Senin, 22 November 2010

Miskin Tak Menghalangi Dakwah


Assalamualaikum wr.wb.


Rasulullah SAW. sering mengalami lapar dalam hidupnya karena sejak semula
memang Beliau berniat untuk puasa. Tak jarang pula Nabi Muhammad SAW. tak
bermaksud puasa, namun karena tak ada makanan di rumahnya, beliau pun lantas
berpuasa. Malahan, perut Rasulullah kadangkala diganjal batu akibat menahan
lapar yang mendera, sementara Beliau tak punya sesuatu yang bisa dimakan.

Suatu hari Rasulullah SAW. bertemu Abu bakar dan Umar sahabatnya, lantas
menyapa, " Apakah yang menyebabkan kalian berdua keluar pada siang terik
ini?"

Kedua sahabat menjawab kompak, " Kami lapar wahai Rasul."
Berkata Rasulullah, " Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-NYA, saat ini
saya sedang lapar juga." Setelah itu Rasulullah mengajak kedua sahabat nya
beranjak, bermaksud mencari rizqi.
Kebetulan mereka bertiga lewat di depan rumah seorang Anshor bernama Abu
Hisam bin At tijihan, dan kebetulan pula istri Abu Hisam melihat Nabi SAW.
yang sedang melintasi. " Ahlan Wa Sahlan ," seru sang istri Anshor tadi
menegur

Mendengar teguran ini, Nabi Muhammad SAW. bertanya menimpali, " Kemana Abu Hisam?"

Wanita itu menjawab, " Ia sedang mengambil air untuk kami."
Lalu tak lama Abu Hisam muncul.Ketika melihat siapa tamunya, ia amat bahagia
sambil berkata " Alhamdulillah, hari ini tidak ada seorangpun yang lebih
mulia tamunya, selain daripada tamuku." Hisam segera mempersilahkan mereka
masuk, lantas iapun segera pergi mengambil kurma yang kemudian dihidangkan
kepada ketiga tamunya. Sementara Rasulullah dan kedua sahabatnya menyantap
kurma, Abu hisam menyembelih kambing , secepatnya dimasak, dan akhirnya
dihidangkan pula. Lantas Abu Hisam bersama ketiga tamu mulia menyantap
hidangan dengan secukupnya.

Selesai bersantap Rasululllah bersabda kepada kedua sahabatnya, " Demi
Allah yang jiwaku berada ditangan-NYA. Pada hari kiamat nanti, kalian pasti
akan ditanya tentang nikmat yang kalian rasakan tadi. Kalian telah didorong
keluar rumah oleh rasa lapar, kemudian tidaklah kalian kembali melainkan
sesudah mengecap rasa nikmat tadi."

HIKMAHNYA :

1. Nabi Muhammad SAW. dan kedua sahabatnya adalah orang kaya, tapi hartanya
dihabiskan untuk berjihad.
Ingatlah, khadijah istri Nabi Muhammad SAW. adalah konglomerat Mekkah.
Sedangkan, Abu bakar adalah orang kaya yang hartanya dimanfaatkan untuk
kepentingan Islam termasuk membebaskan budak belian yang masuk Islam lantas
disiksa sang majikan.

Bilal misalnya, dibebaskan Abu Bakar dari Umayyah bin Khalaf dengan harga
berlipat ganda dari harga kebiasaan. Ketika berhijrah ke Madinah Abu Bakar
membawa serta kekayaannya yang berlimpah.

Namun, saat menjelang Perang Badar, dia menyerahkan seluruh harta untuk
mobilisasi biaya perang.
Kala itu Rasulullah SAW. sempat bertanya kepadanya, " Apakah yang engkau
tinggalkan untuk keluargamu wahai Abu Bakar ?" Dengan mantap Abu Bakar
menjawab, " Aku tinggalkan mereka Allah dan Rasul-NYA. "
Singkat kata, " Kemiskinan" Rasul dan sahabatnya bukan karena mereka malas
bekerja, tapi seluruh hartanya dibelanjakan untuk menyebarkan Risalah Allah
SWT. Barangkali kita tak mampu mencontoh sepenuhnya sikap Nabi Muhammad SAW
dan dua sahabatnya tadi. Tapi, semangat mereka tetap harus diteladani,
walaupun pada level yang lebih rendah.

