannya sedikitpun.

Orang-orang kafir dan munafik tidak lebih laksanan seekor lalat yang suka
kepada hal-hal yang kotor, jorok, bau busuk, dan menjijikkan. Mereka sama
sekali tidak tahu mana bersih mana kotor. Bahkan karena kejahilannya,
mereka sangat suka kepada yang kotor lagi menjijikkan.

Hal itu bisa dilihat dari cara berpikirnya, ucapannya, dan perbuatannya,
yang jauh dari kebenaran dan kesucian. Lihat saja produk film-film Barat
yang selalu menampilkan aurat, pemilihan ratu kecantikan yang mengumbar
aurat, pergaulan bebas, dan materialistis.

Kemudian, terhadap umat Islam, mereka selalu curiga, dan benci, sehingga
tidak mengherankan jika ulah orang kafir dan munafik senantiasa
bertentangan dengan aturan Allah.

Dengan demikian, sangat terang bagi kita, mengapa kita harus tunduk kepada
Allah semata. Karena bagaimanapun canggihnya upaya orang kafir dan munafik
untuk menjerumuskan umat Islam, semua itu tidak akan berpengaruh apa-apa
bagi Muslim sejati. Karena semua sudah jelas. Antara hak dan bathil sangat
jelas, antara baik dan buruk juga sangat terang.

Oleh karena itu, mari kita semua bersama-sama untuk tetap berusaha menjadi
Muslim kaffah, yang hanya tunduk kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Sebab,
hanya dengan menjadi Muslim kaffah saja kita akan mendapat petunjuk dari
Allah sekaligus dapat benar-benar merasakan indahnya Islam ini secara nyata.

Bagaimana kita melakukan itu semua? Jawabnya sangat sederhana. Yakni dengan
memakmurkan masjid Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berkumpul
dengan orang-orang sholeh dan tidak takut kepada siapapun selain Allah.
Itulah jalan satu-satunya, untuk menjadi Muslim yang cerdas. Muslim yang
tidak terpengaruh oleh serbuan dunia informasi yang menyesatkan,  merugikan
dan penuh fitnah.

*“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman
kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan
zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah
orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat
petunjuk.”* (QS: At-Taubah [9]: 18).

Dengan melakukan itu semua, dijamin kita tidak akan terpengaruh, apalagi
tunduk, atau salah jalan dalam menjalani kehidupan dunia yang fana ini.
Karena Allah memberikan kesempatan, bagi siapa yang melakukan tiga langkah
di atas pasti akan mendapat petunjuk.*/*Imam Nawawi*
Rep: Imam Nawawi
Red: Cholis Akbar

sumber:
http://www.hidayatullah.com/read/25847/14/11/2012/dirikan-shalat,-makmurkan-masjid:-rumus-muslim-yang-selamat!.html

Mumpung Sehat, Perbanyak Amal Shalih



*HAMPIR *tidak pernah kita temukan ayat-ayat dalam al-Quran yang berbicara
tentang iman, kecuali di sertakan kata “amal shalih” bersamanya. Amal
shalih,  berupa perbuatan baik yang  menjadi bukti sahnya iman lewat
pengakuan lisan dan pembenaran hati.

Boleh kita punya segudang ilmu, dengan membaca, menelaah, mengamati ribuan
persoalan ilmiah.  Begitu juga telah menulis, mengarang jutaan buku, serta
sudah terbiasa berdiri tegap di ratusan mimbar’ yang berbeda-beda. Namun
semua itu tidak akan berguna tanpa pengamalan.

Seperti peringatan yang Rasul sampaikan;*“Sesungguhnya manusia yang paling
berat siksaannya di hari kiamat, adalah seorang ilmunya tidak membawa
kemanfaatan baginya,”* (HR. Al-Baihaqi).

Karena ilmu yang bermanfaat akan mengantarkan kita kehadirat Ilahi, seperti
pesa Ibn ‘Athaillah as-Sakandari. Tentunya dengan memperbanyak ibadah,
memperkuat ketaatan, serta meningkatkan takwa dan keikhlasan. Dengan
memperkokoh kewajiban vertikal  kepada sang Pencipta, juga menjalankan
kewajiban horizontal  kepada sesama, adalah bukti kalau bibit keimanan
sudah mulai tumbuh dalam diri kita.

