Sabtu, 04 April 2020

Reyhan 1

Aku masih belum mampu menjaga apa yang ada. Suasana keramaian tak ubahnya kegamangan dalam hatiku. Terlalu riak, sementara tak jua aku memantapkan pilihan dan tujuan. Mbak Lastri terus berupaya membujukku menetapi janji. Agar oerasaan tak menyayat hati. Ya, kami sudah berjumpa pada akhirnya.

"Hana... Makan dulu! Nanti keburu habis sama Hani...,"

Uh, ibu selalu begitu. Membawa Hani untuk urusan perut. Beliau tak ingin setiap masakan yang dibuat bersisa karena si Panda, kucing pungut kami, sudah ada jatah makan sendiri.

"Buat Panda aja bu... Hahahaha!!!"

'Kreeekkk...,'

Aku menutup kembali pintu kamar, dan pastinya, memasang wajah cemberut untuk dua wanita hebat yang kadang centil dan kanak-kanak. Ah, Hani memang masih bocah!

"Iya ibu cantik... Putri Hana makan ya...," aku mengambil nasi dan juga lauk ikan goreng yang dimasak ibu, "Tenang... Pasti habis!"

'Ahahahaha!'

Beginilah suasana rumah, yang kadang tanpa ayah, kadang lengkap dengan banyak kisah. Ayah? Seperti biasa masih sibuk di Ibukota dan hanya pulang saat akhir pekan. Tak apa, beliau masih terlampau baik.

'Reyhan...?'

Aku tak tahu seandainya kami dipersatukan. Aku hanya mengenalnya, tahu namanya, tak lebih banyak. Tapi kisahnya terlalu ramai di kampus. Entahlah, aku hanya berpikir bahwasanya Tuhan tak akan memilihkan jodoh yang salah.

Minggu, 29 Maret 2020

Hana 6

Dia mungkin Hana ku. Begitu celetuk bahasa hati saat kulihat ia menikmati senja bersama beberapa muda-mudi. Termasuk ayah dan ibunya. Duh! Entah mengapa ia memutuskan dan menentukan pertemuan ini. Dua keluarga, aku dan dia, meski hanya Mas Hadi yang menemaniku. Ya, tak mungkin aku mengajak kedua ortuku yang jauh. Kecuali lamaran!

"Reyhan...!"

Aku membalas panggilan Pak Rahmat dengan bangkit dari duduk santaiku. Kuperhatikan ada rona senyum yang terpancar dari wajahnya.

"Iya, Pak...," aku masih setengah kikuk di depan orang yang mungkin Tuhan takdirkan sebagai  mertuaku.

"Apapun itu... Rencanakan dengan matang," memandang Hana yang tertunduk menyembunyikan perasaan, "Bapak hanya punya Hana dan Rana... Keduanya perempuan."

'Eh...?'

Aku membiarkan lintasan pikiran. Hembusan angin laut semakin kencang senja ini, menari seirama dengan pasukan burung camar yang menikmati jingganya langit di ufuk barat. Aku melirik ke arah Hana yang juga membalas tatapanku perlahan. Warna jingga langit kali ini selaras dengan jilbabnya. Ada suasana yang mungkin berbeda kedepannya.

"Mas Reyhan... Aku harap mas bisa memahami pesanku sebelum pertemuan ini."

Aku membalasnya dengan senyuman dan anggukan. Ya, benar kata Pak Rahmat. Matang!

Jumat, 27 Maret 2020

Hana 5

'Ajib!'

Aku kembali membaca datanya. Kali ketiga. Jauh lebih mantap, menyeringai soal keyakinan setelah perjumpaan itu. Sesekali kami beradu pandang, berbalas soal rencana masa depan. Meski pada akhirnya kuakui soal 'kikuk' dan rasa tak jelas masakan yang ada dalam pikiranku. Namun semuanya semakin jelas. Hana menuliskan sesuatu yang sesuai dengan isi hati dan keyakinannya. Namun kata 'ragu' menjadi penghalang setiap keyakinan yang sudah kutemukan dari tulisannya. Ya, ia seorang peragu. Mungkin bagi alam pikirannya.