2. Kemiskinan tidak menjadi penghalang untuk menyebarkan kebenaran. Nabi
Muhammad SAW. dan sahabat adalah orang tak berpunya, tapi tak berhenti
dakwah kepada umatnya. Kemiskinan tak boleh menjadi penghalang untuk ibadah
dan berbuat kebajikan, meski dilakukan sesuai kapasitas dan kemampuan.
Keberhasilan dakwah bukan ditentukan oleh kekayaan dan kepangkatan, tapi
oleh keyakinan dan kesungguhan.

Orang kaya dan berpangkat belum tentu berhasil dalam dakwah jika tak
dilandasi kesungguhan dan suri tauladan. Orang tua tak cukup mendakwahi
anaknya untuk beriman hanya dengan memberi segala permintaan yang bersifat
kebendaan.Yang paling penting adalah keteladanan dan kasih sayang.

3. Rizqi yang diberi Allah kepada Umat-NYA dapat melalui siapa saja, dan
penyebabnya bisa apa saja. Risqi bisa datang dari sumber yang tak diduga
duga. Tapi yang terpenting orang harus berusaha sambil berdoa, bukan hanya
duduk di rumah saja. Terkait dengan kemiskinan, Nabi Muhammad SAW memang
menyatakan " Kefakiran dapat mendekatkan pada kekufuran." Terbukti, tak
sedikit orang sampai rela menjual aqidahnya hanya untuk mendapatkan harta
yang tak seberapa.

Namun, yang lebih menakutkan Nabi Muhammad SAW. bukanlah kemiskinan, tapi
justru kekayaan berlebihan sebagaimana telah disabdakan,
" Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku kwatirkan atas kamu, tetapi aku
khwatir bila terhampar luas bagimu dunia ini, sebagaimana telah terhampar
pada orang orang sebelum kamu. Kemudian kamu berlomba-lomba sehingga Allah
membinasakan kamu, sebagaimana Dia membinasakan mereka." (H.R. Muslim dan
Bukhari).

Ingatkah anda akan kisah Qarun dan Tsa'labah ? Jadi, harta kekayaan
hakekatnya juga cobaan atau bahkan fitnah, apakah kita sabar dan bersyukur
terhadap kekayaan tersebut atau malah sebaliknya kufur pada nikmat Allah
dengan kekayaan yang kita miliki itu.

4. Pemuliaan tamu adalah wujud keimanan,

" Barangsiapa yang mengklaim sebagai orang beriman hendaknya
memuliakan tamunya, tamu dalam perspektif Islam wajib dimuliakan, namun si
tamu harus pula tahu diri dan aturan. Sebab, kewajiban memuliakan dikenakan
dalam waktu tiga hari, sedangkan hari keempat dan seterusnya hukumnya
berubah sunah. Pemuliaan tamu diupayakan sesuai kemampuan, bukan berlebihan
apalagi sampai berhutang. Jika yang dipunyai hanya air putih belaka, asalkan
dalam penerimaan dan penyuguhan dengan roman berseri tanda ketulusan hati,
itulah yang lebih utama dilakukan daripada hidangan lezat tanpa ketulusan
hati.

Jika punya kelebihan, suguhan hendaknya bisa lebih menyenangkan namun tetap
dengan keikhlasan tanpa perhitungan. Imam Syafi'i berkata, suguhan dari
orang pemurah menjadi obat, sedangkan suguhan orang pelit bin kikir dapat
menjadi penyakit.

5. Tamu mulia bukanlah mereka yang berpangkat dan berharta, tapi tamu yang
shalih, baik budi pekerti, serta mempunyai hikmah kebijakan (ilmu
pengetahuan) yang mumpuni.