Memang iman seberat *dzarrah *saja, sudah cukup untuk membuat kita berhak
masuk surga. Dan amal shalih juga bukan segalanya, karena kita masih harus
menunggu rahmat Allah untuk dapat hidup bahagia di sana. Tapi, berapa lama
kita dapat bertahan dan menunggu siksa atas dosa-dosa, dan bukankah Rahmat
Allah sangat dekat dengan orang-orang yang melakukan kebaikan.

*“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat
dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”*  (QS; Al-A’raf [7]: 56).

Sudah menjadi sunnatullah, bahwa upah akan di bayarkan ketika pekerjaan
sudah di selesaikan. Keberhasilan tidak di dapat hanya dengan merenung dan
mengahayal. Sedangkan harga surga sangatlah mahal untuk di bayar hanya
dengan ilmu dan buku-buku yang tidak diamalkan. Karena langit tidak akan
pernah hujan emas dan perak, seperti juga perahu  yang tidak akan pernah
terapung di tanah kering.

Dalam hal ini Rasul pernah bersabda; “*Orang cerdas adalah yang menundukan
nafsunya dan beramal untuk bekal setelah matinya, sedangkan yang bodoh
adalah yang memperturutkan hawa nafsunya.” *[HR. at-Turmudzi, Ahmad, Ibn
Majah, dan Hakim].

Al-Ghazali  dalam kitab *“Ayyuhal Walad" *pernah menasehati, “*Ilmu tanpa
amal gila, dan amal tanpa ilmu tidak akan ada.”
*

Yang diperlukan ketika dilanda maksiat dan di kejar gejolak api panas
adalah menghindar dan lari, tidak cukup hanya “tahu” bahwa keduanya tidak
baik untuk diri. Sebab ilmu saja tidak mampu bergerak dan berbicara, dia
membutuhkan amal perbuatan untuk mendampinginya.

Jangan sampai ilmu malah akan membuat kita celaka. Karena tidak sedikit
yang telah mengalaminya. Karena alasan ilmu, banyak orang yang mengingkari
Tuhan, tidak menerima kebenaran Islam. Karena alasan ilmu, banyak golongan
yang saling tikam untuk memperebutkan kebenaran.

Dan karena alasan ilmu, banyak manusia yang menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal. Keberadaan Tuhan sudah tidak penting karena alasan
kebebasan dan keyakinan. Keikhlasan dan ketawaduan sudah tidak menjadi
ukuran dalam menjalankan ibadah.

Kebusukan dan kehancuran akhlak sudah di anggap biasa dalam kehidupan.
Tanpa sadar, selangkah demi selangkah, manusia terjerat oleh “ilmu” yang di
banggakannya. Karena cahaya matahari yang sangat terang benderang di siang
hari, hanya dapat terlihat oleh mata yang tidak terhalangi penyakit maupun
kabut tebal yang menyelimuti.

Jauh hari Rasul sudah mengingatkan; “*Barangsiapa yang bertambah ilmunya,
namun berkurang hidayahnya, maka hanya akan semakin jauh dari Tuhannya.” *(HR.
Ibn Hibban di kitab Raudlatul Uqala’).

Hidayah adalah amal shalih, dia harus di usahakan dan perjuangkan untuk
menyatu dengan ilmu.

Maka sekaranglah saatnya kita mulai mengamalkan apa yang kita tahu, bukan
hanya terus-menerus berputar di bawah naungan “ilmu” yang nantinya hanya
akan membuat letih dan lesu. Saatnya kita beramal shalih dalam setiap kata,
dan lafadz yang telah kita hafal dan pahami. Sebelum semuanya terlambat.
Seperti ungkapan orang-orang yang celaka di neraka;

*“Dan, jika sekiranya kamu melihat mereka ketika orang-orang yang berdosa
itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): "Ya Tuhan
Kami, Kami telah melihat dan mendengar, Maka kembalikanlah Kami (ke dunia),
Kami akan mengerjakan amal saleh, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang
yakin." *(QS; As-Sajadah [32], ayat [12]).Wallahu A’lam.*/*Abdul Mukit
Ridwan; **Mahasiswa Pasca Sarjana, jurusan Pendidikan dan Pemikiran Islam,
Universitas Ibn Khaldun Bogor*

Red: Cholis Akbar

sumber:
http://www.hidayatullah.com/read/25776/08/11/2012/mumpung-sehat,-perbanyak-amal-shalih!.html

Berlalu satu hari, maka berlalu pula kesempatan dalam hidupmu

Oleh: Badrul Tamam

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan
salam terlimpah kepada Rasulullah ­-*Shallallahu 'Alaihi Wasallam*-*, *keluarga
dan para sahabatnya.