'Beep...!'

Handphoneku bergetar, sengaja tak kubunyikan selama jatah waktu membaca, dan kembali pesan whatsappnya. Aku sengaja memberi jeda 10 detik, ya, setelah kembali kata 'ragu' itu muncul.

'Mas... Aku ragu untuk menyampaikan soal rencana kedatanganmu ke rumah. Bapak ternyata mengambil keputusan lain. Entahlah kenapa beliau mengubah pendiriannya setelah aku mulai bekerja 3 hari yang lalu.'

'Klik!'

Aku membiarkan pesan itu menyala, tanpa perlu segera membalasnya. Mataku mengintip cahaya lampu kamar dan membisik soal keinginanku bertemu dengan keluarganya. Ah, lagi-lagi memang belum waktunya. Hana tetap jujur, setidaknya ia selalu memberikan kepastian dan memberikanku kesempatan mengambil keputusan. Kami memang tak ingin buru-buru, meski kadang dikejar waktu. Semua ada waktunya itu bukan candaan.

Senin, 23 Maret 2020

Hana 4

Aku belum terlalu mengenalnya, terlebih yang membersamainya kali ini. Kami sepakat untuk berjumpa di sebuah kafe. Meski awalnya tak kusetujui. Karena jarak masjid tak terlalu jauh. Baiklah. Barangkali Tuhan berkehendak agar aku lebih terlihat dan merasa nyaman. Mas Parman membersamaiku meski belum sempat membersihkan diri sepulang dari kantor.

"Baik... Biar dibuat santai saja," Parman melihat-lihat buku menu untuk memesan makanan. Petang ini dia yang traktir.

"Jadi, biar rileks... Mbak akan biarkan kalian berdua saling bertanya... Diskusi... Ya... Buat kalian saling mengenal dengan nyaman."

Lastri menatap dengan senyuman tipis perempuan berkerudung coklat di sampingnya. Hana. Akhirnya kita berdua bertemu secara langsung dan berbicara. Alunan musik jazz yang mengisi ruangan masih belum mampu mengusir lantunan syahdu ayat suci dari pengeras masjid. Membuatku semakin tenang, menormalkan degup jantung.

"Hana...?"

"Ya...?"

Ah, tidak! Jantungku mulai terasa copot. Cepat sekali respon dan tatapan matanya.

Sabtu, 21 Maret 2020

Hana 3

'Kau harus bisa... Bisa... Berlapang dada... Kau harus bisa... Bisa... Ambil hikmahnya...'

Berdetak. Beradu dengan kecepatan arteri pulmonalis. Ada kata dan kalimat yang beradu tapi bisa dipadukan. Aku hanya mampu membisik lewat tatapan pada si putih berjarum. Pukul dua malam. Nafasku masih normal, syukurlah. Namun siang tadi adalah momen pembuka yang bisa jadi awal ataupun akhir. Hana. Sepuluh tahun sudah aku mengenalnya sebagai perempuan baik hati. Ada rasa yang membisik untuknya. Tapi siang tadi nuansa langit tak ubahnya rasa dalam hati. Kesabaran dalam menanti atau menjemput jodoh. Ah, sudahlah. Perempuan baik sepertinya pasti akan menemukan laki-laki yang baik.

Ah, aku lupa mematikan lagu-lagu yang menemaniku menguyah lembaran demi lembaran catatan kuliah. Magister. Rona dan aromanya tak sengeri kata mereka, namun geliat dan cara dosen yang membimbingku membuat diri seolah kuda pacuan yang berlatih untuk lomba pekan depan. Sudahlah, ini pilihanku. Hana? Pilihanku juga!

'Bismillah...,'

Rabb, biarkanku bersujud sembari berdoa. Mudah-mudahan hal yang membuatku lalai dari-Mu semakin berkurang.