Tamu yang datang dari kalangan orang kaya dan bertakhta, pada umumnya topik
pembicaraan lebih banyak pada kebendaan dan jabatan sehingga mendorong hati
kita merasa kurang, sementara tamu ahli kebijakan (ilmuan dan ulama) yang
diperbincangkan adalah kebenaran, kebajikan, dan ilmu pengetahuan yang dapat
merangsang kita mendapat ketentraman.

Sumber : Kisah dan Hikmah (Seri Khasanah Islam)
Dhurorudin Mashad


Wassalam
Siti Nurjannah
----------------------------------------------------------------------
"Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" (Q.S. An Nuur 24:35).

"Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku satu ungkapan tentang Islam,
yang saya tidak memintanya kepada siapapun kecuali kepadamu." Rasulullah saw bersabda, "Katakanlah, 'Aku beriman kepada Allah,' kemudian Istiqamahlah." (H.R. Muslim)
-----------------------------------------------------------------------

NGASIH MAAF ITU LEBIH BAEK LHO…^_^


Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash[1] berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (Q.S. Al-Baqarah 178)
            Pesan yang ada dalam ayat ini adalah bahwa jika kita didzalimi seseorang, kita berhak ngebalas, asal balasan tersebut sesuai serta seimbang, dengan kata lain tidak berlebih-lebihan. Butwait guys…!!! Islam ngajarin kalo kita mesti bersabar, ato bahkan ngasih maaf sama orang yang tega menzalimi kita maka itu adalah lebi baik. Lebih afdal. Hal ini pernah terjadi kok dalam sejarah. Gini nich ceritanya…
            Seorang Arab Badui pergi ke Madinah mengendarai seekor kuda, pengen dagang. Pas nyampe disono (Madinah), tuh kuda die iket kenceng dan akhirnya tuh orang pergi ke pasar buat jualan. Karena ni orang lama banget jualan di pasarnya, kudanya lepas dan masuk ke dalam sebuah taman elit milik orang kaya disana. Sang pemilik teman nyoba buat ngusir tuh kuda, tapi si kuda ternyata ngeyel and balik lagi buat makanin tanaman disono. Akhirnya orang ntu kesel bukan main, singkatnya tuh kuda langsung ditombak ampe mati, “elu sih kuda… tau udah ane usir, eh masih ngeyel aje ngerusak tanaman ane… mampus dah elu…!!!”
            Sekembalinya dari pasar, si Badui kaget pas liat kudanya kaga ade ditempat asal, ilang entah kemana. Ampe pusing bukan kepalang, si Badui akhirnya jalan-jalan nyari tuh kuda, mpe akhirnya dia nyampe disebuah taman dimana ada seorang laki-laki tua lagi duduk santai disono.
             “Permisi engkong… liat kuda kaga lewat sini?” Tanya si badui sambil menjelaskan ciri-ciri kuda miliknya.
            Akhirnya si Engkong pun marah, “Ente gimana sih…?? Kuda dibiarin lepas… liatin tuh taman ane jadi berantakan gara-gara tuh kuda… emang kaga ente ikat napa…??!!!”
             Sorry kong… ane juga kaga tau kalo tuh kuda bisa lepas, ane minta maaf banget karena tuh kuda dah berantakin taman engkong, tapi ane mau nanya… sekarang kudanya mana?”
            Si engkong langsung nunjukin bangkai kuda yang udeh dia tombak ‘mantep’, “Tuh kuda akhirnya ane bunuh, abis kesel banget sih… dah ratusan kali diusir malah tetep ngeyel ngerusak tanaman ane…!!!”
             “Hah… apa…??!!” eh akhirnya si Badui yang balik marah, terjadi pertarungan sengit diantara keduanya. Saling cakar, tabok, tinju, pukul ampe kungfu ‘wong fei hung’ dikeluarkan masing-masing. Dasar si engkong udah cukup tua, akhirnya kalah juga ama si Badui mpe akhirnya nyusul arwah si kuda yang barusan dia bunuh.
            Ternyata salah seorang sahabat Rasul, Abu Dzar Al-Ghiffari, ngeliat dari kejauhan. Pas mau ngelerai dia terlambat dan akhirnya menemukan engkong tadi dah tewas ditangan sang pemilik kuda alias si badui. Abu Dzar nanyain si Badui masalahnya apa mpe gulet segala, apalagi lawannya dan dipanggil ma Allah SWT. Si Badui pun sadar atas kesalahan besar yang dah dia lakuin, melanggar KUHT (Kitab Undang-Undang Hukum Tuhan) pasal 2 ayat 178, dia nyesel banget coz dah kebawa emosi. Sambil beristigfar hampir ribuan kali kayaknya di langsung ngomong, “waduh… ane harus tanggung jawab, tuan anterin ane ngadep khalifah dong…!!!”