Waktu adalah kehidupan. Umur manusia terdiri dari kumpulan hari. Jika
berlalu satu hari berarti telah berlalu pula bagian dari umurnya. Al-Hasan
al-Bashri *rahimahullah* berkata*,*

"*Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau adalah (kumpulan) hari-hari, apabila
berlalu satu hari maka berlalu pula bagian darimu.*" (Al Hilyah: 2/148 dan
dalam Siyar A'lam Nubala: 4/585).

Al-Hasan juga pernah berkata, "Tidaklah ada satu hari dari hari-hari dunia
kecuali ia berbicara dan berkata: Wahai manusia, sesungguhnya aku ini hari
baru. Aku menjadi saksi atas apa yang engkau kerjakann padaku. Sesungguhnya
jika matahariku telah terbenam, maka aku tidak akan kembali lagi kepadamu
sampai hari kiamat." (dikeluarkan Imam Ahmad)

Ibnu Mas'ud *radliyallah 'anhu* berkata, "Sesuatu yang aku sesali adalah
jika dari pagi hari sampai matahari tenggelam amalku tidak bertambah
sedikitpun padahal aku tahu saat itu umurku berkurang."

Hari terdiri dari jam dan menit. Setiap orang haruslah memikirkan, untuk
apa waktunya dihabiskan?

Islam sangat memperhatikan perputaran waktu dan pergantian hari, khususnya
untuk* *beramal shalih. Islam sangat menganjurkan untuk memanfaatkan waktu
dan tidak menyia-nyiakannya. Di akhirat manusia akan ditanya tentangnya.
Dari Abu Barzah al-Aslami* Radhiyallahu 'Anhu* berkata, Rasulullah *Shallallahu
'Alaihi Wasallam* bersabda, "*Tidak akan bergeser telapak kaki seorang
hamba pada hari kiamat sehingga ditanya empat perkara: tentang umurnya
dihabiskan untuk apa, usia mudanya digunakan untuk apa, hartanya darimana
didapatkan dan kemana ia peruntukkan, dan tentang ilmunya apa yang sudah ia
amalkan.*" (HR. Al-Tirmidzi)

Islam telah mengatur waktu seorang muslim. Kapan ia tidur dan bangun,
mengerjakan syi'ar-syi'ar Islam, pergi ke tempat kerja, dan sebagainya.
Terlebih dari itu, Islam mengarahkan agar ia menjadikan semua itu sebagai
ibadah kepada Allah *'Azza wa Jalla*. Ia tidak melanggar batasan-batasan
Allah dan menerjang larangan-Nya. Ia senantiasa mengisinya dengan
kebaikan-kebaikan dan mengirinya dengan dzikrullah (mengingat Allah) *Subhanahu
wa Ta'ala*.

Memperhatikan waktu berarti tidak menyia-nyiakan kesempatan beramal, saat
ia datang. Karena menunda-nunda kebaikan yang sudah ada di depan mata akan
menyebabkan penyesalan di kemudian hari.

Allah *Subhanahu wa Ta'ala* berfirman,

"*Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu
sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia
berkata: Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai
waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk
orang-orang yang saleh?"*." (QS. Al-Munafikun: 10)

Imam Ibnu Katsir *rahimahullah* berkata, "Setiap yang menyia-nyiakan
kesempatan beramal shalih akan menyesal ketika datang kematian. Ia meminta
dipanjangkan waktu walau sebentar untuk bertaubat dan mendapatkan kembali
apa yang telah luput darinya. Tidak mungkin bisa, yang lalu telah berlalu,
telah datang apa yang harus datang. Dan setiap orang menyesal sesuai dengan
penyia-nyiannya."

Diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi, dari Ibnu Abbas rahimahullah,
"barangsiapa yang memiliki harta yang sudah bisa menyampaikannya untuk
berhaji ke Baitullah atau mewajibkannya zakat, tapi tidak melaksanakannya,
ia akan minta raj'ah (dikembalikan lagi ke dunia) ketika sudah mati." Ada
seorang berkata, "wahai Ibnu Abbas bertakwalah kepada Allah! sesungguhnya
yang minta dikembalikan lagi ke dunia adalah orang kafir." Ibnu Abbas
berkata, "aku akan bacakan kepadamu ayat Al Qur'an tentang hal itu."
Kemudian beliau membaca ayat di atas.

. . . Hari terdiri dari jam dan menit. Setiap orang haruslah memikirkan,
untuk apa waktunya dihabiskan? . . .

*Penutup*

Baru saja kita berpisah dengan Tahun 1433 Hijriyah. Bahkan sekarang sudah
berlalu beberapa hari dari tahun yang baru, 1434 Hijriyah. Semua hari-hari
pada tahun yang telah lalu sudah ada catatannya dan kelak kita akan ditanya
tentangnya. Sedangkan hari-hari yang akan datang -dari tahun yang baru-
kita tidak tahu apakah bisa melampuinya. Maka manfaatkan hari yang kita ada
padanya. Jangan disia-siakan. Karena kepergiannya tidak akan pernah
kembali. Sementara catatan amal pada hari tersebut tersimpan baik dalam
catatan yang tak akan lapuk.

Rabi'ah pernah berkata kepada Sufyan, "Sesungguhnya kamu adalah kumpulan
dari beberapa hari. Maka jika berlalu satu harimu berarti telah berlalu
sebagian dari dirimu. Aku merasa, jika berlalu sabagiannya maka akan pergi
pula keseluruhannya. Maka kapan saja engkau mengetahui (hakikat) ini maka
beramalah."

Sekali lagi, jangan sia-siakan waktu dengan berleha-leha karena kaki kita
belumlah menapak di surga. Setiap detik yang berlalu dari kehidupan kita
akan dilakukan perhitungan terhadapnya di sisi Allah.

"*Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara
main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka
Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia, Tuhan (Yang mempunyai) Arasy yang mulia.*" (QS. Al
Mukminun: 115-116) [PurWD/voa-islam.com]

Demokrasi Dan Otoritarianisme Kapital

*Oleh, Zaim Saidi*
*Direktur Wakala Induk Nusantara *

TEKNIK dari kapitalisme adalah konstruksi negara fiskal. Dalam sistem ini
negara memberikan hak monopoli kepada para bankir untuk mencetak uang
kertas. Untuk keperluan itu mereka diberi izin untuk membentuk Bank
Sentral. Sebagai imbalan mereka menyediakan kredit (utang) untuk keperluan
‘pembiayaan negara’ (tepatnya: proyek-proyek). Kita semua, tiap-tiap
individu warga negara, kemudian dipaksakan menjadi jaminan atas
pengembalian utang-ribawi tersebut, melalui pemajakan.

Pajak itu sendiri, sebagaimana akan dibahas lagi di bawah nanti, terdiri
atas dua jenis yaitu pajak langsung yang ditarik secara tunai dari harta
warga negara dan pajak tidak langsung (inflasi dan *seignorage*) yang
secara riel dirasakan sebagai terus-menerus turunnya nilai tukar mata uang
kertas. Ini berarti naiknya harga-harga komoditas dari waktu ke waktu.

Tiap-tiap tahun birokrasi negara-artinya orang-orang yang Anda pilih
melalui Pemilu – menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
untuk pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, perumahan, pertahanan, dan
sebagainya), dengan sejumlah tertentu untuk dibayarkan kepada ‘kekuatan
penyandang dana’. Negara menjamin kepada para bankir atas (pengembalian)
utang ini dari pembebanan pajak kepada warga negara. Para bankir, tentu
saja, dengan sangat mudah memenuhi kebutuhan biaya tersebut, berapa pun
nilainya, dengan cara mencetak kredit *ex nihilo*: mencetak angka-angka
dalam buku atau sebagai byte dalam layar komputer. Dari sinilah kita
disodori suatu trick yang dikenal sebagai ‘Utang Negara’ (Public Debt).
Kalau bukan Bank Sentral negara nasional besangkutan sendiri maka jaringan
perbankan internasional akan mengambilalih perannya sebagai financier
tersebut.