            Abu Dzar langsung nganterin tuh orang ngadep khalifah Umar yang mimpin umat muslim saat itu. Pas dah nyampe diceritakanlah maksud dan tujuan diadakannya pertemuan kedua orang ini, sang khalifah mutusin agar perkara ini diselesaikan dengan Al-Qur’an. Melalui sidang akhirnya ditetapkan bahwa si Badui harus mati juga, sesuai yang dah dia lakuin ma tuh Engkong, menurut KUHT pasal 2 ayat 178. Sebelum menerima semua keputusan hakim atas perintah khalifah Umar, si Badui minta izin buat balik bentar ngasih tau semua anggota keluarga kalo dia harus nerima hukuman mati (qishas) atas perbuatan yang dah dia lakuin beberapa jam yang lalu. Selain istri, dia punya seorang ibu yang dah tua, tiga anak yang masih imut-imut dan beberapa anak angkat laen. Ternyata si Badui baik hati juga.
            Ternyata kebanyakan orang Madinah nolak, alasannya takut si Badui kabur and kaga mau tanggung jawab trus bisa aja alasannya boong banget. Mirip kayak koruptor Indonesia yang seneng entah kemana ampe kagak ketahuan kalo mereka dan makanin duit rakyat. Dalam situasi seperti ini, tampil seorang Abu Dzar yang mau jadi jaminan kalo si terpidana nti kabur. Khalifah Umar marahnya bukan main, beliau merasa kalo sohibnya main-main, “Eh ente jangan maen-maen ama masalah serius ini… wahai Abu Dzar, ente salah seorang sahabat Rasul yang sangat ane cintai dan sayangi. Ane kaga mau kaga mau kehilangan ente, ane hormati ente… tapi kalo ente bener-bener dah bulet ngambil keputusan kayak gini… ane terima ente jadi jaminan orang ini.” Sang khalifah terus beristigfar sambil menitikkan air mata yang entah berapa liter jumlahnya.
            Dengan adanya jaminan Abu Dzar, Badui itu langsung balik kampung. Pas nyampe rumah didapatinya sang istri tercinta bersama anak-anaknya menunggu dengan perasaan cemas. Diceritakanlah kepada seluruh keluarga tentang hal yang baru dialami, hingga tangis meledak diantara mereka. Bagaimanapun juga, mereka nggak mau kehilangan tulang punggung keluarga. Ibu si Badui yang sudah renta kemudian ngasih nasihat, “Duhai anakku, kamu harus datang untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Jika kamu nggak datang, berarti kamu bakal ngebunuh seorang lagi, orang yang sudah rela menjadi jaminan atas kepergianmu kemari. Takutlah kepada Allah, jangan kau pikirkan ibumu ini, anak-anakmu, istri serta anak-anak angkatmu. Serahkanlah semuanya kepada Allah.”
            Setelah semua urusannya kelar, si badui itu pamit kepada keluarga dan tetangganya. Tak lupa, ia minta maaf atas segala kesalahan. Kepergiannya diiringi dengan derai air mata. Anak gadisnya menjerit-jerit sambil menarik-narik bajunya karena nggak mau kehilangan sang ayah. Namun, dengan ketabahan dan kesabaran yang luar biasa, si Badui ngelepasin tangan anak gadisnya lalu segera bergerak cepat menuju Madinah, sebab waktu yang diberikan untuknya sudah hampir habis. Sudah tiga hari masyarakat Madinah menunggu datangnya si Badui. Mereka gelisah karena si Badui lama gak nongol batang idungnya. Abu Dzar Al-Ghifari yang sudah jadi jaminan udah siap untuk dieksekusi. Di tengah situasi yang serba menegangkan, datanglah si Badui sambil berteriak, “Wahai penduduk Madinah, hentikan penangkapan terhadap Abu Dzar… ane udah datang and siap buat mempertanggungjawabkan perbuatan yang dah ane lakuin…!!!”
            Setibanya di depan publik, Badui itu ditanya bapak hakim tentang keterlambatannya. Ia pun menjelaskan bahwa di rumah ia harus mengurusi keluarga dan beberapa anak yatim. Masalah itu sudah selesai karena sudah ada tetangga yang bersedia dititipi tanggung jawab. Sekarang semuanya udah jelas, dan eksekusi pun siap untuk dilaksanakan. Ketika algojo dah siap dengan kapak sakti 212nya, tiba-tiba ahli waris sang pemilik kebun alias almarhum engkong ntu datang sambil berteriak kencang, “Hentikan eksekusi ini. Kami sebagai ahli waris korban telah memaafkannya. Bebaskan Badui itu…!!!”
            Suasana berubah menjadi hening. Orang-orang yang hadir di alun-alun tempat akan berlangsungnya eksekusi diam seribu bahasa. Mereka tak mampu menahan derai air mata. Haru menyelimuti seluruh masyarakat Madinah yang hadir saat itu.