Utang negara memberikan legitimasi bagi pemerintah yang berkuasa untuk
memajaki rakyat. Mekanisme ini merupakan modus yang inherent di dalam
negara konstitusional, demokrasi ataupun bukan. Fungsi utama konstitusi
adalah memastikan tiap-tiap individu warga negara ini sebagai pembayar
pajak. Dengan kata lain, lewat konstitusi inilah, warga negara dijaminkan
dalam utang-piutang yang dilakukan oleh para pengelola negara, kepada pihak
perbankan. Di sanalah bercokol kepentingan-kepentingan oligarki bankir yang
mengendalikan keberlangsungan sistem ini. Negara fiskal dunia mencerminkan
kapitalisme lanjut dan nihilisme, yakni terceraikannya otoritas dan lokasi,
yang berimplikasi pada irelevannya negara bangsa dan kedaulatan nasional.
APBN semata-mata menjadi wadah bagi penyaluran investasi para bankir ini.

Dalam konstruksi struktural (konstitusionalisme) semacam itu kapitalisme
telah menjadi ortodoksi dalam kehidupan semua umat manusia saat ini,
termasuk di kalangan Muslimin. Kapitalisme, di tengah ideologi ‘kebebasan
dan persamaan agama-agama’, sesungguhnya telah menggantikan agama-agama
tersebut. Kapitalisme telah menjadi agama itu sendiri, dan menunjukkan
dirinya sebagai agama yang paling dogmatis, intoleran, dan otoriter.
Agama-agama yang sebenarnya justru dipandang sebagai penghambat utama
kapitalisme. Mereka harus ditundukkan demi kapitalisme. Di kalangan Islam
tujuan ini hendak dicapai melalui gerakan pembaruan Islam.

Dalam konteks ini ada slogan eufemistik yang acap disebut oleh para
pengamat sebagai ‘fundamentalisme pasar’. Ini menggambarkan watak
ortodoksinya di satu sisi, tapi juga sebuah abstraksi yang samar-samar di
lain sisi. Siapa sesungguhnya yang dimaksud dengan ‘pasar’ yang
fundamentalistik tersebut? Kita tentu memerlukan jawaban yang jelas
mengenai sosok ini.

*Fundamentalisme Kekuatan Uang*
Jean-Christophe Rufin menyebut suatu kekuatan baru ini sebagai *invisible
political hand* (tangan-tangan politik tersembunyi). Rufin, seorang dokter
aktivis Perancis, mantan Direktur LSM Medecins sans Frontiers
(Dokter-tanpa-Batas), mengatakan hal ini dalam bukunya *La Dictature
Liberal (Diktator Liberal)*. Kekuatan tersembunyi tersebut, dalam kultur
liberal yang kini dominan, telah berhasil memastikan terceraikannya
masyarakat dari sistem. Rufin menjelaskan bahwa sistem tersebut, dengan
mekanisme politik dan ekonominya, dibuat sesedikit mungkin menganggu
aktivitas manusia dan setiap peristiwa sosial. Sementara
aktivitas-aktivitas tersebut, di lain sisi, seberapa pun bebasnya, harus
tidak boleh mengancam perangkat yang memungkinkan sistem tersebut untuk
dapat terus bekerja. Selanjutnya Rufin, sebagaimana dikutip oleh Rieger
(2005), mengatakan bahwa sistem ini dicirikan oleh ketidakpeduliannya yang
dingin atas umat manusia. Ia mengatakan:

Pada pengertian tertentu budaya demokrasi dibangun atas ketidakacuhan
ganda. Yang pertama adalah ketidakacuhan sistem liberal ini atas umat
manusia di dalamnya. Sistem ini, terutama aspek ekonominya, menjadi semakin
meng-internasional dan supra-nasional, dan karenanya semakin sulit
dikontrol. Manusianya, sebaliknya, hanya dapat mengekspresikan pilihan
politiknya pada tingkat nasional atau lokal-yaitu, tanpa dapat menyentuh
sumber kekuatan sebenarnya dari sistem ini.

Pemisahan antara realitas nasional-yang, suka atau tidak, adalah ranah
tempat kontrol secara demokratis dapat dilakukan-dan realitas
supra-nasional tempat keputusan-keputusan penting sebenarnya dibuat, adalah
pilar utama otonomi kultur liberal. Hal ini memberikan beberapa keuntungan.
Misalnya, hal ini membuat sistem ekonomi bebas dari kontrol demokratis. Ini
juga memungkinkan protes politik dapat terus dikekang, dengan dibatasinya
hanya pada wilayah nasional.

Lepasnya kekuatan ekonomi (baca: kapitalisme) dari kemungkinan pengontrolan
oleh kekuatan politik ini, paralel dengan terminologi nihilisme dari Carl
Schmitt, seorang pemikir hukum dari Jerman. Nihilisme ia beri makna
‘pemisahan pemerintahan dari lokasi’ (*separation of order from location*).
Wujud dari nihilisme ini adalah ‘Negara Dunia’, yang tak lain adalah sistem
Kapitalisme Global. Oleh filosof lain dari Italia, Antonio Negri, negara
dunia didefinisikan sebagai ‘kekaisaran dengan pusat yang tak dapat
dikenali’. Selanjutnya Negri dan Hardt (2003) juga mengatakan bahwa
‘kekaisaran global’ ini berwatak monarkis dan aristokratik: ada di tangan
segelintir elit, yakni ‘*the invisible political hand’* dalam istilah Rufin
di atas.

Walapun harus diberi catatan di sini istilah ‘monarkis dan airtokratis’ ini
berbeda dari pengertian klasiknya, yang bermakna kelas aristokrat berbasis
aset (tanah). Sebab justru kelas bangsawan inilah yang semula memegang
kekuasaan politik yang kemudian digusur oleh kelas politik baru, yang oleh
Helairie Beloc, sejarahwan Inggris, disebut sebagai *‘Money-Power’
*(Kekuatan-Uang)
itu. *Money Power* adalah istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan
kekuatan tersembunyi ini, sebagai sebuah Oligarki (oligos = sedikit, archy
= kekuasaan).

Pertanyaan yang masih harus dijawab adalah: siapakah sang ‘oligark’ pemilik
‘tangan-tangan politik tersembunyi’ ini? Tidak satu pun buku teks ilmu
politik maupun para profesor yang mengajarkannya di
universitas-universitas, termasuk Negri, serta Rufin, yang memberikan titik
terang tentang hal ini. Tapi di tangan ulama asal Skotlandia, Syekh
Abdalqadir As-Sufi, pertanyaan tersebut dijawab dengan gamblang. Dalam
bukunya *Technique of the Coup de Banque* ia mengatakan dengan gamblang
bahwa dunia saat ini berada di bawah kendali ‘*the invisible hand’* yang
terbentuk dalam sejarah panjang Eropa, yakni para para pemakan riba:
Oligarki Bankir.

Bukti awal dari konstatasi tersebut adalah bahwa dalam konstruksi negara
fiskal Bank Sentral dipisahkan dari (kewenangan) politik pemerintah.
‘Independensi Otoritas Moneter’ adalah mantra yang digunakan untuk hal ini.
Di Indonesia, misalnya, atas tekanan IMF, telah diterbitkan Undang-undang
Bank Sentral baru pada Mei 1999, yang mengatur bahwa Gubernur BI tidak lagi
menjadi bagian dari pemerintah dan tidak duduk dalam Kabinet. Maka,
terpetiklah berita-berita dengan kepala berita semacam ini, Pemerintah
Ikuti Aturan Perbankan, yang membuktikan bahwa kapital telah mengendalikan
politik, dan bukan sebaliknya.

Hal ini persis seperti yang diindikasikan oleh Rufin di atas, bahwa
keputusan penting yang sebenarnya-yang terjadi pada tingkat supra-nasional
– tidak lagi dapat dikontrol pada tingkat nasional oleh pemerintah.
Demokrasi, di sini, memperlihatkan karakteristiknya sebagai ‘politik tanpa
otoritas’. Gambaran skematis mesin kekuasaan negara fiskal dapat dilihat
pada Diagram di bawah.