Ali Imron Syarief (Ali Topan). Tafsir Gaul 1 (Seri Pengembangan Pribadi Remaja). Halaman 38-46, penerbit Eureka. “Dengan sedikit perubahan”


[1] Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. Qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.

Saat Kusentuh Jemarimu Dengan Mesra


Author: Abu Aufa

Jemari itu tak lagi lentik, terasa beda saat pertama
kali disentuh kala malam pertama. Kulitnya bersisik
dan berkerut, karena getir kehidupan. Guratan bekas
parutan pun membuatnya bertambah kasar. Tak jarang
jemari itu basah, menahan kristal-kristal bening yang
menggenang di telaga mata, pedih... teringat pedasnya
kata-kata yang pernah menusuk hati.

Kala keheningan malam menjamu temaramnya rembulan,
diukirnya do'a-do'a dengan goresan harapan, khusyu',
berharap regukan kasih sayang dari Sang Pemilik Cinta.
Hingga tubuh penat itupun bangkit, menatap belahan
jiwa dengan tatapan cinta, kemudian perlahan
dikecupnya sang kakanda dengan mesra.

Indah...
Sungguh teramat indah Al Qur'an melukiskannya, "Mereka
itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian
bagi mereka." [Al-Baqarah 187]

Adakah yang lebih indah dari rasa kasih sayang
diantara kedua insan yang berlainan jenis dalam sebuah
ikatan pernikahan? Ia adalah sebuah mitsaqan ghalidza
(perjanjian yang kuat), karenanya yang haram menjadi
halal, maksiat menjadi ibadah, kekejian menjadi
kesucian dan kebebasan pun menjadi sebuah tanggung
jawab.
Dua hati yang berserakan akhirnya bertautan, ibadah...
hanya itu yang dijadikan alasan.

Keindahan cinta dalam sebuah mahligai pernikahan
adalah harapan penghuninya. Cinta akan membuat
seseorang lebih mengutamakan yang dicintainya,
sehingga seorang istri akan mengutamakan suami dalam
keluarga, dan seorang suami tentu akan mengutamakan
perlindungan dan pemberian nafkah kepada istri
tercinta.

Cinta memang dapat berbentuk kecupan sayang,
kehangatan, dan perhatian, namun bunga cinta tetaplah
membutuhkan pupuk agar selalu bersemi indah.
Karenanya, segala kekurangan akan menumbuhkan
kebesaran jiwa, bahkan air mata yang mengalir itu pun
adalah sebagai tanda kesyukuran kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala, karena IA telah memberikan pasangan hidup
yang selalu bersama mengharap keridhoan-Nya.