Kita lihat institusi paling penting dalam negara fiskal, Bank Sentral, ini
secara lebih jauh. Bila dibedah lebih dalam, di sejumlah negara utama,
seperti AS (*Federal Reserve of America*) atau Inggris (*Bank of England*),
dan berbagai negara lainnya, kita akan mengetahui bahwa bank-bank sentral
bahkan sejak awal berdirinya sepenuhnya dimiliki oleh pribadi-pribadi
(perusahaan swasta)! Kebanyakan warga negara AS atau Inggris sendiri bahkan
tidak memahami fakta ini.

Politik demokratis dalam zaman modern ini telah diredusir dari suatu
pemerintahan (*governance*) menjadi semata-mata front politik para bankir.
Demokrasi menjadi sistem politik tanpa kekuasaan. Pemerintahan demokratis,
seperti halnya Raja Louis XIV dan penerusnya, sebagaimana akan
diperlihatkan di bagian lain [buku Ilusi Demorkasi] nanti, tak lebih dari
sekadar ‘pemerintahan boneka’. Dalam versi dan konteks yang berbeda, kita
dapat mengambil contoh keputusan Federal Reserve AS atas tingkat suku bunga
di negeri tersebut, selalu membrikan pengaruh sangat besar bukan saja pada
situasi ekonomi dunia, tapi juga kebijakan nasional suatu negara.

Penting untuk dipahami bahwa yang menjadi persoalan di sini bukan pada
orang, atau kelompok orang, baik yang telah disebutkan nama-namanya di sini
maupun yang belum, tetapi sistem yang beroperasi ini sendiri. Kapitalisme,
dalam perspektif Islam maupun dari nilai-nilai kemanusiaan, adalah suatu
Kriminalitas (dengan K besar). Yang kita nilai di sini adalah inti
persoalannya ini, yakni prosedur dan metodologi sistem ini, yang
menghasilkan penderitaan bagi sebagian besar umat manusia di dunia.

Pada jantung sistem ini kita temukan riba yang didukung oleh sistem pajak
yang dipaksakan kepada rakyat oleh negara. Kritik Islam terhadapnya adalah:
keduanya, riba dan pajak, dilarang oleh hukum syariah. Siapa pun yang
berada di dalam puncak piramida sistem ini-kaum Yahudikah, Kristen, atau
bahkan Muslim sekalipun-tidak relevan. Faktanya adalah Kejahatan ini terus
dilestarikan, maka Kejahatan inilah dan bukan penjahatnya, yang menjadi
perhatian kita. Kejahatan itu sistemik dan struktural, yang berwujud dalam
negara fiskal, yakni integrasi kapitalisme dan demokrasi yang didasarkan
kepada konstitusionalisme.

Syekh Abdalqadir (2000:81) mengungkapkan esensi fungsi negara modern ini,
sebagai berikut:

Di bawah hegemoni kekuatan finansial baru ini dapat dikenali fungsi Negara
Nasional, dan dokumen-penentu kewarganegaraan, Konstitusi, yang sebenarnya.
Kewarganegaraan dalam negara demokrasi menjamin, sebagaimana ditunjukkan
oleh Anatole France lebih dari seratus tahun lalu dalam novelnya ‘*Penguin
Island’*, bahwa demi kehormatan [status kewarganegaraan] ini Anda masuk
daftar Sensus Nasional.

Tujuan Sensus adalah untuk memastikan ketaatan Anda dalam sistem pajak
Negara. Ini merupakan catatan tentang kerja keras Anda sebagai jatah untuk
menanggung beban Utang Nasional Negara. Dalam tiap tahap kehidupan Anda
membawa di atas pundak Anda bukan saja beban utang yang Anda punyai, dalam
keadaan baik atau buruk, yang Anda ambil sendiri, tetapi juga menanggung
beban sejumlah besar utang hasil kesepakatan, belanja, program, dan bahkan
perang, yang tak satupun Anda ikut menyetujuinya.

Dari sejak sangat awal, ketika pertama kali dimulai, terutama menjelang dan
beberapa saat setelah Revolusi Perancis, sampai detik ini utang negara atau
utang nasional menjadi sumber hilangnya kebebasan individu warga negara.
Pada saat yang sama, bagi para kapitalis, ia merupakan instrumen pemupuk
kekayaan yang tiada terbatas.

*) Dinukil dari buku *Ilusi Demokrasi* (Republika, 2007), dapat diperoleh
di kios WIN atau DinarShop.com.

http://islampos.com/2012/demokrasi-dan-otoritarianisme-kapital/