Lalu, masihkah kehangatan itu nyata seiring
bertambahnya usia pernikahan?

Aaah...
Kadang kita sebagai suami lebih sering bersikap
dzalim. Kesibukan tiada henti, rutinitas yang selalu
dijumpai, lebih menjadi 'istri' daripada makna istri
itu sendiri. Masihkah ada curahan kelembutan dari
seorang qowwam (pemimpin) yang teduh? Adakah belaian
kasih sayang yang begitu hangat seperti kala pertama
kedua hati bersatu?

Saat-saat awal pernikahan, duhai sungguh romantis.
Rona mata penuh makna cinta terpancar saat saling
berpandangan, kedua tangan saling bergandengan, hingga
jemari tersulam mesra. Tak lupa bibir melantunkan
seuntai nada ...Sambutlah tanganku ini / Belailah
dengan mesra / Kasihmu hanya untukku / Hingga akhir
nanti...
Amboi... sungguh membuat iri mata yang memandang.

Malam dan siang silih berganti mewarnai hari, susah
senang hilang timbul bagaikan gelombang laut, keluh
dan bosan pun kadang menelusup, hingga akhirnya lirik
lagu cinta pun meredup ...Sepanjang jalan kenangan
kita selalu bergandeng tangan / Sepanjang jalan
kenangan kupeluk dirimu mesra / Hujan yang
rintik-rintik di awal bulan itu / Menambah nikmatnya
malam syahdu...
Akhirnya kemesraan pun hanyalah sekedar kenangan.

Entahlah...
Entah kemana canda yang dahulu pernah membuat istri
kita tertawa bahagia, ciuman di kening seraya berpesan
"Baik-baik ya di rumah," atau pun sekedar ucapan salam
"Assalaamu alaykum ummi," saat akan keluar rumah.
Bahkan, lupa kapan terakhir tangan ini menyentuh,
menggenggam mesra jemari istri tercinta. Padahal
dosa-dosa akan berguguran dari sela-sela jemari saat
kedua tangan disatukan.

Duhai Allah,
Airmata itu pernah tumpah, deras bercucuran
Luruh dalam isakan, menyayat kepedihan
Hanya karena enggan jemari ini bersentuhan

Ampuni diri yang dzalim ini yaa Allah
Sadarkan, sebelum saatnya harus beranjak pergi
Jauh, dan... tak akan pernah kembali

Wallahua'lam bi showab.

*IKATLAH ILMU DENGAN MENULISKANNYA*
Al-Hubb Fillah wa Lillah,

PACARAN = PERCOBAAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN ???

Penulis: Haryanto - Email: ummah@indosat.net.id - Edisi: 15/2002 Tanggal: 27.07.2002 Hits: 303  


 "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalan hukum Alloh, jika kamu beriman kepada Alloh dan hari akhir, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman" (QS.An-Nuur:2)

Tidak di kampus, tidak di kantor, tidak di pertokoan, tidak di bus, tidak di kereta api, lebih-lebih di tempat-tempat hiburan dengan mudah kita akan temukan dua sejoli yang belum terikat tali pernikahan asyik berduaan, bergandengan tangan bahkan berpelukan mesra. Kadang kita menjadi kikuk karenanya. Mau ditegur jadi ribut. Tidak ditegur merusak pandangan. Akibatnya perjalanan kita menjadi tidak nyaman.

Itulah pacaran. Salah satu budaya sekaligus gaya hidup kaum muda Indonesia. Dengan alasan penjajakan pra nikah, berbagai carapun dilakukannya. Yang penting katanya “Tidak MBA (Married By Accident”. Meskipun realitas membuktikan tidak sedikit para remaja yang hamil sebelum nikah. Dan telah melakukan hubungan badan sesama lawan jenisnya.

Sehubungan dengan itu, mari kita kaji masalah ini dalam tinjauan hukum positif Indonesia. Pada saat yang sama kita juga perlu membandingkannya dengan hukum Islam, sebagai referensi dan pedoman tertingggi bagi kehidupan kaum muslimin. Sehingga dengan ini, kita sebagai kaum muslimin dapat menentukan sikap berkaitan dengan masalah pacaran ini. Baik terhadap diri kita, saudara kita, anak kita, tetangga kita atau teman dan kolega kita.

Dalam Hukum Positif
Dalam KUHP Indonesia, kita tidak temukan istilah pacaran. Namun bukan berarti masalah ini tidak diatur dalam KUHP. Karena dalam Bab XIV diatur masalah kejahatan terhadap kesopanan. Khususnya pasal 281 yang menyatakan bahwa barang siapa yang sengaja merusak kesopanan dimuka umum diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan. Yang dimaksud dengan merusak kesopanan ini, R. Susilo dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya” antara lain yaitu mencium lawan jenis dsb. Dan sebagainya disini bisa berarti pula berpelukan tergantung kebijakan hakim dalam memtuskan masalah ini. Tergantung pula dengan adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku pada sebuah masyarakat.

Yang perlu digarisbawahi tindakan ini harus dilakukan di depan umum. Diantaranya yaitu di terminal, stasiun, tempat perbelanjaan, gedung bioskop, kampus dan perkantoran. Dan harus dilakukan dengan sengaja. Yang dibuktikan dengan tindakan saling berpelukan atau berciuman di depan umum. Sedangkan bagi mereka yang melakukan diluar tempat umum tidak dapat dikenakan delik ini. Karena unsur di tempat umum tidak terpenuhi.

Dari ketentuan itu sebenarnya cukup jelas bahwa pacaran yang dibarengi dengan pelukan atau berciuman di depan umum dapat dianggap sebagai kejahatan yang diancam dengan penjara 2 tahun 8 bulan.

Masalahnya adalah karena terjadinya pergeseran budaya, sehingga tindakan semacam itu sepertinya telah menjadi kebiasaan dan dianggap wajar oleh sebagian besar orang tua, pendidik dan aparat penegak hukum lainnya. Ini menunjukkan bahwa  tingkat kesopanan bangsa Indonesia telah menurun. Demikian halnya rasa malu yang dimiliki bangsa ini. Padahal Rasulullah menyatakan Al Hayaau minal iiman (malu adalah sebagian dari iman). Lalu dimana letak keimanan kita jika membiarkan anak-anak kita melakukan hal itu ???.

Menurut Hukum Islam
Sebelum kita berbicara masalah pacaran dalam tinjauan hukum Islam kita perlu lebih dahulu memahami maslah hudud, qishash dan ta’zir. Yang dimaksud dengan hudud adalah ketentuan – ketentuan pidana yang telah diatur secara tegas dan jelas termasuk jenis hukumannya dalam Alqur’an atau sunnah Nabi dan yang merupakan hak prerogratif Allah Swt. Semisal mencuri, menyamun, berzina, dan memfitnah.

Sedangkan qishash adalah pembalasan setimpal sehubungan dengan pembunuhan atau penganiayaan dimana hak menentukan hukumannya diserahkan kepada korban atau ahli waris korban. Apakah ingin membalas yang setimpal, membayar denda atau memaafkan pelakunya.

Adapun ta’zir adalah ketentuan yang diatur oleh penguasa atau hakim selain dari kedua hal diatas (hudud dan qishash). Fungsinya yaitu untuk mengisi kekosongan hukum. Semisal masalah percobaan pembunuhan atau percobaan pencurian atau percobaan perzinahan yang tidak diatur dalam syariat Islam. Disini penguasa atau hakim diberikan wewenang untuk menentukan besarnya hukuman yang harus diterima oleh pelaku tindak pidana.

Kembali ke masalah pacaran, penulis juga cukup terkejut ketika membaca buku “Al Ahkam Al Sulthaniyyah” halaman 459 karya Imam Al Mawardi. Ternyata dalam hukum Islam pacaran dimasukkan sebagai salah satu bentuk percobaan tindak pidana perzinahan. Dimana hukumannya ditentukan oleh ta’zir penguasa atau hakim.

Menurut beliau pacaran yang dibarengi dengan ngobrol berduaan dalam satu kamar / rumah maka dikenakan hukuman cambuk sebanyak tiga puluh kali (30). Jika berduaan dan berpelukan tanpa pakaian namun belum sampai bersetubuh dikenakan hukuman cambuk sebanyak enam puluh (60) kali. Jika ngobrol dijalanan maka dikenakan dua puluh (20) cambukan. Jika saling mengikuti dengan saling memberikan isyarat maka dikenakan hukuman cambuk sebanyak sepuluh (10) kali.

Hal itu selaras dengan ayat  ayat 32  surat Al Israa’ yang artinya “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah satu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk”.

Disini cukup jelas bahwa yang dilarang bukan hanya zina, bahkan segala sesuatu yang dapat menghantarkan seseorang jatuh kepada perbuatan zina. Satu diantaranya adalah pacaran. Karena pacaran akan menghantarkan pada zina hati, penglihatan, pendengaran dan tangan.

Karena itu dalam ayat yang lain Allah menyuruh kita untuk menundukkan pandangan (ghadhul bashar). Firman Allah artinya :

“Katakanlah kepada laki-laki beriman “ hendaklah mereka menundukkan / menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya …”(An Nuur : 30).

Jalan Keluar
Masalah yang timbul sekarang adalah bagaimana dengan anak-anak, teman atau saudara kita yang saat ini pacaran. Haruskah kita cambuk sesuai hukum Islam ?. Tentu saja tidak semudah itu, karena hukum pidana Islam belum diformalkan di negeri kita. Jalan keluar yang paling mungkin yaitu dengan cara mensegerakan mereka menikah. Kalau mereka masih sekolah atau kuliyah bisa dengan cara nikah gantung sebagaimana terjadi dalam hukum adat masyarakat jawa. Yaitu menikahkan secara resmi tapi belum boleh berkumpul dalam satu rumah dan melakukan hubungan suami istri.     

Hal itu juga pernah dicontohkan Rasulullah ketika menikahi ‘Aisyah, karena saat itu Aisyah belum menginjak baligh. Dan Rasulullah baru berkumpul dalam satu rumah setelah ‘Aisyah dewasa atau baligh. Model nikah semacam inilah yang seharusnya kita populerkan. Sehingga pacarannya menjadi resmi, karena dilakukan setelah ijab kabul. Sehingga ketika sang suami yang nikah gantung apel pada malam minggu akan merasa tenang dan nyaman. Tidak takut ditangkap hansip apalagi dicambuk hingga puluhan kali.

Lalu bagaimana dengan yang belum pacaran dan belum menikah. Jalan keluarnya yaitu dengan cara mencari istri lewat orang tua, ustadz atau teman. Apabila sudah cocok setelah melakukan penyelidikan terhadap sang calon segera saja dilamar dan dinikahi. Hal ini pernah dicontohkan oleh orang tua kita. Meskipun mereka tidak berpacaran toh anaknya banyak dan perkawinannya kekal hingga akhir hayat. Ini sangat berbeda dengan para artis dan anak muda sekarang, meskipun berpacaran cukup lama, tapi toh tingkat perceraiannya cukup tinggi.

Model pernikahan semacam itu juga sudah mulai dipraktekkan oleh para aktivis dakwah kampus dan anak-anak tarbiyyah Islamiyyah. Dan alhamdulillah menurut pengamatan penulis perjalanan rumah tangga mereka berjalan dengan baik, aman dan nyaman. Jika anda masih ragu-ragu jangan segan-segan bacalah buku “Indahnya Pernikahan Dini” atau buku “Berpacaran Dalam Islam”. Mudah-mudahan dengan itu budaya pacaran lambat laun akan hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia yang mengaku religius ini. Wallahu ‘alam...